Senin, 20 Februari 2012

TAFSIR ‘ALAWIYYAH KE-1 (DALIL SYAR’I TENTANG KAFA’AH SYARIFAH)

Pada dasarnya ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an surah al-An’am ayat 87, berbunyi :
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …

(dan kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka …’

TAFSIR ‘ALAWIYYAH TENTANG AYAT DI ATAS:

Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah :

نحن اهل البيت لا يقاس بنا

‘Kami Ahlul Bait (Keturunan Rasulullah) tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun‘.

Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Nabi Muhammad ’Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam’. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.

Imam At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Sayyidina Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab :

ان الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا

‘Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah‘.

Imam Baihaqi, Abu Nu’aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril ‘Alaihis Salam pernah berkata :

قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم

‘Jibril berkata kepadaku : Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim’.

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing.

Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi :

إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا

‘Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya‘.

Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya :

ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل

‘Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada
Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan’.

Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.

Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan wanita Arab.

Telah diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman : Saya lebih setara (sekufu’) dari pada engkau. Maka Salman berkata : Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata : Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.

Ketika Salman al-Farisi hendak sholat bersama Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi berkata : ‘Tidak ! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah diciptakan dari kalangan kamu’.

Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi :

نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح نساءكم

‘Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu.”

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab Syarifah. Jika dalam pernikahan wanita Arab Syarifah dengan lelaki non Arab Ahwal saja telah ada kafa’ah, apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw.

Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi :

إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا

‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.

Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa : Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.

Di zaman Sayyid Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.

Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :

النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض

‘Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)‘.

Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka.

Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis :

Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan

Mereka ibarat bahtera penyelamat
dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan
Maka menyelamatkan dirilah kepadanya
Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt
serta memohon pertolongan-Nya

Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka
Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka
Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka
Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.

Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata, dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.

Sumber : http://majeliswalisongo.wordpress.com/2010/11/08/tafsir-alawiyyah-ke-1-dalil-syari-tentang-kafaah-syarifah/

MANAKIB ALAWIYYAH KE-1 ( AL-IMAM AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN BIN ‘ALWI AMMUL FAQIH)

As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini
Majelis Wali Songo

NASAB BELIAU
Sayyid Abdul Malik bin Alawi (Ammil Faqih) bin Muhammd Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alawi Baitu Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shouma’ah bin Alawi Al-Mubtakir bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra’ binti Muhammad Rasuli-Llahi Shalla-Llahu Alaihhi wa-Sallam

TEMPAT DAN TAHUN KELAHIRANNYA
Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Beliau juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke Gujarat untuk berda’wah sebagaimana kakek beliau, Al-Imam As-Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berda’wah.

ORANGTUA AL-IMAM ABDUL MALIK AZMATKHAN
Ayah dari Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan adalah Al-Imam Alawi Ammul Faqih bin Muhammad lahir di Tarim. Beliau adalah seorang ulama besar, pemimpin kaum Arifin, hafal al-Qur’an, selalu menjaga lidahnya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, dermawan, cinta kepada fakir miskin dan memuliakannya, banyak senyum. Imam Alwi bin Muhammad dididik oleh ayahnya dan belajar kepada beberapa ulama, di antaranya Syaikh Salim Bafadhal, Sayid Salim bin Basri, Syaikh Ali bin Ibrahim al-Khatib. Beliau wafat pada hari Senin bulan Zulqaidah tahun 613 hijriyah di Tarim dan dimakamkan di perkuburan Zanbal.

Al-Imam ‘Alawi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath, memiliki empat orang anak, yaitu:
1. Abdullah (keturunannya terputus)
2. Ahmad (anaknya Fathimah ibu dari Ali dan Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam),
3. Abdul Malik Azmatkhan keturunannya menyebar di India dan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Asia tenggara yang dikenal dengan nama Azmatkhan (leluhur Wali Songo).
4. Abdurahman, keturunannya keluarga al-Bahasyim, al-Bin Semith, al-Bin Thahir, al-Ba’bud Maghfun, al-Bafaraj, al-Haddad, al-Basuroh, al-Bafaqih, al-Aidid, al-Baiti Auhaj.

ISTRI AL-IMAM ABDUL MALIK AZMATKHAN
Istri dari Imam Abdul Malik Azmatkhan adalah Putri Raja Kesultanan Islam Nasarabad India Lama, yang bernama Ummu Abdillah.

ANAK-ANAK AL-IMAM ABDUL MALIK AZMATKHAN
Imam Abdul Malik Azmatkhan memiliki 4 anak, 2 laki-laki, dan 2 Perempuan:
1. Sayyid Abdullah Azmatkhan (Leluhur Walisongo)
2. Sayyid Alwi Azmatkhan (Leluhur Azmatkhan India)
3. Syarifah Zainab Azmatkhan (nasabnya terputus)
4. Syarifah Fathimah Azmatkhan (nasabnya terputus)

GELAR – GELAR AL-IMAM AS-SAYYID ABDUL MALIK AZMATKHAN
Menurut As-Sayyid Bahruddin Al-Husaini, menjelaskan bahwa gelar yang disandang oleh As-Sayyid Abdul Malik azmatkhan adalah:
1. Al-Malik Lil Muslimiin = Raja Bagi Kaum Muslimin
2. Al-Malik Min ‘Alawiyyiin = Raja dari Kalangan Keturunan Imam Ali bin Abi Thalib
3. Al-Khalifah Lil Mukminiin = Khalifah bagi Kaum mukmin
4. Al-Mursyid = Mursyid bagi beberapa tarekat
5. An-Naaqib = Pakar dalam Ilmu Nasab
6. Al-Muhaddits = Menghafal Ribuan Hadits
7. Al-Musnid = Memiliki sanad keilmuan dari berbagai ulama’ dan guru
8. Al-Qutub = Wali Qutub pada masanya
9. Al-Wali = Seorang Waliyullah
10. Abu Al-Muluuk = Ayah dan datuk bagi para Raja
11. Abu Al-Awliyaa’ = Ayah dan datuk bagi para Wali Songo
12. Abu Al-Mursyidiin = Ayah dan datuk bagi para Mursyid
13. Syaikhul Islam = Guru Besar Islam
14. Imamul Mujaahidiin = Imam Mujtahid
15. Al-Faqiihul Aqdam = Ahli Fiqih Yang paling utama
16. Al-Mujahid Fii Sabiilillah = Pejuang di Jalan Allah
17. Al-Hafiizhul Qur’an = Penghafal Qur’an
18. Shohibul Karomah = Raja dan Wali Allah yang memiliki Karomah
19. Amirul Mukminin= Pemimpin Pemerintahan Islam (Sumber Data: Kitab Ansabi Wali Songo, karya Sayyid Bahruddin)

