Sabtu, 19 November 2011
MENGENANG AL MAGHFURLAH KH. MOCH. MASRURI ABDUL MUGHNI
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah, Romo KH. Masruri Abd. Mughni (Rois Syuriyah PWNU JAWA TENGAH / Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 Benda, Sirampog, Brebes di Madinah Sabtu,19 November 2011 pkl. 23.30an. Allahumagfirlahu warhamhu wa'afihi wa`fuanhu, semoga Allah SWT meridhoinya dan menempatkan arwahnya bersama Nabi SAW, ambiya, Syuhada wa sholihin... Alfatehah... Aamiin ya Robbal 'alamin.
KH. Moch. Masruri Abdul Mughni yang akrab disapa Abah Masruri merupakan sosok Ulama alim, murah senyum, pembawaannya luwes, bijaksana, dan mampu mengatasi masalah.
Sejak kecilnya, Beliau telah dikenal memiliki jiwa kepemimpinan dan selalu dituakan di desa Benda. KH. Moch.Masruri Abdul Mughni di lahirkan di Desa Benda pada tanggal 23 Juli tahun 1943.
Beliau adalah putra pertama dari 2 (dua) bersaudara buah hati pasangan H. Abdul Mughni dengan Hj. Maryam, Beliau adalah cucu dari KH. Kholil bin Mahalli, salah seorang Muassis Pondok Pesantren Al Hikmah.
Pada tahun 1965, di usia yang ke 22 tahun KH. Moch. Masruri Abdul Mughni telah menikah dengan Hj. Adzkyah binti KH. Cholil yang waktu itu berusia 18 tahun. Dari hasil pernikahan tersebut Abah Masruri dikaruniai sembilan orang putra, dan tujuh orang putri . Pada tahun 1996 , di usia yang ke 48 tahun istri Abah Hj. Adzkyah meninggal dunia karena menderita sakit.
Atas petunjuk dan do’a restu beberapa para kyai pada tahun 1999 Abah menikah dengan Hj. Musdalifah bin Anas, dari hasil pernikahan yang kedua ini Abah dikaruniai dua orang putra, dan dua orang putri
PENDIDIKAN
Semenjak kecilnya, KH. Moch. Masruri Abdul Mughni telah mulai belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Al Hikmah yang dikala itu diasuh oleh kakeknya sendiri yakni KH. Kholil bin Mahali di bantu oleh KH. Suha emi bin Abdul Ghoni (putra kakak KH.Cholil).
Pada tahun 1957 sampai dengan tahun 1959 KH. Moch. Masruri Abdul Mughni belajar mengaji dan memperdalam ilmu keagamaan pada KH. Sayuti dan KH. Bisri di Pondok Pesantren Tasik Agung Rembang, merasa sudah cukup belajar mengaji dan memperdalam ilmu keagamaan di Pondok Pesantren Tasik Agung Rembang maka pada tahun 1959 KH. Masruri Abdul Mughni hijrah ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang Jawa Timur hingga tahun 1965.
Selain nyantri di beberapa Pondok Pesantren tersebut , KH. Moch. Masruri Abdul Mughni juga aktif tabarukan di beberapa Pondok Pesantren di Indonesia, diantaranya adalah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Karier
Selain belajar mengaji dan memperdalam ilmu keagamaan sejak kecil hingga sekarang KH. Moch. Masruri Abdul Mughni juga dikenal aktif dalam berorganisasi , diantara kiprah organisasi Beliau adalah :
- Pandu Ansor;
- Kepengurusan IPNU, pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1965;
- Pengurus NU dari mulai Tingkat Ranting hingga PWNU, dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1984;
- Sebagai Rois Jawa Tengah, sejak tahun 1984 selama 4 (empat) periode berturut-turut
- Rois Syuriah wilayah Jawa Tengah, sejak tahun 2003 sampai saat ini.
KH. Nawawi Abdul Aziz
KH. Nawawi Abdul Aziz lahir pada tahun 1925. Beliau merupakan putra kedua dari Al Maghfurlah KH. Abdul Aziz, seorang petani yang tinggal di pelosok desa di daerah Kawedanan yang terkenal yaitu Kutoarjo tepatnya di desa Tulusrejo Grabag Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah.
Karir keilmuan Beliau dirintis sejak beliau berumur tujuh tahun. Hari-hari beliau selalu dihiasi dengan berbagai kegiatan Tholabul ‘ilmi. Pagi hari Beliau belajar di Sekolah Dasar ( SR-red ) dan sorenya Beliau mengikuti Madrasah Diniyah Al Islam Jono. Sedangkan pada malam hari, Beliau mengaji Al Qur’an kepada sang Ayah dan juga beberapa disiplin ilmu seperti Ilmu Fiqh dan Ushuluddin.
Setelah Beliau berumur 13 tahun, Beliau meneruskan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah untuk mengaji Ilmu Alat kepada Al Maghfurlah KH. Anshori selama 4 tahun. Kemudian setelah dirasa cukup, Beliau ditarik oleh Orang tua Beliau untuk selanjutnya diantar bersama kakak ke Pondok Pesantren Tugung Banyuwangi di bawah asuhan Al Maghfurlah KH. Abbas yang pada saat itu Indonesia masih dijajah oleh Jepang.
Setelah beberapa tahun menimba ilmu di sana, seperti Pemuda yang lainnya, Beliau merasa ingin sekali pulang ke kampung halaman sekedar melepaskan rasa rindu kepada keluarga. Untuk itulah, dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangakan, beliau pulang ke Kutoarjo. Tetapi bak pepatah, “ untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak ”, sebelum Beliau sempat kembali ke Pondok, serdadu Belanda dengan membonceng tentara Inggris mendarat di Surabaya dan menjarah Jawa TImur. Maka pupuslah harapan untuk kembali ke Pondok dan terpisahlah Beliau dengan Kakak yang masih di Banyuwangi.
Keadaan telah berubah, seluruh kitab yang dimiliki Beliau tertinggal di Banyuwangi. Tetapi hal tersebut tidak membuat Beliau patah semangat bahkan sebaliknya, Beliau semakin semangat dalam menuntut ilmu yang Beliau wujudkan dengan kembali mondok untuk menghafalkan Al Qur’an ke sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta tepatnya di Pondok Krapyak yang didirikan oleh Al Maghfurlah KH. Munawwir yang pada saat itu diasuh oleh Al Maghfurlah KH. R Abdul Qodir Munawwir. Nasehat, tausiah dan irsyad dari Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir M Beliau ikuti dan patuhi dengan ikhlas dan tekun, sehingga dalam waktu tiga bulan, Beliau berhasil menghafal tujuh juz setengah dengan hafalan yang sangat baik. Disaat Beliau sedang menikmati dan melatih keistiqomahan diri dalam menghafal dan menjaga Al Qur’an, tanpa diduga terdengar berondongan peluru mitraliur yang menghujani langit Yogyakarta yang disertai dengan diterjunkannya pasukan Belanda di lapangan terbang Maguo ( kini Adisucipto ) sebagai tanda dimulainya class kedua ( duurstuud ). Hari itu pula Beliau dan ketujuh orang temannya pulang ke kampung halaman ( Kutoarjo ) dengan berjalan kaki. Di rumah, Beliau tetap menjaga hafalan Al Qur’an yang telah didapat dan menambah hafalan walaupun harus ikut serta membantu para gerilyawan.
Setelah Yogayakarta aman kembali ( sekitar enam bulan ), Beliau kembali ke Krapyak untuk melajutkan tekatnya. Dengan berkat rahmat dari Allah SWT disertai dengan anugrah keistiqomahan yang Beliau miliki, Beliau mampu menyelesaikan hafalan dalam 15 bulan dengan hasil yang sangat memuaskan sehingga wajar saja jika Guru Beliau sangat menyayangi Beliau, bahkan sebagai puncak dari kasih sayang tersebut, Beliau diamanahi untuk menikahi adik sang Guru ( Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir Munawwir ) yang bernama Ibu Nyai Hj. Walidah Munawwir ( putri dari Al Maghfurlah KH Munawwir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta ).
Pengembaraan beliau tidak berhenti sampai di sini, setelah mendapat restu dari sang Guru sekaligus Kakak, pada hari ketujuh puluh dari hari kelahiran putra pertamanya, Beliau berangkat ke Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur'an Kudus untuk mengaji Al Qur’an dengan Qiroah As Sab’ah kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin. Pada tahun 1955 M beliau berhasil menyelesaikan pelajaran dengan baik dan menerima Syahadah/Ijazah khatam mengaji Qiro’ah As Sab’ah secara hafalan kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin Kudus.
Setelah selesai belajar di Kudus, Beliau memutuskan untuk kembali ke Kutoarjo untuk mengajarkan ilmu yang pernah didapat dan juga untuk membantu Orang tua yang telah menapaki usia senja. Di sana Beliau membuka pengajian Al Qur’an dan Madrasah Ibtidaiyah kelas I yang hanya dibantu oleh seorang tenaga pengajar sekaligus sebagai pengurusnya. Keterbatasan pengajar, tidaklah menjadi halangan bagi Beliau untuk berjuang dalam menyebarkan ilmu Agama. Beliau mensiasatinya dengan mengkader semua siswa sehingga siswa-siswi yang duduk di kelas IV sudah mampu untuk mengajar adik-adik kelas satu dan dua.
KH.R Abdul Qodir Munawwir pemegang tampuk kepemimpinan Pondok Krapyak wafat, yang kemudian digantikan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir . Pada saat itulah Beliau ( KH. Nawawi Abdul Aziz ) dipanggil untuk membantu mengajarkan Al Qur’an di Pondok Pesantren Krapyak, Bersama dengan Al Maghfurlah KH. Mufid Mas’ud ( Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran ) dan Al Maghfurlah KH. Ali Ma’sum. Pembagian tugas dilakukan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir sebagai pengasuh utama, KH. Ali Ma’sum bertanggungjawab atas pengajaran kitab sedangkan Beliau dan KH. Mufid Mas’ud memegang pengajaran Al Qur’an.
Setelah dua tahun tinggal di Krapyak, timbullah keinginan untuk pindah ke Dusun Ngrukem guna lebih dekat dari tempat Beliau berkerja sebagai Ketua Hakim Pengadilan Agama Bantul dan juga didorong oleh keinginan untuk mendirikan Pondok Pesantren sendiri, dan berkat Ridlo dari Allah SWT, beliau mampu mewujudka cita-cita Beliau untuk membangun Pondok Pesantren yang sampai saat ini masih eksis berdiri. Sekarang umur beliau telah mencapai 83 tahun dan telah dikaruniai 11 putra/putri dan 49 cucu serta 1 buyut, walaupun demikian Allah SWT masih meberikan nikmat sehat yang begitu besar sehingga di usianya yang senja Beliau masih kuat dalam membimbing sekitar 700 santri untuk mencapai derajat yang mulia secara langsung. Allahumma thowwil ‘umrohu wa shohhih jasadahu linantafi’a bi’ulumihi wa hikamihi. Amin.
Sumber:http://pptahfidzannur.blogspot.com/2010/08/profil-kh-nawawi-abdul-aziz_12.html
K.H ALI SHODIQ UMMAN (Pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien Ngunut Tulungagung)
ALI SHODIQ,demikian nama aslinya,lahir sekitar tahun 1929 m di gentengan link IV Ngunut,sebuah kota industri yang berada di sebelah timur dan termasuk wilayah Tulungagung,di mana masyarakat Ngunut waktu itu sangat minim pengetahuan agamanya atau boleh di katangan abangan, ayahnya pak uman adalah kurir dokar yang sederhana dan taat beribadah,dan ibunya ibu marci,pasangan suami istri yang datang dari Leran kec Manyar kab Gresik ini sangat mendambakan seorang anak yang 'alim 'allamah dalam masalah agama,Sehingga pak uman sangat senang dan hormat kepada kiyai dan santri-santri,setiap santri yang menumpang dokar beliau,beliau siap mengantar kemana santri itu pergi tanpa memungut upah darinya.
DI ASUH PAMAN DARI IBU
ALI SHODIQ adalah anak ke 7 dari 18 bersaudara,namun yang hidup hingga dewasa adalah 10 orang,masing-masing adalah INTIAMAH, M. SYARIF, MARKATAM, ABDUL SYUKUR, ABDUL GHONI, UMI SULKAH, ALI SHODIQ, AMINI, KHOIRUL ANAM dan MARZUKI, sedangkan yang 8 wafat ketika masih kecil sehingga tidak jelas namanya. Sejak umur sepasar (lima hari) beliau di asuh paman beliau,pak tabut yang masih adik ibu marci,seorang pedanggang batik dan pemborong palawija yang cukup mapan perekonomiannya,beliau tinggal bersama istrinya ibu urip dari olak alung ngunut yang konon daerah ini merupakan daerah basis pki tepatnya di jln raya 1no 34 ngunut yang sekarang menjadi
PONDOK PESANTREN HIDAYATUL MUBTADIIEN
Beliau sangat di sanyang oleh bpk Tabut dan istrinya ibu Urip,yang tidak di karuniai seorang anakpun. Dalam momongan pak tabut ALI SHODIQ kecil hidup dalam kecukupan,segala keinginan terpenuhi, sejak itu pula beliau sangat suka dengan kuda, namun di balik itu semua beliau yang masih muda merasa prihatin dengan keadaan/kondisi masyarakat Ngunut yang dalam pola hidupnya jauh dari nilai-nilai agama. Hingga sejak kecil beliau mulai belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur'an dan cara-cara beribadah kepada bpk Mahbub di Kauman, Ngunut.
Setelah menamatkan sekolah rakyat,beliau mulai melanglang dari satu pesantren ke pesantren lainnya selama 26 tahun. Di awali dari pondok krapyak Yogyakarta,beliau di sini tidak begitu lama,kemudian beliau nyantri di pondok Jampes yang waktu itu di asuh oleh K.H. IHSAN DAHLAN, seorang 'ulama ahli tasawuf pengarang kitab SHIROJUT THOLIBIN, sebuah syarah dari kitab MINHAJUL 'ABIDIN karya IMAM GHOZALI, di mana sampai sekarang kitab tersebut populer di kalangan pesantren, bahkan menjadi literatur wajib di universitas al-Azhar Mesir.
Sepeninggal kyai ihsan beliau pindah ke pondok Lirboyo Kediri,untuk bulan puasa beliau sering mondok di Treteg Pare Kediri yg di asuh oleh K.H JUWAINI dan pernah juga ke Mojosari Nganjuk asuhan K.H ZAINUDDIN ,juga pernah tabarukan ke pondok Tebu ireng Jombang asuhan K.H H ASYIM ASY'ARI dan pada K.H MA'RUF Kedonglo Kediri.
Sewaktu beliau masih mondok di jampes kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau mbah Urip untuk mendirikan sebuah langgar kecil yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PONDOK PESANTREN HIDAYATUL MUBTADIIEN.
DARI LIRBOYO KE PELAMINAN
Menurut K.H IHSAN (pengasuh ponpes abul faidl bakalan wonodadi blitar) setelah K.H IHSAN jampes wafat sekitar tahun 1952,K.H ALI SHODIQ UMMAN pindah ke ponpes Lirboyo yang waktu itu masih di asuh oleh K.H ABDUL KARIM, di waktu beliau mondok di sinilah,a da peristiwa yang penting yakni sekitar tahun 1958, ada seorang kyai dari Mbaran Kediri, yakni K.H UMAR SUFYAN yang menghendaki beliau sebagai menantu untuk di jodohkan dengan putri beliau yang bernama H AULIYAH (setelah ibadah haji di ganti menjadi HJ.SITI FATIMATUZZAHRO') yang waktu itu masih berumur 7 tahun. Akad nikahpun di laksanakan dengan sederhana namun cukup meriah, hari bahagia nan penuh berkah,akad nikah seorang kyai dengan putri seorang kyai berlangsung jua,dengan di antar beberapa santri Lirboyo,beliau berangkat dari ponpes lirboyo menuju baran ke mertua beliau.
SANTRI YANG TEKUN
Di mata kawan sesama santri K.H ALI SHODIQ muda di kenal sebagai santri yang tekun cerdas dan sangat ta'dhim (hormat) kepada guru-guru beliau,Hingga beliau menjadi kiyai kharismatik di wilayah tulungagung beliau masih ta'dhim kepada dzuhrriyah-dzuhrriyahnya. Walopun mereka sudah berada di alam kubur,bahkan ketika sowan ziyaroh ke makam guru-guru beliau melepas sandal dan berjalan dengan jongkok,setiap beliau mbalah (mengaji kitab) selalu mencari waktu yang tidak bersamaan dengan qori' atau pengkaji yang lain,yaitu di atas jam 12:00 malam yang biasa bertempat di panggung lama atau di AL-IKHWAN karena biasanya beliau banyak di minati santri,akhirnya para qori' yang lain sepi dari pengikut jika di lakukan bersamaan.
Beliau juga di kenal sebagai AHLI TAHQIQ, sebab setiap mau mbalah jika belum memahami apa yang akan di kaji beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampe faham betul terhadap hal yang akan di kaji oleh beliau tersebut, juga beliau sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya selalu baru,menurut pak ghufron(salah seorang teman sekaligus santri beliau) ketekunan beliau sulit di gambarkan sehingga tidak pernah di ketahui kapan beliau tidur seakan-akan waktu hanya di curahkan untuk mathala'ah yang bahkan beliau sering ketiduran dalam keadaan mathala'ah atau belajar,beliau juga menyoroki (mengajar menmbaca) al-qur'an para santri yang bertempat di kamar beliau pada waktu setelah jama'ah magrib sampe lonceng sekolah berbunyi.
Hari-hari senantiasa di lewati dengan berpuasa dan beliau juga seorang qona'ah terbukti dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang di sajikan oleh juru masak beliau,sampe-sampe dalam sehari-seharinya beliau memakai bengkungan di perut yang sangat kencang di karenakan sedikitnya makan walopun menurut beliau sering juga di beri uang saku oleh keluarga padahal uang saku bulan sebelumnya belum habis,satu hal lagi yang menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ilmi adalah walopun beliau sudah meningkah beliau tetap mukim di PONPES LIRBOYO kediri,sebab di samping untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran beliau masih di perlukan di sana,Hanya saja kalau memasuki BULAN ROMADLON beliau mengadakan pengajian pasan di mbaran kediri,rumah mertua beliau.
Sekitar tahun 1958 pengajian pasan pertama yang di adakan di mbaran di ikuti oleh 7 orang santri lirboyo dan pada tahun berikutnya di ikuti oleh 40 santri,hal ini berlangsung selama beberapa tahun hingga tahun 1966,Selama itu beliau telah menamatkan kitab SIROJUT THOLIBIN karya K.H IHSAN JAMPES yang menjadi guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning ,karya ulama terkenal lainya. Bahkan pernah membaca kitab MUHADZDZAB khatamnya sudah pada tgl 1 syawal pukul 01 siang.
MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN
Pada tahun 1967 K.H ALI SHODIQ UMMAN dengan berat hati pindah ke ngunut meninggalkan mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di lirboyo yakni K.H MARZUQI DAHLAN dan K.H MAHRUS ALI untuk mengembangkan ilmu beliau dan mendidik masyarakat ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran islam(abangan). Pada masa perintisan aktivitas dakwah beliau di pusatkan di sebuah langgar kecil yang telah di dirikan pak tabut,juga ikut mengajar di PGA Ngunut (sekarang SMP 1 Ngunut).
Tantangan dan rintangan datang silih berganti terutama dari masyerakat sekitar yang masih buta agama,Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik / rohani(jengges/santet) tak henti-henti,tetapi dengan penuh kesabaran beliau tetap menyiarkan AGAMA ALLAH. Bukti kesabaran beliau terlintas dalam sebuah kejadian,pada saat pondok mengadakan sebuah acara yang di hadiri oleh K.H MAHRUS ALI lirboyo,pada saat itu beliau (K.H MAHRUS ALI) berkenan ke kamar kecil,beliau melihat masyarakat di sekitarnya melakukan kegiatan yang mengganggu acara tersebut dan pengajian rutin yang di selenggarakan setiap hari,K.H MAHRUS ALI berkata"mbok di hizib nashor wae,ben ndang bar" lalu K.H ALI SHODIQ menjawab "ingkang kawulo rantos anak putu nipun" Dengan di ikuti 50 santri dari lirboyo pengajian pasan pertama di laksanakan dengan penuh hidmah,Hingga 4 tahun kemudian beliau berhasil menamatkan kitab 'IHYA ULUMUDDIN karya HUJJATUL ISLAM IMAM GHOZALI.
Pada bulan syawal tahun yang sama pengajian sistem klasikal dan non klasikal mulai di terapakna walopun dengan materi pelajaran yang masih sederhana sesuai dengan kemampuan santri yang ada,pada tahun berikutnya jumlah santri bertambah,terutama santri senior lirboyo dan dari daerah ngunut dan sekitarnya,sehingga K.H ALI SHODIQ menetapkan TGL 01 JANUARI 1967 bertepatan dengan TGL 21 ROJAB 1368 sebagai hari berdirinya PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN sebuah nama yang di ambil dari ponpes lirboyo dengan niat TAFA'ULAN(ngalap ketularan).sejak saat itulah sistem pendidikan di PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN mulai di tata dan bisa berjalan sampai sekarang.
Untuk mempermudah penyampean materi dan untuk menertipkan pengorganisasian jenjang pendidikan PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN di bagi menjadi dua tingkatan,IBTIDA'IYAH dan TSANAWIYAH. Waktu pun terus berjalan,zaman semakin berkembang,iptek semakin canggih namun di lain fihak dengan perkembangan ini timbul pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakt,untuk itu di butuhkan deneresi ISLAM yangintelek dan berwawasan luas sehingga KH ALI SHODIQ UMMAN di samping mengembangkan lembaga pendidikan yang sudah ada,yaitu PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN putra dan putri murni mempelajari kitab kuning,beliau juga mendirikan pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal SDI SUNAN GIRI,PONPES PUTRA SUNAN GUNUNG JATI,PONPES PUTRI SUNAN PANDAN ARAN yang menampung santri yang belajar di smpi dan smui sunan gunung jati. Langkah yang di ambil K.H ALI SHODIQ UMMAN mendapat smbutan hangat dari masyarakat,terbukti banyak masyarakat yang menyekolahkan dan memondokkan putra putrinya di lembaga yang di asuh oleh beliau.Dan untuk mempermudah pengelolaan lembaga tersebut pada TGL 03 DESEMBER 1992 atas inisiatif K.H ALI SHODIQ UMMAN di bentuklah YAYASAN SUNAN GIRI yang terdaftar di kantor pengadilan negri tulungagung denga nomor 14/X/92/PN/TA.
Begitulah perjuangan beliau yang tak kenal lelah guna mempersiapkangenerasi islam yang menghadapi tantangan zaman.bukan hanya pendidikan saja yang K.H ALI SHODIQ UMMAN perhatikan,dalam tuntunan hidup sehari-hari beliau sering memberikan mau'idzoh hasanah dengan tutur bahasa yang khas"CHO NENG NGENDI WAE AWAKMU MANGGONOJO LALI KARO PESENKU,
AKHLAQUL KARIMAH,
PINTER-PINTER NDELEHNO AWAK,
NGEKEH-NGEKEHNO BALI MARI ALLAH
Beliau sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya,setiap pagi beliau dengan halus membangunkan santri-santinya dari satu kamar ke kamar lainnya untuk jama'ak shubuh,karena beliau dalam membina santri-santrinya sangat menekankan sholat jama'ah.
JAMA'AH DENGAN DI PAPAH
Setelah menunaikan ibadah haji yang ke tiga kali,tahun 1997 kondisi kesehatan K.H ALI SHODIQ UMMAN sering terganggu,maklum usia beliau mulai beranjak sepuh. Sementara tugas sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu,tenaga dan fikiran beliau.Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kiyai mulai menurun,sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya sehingga untuk menjalankan tugas sehari-harinya,memberi pengajian,menjadi imam jama'ah beliau harus di papah oleh satu ato dua orang santri. Akan tetapi berkat kesabaran K.H ALI SHODIQ UMMAN hari-hari beliau yang panjang itu di lalui dengan tabah,malahan beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban.
SABTU KELABU
Pada hari jum'at 23 JULI 1999 K.H ALI SHODIQ UMMAN jatuh sakit dan kemudian di bawa ke RSI ORPEHA tulungagung,beliau di rawat di pavilium arafat,perawatan intensif terus menerus di lakukan,namun keadaan pun tak semakin membaik,akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran dari pihak kedokteran RSI ORPEHA ,pada hari RABU 10 AGUSTUS 1999,beliau di bawa RS DARMO surabaya. Selama 4 hari beliau menjalani opname di surabaya,namun kondisi beliau tak kunjung membaik,bahkan harapan untuk kesembuhan kian tipis,hingga pada hari SABTU 14 AGUSTUS 1999 pukul 10.00 BBWI (pagi) rupanya ALLAH SWT,telah menggariskan untuk memanggil K.H ALI SHODIQ UMMAN ,sehingga di pagi yang cerah itu dengan KHUSNUL KHOTIMAH beliau kembali ke hadiratnya,INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN. Beliau wafat pada usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang istri(yang pada akhirnya 7 bulan kemudian menyusul),9 putra putri (6 pitra dan 3 putri),serta 12 cucu laki-laki dan perempuan. Berita wafatnya K.H ALI SHODIQ UMMAN di terima keluarga di ngunut jam 11.00 pagi lewat telfon dan 30 menit kemudian orang-orang yang melayat mulai berdatangan,mereka menggu kedatangan jenazah K.H ALI SHODIQ UMMAN sambil berdzikir,jenazah tiba di ngunut pukul 16.00 BBWI. Keesokan harinya (ahad) pukul 10.00 BBWI setelah di lakukan sholat janazh sebanyak 47 kali,lalu jenazah beliau di makamkan di makam keluarga di sebelah barat MASJID SUNAN GUNUNG JATI,sampai di liang lahat jenazah beliau di sambut oleh menantu beliau K.H DARORI MUKMIN, K.H MAHRUS MARYANI, dengan di sertai putra beliau KH AGUS BADRUL HUDA ALI, K.H AGUS IBNU SHODIQ ALI, K.H ADIB MINANURROHMAN ALI, AGUS MINANURROHIM ALI.
Beliau pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya,menggoreskan kenangan,meninggalkan sebongkah jasa untuk kita,beliau menuju alam damai dan abadi, SEMOGA ALLAH SELALU MERIDLOI BELIAU DAN MELAPANGKAN KUBUR BELIAU...AMIN..
BEBERAPA KEISTIMEWAAN K.H ALI SHODIQ UMMAN
Pada waktu MBAH KYAI ALI SHODIQ menjadi kepala pondok LIRBOYO,saat ada acara rapat umum tahun ajaran baru bertepat di serambi,sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah bila semua santri berkumpul calam satu majlis suasana ramai dan ricuh,pada waktu itu pengurus memberi arahan/membacakan peraturan-peraturan pondok pada santri baru,para santri bersorak-sorai,ramai dan sangat ricuh,setelah itu MBAH KYAI melewati sebelah barat santri yang ramai,para santri seketika terdiam. MBAH KYAI ALI SHODIQ seorang pencak yang sangat mumpuni,beliau salah satu murid kesanyangan dan andalan MBAH KYAI ALI SHODIQ BAHRI TANEN. MBAH KYAI ALI SHODIQ seorang yang sangat sakti / jaduk,tapi beliau sangat pandai dan rapat dalam menutupi dan menyimpan hal tersebut.
Ada cerita bersumber langsung dari MBAH KYAI ALI SHODIQ yang dawuh pada salah satu momongan beliau"MBAH KYAI baru saja pindah pondok dari jampes ke lirboyo,pada waktu itu ada kekosongan,mustahiq kelas III tsanawiyah (jauhar maknun),sebelumnya beliau bermimpi di ajak oleh K.H MARZUKI DAHLAN tetapi dawuhe MBAH KYAI terbangnya K.H MARZUKI selalu di atas MBAH KYAI,sampai-sampai K.H MARZUKI tidak kelihatan dan MBAH KYAI selalu di bawahnya,pada akhirnya MBAH KYAI di utus menjadi mustahiq kelas III tsnawiyah,padahal beliau mengaku belum pernah belajar dan mengaji JAUHAR MAKNUN,berkat kelimpatan,ketekunan dan rasa tawadlu' beliau terhadap guru,pada akhirnya beliau dapat menjadi mustahiq kelas III tsanawiyah tersebut,yang di antara santri kelas itu putra K.H MARZUKI yakni AGUS IDRIS MARZUKI." Setiap MBAH KYAI tidur sore beliau pesan agar di bangunkan pada waktu jama'ah atau waktu mengaji,kepada salah seorang khodim dekat beliau dengan memakai 1 jari dengan 3 ketukan ringan,dan setiap jari tangan menyentuh kaki atau tangan beliau,beliau langsung memukul apa saja yang ada di dekatnya,sampai-sampai dinding kamar kan roboh. Begitulah haliyah K.H ALI SHODIQ UMMAN yang tidak di miliki oleh orang lain.
Sumber:http://santripegon.blogspot.com/2011/08/biografi-kh-ali-shodiq-umman.html
DI ASUH PAMAN DARI IBU
ALI SHODIQ adalah anak ke 7 dari 18 bersaudara,namun yang hidup hingga dewasa adalah 10 orang,masing-masing adalah INTIAMAH, M. SYARIF, MARKATAM, ABDUL SYUKUR, ABDUL GHONI, UMI SULKAH, ALI SHODIQ, AMINI, KHOIRUL ANAM dan MARZUKI, sedangkan yang 8 wafat ketika masih kecil sehingga tidak jelas namanya. Sejak umur sepasar (lima hari) beliau di asuh paman beliau,pak tabut yang masih adik ibu marci,seorang pedanggang batik dan pemborong palawija yang cukup mapan perekonomiannya,beliau tinggal bersama istrinya ibu urip dari olak alung ngunut yang konon daerah ini merupakan daerah basis pki tepatnya di jln raya 1no 34 ngunut yang sekarang menjadi
PONDOK PESANTREN HIDAYATUL MUBTADIIEN
Beliau sangat di sanyang oleh bpk Tabut dan istrinya ibu Urip,yang tidak di karuniai seorang anakpun. Dalam momongan pak tabut ALI SHODIQ kecil hidup dalam kecukupan,segala keinginan terpenuhi, sejak itu pula beliau sangat suka dengan kuda, namun di balik itu semua beliau yang masih muda merasa prihatin dengan keadaan/kondisi masyarakat Ngunut yang dalam pola hidupnya jauh dari nilai-nilai agama. Hingga sejak kecil beliau mulai belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur'an dan cara-cara beribadah kepada bpk Mahbub di Kauman, Ngunut.
Setelah menamatkan sekolah rakyat,beliau mulai melanglang dari satu pesantren ke pesantren lainnya selama 26 tahun. Di awali dari pondok krapyak Yogyakarta,beliau di sini tidak begitu lama,kemudian beliau nyantri di pondok Jampes yang waktu itu di asuh oleh K.H. IHSAN DAHLAN, seorang 'ulama ahli tasawuf pengarang kitab SHIROJUT THOLIBIN, sebuah syarah dari kitab MINHAJUL 'ABIDIN karya IMAM GHOZALI, di mana sampai sekarang kitab tersebut populer di kalangan pesantren, bahkan menjadi literatur wajib di universitas al-Azhar Mesir.