NAMA FAM AZMATKHAN DALAM ILMU NASAB
Nama Azmatkhan berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Urdu. “Azmat” berarti; mulia, terhormat. Dan “Khan” memiliki arti setara seperti Komandan, Pemimpin, atau Penguasa. Nama ini disandangkan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik setelah beliau menjadi menantu bangsawan Nasarabad. Mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” sebagai bangsawan sekaligus penguasa setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan apa yang dialami Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan keturunan Al-Husain putra Fathimah binti Rasulillah SAW, maka mereka menambah kalimat “Azmat” sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang.

KESAKSIAN PARA AHLI NASAB TENTANG FAM AZMATKHAN

KESAKSIAN PERTAMA
Menurut As-Sayyid Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Al-Husaini (Ulama’ asli Tarim, Hadramaut, Yaman), berkata: “Keluarga Azmatkhan (Walisongo) adalah dari Qabilah Ba’Alawi asal hadhramaut Yaman gelombang pertama yang masuk di Nusantara dalam rangka penyebaran Islam (Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati keluarga Azmatkhan) Sesuai dengan namanya, yang berarti “Pemimpin dari keluarga Mulia” .

KESAKSIAN KEDUA
Menurut H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”, dia berkata:
“Sayyid Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Ia meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India ia bermukim di Naserabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir Khan Abdullah bin Sayyid Abdul Malik, lahir di kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa dekat Naserabad. Ia anak kedua dari Sayyid Abdul Malik
Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.
Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang.
Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda’wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berda’wah
Nama putra Sayyid Abdul Malik adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmatkhan. Al-Amir adalah gelar untuk pejabat wilayah. Sedangkan Azmatkhan adalah marga beliau mengikuti gelar ayahanda. Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat Khan-nya saja, karena marga “Khan” (tanpa Azmat) memang sangat populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan marga Ba’alawi atau Al-Alawi Al-Husaini.
Ada yang berkata bahwa di India mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmatkhan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.
Sayyid Abdullah Azmatkhan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliaupun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan didalam memperkenalkan sebuah budaya. Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya Barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. Maka bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda’wah di tanah Jawa.
Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad.” Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang diagungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang Raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama besar.Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”.
Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang besar, Ia diutus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia diangkat sebagai wazir (menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, Kamboja, Siam (Tailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.
Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya disertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar ‘Tajul-muluk’. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”
Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa disebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tembahan, sehingga nama beliau juga ditulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahansyah” artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahansah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian gelar Syahan-syah pada selain Allah.
Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau medirikan sebuah kesultanan di Tailand. Beliau dikenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek moyang daripada keluarga Azmatkhan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.

KESAKSIAN KETIGA

Menurut Sayyid Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam Kitab Nasab yang bernama Al-Jawahir Al-Saniyyah, berkata: “Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Alawi ‘Ammil Faqih”.

KESAKSIAN KEEMPAT:

Menurut Ad-Dawudi dalam Kitab Umdatut Thalib berkta, “”Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Alawi ‘Ammil Faqih, dan keturunannya masih ada sampai sekarang ini melalui jalur Walisongo di Jawa”.

KESAKSIAN KELIMA:

Penelitian sayyid Zain bin abdullah alkaf yg dikutip dalam buku khidmatul ‘asyirah karangan Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf; MEMBENARKAN & MEM-VALID-KAN nasab jalur Azmatkhan.

KESAKSIAN KEENAM:

Penelitian Al-Alammah As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Husain Al-Masyhur dalam Kitab Syamsud Zhahirah, yang memvalidkan nasab jalur Azmatkhan.

KESAKSIAN KETUJUH

Kesaksian dari Sayyid Ali bin Ja’far Assegaf Palembang.

Bermula silsilah wali songo ditemukan oleh sayid Ali bin Ja’far Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang. Dalam silsilah tersebut tercatat tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu ushuluddin dan alquran. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang Alawiyin bernama sayid Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath, yang mempunyai tujuh anak laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar pangeran dan raden, nasab Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri.

KESAKSIAN KEDELAPAN:

Penelitian As-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Lathif

Keluarga Azmatkhan sejauh ini tercatat memimpin banyak Kesultanan atau Kerajaan di Asia Tenggara. Diantaranya :