Sepeninggal kyai ihsan beliau pindah ke pondok Lirboyo Kediri,untuk bulan puasa beliau sering mondok di Treteg Pare Kediri yg di asuh oleh K.H JUWAINI dan pernah juga ke Mojosari Nganjuk asuhan K.H ZAINUDDIN ,juga pernah tabarukan ke pondok Tebu ireng Jombang asuhan K.H H ASYIM ASY'ARI dan pada K.H MA'RUF Kedonglo Kediri.
Sewaktu beliau masih mondok di jampes kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau mbah Urip untuk mendirikan sebuah langgar kecil yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PONDOK PESANTREN HIDAYATUL MUBTADIIEN.
DARI LIRBOYO KE PELAMINAN
Menurut K.H IHSAN (pengasuh ponpes abul faidl bakalan wonodadi blitar) setelah K.H IHSAN jampes wafat sekitar tahun 1952,K.H ALI SHODIQ UMMAN pindah ke ponpes Lirboyo yang waktu itu masih di asuh oleh K.H ABDUL KARIM, di waktu beliau mondok di sinilah,a da peristiwa yang penting yakni sekitar tahun 1958, ada seorang kyai dari Mbaran Kediri, yakni K.H UMAR SUFYAN yang menghendaki beliau sebagai menantu untuk di jodohkan dengan putri beliau yang bernama H AULIYAH (setelah ibadah haji di ganti menjadi HJ.SITI FATIMATUZZAHRO') yang waktu itu masih berumur 7 tahun. Akad nikahpun di laksanakan dengan sederhana namun cukup meriah, hari bahagia nan penuh berkah,akad nikah seorang kyai dengan putri seorang kyai berlangsung jua,dengan di antar beberapa santri Lirboyo,beliau berangkat dari ponpes lirboyo menuju baran ke mertua beliau.
SANTRI YANG TEKUN
Di mata kawan sesama santri K.H ALI SHODIQ muda di kenal sebagai santri yang tekun cerdas dan sangat ta'dhim (hormat) kepada guru-guru beliau,Hingga beliau menjadi kiyai kharismatik di wilayah tulungagung beliau masih ta'dhim kepada dzuhrriyah-dzuhrriyahnya. Walopun mereka sudah berada di alam kubur,bahkan ketika sowan ziyaroh ke makam guru-guru beliau melepas sandal dan berjalan dengan jongkok,setiap beliau mbalah (mengaji kitab) selalu mencari waktu yang tidak bersamaan dengan qori' atau pengkaji yang lain,yaitu di atas jam 12:00 malam yang biasa bertempat di panggung lama atau di AL-IKHWAN karena biasanya beliau banyak di minati santri,akhirnya para qori' yang lain sepi dari pengikut jika di lakukan bersamaan.
Beliau juga di kenal sebagai AHLI TAHQIQ, sebab setiap mau mbalah jika belum memahami apa yang akan di kaji beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampe faham betul terhadap hal yang akan di kaji oleh beliau tersebut, juga beliau sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya selalu baru,menurut pak ghufron(salah seorang teman sekaligus santri beliau) ketekunan beliau sulit di gambarkan sehingga tidak pernah di ketahui kapan beliau tidur seakan-akan waktu hanya di curahkan untuk mathala'ah yang bahkan beliau sering ketiduran dalam keadaan mathala'ah atau belajar,beliau juga menyoroki (mengajar menmbaca) al-qur'an para santri yang bertempat di kamar beliau pada waktu setelah jama'ah magrib sampe lonceng sekolah berbunyi.
Hari-hari senantiasa di lewati dengan berpuasa dan beliau juga seorang qona'ah terbukti dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang di sajikan oleh juru masak beliau,sampe-sampe dalam sehari-seharinya beliau memakai bengkungan di perut yang sangat kencang di karenakan sedikitnya makan walopun menurut beliau sering juga di beri uang saku oleh keluarga padahal uang saku bulan sebelumnya belum habis,satu hal lagi yang menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ilmi adalah walopun beliau sudah meningkah beliau tetap mukim di PONPES LIRBOYO kediri,sebab di samping untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran beliau masih di perlukan di sana,Hanya saja kalau memasuki BULAN ROMADLON beliau mengadakan pengajian pasan di mbaran kediri,rumah mertua beliau.
Sekitar tahun 1958 pengajian pasan pertama yang di adakan di mbaran di ikuti oleh 7 orang santri lirboyo dan pada tahun berikutnya di ikuti oleh 40 santri,hal ini berlangsung selama beberapa tahun hingga tahun 1966,Selama itu beliau telah menamatkan kitab SIROJUT THOLIBIN karya K.H IHSAN JAMPES yang menjadi guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning ,karya ulama terkenal lainya. Bahkan pernah membaca kitab MUHADZDZAB khatamnya sudah pada tgl 1 syawal pukul 01 siang.
MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN
Pada tahun 1967 K.H ALI SHODIQ UMMAN dengan berat hati pindah ke ngunut meninggalkan mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di lirboyo yakni K.H MARZUQI DAHLAN dan K.H MAHRUS ALI untuk mengembangkan ilmu beliau dan mendidik masyarakat ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran islam(abangan). Pada masa perintisan aktivitas dakwah beliau di pusatkan di sebuah langgar kecil yang telah di dirikan pak tabut,juga ikut mengajar di PGA Ngunut (sekarang SMP 1 Ngunut).
Tantangan dan rintangan datang silih berganti terutama dari masyerakat sekitar yang masih buta agama,Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik / rohani(jengges/santet) tak henti-henti,tetapi dengan penuh kesabaran beliau tetap menyiarkan AGAMA ALLAH. Bukti kesabaran beliau terlintas dalam sebuah kejadian,pada saat pondok mengadakan sebuah acara yang di hadiri oleh K.H MAHRUS ALI lirboyo,pada saat itu beliau (K.H MAHRUS ALI) berkenan ke kamar kecil,beliau melihat masyarakat di sekitarnya melakukan kegiatan yang mengganggu acara tersebut dan pengajian rutin yang di selenggarakan setiap hari,K.H MAHRUS ALI berkata"mbok di hizib nashor wae,ben ndang bar" lalu K.H ALI SHODIQ menjawab "ingkang kawulo rantos anak putu nipun" Dengan di ikuti 50 santri dari lirboyo pengajian pasan pertama di laksanakan dengan penuh hidmah,Hingga 4 tahun kemudian beliau berhasil menamatkan kitab 'IHYA ULUMUDDIN karya HUJJATUL ISLAM IMAM GHOZALI.
Pada bulan syawal tahun yang sama pengajian sistem klasikal dan non klasikal mulai di terapakna walopun dengan materi pelajaran yang masih sederhana sesuai dengan kemampuan santri yang ada,pada tahun berikutnya jumlah santri bertambah,terutama santri senior lirboyo dan dari daerah ngunut dan sekitarnya,sehingga K.H ALI SHODIQ menetapkan TGL 01 JANUARI 1967 bertepatan dengan TGL 21 ROJAB 1368 sebagai hari berdirinya PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN sebuah nama yang di ambil dari ponpes lirboyo dengan niat TAFA'ULAN(ngalap ketularan).sejak saat itulah sistem pendidikan di PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN mulai di tata dan bisa berjalan sampai sekarang.
Untuk mempermudah penyampean materi dan untuk menertipkan pengorganisasian jenjang pendidikan PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN di bagi menjadi dua tingkatan,IBTIDA'IYAH dan TSANAWIYAH. Waktu pun terus berjalan,zaman semakin berkembang,iptek semakin canggih namun di lain fihak dengan perkembangan ini timbul pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakt,untuk itu di butuhkan deneresi ISLAM yangintelek dan berwawasan luas sehingga KH ALI SHODIQ UMMAN di samping mengembangkan lembaga pendidikan yang sudah ada,yaitu PONPES HIDAYATUL MUBTADIIEN putra dan putri murni mempelajari kitab kuning,beliau juga mendirikan pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal SDI SUNAN GIRI,PONPES PUTRA SUNAN GUNUNG JATI,PONPES PUTRI SUNAN PANDAN ARAN yang menampung santri yang belajar di smpi dan smui sunan gunung jati. Langkah yang di ambil K.H ALI SHODIQ UMMAN mendapat smbutan hangat dari masyarakat,terbukti banyak masyarakat yang menyekolahkan dan memondokkan putra putrinya di lembaga yang di asuh oleh beliau.Dan untuk mempermudah pengelolaan lembaga tersebut pada TGL 03 DESEMBER 1992 atas inisiatif K.H ALI SHODIQ UMMAN di bentuklah YAYASAN SUNAN GIRI yang terdaftar di kantor pengadilan negri tulungagung denga nomor 14/X/92/PN/TA.
Begitulah perjuangan beliau yang tak kenal lelah guna mempersiapkangenerasi islam yang menghadapi tantangan zaman.bukan hanya pendidikan saja yang K.H ALI SHODIQ UMMAN perhatikan,dalam tuntunan hidup sehari-hari beliau sering memberikan mau'idzoh hasanah dengan tutur bahasa yang khas"CHO NENG NGENDI WAE AWAKMU MANGGONOJO LALI KARO PESENKU,
AKHLAQUL KARIMAH,
PINTER-PINTER NDELEHNO AWAK,
NGEKEH-NGEKEHNO BALI MARI ALLAH
Beliau sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya,setiap pagi beliau dengan halus membangunkan santri-santinya dari satu kamar ke kamar lainnya untuk jama'ak shubuh,karena beliau dalam membina santri-santrinya sangat menekankan sholat jama'ah.
JAMA'AH DENGAN DI PAPAH
Setelah menunaikan ibadah haji yang ke tiga kali,tahun 1997 kondisi kesehatan K.H ALI SHODIQ UMMAN sering terganggu,maklum usia beliau mulai beranjak sepuh. Sementara tugas sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu,tenaga dan fikiran beliau.Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kiyai mulai menurun,sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya sehingga untuk menjalankan tugas sehari-harinya,memberi pengajian,menjadi imam jama'ah beliau harus di papah oleh satu ato dua orang santri. Akan tetapi berkat kesabaran K.H ALI SHODIQ UMMAN hari-hari beliau yang panjang itu di lalui dengan tabah,malahan beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban.
SABTU KELABU
Pada hari jum'at 23 JULI 1999 K.H ALI SHODIQ UMMAN jatuh sakit dan kemudian di bawa ke RSI ORPEHA tulungagung,beliau di rawat di pavilium arafat,perawatan intensif terus menerus di lakukan,namun keadaan pun tak semakin membaik,akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran dari pihak kedokteran RSI ORPEHA ,pada hari RABU 10 AGUSTUS 1999,beliau di bawa RS DARMO surabaya. Selama 4 hari beliau menjalani opname di surabaya,namun kondisi beliau tak kunjung membaik,bahkan harapan untuk kesembuhan kian tipis,hingga pada hari SABTU 14 AGUSTUS 1999 pukul 10.00 BBWI (pagi) rupanya ALLAH SWT,telah menggariskan untuk memanggil K.H ALI SHODIQ UMMAN ,sehingga di pagi yang cerah itu dengan KHUSNUL KHOTIMAH beliau kembali ke hadiratnya,INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN. Beliau wafat pada usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang istri(yang pada akhirnya 7 bulan kemudian menyusul),9 putra putri (6 pitra dan 3 putri),serta 12 cucu laki-laki dan perempuan. Berita wafatnya K.H ALI SHODIQ UMMAN di terima keluarga di ngunut jam 11.00 pagi lewat telfon dan 30 menit kemudian orang-orang yang melayat mulai berdatangan,mereka menggu kedatangan jenazah K.H ALI SHODIQ UMMAN sambil berdzikir,jenazah tiba di ngunut pukul 16.00 BBWI. Keesokan harinya (ahad) pukul 10.00 BBWI setelah di lakukan sholat janazh sebanyak 47 kali,lalu jenazah beliau di makamkan di makam keluarga di sebelah barat MASJID SUNAN GUNUNG JATI,sampai di liang lahat jenazah beliau di sambut oleh menantu beliau K.H DARORI MUKMIN, K.H MAHRUS MARYANI, dengan di sertai putra beliau KH AGUS BADRUL HUDA ALI, K.H AGUS IBNU SHODIQ ALI, K.H ADIB MINANURROHMAN ALI, AGUS MINANURROHIM ALI.
Beliau pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya,menggoreskan kenangan,meninggalkan sebongkah jasa untuk kita,beliau menuju alam damai dan abadi, SEMOGA ALLAH SELALU MERIDLOI BELIAU DAN MELAPANGKAN KUBUR BELIAU...AMIN..
BEBERAPA KEISTIMEWAAN K.H ALI SHODIQ UMMAN
Pada waktu MBAH KYAI ALI SHODIQ menjadi kepala pondok LIRBOYO,saat ada acara rapat umum tahun ajaran baru bertepat di serambi,sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah bila semua santri berkumpul calam satu majlis suasana ramai dan ricuh,pada waktu itu pengurus memberi arahan/membacakan peraturan-peraturan pondok pada santri baru,para santri bersorak-sorai,ramai dan sangat ricuh,setelah itu MBAH KYAI melewati sebelah barat santri yang ramai,para santri seketika terdiam. MBAH KYAI ALI SHODIQ seorang pencak yang sangat mumpuni,beliau salah satu murid kesanyangan dan andalan MBAH KYAI ALI SHODIQ BAHRI TANEN. MBAH KYAI ALI SHODIQ seorang yang sangat sakti / jaduk,tapi beliau sangat pandai dan rapat dalam menutupi dan menyimpan hal tersebut.
Ada cerita bersumber langsung dari MBAH KYAI ALI SHODIQ yang dawuh pada salah satu momongan beliau"MBAH KYAI baru saja pindah pondok dari jampes ke lirboyo,pada waktu itu ada kekosongan,mustahiq kelas III tsanawiyah (jauhar maknun),sebelumnya beliau bermimpi di ajak oleh K.H MARZUKI DAHLAN tetapi dawuhe MBAH KYAI terbangnya K.H MARZUKI selalu di atas MBAH KYAI,sampai-sampai K.H MARZUKI tidak kelihatan dan MBAH KYAI selalu di bawahnya,pada akhirnya MBAH KYAI di utus menjadi mustahiq kelas III tsnawiyah,padahal beliau mengaku belum pernah belajar dan mengaji JAUHAR MAKNUN,berkat kelimpatan,ketekunan dan rasa tawadlu' beliau terhadap guru,pada akhirnya beliau dapat menjadi mustahiq kelas III tsanawiyah tersebut,yang di antara santri kelas itu putra K.H MARZUKI yakni AGUS IDRIS MARZUKI." Setiap MBAH KYAI tidur sore beliau pesan agar di bangunkan pada waktu jama'ah atau waktu mengaji,kepada salah seorang khodim dekat beliau dengan memakai 1 jari dengan 3 ketukan ringan,dan setiap jari tangan menyentuh kaki atau tangan beliau,beliau langsung memukul apa saja yang ada di dekatnya,sampai-sampai dinding kamar kan roboh. Begitulah haliyah K.H ALI SHODIQ UMMAN yang tidak di miliki oleh orang lain.
Sumber:http://santripegon.blogspot.com/2011/08/biografi-kh-ali-shodiq-umman.html
Taubat karena “Musik” habib Syech
Ini adalah kisah nyata ,
kabupaten : sleman,
kecamatan : rahasia,
desa : rahasia.
disebuah dusun, hidup sekelompok pemuda yang memang suka mabuk mabukan, tapi tidak mengganggu orang lain,hehe-mereka emang lebih sopan dari pemabuk yang lain-.
suatu malam, ada suara asing yang mereka dengar seolah olah ada yang konser rock, tapi yang membuat mereka terheran, lirik lagunya berbahasa arab, karena penasaran mereka pun datang ke sumber suara, ternyata disitu sekumpulan warga sedang asyik bersholawat sebagaimana sholawat habib syech dan “lagu” yang dimainkan adalah sholatun+ekstra bass.
dari situ tiba tiba kepala mereka, tangan mereka, badan mereka bergoyang dengan sendirinya dan asyik mengikuti alunan sholawat. setelah tau itu sholawat yang biasa dimainkan habib syech, akhirnya mereka mencoba ikut ke pengajian.
dan akhirnya?, meraka mengatakan ke teman saya kurang lebih “enak ikut sholawatan, mabuk lebih enak dari pada mabuk minum”. temanku pun tertawa, dan berkata dalam hati “wah cuma gara gara sholawat bisa menggantikan mabuk mabukan”.
begitulah kisah yang disampaikan temanku disuatu hari.
Sumber:http://syauqiemarier.wordpress.com/2011/03/09/taubat-karena-musik-habib-syech/
kabupaten : sleman,
kecamatan : rahasia,
desa : rahasia.
disebuah dusun, hidup sekelompok pemuda yang memang suka mabuk mabukan, tapi tidak mengganggu orang lain,hehe-mereka emang lebih sopan dari pemabuk yang lain-.
suatu malam, ada suara asing yang mereka dengar seolah olah ada yang konser rock, tapi yang membuat mereka terheran, lirik lagunya berbahasa arab, karena penasaran mereka pun datang ke sumber suara, ternyata disitu sekumpulan warga sedang asyik bersholawat sebagaimana sholawat habib syech dan “lagu” yang dimainkan adalah sholatun+ekstra bass.
dari situ tiba tiba kepala mereka, tangan mereka, badan mereka bergoyang dengan sendirinya dan asyik mengikuti alunan sholawat. setelah tau itu sholawat yang biasa dimainkan habib syech, akhirnya mereka mencoba ikut ke pengajian.
dan akhirnya?, meraka mengatakan ke teman saya kurang lebih “enak ikut sholawatan, mabuk lebih enak dari pada mabuk minum”. temanku pun tertawa, dan berkata dalam hati “wah cuma gara gara sholawat bisa menggantikan mabuk mabukan”.
begitulah kisah yang disampaikan temanku disuatu hari.
Sumber:http://syauqiemarier.wordpress.com/2011/03/09/taubat-karena-musik-habib-syech/
Waliyullah memang Rahasia Allah
Syeh Syihabudin Al Qalyubi menyebutkan dalam kitab karanganya ”An Nawadir”, bahwa Allah SWT merahasiakan 5(Lima) hal dalam 5(Lima) hal. salah satunya adalah Allah merahasiakan keberadaan kekasih-Nya(wali-Nya) di antara manusia.
Untuk apa? Tidak lain adalah agar kita berhati-hati atau menghormati kepada semua orang.
Karena kita tidak tahu siapa orang yang kita selalu kita temui, boleh jadi menurut kita orang biasa/hina tapi ternyata ia adalah waliyullah, maka dengan begitu kita harus menghormati semua orang. Dan memang waliyullah adalah Rahasia Allah, hanya orang-orang pilihan saja yang tahu keberadaan wali-wali Allah sampai sampai di dunia per-wali-an muncul ”Pameo”:
لايعرف الوالي إلاالوالي
”Tidak ada yang mengetahui bahwa seseorang itu wali kecuali ia sendiri wali”.
Wali tidak lebih adalah seorang manusia, sama seperti kita-kita ini, hanya saja ia mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah, sehingga ia menjadi kekasih Allah.
Mengenai kerahasiaan wali di antara para manusia ini saya teringat apa yang dikisahkan oleh guru saya Mbah Kyai Solichun (PonPes Nurul Hasan, Geger Tegalrejo) sewaktu saya sowan kepada beliau. beliau bercerita, bahwa pada suatu hari Mbah Kyai Marzuqi Lirboyo kedatangan seorang tamu. Tidak seperti pada hari-hari biasanya, di mana tamu yang sowan adalah kyai atau santri berpakaian rapi. Tamu beliau kali ini memang lain dari yang lain, bermata sipit seperti orang keturunan tionghoa(bhs jawa: koyo wong cino), memakai celana pendek dan membawa seekor anjing yang diikat dengan tali.
Pada saat yang bersamaan Mbah Kyai Mahrus (adik Kyai Marzuqi) memperhatikan tamu yang datang ini dari kejauhan.
Tanpa disangka ternyata Mbah Kyai Marzuqi menyambut tamu ini dengan penuh hormat, mencium tanganya dan melayani tamu tersebut secara istimewa.
Karena terkejut dengan sikap Mbah Kyai Marzuqi teradap tamunya, maka setelah tamu tersebut pamitan, Mbah Kyai Mahrus bergegas bertanya kepada Mbah Kyai Marzuqi siapakah tamu beliau tadi dan mengapa Mbah kyai menyambut dengan penuh hormat (bhs Jawa:munduk-munduk), mencium tangan dan melayaninya dengan khidmat.
Mbah Marzuqi menjawab:”Kae mau Nabi Khidir, ngabari aku nek patang puluh dino maneh aku mati” (itu tadi nabi Khidir, memberitahuku bahwa 40 (empat puluh) hari lagi aku mati.”
Dan memang benar, Mbah Kyai Mahrus menghitung tepat 40 (empat puluh) hari setelah kedatangan tamu tersebut, Mbah Kyai Marzuqi dipanggil menghadap Allah SWT.
Wali memang rahasia Allah….
Wallahu A’lam.
Untuk apa? Tidak lain adalah agar kita berhati-hati atau menghormati kepada semua orang.
Karena kita tidak tahu siapa orang yang kita selalu kita temui, boleh jadi menurut kita orang biasa/hina tapi ternyata ia adalah waliyullah, maka dengan begitu kita harus menghormati semua orang. Dan memang waliyullah adalah Rahasia Allah, hanya orang-orang pilihan saja yang tahu keberadaan wali-wali Allah sampai sampai di dunia per-wali-an muncul ”Pameo”:
لايعرف الوالي إلاالوالي
”Tidak ada yang mengetahui bahwa seseorang itu wali kecuali ia sendiri wali”.
Wali tidak lebih adalah seorang manusia, sama seperti kita-kita ini, hanya saja ia mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah, sehingga ia menjadi kekasih Allah.
Mengenai kerahasiaan wali di antara para manusia ini saya teringat apa yang dikisahkan oleh guru saya Mbah Kyai Solichun (PonPes Nurul Hasan, Geger Tegalrejo) sewaktu saya sowan kepada beliau. beliau bercerita, bahwa pada suatu hari Mbah Kyai Marzuqi Lirboyo kedatangan seorang tamu. Tidak seperti pada hari-hari biasanya, di mana tamu yang sowan adalah kyai atau santri berpakaian rapi. Tamu beliau kali ini memang lain dari yang lain, bermata sipit seperti orang keturunan tionghoa(bhs jawa: koyo wong cino), memakai celana pendek dan membawa seekor anjing yang diikat dengan tali.
Pada saat yang bersamaan Mbah Kyai Mahrus (adik Kyai Marzuqi) memperhatikan tamu yang datang ini dari kejauhan.
Tanpa disangka ternyata Mbah Kyai Marzuqi menyambut tamu ini dengan penuh hormat, mencium tanganya dan melayani tamu tersebut secara istimewa.
Karena terkejut dengan sikap Mbah Kyai Marzuqi teradap tamunya, maka setelah tamu tersebut pamitan, Mbah Kyai Mahrus bergegas bertanya kepada Mbah Kyai Marzuqi siapakah tamu beliau tadi dan mengapa Mbah kyai menyambut dengan penuh hormat (bhs Jawa:munduk-munduk), mencium tangan dan melayaninya dengan khidmat.
Mbah Marzuqi menjawab:”Kae mau Nabi Khidir, ngabari aku nek patang puluh dino maneh aku mati” (itu tadi nabi Khidir, memberitahuku bahwa 40 (empat puluh) hari lagi aku mati.”
Dan memang benar, Mbah Kyai Mahrus menghitung tepat 40 (empat puluh) hari setelah kedatangan tamu tersebut, Mbah Kyai Marzuqi dipanggil menghadap Allah SWT.
Wali memang rahasia Allah….
Wallahu A’lam.
Tinjauan Sejarah Sosial-Politik Atas Ungkapan Penutup Pidato
Jangan terkecoh judul yang kelihatan keren dan sok ilmiah. Ini cuma mengajak ketawa kok…
Pada mulanya, para sesepuh ulama Nahdlatul Ulama mentradisikan ungkapan “wabillaahit taufiiq wal hidaayah” sebagai penutup pidato. Artinya: (semata-mata) dari Allah-lah pertolongan dan petunjuk. Itu ungkapan kerendah-hatian. Pengakuan dari pembicara bahwa ia mampu berpidato semata-mata karena pertolongan Allah, dan kalaupun hadirin tersentuh oleh pidatonya sehingga menjadi manusia yang lebih baik, itu juga semata-mata karena petunjuk Allah.
Ungkapan itu kemudian menjadi teramat populer. Semua orang menggunakannya. Seolah pidato tak dianggap sempurna tanpa ditutup dengan ungkapan itu. Orang-orang Muhammadiyah dan priyayi-priyayi abangan tak ketinggalan membiasakannya.
Kemudian datanglah masa-masa persaingan sengit antara NU dan Muhammadiyah. Yaitu ketika kaum Wahabi Minang semakin berpengaruh di lingkungan Muhammadiyah, bahkan cenderung mendominasi wacana keagamaan didalamnya. Gagasan-gagasan Wahabi dinisbatkan kepada Muhammadiyah, untuk dihantamkan kepada tradisi-tradisi NU. “Perang wacana” pun berlangsung seru. Masih ditambah lagi dengan persaingan politik sejak NU keluar dari Masyumi.
Maka, muncullah gagasan dari Kiyai Ahmad Abdul Hamid rahimahullah, Kendal, untuk merangkai ungkapan baru yang “lebih khas NU”. Beliau menawarkan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”, yang terjemahannya: “Allah-lah Sang Penolong kepada seteguh-teguh tempuhan”. Formula ungkapan ini memang canggih, gabungan antara unsur-unsur makhroj yang lebih sulit bagi lidah awam (qof dan thoo) dan kandungan sejumlah “titik rawan” yang hanya bisa dipahami oleh orang yang mengerti dasar-dasar nahwu-shorof:
Faa tasydiid pada “Muwaffiq”;
Waawu pendek (tanpa mad) pada “aqwamith”;
Mad (bacaan panjang) pada roo, bukan thoo, dari lafadh “thoriiq”.
Formula ini diterima secara luas oleh kiyai-kiyai NU dan segera menjadi ciri khas yang membedakan “pembicara santri NU” dari yang bukan.
Namun, di kemudian hari terjadi dinamika sosial-politik yang signifikan. Kampanye “pribumisasi Islam” yang gencar digaungkan oleh Kiyai Abdurrahman Wahid sejak 1980-an menangguk hasil luar biasa. Kampanye itu menciptakan dorongan kuat bagi kelompok kultural yang semula secara segregatif mengidentifikasikan diri sebagai “golongan abangan” untuk mendekat kepada “kaum santri”. Dan ketika mereka mulai “menggeser afiliasi”, mereka cenderung memilih identitas yang secara kultural lebih dekat, yaitu identitas NU.
Maka datanglah gelombang orang NU baru secara besar-besaran. Hingga 1990-an, yang mapan dalam wacana sosial-politik adalah bahwa warga NU meliputi sekitar 18 % dari populasi Indonesia. Tapi saya memperoleh data hasil survey yang dilakukan oleh sebuah badan rahasia pada 1999 bahwa warga yang peri hidupnya mengadopsi ciri-ciri kultural NU (sholawatan, tahlilan, selamatan, qunut shubuh, taraweh 23 roka’at, dan semacamnya) mencapai tidak kurang dari 63 %. Berdasarkan hasil sesnsus cacah-jiwa tahun itu (l.k. 200 juta), berarti tidak kurang dari 120 juta!
Tidak mengherankan dan tidak perlu prihatin jika pada gilirannya corak ke-NU-an menjadi semakin “awam”.
Keawaman itu tak pelak lagi tampak pula pada cara mereka melafalkan ungkapan penutup pidato. Makin sering kita dengar “pembicara NU” yang kurang hati-hati sehingga yang keluar dari lisan mereka adalah: “Wallaahul Muwaafiq ilaa aqwaamith thooriq”. Kalau diterjemahkan jadinya: “Allah-lah yang cocok kepada kaum-kaumnya orang yang berjalan”.
Saya menduga bahwa pada era 1990-an telah terjadi kesamaan persepsi secara relatif diantara para pemimpin intelektual muslim di Indonesia seperti, Gus Dur, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Syafi’i Ma’arif, Emil Salim, dan lain-lain, tentang strategi gerakan Islam dan pembinaan ummat. Pada saat itu tumbuh i’tikad kuat diantara para pemimpin ummat untuk mencairkan ketegangan dan menggulirkan proses rekonsiliasi diantara faksi-faksi gerakan Islam di Indonesia, khususnya diantara dua ormas terbesar, NU dan Muhammadiyah. Saya termasuk yang memperoleh keuntungan besar dari proses itu karena Gus Dur memuji saya habis-habisan di berbagai forum hanya karena yayasan yang saya bentuk bersama sejumlah aktivis mahasiswa di Yogya (Yayasan Cordova, Yogya) menggelar sebuah panel besar “Dialog NU – Muhammadiyah”.
Mencerminkan keinginan rekonsiliasi itu, Gus Dur mengakhiri sebuah ceramah dengan mengulas sejarah ungkapan penutup pidato antara “Wabillaahit taufiiq wal hidaayah” dan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”, kemudian memungkasi ceramahnya sendiri dengan,
“Saya pakai ‘Wallaahu a’lam bish showaab’ sajalah! Wassalaamu’alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh…”
Pada gilirannya, “segregasi” antara dua ungkapan penutup pidato itu pun mencair pula. Para pembicara NU –mungkin juga karena kuatir salah melafalkan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”– mulai hilang keseganannya untuk kembali menggunakan “Wabillaahit taufiiq wal hidaayah”.
Seorang santri –kebetulan namanya Taufiq, dalam suatu kegiatan latihan berpidato menutup pidatonya dengan:
“Wabillaahit Taufiiq wal Hidaayah wal ‘Inaayah wan Ni’mah wal Istiqoomah wal Habiibah was Sriatuuun…”
Dia absen semua santri putri yang cantik-cantik.
Pada mulanya, para sesepuh ulama Nahdlatul Ulama mentradisikan ungkapan “wabillaahit taufiiq wal hidaayah” sebagai penutup pidato. Artinya: (semata-mata) dari Allah-lah pertolongan dan petunjuk. Itu ungkapan kerendah-hatian. Pengakuan dari pembicara bahwa ia mampu berpidato semata-mata karena pertolongan Allah, dan kalaupun hadirin tersentuh oleh pidatonya sehingga menjadi manusia yang lebih baik, itu juga semata-mata karena petunjuk Allah.
Ungkapan itu kemudian menjadi teramat populer. Semua orang menggunakannya. Seolah pidato tak dianggap sempurna tanpa ditutup dengan ungkapan itu. Orang-orang Muhammadiyah dan priyayi-priyayi abangan tak ketinggalan membiasakannya.
Kemudian datanglah masa-masa persaingan sengit antara NU dan Muhammadiyah. Yaitu ketika kaum Wahabi Minang semakin berpengaruh di lingkungan Muhammadiyah, bahkan cenderung mendominasi wacana keagamaan didalamnya. Gagasan-gagasan Wahabi dinisbatkan kepada Muhammadiyah, untuk dihantamkan kepada tradisi-tradisi NU. “Perang wacana” pun berlangsung seru. Masih ditambah lagi dengan persaingan politik sejak NU keluar dari Masyumi.