1. Kesultanan Nasirabad – India
2. Kesultanan Adipati Bagelen
3. Kesultanan Adipati Bangkalan – Madura (ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
4. Kesultanan Adipati Gerbang Hilir
5. Kesultanan Adipati Jayakarta
6. Kesultanan Adipati Manonjaya (Dinasti yang memerintah dari Al-Mukhrowi (Al-Husaini jalur Persia) tetapi ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
7. Kesultanan Adipati Pajang
8. Kesultanan Adipati Pakuan (Dinasti yang memerintah dari Al-Mukhrowi (Al-Husaini jalur Persia) tetapi ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
9. Kesultanan Adipati Sukapura (Dinasti yang memerintah dari Al-Mukhrowi (Al-Husaini jalur Persia) tetapi ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
10. Kesultanan Adipati Sumenep (Sebagian dari Raja-Raja Sumenep adalah Keturunan Azmatkhan dari Jalur Fadhal Ali Al-Murthadha)
11. Kesultanan Adipati Tasikmalaya (Dinasti yang memerintah dari Al-Mukhrowi (Al-Husaini jalur Persia) tetapi ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
12. Kesultanan Ampel Denta – Surabaya
13. Kesultanan Banten
14. Kesultanan Campa (Kamboja)
15. Kesultanan Cirebon Larang / Carbon Larang
16. Kesultanan Demak Bintoro (Dinasti yang memerintah dari Al-Mukhrowi (Al-Husaini jalur Persia) tetapi ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
17. Kesultanan Giri Kedaton
18. Kesultanan Kacirebonan – Cirebon
19. Kesultanan Kanoman – Cirebon
20. Kesultanan Kasepuhan – Cirebon
21. Kesultanan Kedah – Malaysia (Ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
22. Kesultanan Kelantan – Malaysia
23. Kesultanan Mangkunegaran (ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
24. Kesultanan Mataram Islam (ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
25. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
26. Kasunanan Surakarta Hadiningrat (ada tautan dari pihak wanita Azmatkhan)
27. Kesultanan Pakualaman
28. Kesultanan Palembang Darusalam
29. Kesultanan Patani – Thailand
30. Kesultanan Sumedang Larang / Sunda Larang
31. Kesultanan Surabaya (Kelanjutan Kesultanan Ampel Denta)
32. Kesultanan Ternate
33. Keratuan Darah Putih, Lampung
34. Kerajaan Islam Tawang Alun Macan Putih, Banyuwangi
35.

DAFTAR KEPUSTAKAAN (BUKU-BUKU YANG MENJELASKAN) TENTANG AZMATKHAN :

1. Sayyid Ahmad bin Anbah,Umdatuth Thaalib Fii Ansaabi Aali Abi Thaalib
2. Sayyid Aki As-Samhudiy, Jawaahir Al-Aqdaini Fii Ansaabi Abnaai As-Sibthaini
3. Sayyid Abu Thalib Taqiyyuddin An-Naqiibi, Ghaayatu Al-Ikhtishoori Fii Al-buyuutaati Al-’Alawiyyati Al-Mahfuzhati Min Al-Ghayyaari.
4. As-Sayyid Al-Muhaddits Husain bin Abdurrahman Al-Ahdali, Tuhfatuz Zaman Fii Taariikhi Saadaatil Yamani
5. As-Sayyid Abu Fadhal Muhammad Al-Kazhimi Al-Husaini, An-Nafkhah Al-Anbariyyah Fii Ansaabi Khairil Bariyyah
6. As-Sayyid Dhoomin bin Syadqam, Tuhfatul Azhaari Fii Ansaabi Aal An-Nabiyyi Al-Mukhtaari
7. As-Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Attas, Uquud Al-Almaas
8. Sayyid Jamaluddin Abdullah Al-Jurjaani Al-Husaini, Musyajjarah Al-Mutadhammin Ansaabi Ahlilbaiti Ath-Thaahiri
9. As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin ‘Amiiduddin Al-Husaini An-Najafiy, Kitab Bahrul Ansaabi
10. As-Sayyid Murtadha Az-Zabiidi, Al-Musyajjir Al-Kasysyaaf Li Ushuulis Saadah Al-Asyraaf
11. As-Sayyid Husain bin Muhammad Ar-Rifaa’i Al-Mishri, Bahrul Ansaabil Muhiith
12. As-Sayyid ‘Ali bin Abi Bakar asy-Syakran, Al-Jawaahir As-Saniyyah Fii Ansaabi Al-Husainiyyah
13. As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur Al-Husaini Al-Hadrami, Kitab Syamsuzh Zhahiirah
14. As-Sayyid Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff, Khidmah Al-’Asyiirah Bi Tartiibi wa Talkhiishi Wa Tadzliili Syamsizh Zhahiirah
15. As-Sayyid Dhiyaa’u Syihaab, Ta’liiqaat Mabsuuthah Wa Mufashsholah ‘Alaa Syamsizh Zhahiirah
16. As-Sayyid Umar bin Alawi Al-Kaff, Al-Faraayid Al-Jauhariyyah Fii Tarraajumi Asy-Syaharah Al-’Alawiyyah
17. As-Sayyid Umar bin Abdurrahman bin Shihabuddin, Syajaratul Alawiyyah
18. As-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Kitab Al-Mu’jam Al-Lathif
19. As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini, Ansaabi Wali Songo,
20. As-Sayyid Abi Al-Mu’ammar Yahya bin Muhammad bin Al-Qasim Ba’alawi Al-Husaini, Kitab Abnaaul Imam Fii Mishra Was Syaami Al-Hasani Wal Husaini,
21. As-Sayyid Al-Qalqasandiy Al-Hasani, Nihaayatul Urabi Fi Ma’rifati Al-Ansaabi Al-’Arabi,
22. Al-Imam Abi Sa’di Abdil Karim bin Muhammad bin Mansur At-Tamimiy As-Sam’aaniy, Kitab Al-ansaab
23. Al-Imam Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Balaadiri,Kitabu Al-Jumali Min Ansaabil Asyraaf

Sumber : http://majeliswalisongo.wordpress.com/

Kisah-Kisah Kecintaan Rasulullah Terhadap Cucunya

Rasulullah SAW sangat sayang pada cucu-cucunya. Terdapat banyak peristiwa yang menunjukkan betapa mendalamnya kasih baginda terhadap mereka.