Maka, muncullah gagasan dari Kiyai Ahmad Abdul Hamid rahimahullah, Kendal, untuk merangkai ungkapan baru yang “lebih khas NU”. Beliau menawarkan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”, yang terjemahannya: “Allah-lah Sang Penolong kepada seteguh-teguh tempuhan”. Formula ungkapan ini memang canggih, gabungan antara unsur-unsur makhroj yang lebih sulit bagi lidah awam (qof dan thoo) dan kandungan sejumlah “titik rawan” yang hanya bisa dipahami oleh orang yang mengerti dasar-dasar nahwu-shorof:
Faa tasydiid pada “Muwaffiq”;
Waawu pendek (tanpa mad) pada “aqwamith”;
Mad (bacaan panjang) pada roo, bukan thoo, dari lafadh “thoriiq”.
Formula ini diterima secara luas oleh kiyai-kiyai NU dan segera menjadi ciri khas yang membedakan “pembicara santri NU” dari yang bukan.
Namun, di kemudian hari terjadi dinamika sosial-politik yang signifikan. Kampanye “pribumisasi Islam” yang gencar digaungkan oleh Kiyai Abdurrahman Wahid sejak 1980-an menangguk hasil luar biasa. Kampanye itu menciptakan dorongan kuat bagi kelompok kultural yang semula secara segregatif mengidentifikasikan diri sebagai “golongan abangan” untuk mendekat kepada “kaum santri”. Dan ketika mereka mulai “menggeser afiliasi”, mereka cenderung memilih identitas yang secara kultural lebih dekat, yaitu identitas NU.
Maka datanglah gelombang orang NU baru secara besar-besaran. Hingga 1990-an, yang mapan dalam wacana sosial-politik adalah bahwa warga NU meliputi sekitar 18 % dari populasi Indonesia. Tapi saya memperoleh data hasil survey yang dilakukan oleh sebuah badan rahasia pada 1999 bahwa warga yang peri hidupnya mengadopsi ciri-ciri kultural NU (sholawatan, tahlilan, selamatan, qunut shubuh, taraweh 23 roka’at, dan semacamnya) mencapai tidak kurang dari 63 %. Berdasarkan hasil sesnsus cacah-jiwa tahun itu (l.k. 200 juta), berarti tidak kurang dari 120 juta!
Tidak mengherankan dan tidak perlu prihatin jika pada gilirannya corak ke-NU-an menjadi semakin “awam”.
Keawaman itu tak pelak lagi tampak pula pada cara mereka melafalkan ungkapan penutup pidato. Makin sering kita dengar “pembicara NU” yang kurang hati-hati sehingga yang keluar dari lisan mereka adalah: “Wallaahul Muwaafiq ilaa aqwaamith thooriq”. Kalau diterjemahkan jadinya: “Allah-lah yang cocok kepada kaum-kaumnya orang yang berjalan”.
Saya menduga bahwa pada era 1990-an telah terjadi kesamaan persepsi secara relatif diantara para pemimpin intelektual muslim di Indonesia seperti, Gus Dur, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Syafi’i Ma’arif, Emil Salim, dan lain-lain, tentang strategi gerakan Islam dan pembinaan ummat. Pada saat itu tumbuh i’tikad kuat diantara para pemimpin ummat untuk mencairkan ketegangan dan menggulirkan proses rekonsiliasi diantara faksi-faksi gerakan Islam di Indonesia, khususnya diantara dua ormas terbesar, NU dan Muhammadiyah. Saya termasuk yang memperoleh keuntungan besar dari proses itu karena Gus Dur memuji saya habis-habisan di berbagai forum hanya karena yayasan yang saya bentuk bersama sejumlah aktivis mahasiswa di Yogya (Yayasan Cordova, Yogya) menggelar sebuah panel besar “Dialog NU – Muhammadiyah”.
Mencerminkan keinginan rekonsiliasi itu, Gus Dur mengakhiri sebuah ceramah dengan mengulas sejarah ungkapan penutup pidato antara “Wabillaahit taufiiq wal hidaayah” dan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”, kemudian memungkasi ceramahnya sendiri dengan,
“Saya pakai ‘Wallaahu a’lam bish showaab’ sajalah! Wassalaamu’alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh…”
Pada gilirannya, “segregasi” antara dua ungkapan penutup pidato itu pun mencair pula. Para pembicara NU –mungkin juga karena kuatir salah melafalkan “Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq”– mulai hilang keseganannya untuk kembali menggunakan “Wabillaahit taufiiq wal hidaayah”.
Seorang santri –kebetulan namanya Taufiq, dalam suatu kegiatan latihan berpidato menutup pidatonya dengan:
“Wabillaahit Taufiiq wal Hidaayah wal ‘Inaayah wan Ni’mah wal Istiqoomah wal Habiibah was Sriatuuun…”
Dia absen semua santri putri yang cantik-cantik.
KH. Abdul Mu’id Tempursari Klaten
Kiai Abdul Muid adalah dzuriyah keempat Kiai Imam Rozi melaui jalur Ibu Ny. Thohir, putri Kiai Zaid, yang berasal dari Gabudan, Solo.
Nasab Kiai Abdul Muid secara lengkap yaitu KH. Abdul Muid bin Kiai Muh Thohir bin Kiai Ali Murtadlo bin Kiai Nur Hamdani bin Kiai Zainal Ali bin Kiai Abdus Shomad Cilongok, Purwokerto, Banyumas. (Putra Syarifah Sinah binti Sultan Hasanuddin Banten bin Syarif Hidayatullah bin)
Syarifah Sinah itu istri dari Sayid Alwy Al-Hadad bin Sayid Abdurrahman.
Ayahandanya, Kiai Muhammad Thohir, berasal dari Banyumas, yang nyantri di Tempursari pada masa Kiai Zaid, yang akhirnya menjadi menantu dan meneruskan pengelolaan Pesantren Tempursari. Ia kemdian dikaruniai anak semata wayang, yaitu K.H. Abdul Muid.
Sejak kecil sampai umur 14 tahun Abdul Muid dididik oleh ayahandanya sendiri. Setelah umur 14 tahun, ia diserahkan kepada Kiai Abdurrahman Somolangu, Kebumen, dan tinggal di sana sampai beberapa tahun.
Kemudian ia diserahkan kepada KH. Idris bin Zaid, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, yang masih pamannya sendiri dari pihak ibu, sampai akhirnya ia diberi ijazah sanat dan dibai’at sebagai mursyid Thariqah Syadziliyah yang ke-34.
Guru-gurunya yang lain masih banyak, diantaranya adalah Kiai Abdurrahman Thengklik, Panasan, Boyolali. Setelah kembali dari pesantren, ia mulai menyebarkan apa-apa yang diperolehnya dari para gurunya melalui Pesantren Tempursari.
Kiai Abdul Muid mempunyai beberapa keistimewaan. Al-Kisah, pada suatu hari ada seorang santri yang berbaur dengan santri-santri Tempursari, mereka tidak tahu dan tidak kenal siapa dia. Setelah beberapa lama, santri tersebut menghadap sang kiai dan minta izin pamit pulang.
Ketika ditanya siapa namanya, ia menjawab dengan nama samaran (Bunyamin). Pada saat itu pula KH. Abdul Muid tahu bahwa sesungguhnya ia adalah Nabi Khidzir. Setelah peristiwa itu, ia sering sekali datang ke pesantren itu, membawa hikmah ilahiyah.
Kitab yang paling sering dibaca bersama para santrinya, antara lain, di bidang fiqh kitab I’Anah Al-Tholobin. Di bidang tauhid, kitab Ad-Dasuqi. Di bidang tasawuf, kitab Ihya’ Ulumuddin. Di bidang tafsir, kitab Jalalain.
Diantara para muridnya adalah Kiai Mudatsir (Jaten, Jimus, Polanharjo, Klaten), K.H. Ahmad Shodiq bin Raji Musthofa (Pasiraja, Purwokerto), KH. Ali Syuhudi (Nalan, Candirejo, Ngawen, Klaten), Kiai Ahmad Hilal (Tojayan, Kebonarum, Klaten), KH. Nawawi (Badean, Rogojampi, Banyuwangi), KH. Muh Ma’ruf Mangunwiyoto (Jenengan, Solo, murid sekaligus anak), KH. Masyhudi (Prambon, Madiun), KH. Shofawi (pendiri Masjid Tegalsari, Solo dan pendukung berdirinya Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo), Kiai Abu Su’ud (Jaten, Jumus, Polanharjo, Klaten), KH. Muhammad Idris (Kacangan, Boyolali).
Jumat Pahing, 8 Shafar 1360 H/7 Maret 1941, KH. Abdul Mu’id wafat pada usia ke-63. Menjelang wafatnya, dibacakan surat Yasin. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “Qiladkhulil Jannah” (Dikatakan, masuklah ke dalam surga), ia menjawab, “Insya Allah”, dan kemudian ia menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dikebumikan di Komplek Makam Tempursari.
Ia menikah empat kali. Istri pertama, Ny. Rodiah, melahirkan KH. Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan, Solo. Lalu, Ny. Robikhah, Istri KH. Jufri, Petak, Susukan, Salatiga. Berikutnya Ny. Rohilah, istri Kiai Nursalim, Semowo, Salatiga. Istri kedua, Ny Latifah, melahirkan Ny. Munfarijah, istri Kiai Abu Su’ud, Jaten, Polanharjo, Klaten.
Istri ketiga, Ny. Thohiroh, melahirkan Ny. Umi Sarah, istri Kiai Marzuki, Karangmojo, Ceper, Klaten (Keistimweannya, bisa membedakan makanan halal dan yang haram. Kalau haram bentuknya makanannya menjadi ulat). Lalu, Kiai Muh Sahli, Tempursari, Klaten. Kemudian, Ny. Hj. Shofiyah istri KH. Umar Abdul Manan, Mangkuyudan, Solo. Selanjutnya, berturut-turut Kiai Abdul Hayyi, Mlangi, Demak Ijo, Sleman. Kiai Muhyidin menantu KH Muhammad Sami’un (Mursyid Thariqah Syadziliyah), Parakan Onje, Karangsalam, Purwokerto. Kiai Badrudin, Tempursari Klaten, dan KH. Imam Muftaroh, Pencol, Randusana, Geneng, Ngawi. Sedang istri keempat, Nyai Drono tidak dikarunia seorang anakpun. [ms].
Nasab Kiai Abdul Muid secara lengkap yaitu KH. Abdul Muid bin Kiai Muh Thohir bin Kiai Ali Murtadlo bin Kiai Nur Hamdani bin Kiai Zainal Ali bin Kiai Abdus Shomad Cilongok, Purwokerto, Banyumas. (Putra Syarifah Sinah binti Sultan Hasanuddin Banten bin Syarif Hidayatullah bin)
Syarifah Sinah itu istri dari Sayid Alwy Al-Hadad bin Sayid Abdurrahman.
Ayahandanya, Kiai Muhammad Thohir, berasal dari Banyumas, yang nyantri di Tempursari pada masa Kiai Zaid, yang akhirnya menjadi menantu dan meneruskan pengelolaan Pesantren Tempursari. Ia kemdian dikaruniai anak semata wayang, yaitu K.H. Abdul Muid.
Sejak kecil sampai umur 14 tahun Abdul Muid dididik oleh ayahandanya sendiri. Setelah umur 14 tahun, ia diserahkan kepada Kiai Abdurrahman Somolangu, Kebumen, dan tinggal di sana sampai beberapa tahun.
Kemudian ia diserahkan kepada KH. Idris bin Zaid, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, yang masih pamannya sendiri dari pihak ibu, sampai akhirnya ia diberi ijazah sanat dan dibai’at sebagai mursyid Thariqah Syadziliyah yang ke-34.
Guru-gurunya yang lain masih banyak, diantaranya adalah Kiai Abdurrahman Thengklik, Panasan, Boyolali. Setelah kembali dari pesantren, ia mulai menyebarkan apa-apa yang diperolehnya dari para gurunya melalui Pesantren Tempursari.
Kiai Abdul Muid mempunyai beberapa keistimewaan. Al-Kisah, pada suatu hari ada seorang santri yang berbaur dengan santri-santri Tempursari, mereka tidak tahu dan tidak kenal siapa dia. Setelah beberapa lama, santri tersebut menghadap sang kiai dan minta izin pamit pulang.
Ketika ditanya siapa namanya, ia menjawab dengan nama samaran (Bunyamin). Pada saat itu pula KH. Abdul Muid tahu bahwa sesungguhnya ia adalah Nabi Khidzir. Setelah peristiwa itu, ia sering sekali datang ke pesantren itu, membawa hikmah ilahiyah.
Kitab yang paling sering dibaca bersama para santrinya, antara lain, di bidang fiqh kitab I’Anah Al-Tholobin. Di bidang tauhid, kitab Ad-Dasuqi. Di bidang tasawuf, kitab Ihya’ Ulumuddin. Di bidang tafsir, kitab Jalalain.
Diantara para muridnya adalah Kiai Mudatsir (Jaten, Jimus, Polanharjo, Klaten), K.H. Ahmad Shodiq bin Raji Musthofa (Pasiraja, Purwokerto), KH. Ali Syuhudi (Nalan, Candirejo, Ngawen, Klaten), Kiai Ahmad Hilal (Tojayan, Kebonarum, Klaten), KH. Nawawi (Badean, Rogojampi, Banyuwangi), KH. Muh Ma’ruf Mangunwiyoto (Jenengan, Solo, murid sekaligus anak), KH. Masyhudi (Prambon, Madiun), KH. Shofawi (pendiri Masjid Tegalsari, Solo dan pendukung berdirinya Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo), Kiai Abu Su’ud (Jaten, Jumus, Polanharjo, Klaten), KH. Muhammad Idris (Kacangan, Boyolali).
Jumat Pahing, 8 Shafar 1360 H/7 Maret 1941, KH. Abdul Mu’id wafat pada usia ke-63. Menjelang wafatnya, dibacakan surat Yasin. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “Qiladkhulil Jannah” (Dikatakan, masuklah ke dalam surga), ia menjawab, “Insya Allah”, dan kemudian ia menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dikebumikan di Komplek Makam Tempursari.
Ia menikah empat kali. Istri pertama, Ny. Rodiah, melahirkan KH. Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan, Solo. Lalu, Ny. Robikhah, Istri KH. Jufri, Petak, Susukan, Salatiga. Berikutnya Ny. Rohilah, istri Kiai Nursalim, Semowo, Salatiga. Istri kedua, Ny Latifah, melahirkan Ny. Munfarijah, istri Kiai Abu Su’ud, Jaten, Polanharjo, Klaten.
Istri ketiga, Ny. Thohiroh, melahirkan Ny. Umi Sarah, istri Kiai Marzuki, Karangmojo, Ceper, Klaten (Keistimweannya, bisa membedakan makanan halal dan yang haram. Kalau haram bentuknya makanannya menjadi ulat). Lalu, Kiai Muh Sahli, Tempursari, Klaten. Kemudian, Ny. Hj. Shofiyah istri KH. Umar Abdul Manan, Mangkuyudan, Solo. Selanjutnya, berturut-turut Kiai Abdul Hayyi, Mlangi, Demak Ijo, Sleman. Kiai Muhyidin menantu KH Muhammad Sami’un (Mursyid Thariqah Syadziliyah), Parakan Onje, Karangsalam, Purwokerto. Kiai Badrudin, Tempursari Klaten, dan KH. Imam Muftaroh, Pencol, Randusana, Geneng, Ngawi. Sedang istri keempat, Nyai Drono tidak dikarunia seorang anakpun. [ms].
Biografi Kiai Imam Rozi (Singo Manjat)
Kiai Imam Rozi (Singo Manjat) adalah pendiri Pondok Pesantren Singo Manjat Tempursari Klaten. Ia leluhur atau cikal bakal masyarakat Tempursari Klaten, yang keturunannya dan santrinya tersebar ke berbagai daerah.
Ia yang membawa misi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, mendirikan tempat-tempat ibadah, pondok pesantren dan majlis taklim, baik di Jawa tengah, Jawa Timur, maupun di Jawa Barat.
Kiai Imam Razi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Wirononggo II bin Kiai Wirononggo I bin Kiai Singo Hadiwijoyo bin Kiai Tosari bin Kiai Ya’kub bin Kiai Ageng Kenongo. Ia lahir pada tahun 1801 M. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Kiai Maryani, kemudian berguru kepada Kiai Rifai, yang sekarang makamnya ada di Gathak Rejo, Drono Klaten. Ia juga berguru kepada Kiai Abdul Jalil Kalioso bersama Kiai Mojo, Penasihat Pangeran Diponegoro.
Pada usia 24 tahun, Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro menentang dan memerangi penjajah Belanda, bersama Kiai Mojo dan para pejuang lainnya. Ia diangkat sebagai manggala yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono VI Surakarta.
Pada saat Imam Rozi bersama Pangeran Diponegoro ditahan penjajah di Semarang, Pangeran Diponegoro menyuruhnya melarikan diri dari tahanan dan menghadap Paku Buwono VI dengan membawa surat dari Pangeran Diponegoro. Isi surat itu antara lain memohon Paku Buwono VI menugasinya berdakwah di Surakarta bagian Barat, mencarikan jodoh untuk mendampingi perjuangannya, dan disediakan tanah perdikan.
Tahun 1833 M ia telah melaksanakan tugas tersebut dan memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal setelah mendapatkan bimbingan dan petunjuk ruhaniah dari Nabi Khidzir. Maka pada saat itu berdirilah Masjid Tempursari, yang kemudian berkembang pesat. Barulah pada tahun 1837 M Paku Buwono VI menjadikan tanah Tempursari sebagai tanah perdikan.
Kiai Imam Rozi menikah empat kali. Istri-istrinya yaitu R.A. Sumirah, saudara sepersusuan Pangeran Diponegoro, Ny. Ahadiyah (Ny. Kedung Qubah, cucu Kiai Syarifuddin Gading Santren), Ny Marfu’ah (Mlangi Yogyakarta), dan Ny. Sudarmi (Karangdowo). Kiai Imam Rozi wafat pada tahun 1872 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan di Tempursari. Pengelolaan Pondok Pesantren diteruskan oleh menantunya, Kiai Zaid, kemudian diteruskan menantu Kiai Zaid, yaitu Kiai Muhammad Thohir, dan akhirnya diteruskan K.H. Abdul Muid bin Muhammad Thohir.
Ia yang membawa misi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, mendirikan tempat-tempat ibadah, pondok pesantren dan majlis taklim, baik di Jawa tengah, Jawa Timur, maupun di Jawa Barat.
Kiai Imam Razi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Wirononggo II bin Kiai Wirononggo I bin Kiai Singo Hadiwijoyo bin Kiai Tosari bin Kiai Ya’kub bin Kiai Ageng Kenongo. Ia lahir pada tahun 1801 M. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Kiai Maryani, kemudian berguru kepada Kiai Rifai, yang sekarang makamnya ada di Gathak Rejo, Drono Klaten. Ia juga berguru kepada Kiai Abdul Jalil Kalioso bersama Kiai Mojo, Penasihat Pangeran Diponegoro.
Pada usia 24 tahun, Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro menentang dan memerangi penjajah Belanda, bersama Kiai Mojo dan para pejuang lainnya. Ia diangkat sebagai manggala yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono VI Surakarta.
Pada saat Imam Rozi bersama Pangeran Diponegoro ditahan penjajah di Semarang, Pangeran Diponegoro menyuruhnya melarikan diri dari tahanan dan menghadap Paku Buwono VI dengan membawa surat dari Pangeran Diponegoro. Isi surat itu antara lain memohon Paku Buwono VI menugasinya berdakwah di Surakarta bagian Barat, mencarikan jodoh untuk mendampingi perjuangannya, dan disediakan tanah perdikan.
Tahun 1833 M ia telah melaksanakan tugas tersebut dan memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal setelah mendapatkan bimbingan dan petunjuk ruhaniah dari Nabi Khidzir. Maka pada saat itu berdirilah Masjid Tempursari, yang kemudian berkembang pesat. Barulah pada tahun 1837 M Paku Buwono VI menjadikan tanah Tempursari sebagai tanah perdikan.
Kiai Imam Rozi menikah empat kali. Istri-istrinya yaitu R.A. Sumirah, saudara sepersusuan Pangeran Diponegoro, Ny. Ahadiyah (Ny. Kedung Qubah, cucu Kiai Syarifuddin Gading Santren), Ny Marfu’ah (Mlangi Yogyakarta), dan Ny. Sudarmi (Karangdowo). Kiai Imam Rozi wafat pada tahun 1872 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan di Tempursari. Pengelolaan Pondok Pesantren diteruskan oleh menantunya, Kiai Zaid, kemudian diteruskan menantu Kiai Zaid, yaitu Kiai Muhammad Thohir, dan akhirnya diteruskan K.H. Abdul Muid bin Muhammad Thohir.
BIOGRAFI SINGKAT KH.YASIN CIKAL BAKAL PENDIRI "PESANTREN BARENG"
Di belahan timur kota Kudus, tepatnya di desa Jekulo kabupaten Kudus terdapat pesantren yang tergolong cukup tua. Orang sering menyebutnya dengan sebutan Pondok Mbareng. Suasana riligius begitu terasa ketika kita memasuki kawasan ini. Beberapa bangunan-bangunan pondok pesantren senantiasa ramai oleh santri-santri yang setiap hari mengaji. Keberadaan pesantren-pesantren ini tidak lepas dari peranan seorang Ulama besar di ddaerah ini. Beliau adalah KH.Yasin.
KH.Yasin dilahirkan sekitar tahun 1890-an di desa Cebolek kecamatan Margoyoso kabupaten Pati. Desa cebolek sendiri, pernah diabadikan dalam salah satu Karya sastra Kyai Yasadipura II pada naskah yang berjudul Serat Cebolek, yang menceritakan kecerdikan Mbah Mutamakin Kajen dalam menghadapi Pengadilan Kolonial Belanda. KH.Yasin merupakan anak yang ke-7 dari 9 bersaudara. Ayah beliau bernama H.Amin (Nama asli: Tasmin) dan ibu beliau bernama Salamah. Nama asli pemberian orang tua beliau adalah Soekandar, kemudian setelah Haji beliau mempunyai nama Yasin. Nama inilah yang kemudian dikenal oleh banyak orang.
Sejak kecil beliau telah menjadi Yatim, karena ketika ayahnya pergi haji ke tanah suci, sang ayah meninggal di sana dan kemudian dimakamkan di Baqi`. Yasin kecil yang menjadi yatim sepeninggal ayahnya itu kemudian diangkat anak oleh Mbah Salam yang merupakan ayah dari Mbah Abdullah Salam atau kakek dari pada KH.Sahal Mahfudh Kajen Pati.
Semasa kecil, ketertarikan beliau akan ilmu Agama sangatlah mencolok. Beliau rajin mempelajari ilmu agama baik mengaji dilingkungan desanya maupun di tempat lain. Ketika mondok, Yasin kecil dikenal sebagai santri yang cerdas, lincah dan dapat mengikuti semua pelajaran dengan baik. Didapatkan keterangan, bahwa beliau beliau jarang memberikan makna pada kitab-kitabnya, namun demikian, beliau tidak kalah dengan santri-santri lainnya. Bahkan ketika belajar di tempat Kiai Idris Jamsaren solo, beliau diperbolehkan mengikuti pengajian Hikam, yang pada waktu itu hanya diperbolehkan bagi santri-santri yang telah berumur 40 tahun, padahal waktu itu Kiai Yasin masih berumur 25 tahun. Disamping belajar dengan Kiai Idris, tercatat bahwa Kiai Yasin juga pernah beljar dari beberapa Ulama lainnya. Diantaranya, adalah KH.Kholil Bangkalan Madura, Kiai Abdussalam bin Abdillah Kajen Pati, Kiai Sanusi bin Ya``qub Jekulo, Kiai Nawawi Sidogiri, Kiai Kholil Harun Kasingan Rembang, Mbah Amir Pekalongan dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Setelah lama belajar di tanah air, beliau merantau ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Di kota suci ini beliau singgah dalam waktu yang cukup lama dan dari sinilah yang menyebabkan kedekatan beliau dengan ulama-ulama besar Mekah pada saat itu.
Setelah sekian lama menempa ilmu pengetahuan di tanah suci, akhirnya KH.Yasin kembali ke Cebolek Pati dan kemudian pindah ke desa Jekulo kabupaten Kudus setelah menikah dengan seorang gadis bernama Muthi`ah binti KH.Yasir Jekulo yang merupakan salah satu ulama di desa Jekulo pada waktu itu.
Seluruh kehidupan KH.Yasin beliau curahkan untuk kepentingan agama Islam.KH.Yasin merupakan sosok yang sederhana, arif, dan sikapnya egiliter (Menganggap sama terhdap semua orang) sehingga beliau merupakan sosok yang disegani di masyarakat.
Dengan kapasitas keilmuwan agamanya yang luas, di desa Jekulo ini kemudia beliau KH.Yasin mendirikan pondok pesantren sebagai tempat untuk mengkaji ilmu agama. Pembangunan ini dilakukan sekitar tahun 1918 M yang dilatar belakangi dengan adanya anak-anak yang ingin mengaji kitab suci Al Qur`an di rumah beliau. Semula hanya tiga orang santri yang mengaji di rumah beliau, diantaranya adalah H. Abdul Hamid dari Klaling Jekulo Kudus. Semakin hari ternyata semakin banyak santri yang datang ingin mengaji. Melihat kenyataan tersebut mbah Kiai Sanusi (Guru Sufi beliau) memberikan saran agar KH.Yasin membuatkan tempat khusus untuk mengaji, karena akan lebh baik apabila memiliki tempat tersendiri. Kemudian denga senang hati beliau menerima saran tersebut. Pada saat itu beliau belum begitu bayak santri yang belajar di sana sehingga secara resmi belum belum dapat dianggap sebagai pesatren. Baru kemudian pada tahun 1923 M banyak santri yang berdatangan dari luar daerah untuk mengaji, sehingga pada tahun itulah secara resmi pesantren KH.Yasin berdiri.
Pada masa KH.Yasin, pesantren tersebut tidak atau belum diberi nama. Namun banyak santri yang menyebutnya dengan sebutan, “Pondok Mbareng”. Sebenarnya, Mbareng adalah nama sebuah dukuh di desa Hadipolo tempat dimana stasiun pemberhentian kereta pada saat itu berada. Santri menganggap bahwa lokasi pesantren berada dalam wilayah desa tersebut. Dari anggapan itulah akhirnya pesantren Mbah Yasin dikenal dengan sebutan Pondok Bareng.
Di pesantren ini dikaji berbagai macam ilmu bersumber dari kitab-ktab salaf . sekitar tahun 1918 – 1953 para santri disamping mengkaji kitab-kitab salaf juga banyak yang melakukan riyadloh, sehingga Pondok Mbareng juga dikenal sebagai Pondok Riyadloh. Menurut keterangan dari para santrinya yang masih hidup, seperti KH.Ahmad Basyir dan Alm KH Hanafi (yang pada waktu naskah ini ditulis beliau masih hidup) pada masa mondok di pesantren dibatasi untuk tidak makan yang enak-enak atau dengan kata lain para santri diharapkan hidup prihati selama menuntut ilmu.
KH.Yasin dikenal sebagai sosok yang lurus dan banya bergelut di pesantren. KH.Yasin adalah tpe kiai pesantren, dimana sebagian besar waktunya beliau curahkan utuk mendidik para santri. Setelah sekitar 35 tahun mengasuh para santrinya, bertepatan dengan hari Rabu Pon taggal 30 Desember 1953 M / Robiul Akhir 1373 H beliau wafat dan dimakamkan disamping masjid jami` Kauman. Makam beliau banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah.
Banyak karya dan kiprah KH.Yasin bagi masyarakat. Namun, hanya sedikit karya beliau yang ditemukan. Diantaranya semasa hidup, beliau sempat menulis syarah Asmaul Husna dan tulisan-tulisan Khutbah Hari Raya dalam bahasa Arab. Satu hal yang bisa dilihat dari pengaruh KH.Yasin yang sampai sekarang masih banyak diamalkan orang adalah ijazah Dalail al-Khairat. Ijazah ini seringkali diamalkan oleh para santri sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Khsliq dan ungkapan prihatin dalam masa menuntut ilmu.
Setelah ditinggal beliau, Pondok Bareng diteruskan oleh putranya yaitu K.Muhammad bin Yasin. Setelah sekian lama Pondok Bareng tanpa nama, akhirnya K.Muhammad mempunyai insiatif untuk memberi nama agar pesantren ini mudah dikenal oleh para santri. Tepatnya pada tahun 1979 M ? 1399 H pesantren ini diberi nama Al Qoumaniyyah. Nama ini diambil dari dukuh Kauman dimana pondok ini berdiri, yang merupakan salah satu dukuh di desa Jekulo. Tercatat pesantren ini telah mencetak ulama-ulama trnama, diantaranya KH.Muhammadun (Pondohan Pati), KH. Hambali (Kudus), Habib Muhsin (Pemalang), KH.Ma`mun (Kudus), KH. Hanafi (Jekulo Kudus), KH. A Basyir (Jekulo Kudus), KH Shaleh (Sayung Demak), Habib Ali bin Syihab (Mayong Jepara), Habib Muhammad Al Kaf (Imam Masjid Agung Magelang) dan masih banyak ulama lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Demikianlah Biografi singkat Waliyullah KH.Yasin dan sejarah singkat pesantren Al Qaumaniyyah (Bareng) Jekulo Kudus, yang pengaruhnya dapat dirasakan oleh masyarakat hingga sekarang yaitu terbentuknya tatanan masyarakat yan islami di Jekulo Kudus. Hingga saat inidi desa Jekulo tercatat berdiri tidak kurang dari sepuluh peesantren. Kenyataan ini tidak lepas dari peranan perjuangan Mbah KH.Yasin sebagai cikal bakal pendiri pondok pesantren Al Qaumaniyyah Jekulo Kudus.
* Rujukan: wawancara dengan KH.Sanusi pada tanggal 3 April 2003, beliau adalah putra ragil KH.Yasin dan dari KH. Mujib bin Muhammad bin Yasin serta berbagai manuskrip K.Muhammad.
Jurnalis : Lukman Al Hakim, Achlis Syafi`I
Editor : Moh Hammah
Sumber:http://nujekulo.blogspot.com/2011/06/biografi-singkat-khyasin-cikal-bakal.html
KH.Yasin dilahirkan sekitar tahun 1890-an di desa Cebolek kecamatan Margoyoso kabupaten Pati. Desa cebolek sendiri, pernah diabadikan dalam salah satu Karya sastra Kyai Yasadipura II pada naskah yang berjudul Serat Cebolek, yang menceritakan kecerdikan Mbah Mutamakin Kajen dalam menghadapi Pengadilan Kolonial Belanda. KH.Yasin merupakan anak yang ke-7 dari 9 bersaudara. Ayah beliau bernama H.Amin (Nama asli: Tasmin) dan ibu beliau bernama Salamah. Nama asli pemberian orang tua beliau adalah Soekandar, kemudian setelah Haji beliau mempunyai nama Yasin. Nama inilah yang kemudian dikenal oleh banyak orang.