Sewaktu Sayyidina Hassan dan Hussin masih kecil, apabila Rasulullah SAW sembahyang, baginda meletakkan mereka di sampingnya. Kedua-dua cucunya ini memperhatikan gerak gerik baginda dalam sembahyangnya. Bahkan, ketika baginda sujud, kedua-dua anak itu melompat ke belakang baginda. Maka ada seseorang yang mencoba melarang kanak-kanak itu, tapi baginda mengisyaratkan supaya dibiarkan saja kedua-dua cucunya bermain di belakangnya.

Jika Rasulullah SAW hendak mengerjakan sembahyang, maka baginda meletakkan Hasan dan Husain. Kemudian baginda bersabda:

“Sesiapa yang kasih kepadaku hendaklah ia kasih kepada yang dua ini (Hasan dan Husain).

Pada suatu hari Rasulullah SAW keluar bertemu dengan kaum muslimin, sedang bersamanya ada Hasan dan Husain. Seorang di bahu kanan dan yang seorang lagi di bahu kiri. Baginda mencium Hasan, kemudian mencium Husain pula.

Ketika Rasulullah SAW membawa Hasan dan Husain, tiba-tiba seorang lelaki bertanya kepada baginda, “Ya Rasulullah, apakah engkau sangat cinta kepada mereka berdua?” Baginda terus menjawab, “Sudah tentu. Sesiapa yang mengasihi kedua cucuku ini maka bererti telah mengasihi aku, dan sesiapa yang memarahinya bererti ia memarahi aku.”

Umar bin Khattab pernah menyaksikan Rasulullah SAW sedang mengendong Hasan dan Husain, seorang di bahu kanan dan yang seorang lagi di bahu kiri baginda. Maka Umar berkata kepada Hasan dan Husain, “Kuda yang paling baik ialah di bawah kamu (Rasulullah) .” Rasulullah melirik kepada cucunya lalu berkata, “Dan penunggang kuda yang paling mahir adalah kamu berdua.”

Di dalam rumahnya sendiri, Rasulullah SAW membawa Hasan dan Husain di atas belakangnya, kemudian baginda berjalan dengan tangan dan kaki sambil berkata: “Unta yang paling baik ialah unta kamu, dan sebaik-baik pasangan ialah kamu berdua.”

Pada suatu hari Rasulullah SAW diundang makan ke rumah seorang Sahabat. Ketika baginda dan para Sahabat berjalan menuju rumah orang yang mengundang makan itu, baginda melihat Husain sedang bermain-main dengan kanak-kanak di tengah jalan. Baginda ingin bergurau dengan Husain, maka baginda berjalan lebih laju sehingga baginda agak ke depan berbanding rombongannya. Apabila tiba dekat Husain, baginda membuka kedua-dua tangannya sambil mengisyaratkan supaya Husain melompat kepadanya. Lalu Husain melompat ke arah baginda dan beliau tertawa sambil mendakap serta mencium Husain sambil bersabda:

“Husain sebagian dari diriku, dan aku sebagian darinya. Allah mengasihi orang yang mengasihi Husain.”

Pernah berlaku, ketika para Sahabat duduk di sekeliling Rasulullah SAW ketika matahari hampir tenggelam, maka datang orang memberitahu baginda bahwa Hasan dan Husain telah hilang entah ke mana.

Mendengar yang demikian membuat Rasulullah takut lalu berkata kepada para Sahabat, “Bangkitlah kamu, pergi cari anakku!”

Kemudian baginda mengajak salah seorang di antara Sahabat ikut bersamanya. Rasulullah SAW menyeru semua Sahabat supaya sama-sama mencari Hasan dan Husain sebelum malam tiba, tapi tidak juga ditemui. Tiba di suatu tempat, melihat Hasan dan Husain berpelukan dan amat ketakutan karena di hadapan mereka ada seekor ular besar yang dari mulutnya keluar api.

Dengan pantas, Rasulullah SAW mengambil perhatian ular itu supaya beralih kepadanya. Tidak lama kemudian ular itu pergi ke celah-celah batu. Baginda terus mengambil Hasan dan Husain, memisahkan keduanya, lalu menyapu wajah keduanya. Sambil memeluk keduanya, Rasulullah SAW bersabda:

“Demi ayah dan ibuku, kamu berdua teramat mulia di sisi Allah.”

Sesudah itu barulah nafas Hasan dan Husain kembali seperti biasa. Kemudian baginda pun mengangkat keduanya, seorang ke bahu kanan dan seorang lagi ke bahu kirinya.

Pernah berlaku, Rasulullah sudah berdiri di atas mimbar, lalu baginda berkhutbah kepada umat Islam. Maka datanglah Husain ke dalam masjid sedangkan di lehernya ada perca kain yang ditarik dan dihulur-hulurkannya .

Husain pun berjalan di celah-celah jemaah Jumaat yang sedang duduk mendengar khutbah dari Rasulullah. Perca kain itu dihulur dan ditarik-tariknya. Tiba-tiba kaki Husain tersandung lalu jatuh dengan mukanya ke tanah.

Melihat itu, Rasulullah SAW meluru ke arah Husain. Apabila orang lain melihat baginda datang, maka mereka cepat mengambil Husain dan memberikannya kepada baginda. Husain diciumi Rasulullah sambil mengucapkan:

“Semoga Allah membunuh syaitan, dan sesungguhnya anak adalah fitnah.”

Ketika itulah baginda memandang kepada sidang jemaah sambil meminta maaf. Baginda berkata, “Demi Allah, aku tidak sedar telah turun dari mimbar hinggalah aku mendatanginya (Husain).”

Pernah Rasulullah SAW masuk ke rumah puterinya Fatimah bertujuan untuk berziarah dan memberi ketenangan jiwa kepadanya, lalu baginda bertanya tentang keadaan dirinya dan rumah tangganya. Baginda juga bertanya tentang suami dan anak-anaknya.