Sejak kecil beliau telah menjadi Yatim, karena ketika ayahnya pergi haji ke tanah suci, sang ayah meninggal di sana dan kemudian dimakamkan di Baqi`. Yasin kecil yang menjadi yatim sepeninggal ayahnya itu kemudian diangkat anak oleh Mbah Salam yang merupakan ayah dari Mbah Abdullah Salam atau kakek dari pada KH.Sahal Mahfudh Kajen Pati.
Semasa kecil, ketertarikan beliau akan ilmu Agama sangatlah mencolok. Beliau rajin mempelajari ilmu agama baik mengaji dilingkungan desanya maupun di tempat lain. Ketika mondok, Yasin kecil dikenal sebagai santri yang cerdas, lincah dan dapat mengikuti semua pelajaran dengan baik. Didapatkan keterangan, bahwa beliau beliau jarang memberikan makna pada kitab-kitabnya, namun demikian, beliau tidak kalah dengan santri-santri lainnya. Bahkan ketika belajar di tempat Kiai Idris Jamsaren solo, beliau diperbolehkan mengikuti pengajian Hikam, yang pada waktu itu hanya diperbolehkan bagi santri-santri yang telah berumur 40 tahun, padahal waktu itu Kiai Yasin masih berumur 25 tahun. Disamping belajar dengan Kiai Idris, tercatat bahwa Kiai Yasin juga pernah beljar dari beberapa Ulama lainnya. Diantaranya, adalah KH.Kholil Bangkalan Madura, Kiai Abdussalam bin Abdillah Kajen Pati, Kiai Sanusi bin Ya``qub Jekulo, Kiai Nawawi Sidogiri, Kiai Kholil Harun Kasingan Rembang, Mbah Amir Pekalongan dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Setelah lama belajar di tanah air, beliau merantau ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Di kota suci ini beliau singgah dalam waktu yang cukup lama dan dari sinilah yang menyebabkan kedekatan beliau dengan ulama-ulama besar Mekah pada saat itu.
Setelah sekian lama menempa ilmu pengetahuan di tanah suci, akhirnya KH.Yasin kembali ke Cebolek Pati dan kemudian pindah ke desa Jekulo kabupaten Kudus setelah menikah dengan seorang gadis bernama Muthi`ah binti KH.Yasir Jekulo yang merupakan salah satu ulama di desa Jekulo pada waktu itu.
Seluruh kehidupan KH.Yasin beliau curahkan untuk kepentingan agama Islam.KH.Yasin merupakan sosok yang sederhana, arif, dan sikapnya egiliter (Menganggap sama terhdap semua orang) sehingga beliau merupakan sosok yang disegani di masyarakat.
Dengan kapasitas keilmuwan agamanya yang luas, di desa Jekulo ini kemudia beliau KH.Yasin mendirikan pondok pesantren sebagai tempat untuk mengkaji ilmu agama. Pembangunan ini dilakukan sekitar tahun 1918 M yang dilatar belakangi dengan adanya anak-anak yang ingin mengaji kitab suci Al Qur`an di rumah beliau. Semula hanya tiga orang santri yang mengaji di rumah beliau, diantaranya adalah H. Abdul Hamid dari Klaling Jekulo Kudus. Semakin hari ternyata semakin banyak santri yang datang ingin mengaji. Melihat kenyataan tersebut mbah Kiai Sanusi (Guru Sufi beliau) memberikan saran agar KH.Yasin membuatkan tempat khusus untuk mengaji, karena akan lebh baik apabila memiliki tempat tersendiri. Kemudian denga senang hati beliau menerima saran tersebut. Pada saat itu beliau belum begitu bayak santri yang belajar di sana sehingga secara resmi belum belum dapat dianggap sebagai pesatren. Baru kemudian pada tahun 1923 M banyak santri yang berdatangan dari luar daerah untuk mengaji, sehingga pada tahun itulah secara resmi pesantren KH.Yasin berdiri.
Pada masa KH.Yasin, pesantren tersebut tidak atau belum diberi nama. Namun banyak santri yang menyebutnya dengan sebutan, “Pondok Mbareng”. Sebenarnya, Mbareng adalah nama sebuah dukuh di desa Hadipolo tempat dimana stasiun pemberhentian kereta pada saat itu berada. Santri menganggap bahwa lokasi pesantren berada dalam wilayah desa tersebut. Dari anggapan itulah akhirnya pesantren Mbah Yasin dikenal dengan sebutan Pondok Bareng.
Di pesantren ini dikaji berbagai macam ilmu bersumber dari kitab-ktab salaf . sekitar tahun 1918 – 1953 para santri disamping mengkaji kitab-kitab salaf juga banyak yang melakukan riyadloh, sehingga Pondok Mbareng juga dikenal sebagai Pondok Riyadloh. Menurut keterangan dari para santrinya yang masih hidup, seperti KH.Ahmad Basyir dan Alm KH Hanafi (yang pada waktu naskah ini ditulis beliau masih hidup) pada masa mondok di pesantren dibatasi untuk tidak makan yang enak-enak atau dengan kata lain para santri diharapkan hidup prihati selama menuntut ilmu.
KH.Yasin dikenal sebagai sosok yang lurus dan banya bergelut di pesantren. KH.Yasin adalah tpe kiai pesantren, dimana sebagian besar waktunya beliau curahkan utuk mendidik para santri. Setelah sekitar 35 tahun mengasuh para santrinya, bertepatan dengan hari Rabu Pon taggal 30 Desember 1953 M / Robiul Akhir 1373 H beliau wafat dan dimakamkan disamping masjid jami` Kauman. Makam beliau banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah.
Banyak karya dan kiprah KH.Yasin bagi masyarakat. Namun, hanya sedikit karya beliau yang ditemukan. Diantaranya semasa hidup, beliau sempat menulis syarah Asmaul Husna dan tulisan-tulisan Khutbah Hari Raya dalam bahasa Arab. Satu hal yang bisa dilihat dari pengaruh KH.Yasin yang sampai sekarang masih banyak diamalkan orang adalah ijazah Dalail al-Khairat. Ijazah ini seringkali diamalkan oleh para santri sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Khsliq dan ungkapan prihatin dalam masa menuntut ilmu.
Setelah ditinggal beliau, Pondok Bareng diteruskan oleh putranya yaitu K.Muhammad bin Yasin. Setelah sekian lama Pondok Bareng tanpa nama, akhirnya K.Muhammad mempunyai insiatif untuk memberi nama agar pesantren ini mudah dikenal oleh para santri. Tepatnya pada tahun 1979 M ? 1399 H pesantren ini diberi nama Al Qoumaniyyah. Nama ini diambil dari dukuh Kauman dimana pondok ini berdiri, yang merupakan salah satu dukuh di desa Jekulo. Tercatat pesantren ini telah mencetak ulama-ulama trnama, diantaranya KH.Muhammadun (Pondohan Pati), KH. Hambali (Kudus), Habib Muhsin (Pemalang), KH.Ma`mun (Kudus), KH. Hanafi (Jekulo Kudus), KH. A Basyir (Jekulo Kudus), KH Shaleh (Sayung Demak), Habib Ali bin Syihab (Mayong Jepara), Habib Muhammad Al Kaf (Imam Masjid Agung Magelang) dan masih banyak ulama lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Demikianlah Biografi singkat Waliyullah KH.Yasin dan sejarah singkat pesantren Al Qaumaniyyah (Bareng) Jekulo Kudus, yang pengaruhnya dapat dirasakan oleh masyarakat hingga sekarang yaitu terbentuknya tatanan masyarakat yan islami di Jekulo Kudus. Hingga saat inidi desa Jekulo tercatat berdiri tidak kurang dari sepuluh peesantren. Kenyataan ini tidak lepas dari peranan perjuangan Mbah KH.Yasin sebagai cikal bakal pendiri pondok pesantren Al Qaumaniyyah Jekulo Kudus.
* Rujukan: wawancara dengan KH.Sanusi pada tanggal 3 April 2003, beliau adalah putra ragil KH.Yasin dan dari KH. Mujib bin Muhammad bin Yasin serta berbagai manuskrip K.Muhammad.
Jurnalis : Lukman Al Hakim, Achlis Syafi`I
Editor : Moh Hammah
Sumber:http://nujekulo.blogspot.com/2011/06/biografi-singkat-khyasin-cikal-bakal.html
ULAMA' LOKAL KH. MUNSYARIF KARAS
Pageblug Dahsyat di Kala itu
Kyai kharismatik yang luar biasa di daerah Lasem di kala itu adalah sayyid Ibrahim. Mbah sambu, itulah orangnya. Lasem di saat itu merupakan kadipaten, yang saat ini sudah tidak menjadi kadipaten. Ketika itu, datanglah musim paceklik dengan panas yang sangat luar biasa. Dan anehnya, hampir semua orang mulai dari daerah Lasem hingga sampai daerah kecamatan Sedan, menderita penyakit yang sangat sulit sekali untuk di sembuhkan. Bahkan, tobib dan dokter pada waktu itu, tidak sanggup untuk menyembuhkan penyakit yang melanda daerah sepanjang Lasem sampai kecamatan Sedan.
Banyak orang menyebutnya dengan penyakit “pageblug” [1], yakni penyakit panas yang di idap seseorang kemudian meninggal dunia lah orang yang menderita penyakit tersebut. Misalkan, di pagi hari seseorang menderita penyakit tersebut, dan siangnya pun meninggal seketika, begitu pula ketika seseorang menderita panas di siang hari, pasti sorenya meninggal, begitu seterusnya. Sungguh tragis bukan, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Di jaman yang serba sulit dan di landa penyakit aneh yang belum di temukan penawarnya. Bingung bukan kepalang yang dirasakan warga Lasem hingga kecamatan Sedan di saat itu.
Tersebar berita penyakit yang melanda di kala itu. Berita tersebut mencuat hingga terdengar sampai ke telinga bupati Lasem. Sehingga, akhirnya pun bupati membuat sayembara “ barang siapa yang sanggup mengatasi penyakit tersebut, maka akan memperoleh hadiah yang sangat besar”. Berlomba-lomba orang di kala itu untuk mencari penawar penyakit pegembeleng. Mbah sambu pun, ikut berikhtiar dalam mengatasi penyakit tersebut. Namun, beliau sama sekali tidak tergiur dengan yang namanya hadiah. Berikhtiarlah beliau hingga sampai pada puncak spiritualitas yang tinggi. Dhuriyahnya Mbah sambu adalah KH., Ja’far-KH. Jumali-KH. Munsyarif, begitulah dhuriahnya. Mbah sambu merupakan tokoh masyarakat/kyai yang pertama kali babat tanah Lasem. Maqamnya saat ini berada di sebelah samping barat laut masjid Jami’ Lasem, dan setiap tahunnya pun di adakan haul. Yaitu do’a yang dikerjakan bersama untuk mendo’akan para pejuang Islam di jaman dulu, yang telah membawa Islam terang benderang saat ini.
Akhirnya, dengan usaha yang mentok penyakit tersebut belum bisa teratasi. Dan akhirnya pun beliau memasrahkan semuanya pada Allah. Melalui usaha batin yang beliau kerjakan, dan tanpa henti-hentinya untuk mencoba, akhirnya pun penyakit tersebut bisa teratasi dengan usaha yang sungguh-sungguh dari beliau dengan jalan meminta petunjuk pada Allah. Ketika sedikit demi sedikit beliau mengobati warga yang terkena penyakit, akhirnya berhasil juga. Dan sedikit demi sedikit warga sembuh berkat bantuan dari beliau.
Hingga pada akhirnya beberapa bulan kemudian, penyakit tersebut bisa diobati, dan teratasilah penyakit yang mengerikan itu. Jeda beberapa minggu datanglah bupati Lasem, mendengar penyakit aneh yang melanda tersebut sudah teratasi. Bapak bupati, menanyakan pada warga sekitar, siapakah yang bisa mencari penawar penyakit aneh yang telah melanda daerah Lasem dan sekitarnya.
Warga pun mengatakan bahwasanya semua ini adalah berkat kesungguhan mbah Sambu yang tiada henti berusaha demi kesembuhan warga desa Lasem dan sekitarnya. Mendengar hal tersebut, bapak bupati Lasem berkenan untuk menemui beliau guna bersilaturahmi pada beliau. Dan akhirnya, ketika sudah berbincang-bincang cukup lama. Bapak bupati menyudahi pertemuan, dan dihadiahilah mbah sambu tanah yang cukup luas, entah berapa luas tanah yang di berikan di waktu itu.
Yang jelas tanah yang di berikan bapak bupati Lasem cukup luas, karena saat ini tanah tersebut di bangun masjid Lasem yang saat ini berdiri gagah dan kokoh, serta di bangun beberapa maqam di sekitarnya di daerah Lasem.
Banyak kerajaan berdiri di akhir kejayaan walisongo di tanah Jawa. Lasem yang mayoritas penduduknya adalah orang cina dan berkeyakinan konghucu merupakan masyarakat terbanyak yang menduduki tanah Lasem pada 500 tahun silam. Lasem di kala itu berada di bawah naungan kerajaan Brawijaya. Pada suatu ketika terjadilah perang sengit antara kerajaan Brawijaya dan kerajaan Lasem. Perang tersebut di latar belakangi karena saking luasnya tanah Lasem di saat itu. Sehingga membuat kerajaan Brawijaya tergiur untuk menguasai tanah Lasem di kala itu. Namun, hal tersebut sama sekali tidak membuat hati gentar para masyarakat muslim di Lasem saat itu. Mereka berjuang untuk mempertahankan tanah Lasem. Ketika itu masyarakat cina pun berat sekali untuk mengulurkan tangannya dalam mendukung perjuangan Kadipaten Lasem melawan kerajaan Brawijaya. Perang pun berlangsung sengit hingga beberapa saat mbah Sambu melepaskan panahnya yang ketika itu tepat mengenai sasaran, yaitu mengenai paying yang di kenakan oleh raja Brawijaya tat kala peperangan berlangsung, sehingga membuat pasukan Brawijaya minder yang akhirnya memutuskan untuk kembali dan menyerah pada kadipaten Lasem. Sehingga Adipati Lasem menghadiahi setengah dari luas tanah Lasem seluruhnya.
Keadaan Masyarakat Karas di Kala Dulu
Perjalanan mbah sambu dalam mensyiarkan agama Islam di Lasem, lambat laun menuai hasil yang sangat luar biasa. Hal itu terbukti, dari banyaknya masyarakat Lasem yang berpindah ke Islam.
Beralih ke desa Karas, begitulah orang-orang menyebutnya. Konon daerah karas dulunya orang-orangnya relatif agak keras. Sehingga, lahirlah nama Karas sebagai julukannya. Namun, hal tersebut sangat berlawanan sekali dengan fakta yang nampak saat ini, yang hampir semua warga desa karas adalah baik-baik. Karas merupakan desa kecil yang berada di kecamatan Sedan kabupaten Rembang. Yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di jauh hari sekitar 150 tahun silam, desa Karas adalah sebuah desa yang sangat rimbun, dan bahkan bisa dikatakan sebagai hutan. Karena saking banyaknya pohon-pohon yang hidup memenuhi ranah Karas di masa itu. Pun Karas adalah salah satu daerah jajahan Belanda yang saat itu berkuasa di Sedan.
Belanda pada saat itu berkuasa di tanah Karas dengan mendirikan suatu pabrik yang saat ini masih berdiri yang berada di Desa Ngandang Kecamatan Sale Kabupaten Rembang yang berada di sebelah selatan desa Karas. Saat itu Belanda mendirikan pabrik peralatan rumah tangga seperti piring, sendok, garpu, mangkuk dan lain-lain. Dulunya alat tersebut hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berada. Karena peralatan tersebut relatif mahal harganya, hingga tidak terjangkau oleh saku para penduduk sekitar di kala itu.