Rasulullah berkata kepada Fatimah, “Suruhlah suami dan anak-anakmu datang ke mari.” Lalu Fatimah memanggil mereka semua, maka mereka pun datang sambil memberi salam kepada Rasulullah dan menyambut kedatangan baginda dengan gembira. Dalam kesempatan itu Rasulullah bergurau senda dan beramah mesra dengan mereka.

Setelah suasana telah tenang maka baginda menyuruh mereka duduk di hadapannya lalu baginda berdoa untuk mereka:

“Ya Allah, mereka ini adalah keluarga Muhammad. Berikan rahmat dan keberkatan-Mu kepada mereka sebagaimana telah Engkau berikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mulia. Ya Allah, inilah keluargaku, hilangkanlah dari mereka kekotoran dan bersihkan mereka dengan kesucian. Ya Allah, redhailah mereka sebagaimana aku redha kepada mereka.”

 “Tetaplah kamu dalam rumahmu dan janganlah kamu berhias seperti dandanan perempuan jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah sembahyang dan bayarkanlah zakat, dan ikutlah Allah dan Rasul-Nya. Allah hanya mengkehendaki, supaya Dia menghilangkan kekotoran (dosa) daripadamu, hai ahlul bait dan supaya Dia membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya.” QS Al Ahzab: 33

Manaqib Al Habib Yusuf bin Ali Al Anggawi, Madura

DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA
PENYAYANG.
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada para walinya, dan yang telah memberikan ilham kepada mereka kalimat kebenaran, dan sholawat dan salam semoga selalu tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad, penghulu semua utusan dan juga kepada keluarga beliau yang suci dan kepada para sahabat beliau sebagaipetunjuk bagi orang – orang yang bertaqwa dan juga kepada pengikut –pengikut meraka sampai hari kiamat. Amma Ba’du :


Sungguh rahmat Allah akan turun ketika memperingati acara HAUL para walinya dan para sholihin dan sungguh ketenangan akan selalu tercurah pada para yang hadir dan yang merayakannya. Maka kami ingin sekali menceritakan pada mereka tentang seorang “ SAYYID “ yang sedang dirayakan ini, agar supaya menjadi peringatan bagi orang – orang yang akan datang, demi mengamalkan sebuah hadits, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “ sebutkanlah oleh kalian kebaikan – kebaikan orang yang mati diantara kalian dan pendamlah kejelekan – kejelekan mereka “ maka dengan hadits ini maka mensunnahkan ulama mengadakan peringatan wafatnya para wali dan para sholihin yang mereka namakan HAUL tiap hari dan menceritakan / membacakan didalamnya manaqip tiap – tiap wali yang terkenal dengan ilmunya, kebaikannya, wara’nya dan taqwanya dari keadaan – keadaan mereka yang agung serta bukti – bukti yang besar ( kekeramatan )

dari para wali Allah yang sholeh agar supaya mereka dijadikan contoh oleh manusia dari puncak timur dan barat atau agar menjadi suri tauladan yang baik bagi makhluk – makhluk yang akan datang. Maka juga adanya SAYYID YUSUF ini juga dijadikan contoh bagi mereka. Adalah Sayyid Yusuf ini termasuk salah seorang wali Allah yang mempunyai sifat – sifat dengan sifat – sifat yang agung dan sifat-sifat yang baik dan beliau adalah seorang imam Al – Arif Billah Al-Alim Al- Allamah yang mempunyai habar-habar yang dapat dipahami, lisan kebenaran yang kembali pada penelitian dalam hakikat, dan laut penelitian yang belum pernah meninggalkan sesuatu yang muskil, yang mempunyai lidah terjemah, seorang wali kutub Assulton Al-Waliyul khair Al-qihaust yang terkenal dengan banyak kekeramatan dan bukti, yaitu Jamaluddin Abul Mahasin Yusuf bin Ali bin Abdullah bin Jarullah Abdul Aziz bin Muhammad bin Athifah bin Abi Dzabih Muhammad bin Abi Nami bin Hasan bin Ali bin Qafadah bin Idris bin Mutha’in bin Abdul Karim bin Isa bin Husin bin Sulaiman bin Ali bin Abdullah bin Imam Muhammad Ats-Tsa-ir bin Musa bin Abdullah Al-kiram bin Musa Al-jaun bin Imam Abdullah Al-kamil bin Imam Husin Al-Mutsanni bin Imam Hasan As-sibith bin Imam Ali bin Abi Thalib. Adanya beliau dilahirkan di Mekkah Almukarromah pada malam sabtu tanggal 12 Jumadil Ula tahun 1198 Hijriyah dan beliau dibesarkan dan menuntut ilmu dimekkah dan belajar Al-qur’an pada Syeh Ahmad bin Muhammad Al-halwani di Damaskus, seorang Syeh / guru Qurra’ di Masjidil Haram, dan beliau belajar Fiqih pada seorang Faqih ( ahli fiqih ) : Adullah bin Abdurrahman Assiraj Alhanafi dan belajar hadits pada seorang ahli hadits : Ali bin Abdullah Al-qal’iy dan juga pada Sayyid Ali bin Abdul Bar Al-Wana-i Al-hasani dan juga pada Syeh Ahmad bin Ubaid Al-atthar dari Damaskus, kemudian beliau pergi ke Yaman dan banyak belajar disana dari ulama-ulama besar kemudian beliau belajar dari Sayyid Ahmad bin Muhammad seorang Maqbul yang berlabuh dan Sayyid Abdur Razzaq Al-Bakkari dan Sayyid Abdul Qasim bin Sulaiman Al-hajjam. Dan kemudian beliau berlayar ke India kemudian kembali lagi ke Mekkah dan belajar disana pada seorang ahli Fiqih, Al-faqih Ibrahim bin Ahmad Alkhatib, kemudian berjumpa juga di Mekkah dengan Habib Hamid bin Alwi Al Haddad kemudian oleh Habib Hamid beliau dibawa ke Palembang


kemudian bersahabat dengan Habib Abdurrahman bin Husin bin Hasan bin Alwi bin Ahmad Al-idrus yang terkenal dengan seorang yang mempunyai banyak kekuasaan, yang wafat di Palembang pada tahun 1211 Hijriyah dan Habib Alwi bin Ahmad Al Kaf. Kemudian beliau menetap di Palembang beberapa lama kemudian beliau dimulyakan oleh Sultan Ahmad Najmuddin dan beliau dikawinkan dengan salah seorang wanita yang mulya, dan beliau dikaruniai beberapa orang anak, yang diantara mereka ada yang bernama Muhammad, beliau seorang yang alim, yang mulya, yang shaleh, banyak shalat dan wiridnya, mempunyai banyak kekeramatan yang diluar kebiasaan dan tampak kasyafnya, berbicara tentang lintasan-lintasan hati dan menghabarkan tentang apa yang ada dalam hati, beliau juga berbudi luhur dan adab yang sopan, sangat dermawan, mencintai orang yang faqir dan miskin dan para sholihin dan banyak membantu mereka dan banyak memberikan sedekah baik pada kerabat dekat dan jauh dan beliau banyak mengadakan perjalanan dan beliau selalu menutup diri dengan lain. Kemudian beliau dari Palembang pergi ke Surabaya, kemudian beliau tinggal dirumah Habib Al Matsri Agil bin Idrus bin Agil, kemudian beliau pergi ke Madura dan tinggal dengan Sultan Abdurrahman bin Muhammad Jabir Raja Sumenep, kemudian beliau pergi ke Bangkalan dan beliau di mulyakan disana. Dan adanya beliau r.a seorang yang alim, tawadhu’, berwibawa disisi Raja-raja dan pemimpin-pemimpin, tembus perkataan, baik dalam berpolitik dan pengaturan, kesatria dan juga berjiwa mulia, lalu beliau wafat di Telango salah satu pulau di Madura pada malam senin tanggal 15 Rabiul Akhir tahun 1252 Hijriyah.
Beliau meninggalkan beberapa orang putra mudah-mudahan Allah meridhai beliau, dan memberikan rahmatnya sebagaimana yang telah diberikannya pada orang-orang yang baik dan menempatkan beliau di dalam surganya bersama ulama-ulama salaf yang baik. Amin.

Semoga Allah selalu mencurahkan rahmatnya pada junjungan kita Nabi Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya. Amin-amin-amin Ya Rubbal Alamin.


Manaqib ini diterjemahkan
Oleh Al Faqir Ahmad Lutfi
bin Umar Bahabazy
dari karya :
( yang menulis manaqib ini )
1.) Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan.
2.) Habib Alwi bin Abi Bakria bin Bil Faqqi.

sumber : http://majeliswalisongo.wordpress.com/2010/07/25/terjemahan-manaqib-al-%E2%80%93-habib-yusuf-bin-ali-al-%E2%80%93-anqawi/

Kiai Khalil Abu Ammar, Tidak Tidur Sepanjang Malam Demi Mentelaah Kitab

Latar belakang kelahiran Nama sebenar beliau ialah Ma'sum bin Muzayyin dan berasal dari Lasem Jawa Tengah, Indonesia. Lasem dikenali sebagai Tiongkok kecil kerana merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa. Beliau dilahirkan pada awal tahun 1990an, namun tanggal kelahiran beliau tidak dapat dipastikan secara tepat. Penukaran nama kepada Muhammad Khalil adalah kerana mengambil tabarruk guru yang dikasihinya yang bernama Kiai Khalil Bengkalan yang berasal dari Pulau Madura Jawa Timur. Maka masyhurlah nama beliau di Malaya pada ketika itu dengan nama Kiai Khalil Bin Abu Ammar. Sementara ayahnya iaitu Kiyai Muzayyin, menukar nama kepada Kiai Abu Ammar selepas menunaikan haji di Mekah al-Mukarramah. Ini kerana telah menjadi adat masyarakat Jawa akan menukar nama yang baru setelah menunaikan haji. Ia juga berkemungkinan tabarruk nama panggilan baru dengan tanah suci Mekah yang penuh barakah. Pendidikan awal Beliau mula belajar di Pesantren Rembang dan kemudian berpindah ke Pesantren Pati, dan akhir sekali di Tebu Ireng Jombang Jawa Timur. Dikatakan pada awal pengajiannya, beliau selalu cuai dalam belajar. Sikap beliau tersebut sampai kepada pengetahuan bapanya, lalu beliau dipanggil pulang dan diserahkan tugas memelihara kambing ternakan. Setelah melalui tugasan tersebut, maka beliau menyedari bahawa peritnya sebagai penggembala kambing. Ekoran itu, beliau memohon kepada ayahnya untuk kembali meneruskan pembelajaran di pondok. Di Pondok Tebu Ireng , beliau telah berguru dengan Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama terkenal di Indonesia dan merupakan salah seorang pengasas Nahdhatul Ulama (NU). Di samping itu, Kiai Khalil turut berguru dengan Kiai Khalil Bengkalan/Madura, iaitu ulama yang diambil tabarruk namanya.Kiai Khalil Bengkalan/Madura merupakan guru kepada Kiai Hasyim Asy'ari sewaktu beliau belajar di daerah Madura. Namun terjadi satu peristiwa pelik di mana Kiai Khalil Bengkalan datang untuk berguru dengan bekas anak muridnya di Tebu Ireng. Puas ditolak namun Kiai Khalil Bengkalan tetap dengan pendiriannya untuk berguru dengan Kiai Hasyim Asy'ari. Akhirnya permintaannya itu dipersetujui beliau. Kiai Khalil Bengkalan/ Madura adalah seorang yang mahir dalam pelbagai ilmu, terutama dalam ilmu Nahu, Sorof, Balaghah, Fiqh dan lain-lain. Hasil perguruan ulama yang dibicarakan ini dengan Kiai Khalil Bengkalan/Madura tersebut, beliau mempunyai kemahiran yang agak luar biasa dalam ilmu nahu bahasa Arab. Antara kitab yang menjadi kebiasaan dalam kelasnya ialah kitab Alfiah. Hal ini turut diperakui sendiri oleh Sheikh Mahmud al-Bukhari, yang menyatakan bahawa kemahirannya mendatangkan syahid dalam masalah nahu Arab, sehingga digelar sebagai Khalil Imran. Menurut Ustaz Ahmad Mukhit, iaitu Mu'allim Indra Wangsa, menyatakan bahawa Kiai Khalil belajar hanya tiga tahun sahaja. Namun dalam masa tersebut beliau dikurung oleh gurunya dan menghabiskan seluruh masanya untuk mempelajari pelbagai ilmu. Dikatakan beliau tidak tidur sepanjang malam untuk mentelaah kitab-kitab sehingga menjelang Subuh. Bahkan, beliau juga dikatakan mendapat ilmu secara ladunni. Karya penulisan Kiai Khalil bin Abu Ammar juga menghasilkan karya-karya penulisan yang banyak. Boleh dikatakan hampir kesemua karya penulisan beliau adalah berasal daripada tulisan tangan beliau sendiri. Berdasarkan penemuan karya penulisan tersebut, dilihat beliau banyak menghasilkan karya-karya dalam bidang-bidang tertentu iaitu ilmu nahu bahasa Arab, ilmu Falak, ilmu Qawa'id Fiqh dan sebagainya. Kewafatan Ketika berusia lebih 70 tahun, beliau kembali ke rahmatullah pada penghujung tahun 1978 selepas menunaikan haji bersama isteri, Nyai Salbiah dan anak perempuan mereka, Hajah Sofiyyah di Mekah. Jasadnya telah disembahyangkan di hadapan Kaabah dan dikebumikan di perkuburan Ma'la.

Sumber:Utusan Malaysia, ruangan Ulama Nusantara, 15 Disember 2008

Syeikh Muhammad ldris al‑Marbawi, Penyusun Kamus al-Marbawi & Bahrul Mazi Terkenal

Syeikh Muhammad ldris bin Abdul Rauf al‑Marbawi, lebih tersohor sebagai tokoh persuratan Arab-Melayu di kalangan masyarakat Malaysia dan Nusantara. Kamus al‑Marbawi yang telah dihasilkan pada tahun 1927 telah memasyhurkan beliau sehingga ke hari ini. Biarpun usia kamus tersebut sudah hampir 80 tahun, khazanah ilmu ini terus digunakan oleh pengkaji, pelajar, dan masyarakat di Asia Tenggara.

Beliau telah dilahirkan pada tahun 1893 dan secara tepatnya pada tahun 28 Zulkaedah 1313 Hijrah di Makkah. Setelah lama berada di Makkah, keluarganya mengambil keputusan untuk kembali ke Malaysia iaitu kira‑kira pada tahun 1913.

Sejak dari kecil lagi, al‑Marbawi telah menunjukkan kemampuan akademiknya yang memberangsangkan. Ketika berusia sepuluh tahun, beliau telah menamatkan pengajian hafalan al-Quran. Sekembalinya ke tanah air beliau mendapat pendidikan di Sekolah Melayu Lubuk Merbau, Perak.

Kecenderungan ilmiah yang tertambat kukuh dalam jiwanya telah mendorong beliau menuntut ilmu di pondok‑pondok yang merupakan institusi pendidikan Islam yang terpenting di alarn Melayu ketika itu. Antaranya Pondok Syeikh Wan Muhammad di Bukit Chandan, Kuala Kangsar, Pondok Tuan Hussain Al‑Masudi, di Kedah, Pondok Syeikh Ahmad Fatani di Bukit Mertajam dan Pondok Tok Kenali di Kelantan.

Melihat kepada kemampuan akademik dan minatnya kepada ilmu Islam, ayahanda beliau mengesyorkannya agar menyambung pengajian ke timur tengah sama ada ke Mesir ataupun kembali semula ke Mekah. Bagaimanapun syor ayahandanya itu tidak menjadi prioriti al‑Marbawi ketika itu kerana beliau. ingin berumah tangga dan bekerja sebagai guru. Beliau meneruskan hasratnya untuk berkahwin dengan gadis pilihannya dan pada waktu yang sarna mematuhi kehendak bapa supaya mendalami ilmu Islam di Mesir.

Beliau sempat bertugas sebagai guru agama di Perak sebelum menyambung pengajiannya ke Universiti al‑Azhar. Di sana beliau menggondol kejayaan yang membanggakan keluarganya dan masyarakat, iaitu memperoleh ijazah tertinggi dari universiti tersebut. Sebenarnya al‑Marbawi merupakan anak kelahiran Perak yang pertama meneroka pengajian Islam di Mesir.

Sebagai angkatan pertama, yang baru mengenal suasana di sana, al-Marbawi mendapati masalah komunikasi dengan bahasa Arab menjadi masalah utama dan paling besar di kalangan anak Melayu. Bermula dari sinilah timbul idea untuk menyusun sebuah kamus Arab-Melayu dan usaha tersebut telah dimulakan secara kolektif bersama lima orang lagi rakannya. Tetapi usaha tersebut terpaksa disiapkan bersendirian lantaran penarikan diri rakan‑rakannya. Walaupun bersendirian, beliau nekad untuk menyudahkan kamus tersebut.

Keringat, keazama dan kesabaran al‑Marbawi terbalas juga apabila kamus tersebut berjaya disudahi pada tahun 1927. Kamus itu diulang cetak puluhan kali kerana sambutan yang amat menggalakkan di kalangan pelajar Asia Tenggara. Kejayaan menyusun kamus ini telah menjadi langkah pertama kepada al‑Marbawi untuk mengorak langkah seterusnya dalam. penghasilan karya Islam yang lain.

Amat perlu dinyatakan bahawa beliau sebenarnya tidak membataskan diri dan kesarjanaannya hanya dalarn bidang bahasa semata‑mata bahkan, beliau mendalami pelbagai ilmu Islam. Beliau juga menghasilkan puluhan karya dalam bidang tersebut. Ada antara karya beliau diterbitkan dan terdapat juga yang masih dalam bentuk manuskrip. Karya‑karya beliau yang dihasilkan ‑ melebihi 20 buah karya. ‑ dalam pelbagai disiplin ilmu ini membuktikan ketajaman pemikiran, kedalaman ufuk ijtihad, dan kewibawaan beliau dalam pengajian ilmu‑ilmu Islam.

Walau bagaimanapun, kemasyhurannya lebih ditonjolkan dalam dunia persuratan Arab‑Melayu berbanding kepakaran lain. Apatah lagi, beliau pernah dianugerahi ijazah Kehormatan Doktor Persuratan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1980. Pada enam tahun berikutnya beliau dinobatkan sebagai Tokoh Maal Hijrah Malaysia yang pertama iaitu pada tahun 1408 Hijrah. Kedua‑dua anugerah yang diterima ini sebagai mengenang jasa yang dituang oleh beliau dalam bidang per­suratan Arab‑Melayu dan ilmu Islam.

Selain kaum Arab-Melayu, al‑Marbawi telah menghasilkan karya yang penting dalam bidang hadis. Antara tulisan beliau dalam bidang tersebut ialah Bahrul Mazi yang merupakan ringkasan dan ulasan kepada sunan al-Tirmizi. Selain itu kitab terjemahan Sahih Bukhari, kupasan kitab Bulughul Maram dan karya berjudul Idaman Guru merupakan tulisan yang mengupas mengenai hadis‑hadis sahih Bukhari dan Muslim.

Kitab Bahrul Mazi merupakan salah satu sumbangan terpenting beliau dalam pen­gajian Hadis di Malaysia. Bahrul Mazi ialah kitab hadis bertulisan jawi terbesar dan antara yang terawal pernah wujud di alam Melayu. Karya ini amat padat dan mendalam, bahkan dikatakan telah menampung kekosongan karya asli dalam bidang ilmu hadis di rantau ini. Karya ini memuatkan ulasan dan huraian hadis dalam bentuk Fikah, aqidah, tasawuf, dan muamalat.

Kelainan dan keistimewaan kitab ini amat jelas, apatah lagi ulasan al‑Marbawi mengikut acuan dan warna masyarakat Malaysia. Karya ini memberi nafas baru kepada pemahaman hadis‑fiqh secara mendalam di samping mendidik masyarakat Malaysia tentang perhubungan intim kedua‑duanya. Hadis ialah asas kepada bidang ilmu Islam yang lain.

Al‑Marbawi juga turut menterjemahkan kitab Bulughul Maram iaitu sebuah karya hadis yang disusun berdasarkan bidang Fiqh oleh seorang tokoh hadis ternama iaitu Ibnu Hajar al‑Asqalani ke dalam bahasa Melayu. Dua karya dalarn bidang hadis berbahasa Melayu ialah antara karya yang penting, sulung, dan terbesar pernah dihasilkan oleh seorang ulama Nusantara.

Dalam bidang Tafsir al‑Quran pula, beliau telah menulis tafsir Surah Yasin, Tafsir al‑Quran al-Marbawi, Tafsir al‑Quran Nur al‑Yakin, Terjernahan Tafsir Fath al‑Qadir, Tafsir Juz Amma, Tafsir Al-Fatihah, dan sebuah karya berjudul Quran Bergantung Makna.

Selain dua bidang tersebut al‑Marbawi juga telah menghasilkan tulisannya dalam bidang Fiqh, aqidah, dan Falsafah. Antara tulisan beliau ialah kitab Asas Islam, Kitab Nizam alHayah, Kitab Pati Hukum‑hukum Ibadah, Kitab Usul Islam Pada Membicarakan Mengambil Air Sembahyang, sebuah ensiklopedia yang dinamakan sebagai Kamus Segala Ilmu, Karya berjudul Punca Agama, Perbendaharaan Ilmu, dan banyak lagi.

Terdapat banyak lagi tulisan beliau dalam bentuk manuskrip yang belum sampai kepada kita. Keperibadian, kewibawaan, dan kesarjanaan al‑Marbawi telah menjadikan beliau salah seorang tokoh Islam yang ulung di Rantau ini. Walaupun sebahagian besar usia dan masanya dihabiskan di luar negara tetapi jasa beliau kepada anak bangsa tidak ternilai besarnya.

Sepanjang hayatnya, al‑Marbawi membuktikan betapa perlunya seseorang anak bangsa memberikan sumbangannya kepada bangsa, agama, dan negaranya. Beliau telah mengabdikan dirinya sebagai seorang penulis Ilmu Islam yang tidak pernah mengenal erti kerehatan.

Pada tanggal 13 Oktober 1989 bersamaan 13 Rabiulawal 1409 Hijrah, al‑Marbawi menghem­buskan nafasnya yang terakhir di Hospital Besar Ipoh pada jam 8.40 pagi. Pemergiannya pada usia 96 tahun itu semestinya di samping anak cucu tercinta. Jenazahnya telah disemadikan di pusara Kampung Lubuk Merbau, kampung keluarganya.

Semoga Allah merahmati rohnya.

Sumber:
Dewan Agama, Jun 2004