Di samping hal tersebut, desa Karas dulunya, jika kita telisik dari segi keagamaanya, sungguh sangat kurang. Hampir separuh lebih masyarakat sekitar sama sekali tidak mengenal apa yang namanya Islam. Sehingga masyarakat sangat fanatik sekali, karena belum sampainya dakwah Islam pada masyarakat daerah sekitar Karas. Hingga hanya segelintir orang saja yang pada saat itu beragama Islam. Bahkan, konon ketika seseorang mengumandangkan adzan, saking fanatiknya mereka bilang bahwa suara adzan bagaikan ‘gonggongan anjing’ yang telah mencuat, menggerogoti telinga ucap mereka para penduduk sekitar desa Karas.
Terlepas dari itu, ketika itu akses jalan yang sungguh sangat sulit, hingga menerobos jalan setapak, semak-semak di lakukan oleh orang-orang pada saat itu, dan di tambah dengan penjagaan yang super ketat dari pasukan Belanda. Hingga keadaan yang serba sulit tersebut, menjadikan keadaan semakin tertekan dirasakan kebanyakan penduduk saat itu.
Masjid di waktu dulu hanya ada satu[2], pun letaknya sangat jauh yang berada di kecamatan Sedan. Saat ini namanya Masjid Jami’ Sidorejo.Yang memakan jarak 5 Km dengan ditempuh melalui jalan kaki. Sungguh ironis bukan? Perjuangan kaum muslim saat itu untuk mendirikan shalat Jum’at mereka harus tertatih-tatih serta berhati-hati untuk sampai ke Masjid Jami’, guna menghindari pengawasan pasukan belanda yang super ketat.
Di kala itu akses untuk menuju ke Masjid yaitu harus melewati pingir-pinggir sungai dan lereng gunung Kunci[3] yang terletak di sebelah barat desa Karas. Gunung yang menjulang ke utara tersebut di jadikan akses jalan untuk menuju ke Masjid Jami’ Sidorejo. Hingga jalan setapak yang sangat jarang sekali di lewati oleh orang, bahkan sama sekali tidak pernah dilewati oleh seseorang tetap mereka terobos. Demi menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang ta’at menjalankan perintah agama.
Sungguh merupakan hal yang sulit sekali berjuang untuk mendirikan sholat Jum’at di masjid harus bersusah payah seperti itu. Menerobos bahaya yang sangat tinggi risikonya. Dengan keterbatasan alat transportasi, serta hanya mengandalkan fisik hal tersebut tidak menjadikan kecil hati bagi warga sekitar desa Karas.
Tak tahu kenapa pemerintahan di kala itu hanya membangun sebuah masjid saja dan tidak berani untuk membangun masjid dibanyak desa. Mungkin karena mereka semua berada di bawah tekanan pemerintahan belanda, sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk, patuh, serta ta’at pada pemerintahan Belanda yang berkuasa di Karas saat itu.
Ahyauddinal Islam KH. Munsyarif
Jikalau disetiap desa terdapat satu masjid tentu tidak akan menyulitkan warga untuk menempuh perjalanan ke masjid. Namun, jika masyarakat tetap nekat untuk mendirikan masjid, tentu masalahnya akan semakin rumit, karena telah menentang pemerintahan belanda. Sudah barang tentu pasukan belanda akan meluluh lantahkan masjid yang telah susah payah mereka dirikan, itu kalau mereka nekat mendirikan masjid.
Tetapi hal tersebut sama sekali tidak mengurungkan niat luhur sesosok kyai yang saat itu merupakan seseorang yang memulai babat tanah Karas. Beliau adalah KH. Munsyarif, yang hampir setiap orang bahkan semua penduduk Karas belum mengetahui betapa keras dan semangatnya beliau dalam menegakkan agama Islam di tanah Karas pada saat itu. Beliau berdakwah dengan tujuan “Akhyauddinal Islam”, ngurip-ngurip agama Islam[4].
Karena sudah hampir 150 tahun lebih, dan setelah di lakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata sesosok kyai bernama KH. Munsyarif, berasal dari daerah tuyuhan yang merupakan kecamatan Pamotan kabupaten Rembang saat ini, yang terletak di sebelah barat desa Karas. KH. Munsyarif adalah mbah dari mbahnya Mbah Asyhari Manaf, yang saat ini adalah seorang kyai di Karas pimpinan Masjid Al-Munsyarif Karas. Sungguh amat sangat jauh sekali jarak antara Mbah Asyhari Manaf dengan KH. Munsyarif. Konon Mbah Asyhari Manaf memperoleh cerita tersebut dari ayahnya yang bernama K.H. Manaf. Dan KH. Manaf pun memperoleh cerita tersebut dari mbahnya. Namun, Mbah Asyhari Manaf paham akan cerita KH. Munsyarif, yang sudah sekian lama terkubur sejarahnya yang hampir semua warga desa Karas saat ini belum banyak mengetahui.
Namun, dengan di adakannya haul setiap hari Jum’at Legi setelah shalat Jum’at para jama’ah shalat Jum’at berbondong-bondong ke makam untuk mendo’akan KH. Munsyarif. Dan hal itu saat ini sudah menjadi rutinitas warga desa Karas untuk mendo’akan para pejuang Islam di desa Karas. Terlepas dari itu semua, daerah Karas yang saat itu sungguh sangat rimbun sekali bahkan hanya sedikit penghuni yang ada di desa tersebut.
Jikalau di saat itu tidak ada pelopor seperti halnya KH. Munsyarif, sudah pasti masyarakat desa Karas tidak akan menikmati betapa indahnya Islam, bisa saja masyarakat desa Karas akan buta tentang Islam. Bahkan bisa saja mereka masih tetap dalam keprimitifan dan tidak mengenal agama sama sekali. Sungguh na’as bukan?.
Masih di bawah tekanan belanda, melihat kesusahan para warga desa Karas untuk mendirikan masjid, timbulah niat kuat yang terdorong dari hati terdalam KH. Munsyarif untuk mendirikan sebuah masjid yang tidak begitu besar dan berada tidak jauh dari rumahnya. Konon beliau memiliki tanah yang cukup luas. Pun tanah tersebut adalah hibah dari mbah yahya[5].
Di dirikanlah masjid berukuran sedang yang hanya beratapkan anyaman daun kelapa dan daun rotan. Dengan bertembok anyaman bambu yang telah di anyam sedemikian rupa, hingga menyerupai asbes yang tersedia saat ini. Begitu pula penutup pintu yang pada saat itu menggunakan anyaman daun rotan, guna menghindari serangan ayam kampung yang masuk ke dalam masjid supaya tidak jadi masuk ke dalam masjid dan akhirnya terlepas dari ancaman kotorannya.[6]
Meskipun, hanya sebatas bahan berbahan alami, hal itu tak menjadikan penghambat bagi KH. Munsyarif untuk tetap mendirikan masjid, dan akhirnya pun jadilah masjid yang sungguh sangat sederhana, dibandingkan dengan masjid yang ada pada saat ini. Masjid yang dibuat tersebut menyerupai gubug reog yang tak akan kuat menahan terpaan angin. Sehingga para pasukan belanda sama sekali tidak menyangka bahwasanya gubug reog tersebut adalah masjid warga Karas saat itu. Yang saat ini menjadi Masjid Jami’ Karas yaitu masjid Al-Munsyarif, yang kini berdiri gagah nan luar biasa dengan desain yang sedemikian rupa menakjubkan.
Walaupun di kala itu dengan keterbatasan yang ada. Para muslimin yang hidup di desa Karas memanfaatkan masjid tersebut untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai kaum muslim yang taat pada Rabb nya. Bermodal masjid sederhana nan kecil, dimulailah dakwah beliau dalam menegakan agama Islam di desa Karas saat itu. Alasan beliau berdakwah di Karas, karena Karas saat itu fanatik sekali orangnya serta menghidupkan Islam.
Beliau berdakwah dengan sangat sederhana sekali, dan secara sembunyi-sembunyi, seperti halnya dakwah yang dikerjakan oleh Rasulullah pertama kali. Target KH. Munsyarif adalah masyarakat sekitar rumah dan desa yang berada di sekitar desa Karas. Namun, kendati demikian tidak mudah di saat itu. Sungguh banyak sekali hambatan dan rintangan yang beliau hadapi. Setelah beberapa bulan tanpa rasa putus asa, akhirnya, dakwah yang selama ini dikerjakan beliau menuai hasil yang cukup memuaskan, meski masih ada segelintir orang yang belum sadar, dan masih berpegang teguh pada keyakinan mereka.
Sungguh,keadaan yang sangat sulit sekali. Dihadapkan pada ketatnya pengawasan pasukan belanda yang saat itu mengawasi gerak-gerik masyarakat desa Karas, di tambah lagi dengan keprimitifan masyarakat sekitar desa Karas. Hal tersebut di atas sama sekali tidak menciutkan niat mulia beliau untuk berdakwah menegakkan agama Islam di desa Karas.
Di waktu itu merupakan waktu yang sangat sulit sekali untuk mengelabui pasukan belanda. Apalagi untuk memberontak pasukan belanda, sungguh hal yang mustahil,dan konyol. Sama sekali tidak ada celah untuk itu. Bagaikan kutuk marani sunduk . Hanya orang bodoh saja lah yang mau menyetorkan nyawanya dengan sia-sia kepada pasukan belanda.
Hari silih berganti menjadi minggu, minggu pun berganti menjadi bulan, dan bulan pun berganti menjadi tahun. Ketika KH. Munsyarif telah mendirikan masjid yang sederhana beratapkan anyaman daun kelapa serta anyaman daun rotan, masyarakat tak henti-hentinya menjadikan masjid sederhana tersebut sebagai ranah untuk memperkokoh ukhuwah, dan mendirikan jama’ah.
Ketika itu, di siang hari dan telah masuk waktu duhur, muadzin mengumandangkan adzannya, hinga terdengar dari kejauhan sana, sampai ke daerah sekitar desa Karas. Dan lagi-lagi ketika warga sekitar kdesa Karas mendengar seruan adzan, mereka melontarkan kata ‘anjingnya sudah menggaung’ ungkap mereka yang tinggal di sekitar desa Karas[7].
Hal yang semacam itu sama sekali tidak di permasalahkan oleh masyarakaat warga Karas, karena mereka memaklumi bahwasanya mereka belum mengetahui apakah Islam itu sejatinya.
Sedikit demi sedikit dakwah KH. Munsyarif masuk dalam ranah sekitar desa Karas, dan mereka pun menyambut dengan baik. Mungkin karena warga yang berada di sekitar Karas tersebut telah merindukan apa yang namanya ketenangan hati. Maka mereka menyambut kedatangan KH. Munsyarif saat itu. Sungguh sangat luar biasa, mereka tertarik pada ajaran Islam, dan akhirnya pun hampir 80% masyarakat di sekitar desa Karas telah beragama Islam, dan hanya sedikit gelintir orang saja yang masih mempertahankan keyakinan mereka.
Kalau kita refleksikan perjuangan KH. Munsyarif dalam berdakwah, sungguh sangat manjur sekali beliau dalam berdakwah. Dengan lisan yang cakap dan halus hal tersebut mudah bagi KH. Munsyarif untuk berdakwah kepada masyarakat sekitar desa Karas. Dengan waktu yang relatif singkat, beliau menunjukkan kepiawaiannya dalam berdakwah mengajak umat masuk dalam agama Islam tanpa suatu paksaan apapun, untuk selalu berbuat kebajikan, dan saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan pula. Dan kini masjid yang mulanya hanya di kunjungi oleh masrakat warga desa Karas akhirnya masyarakat sekitar desa Karas berduyun-duyun untuk mengadakan shalat berjama’ah tatkala adzan berkumandang.
Ketika dakwah beliau sudah menuai kesuksesan, beliau mendirikan pondok pesantren yang sederhana pula, seperti halnya masjid yang dibangunnya. Pondok pesantrennya sungguh sederhana sekali hanya berbentuk rumah ysng tinggi yang memakai alas kayu. Ya hampir seperti pagupon[8].
Beda sekali dengan pondok pesantren yang saat ini banyak sekali didirikan, yang berkamar-kamar serta bertingkat- tingkat. Hingga mampu menampung ratusan bahkan ribuan santri dalam tiap periodenya. Tapi pondok pesantren yang didirikan sungguh lain. Namun meskipun tidak seberapa besar pondok pesantren yang di bangun oleh beliau, banyak juga santri dari desa Karas sendiri, desa sekitar Karas hingga daerah di luar Karas. Bahkan, santri beliau yang menjadi kyai diantaranya adalah K. Syakur-Jatirogo, Mbah Sarbani- Karang asem, Mbah Ustman-Sedan. Konon, gubug reog yang berada di sisi maqam mbah Hamzah Syato’[9] adalah rumah Mbah Ustman. Yang sampai saat ini tak seorang pun yang berani membongkar rumah tua tersebut. Suatu hari ketika rumah tersebut mau dirobohkan keluarlah Harimau dari rumah tua tersebut. Hingga sangat ketakutan sekali bagi orang yang mau membongkar rumah tua tersebut.
Dulunya KH. Munsyarif berguru pada ayahnya sendiri di usia kecil hngga remajanya. Dan di usia mudanya beliau mondok di Surabaya di pondok Ndresmo. Keseharian beliau adalah mengaji kitab Ikhya’ Ulumuddin dan Tafsir Jalalain.Ulama’ se-era beliau adalah Mbah Ghazali, beliau adalah orang daerah sarang yang telah mendirikan masjid Al- Ghazaliyah. Mbah Sungeb, beliau adalah buyut dari KH. Maemun Zubair sarang[10].
Ketika itu KH. Munsyarif sungguh sangat anti belanda sekali. Beliau sangat wira’i. pun dalam hal apapun. Bahkan makan pun tidak akan mau dengan memakai sendok, piring dan lain-lainnya. Sangat wira’i sekali beliau hanya cukup dengan daun pohon jati atau daun pisang sebagai alas yang di gunakan dalam makan beliau. Hingga suatu ketika tatkala beliau akan makan bersama dengan santri-santrinya. Ada seorang santri [11]yang mengkritik beliau di kala itu. Lho mbah kyai, “panjenengan dahar kaleh cowek, niku ndamelane kaleh campuran blotong lho mbah”. “Ora nang, iki mengko tak teleme’i karo godong gedang” ungkap mbah Munsyarif kala itu.
Kalau kita melihat cerita tersebut, sungguh sangat wira’i dan hati-hati sekali beliau dalam suatu hal apapun termasuk dalam makan, yang mungkin banyak orang mengira bahwa makan adalah suatu yang biasa yang sama sekali tidak ada adab di dalamnya. Kalau hal tersebut di terapkan dalam kekinian, hampir tidak ada orang yang bisa menjalani hal tersebut seperti apa yang di kerjakan oleh KH. Munsyarif di kala itu.
Padahal kalau kita melihat, di jaman dulu sudah ada peralatan yang cukup modern yang telah banyak di produksi oleh belanda saat itu. Yang hargaya lambat laun terjangkau oleh saku jkebanyakan warga. Bahkan, di waktu itu ada sebagian kecil perahu di laut yang telah menggunakan mesin diesel yang pada saat itu merupakan buatan belanda. Yang hampir sebagian besar perahu melaju dengan layar, tanpa adanya mesin diesel.
Karena saking antinya beliau dengan belanda apapun barang buatan Belanda, beliau tidak akan memakai sama sekali. Hingga akhirnya ketika beliau menginginkan untuk berangkat Haji ke Mekah, beliau tidak mau menggunakan diesel. Sama sekali tidak mau.
Berhaji ke- Al-Mukarramah
Belanda di kala itu berhasil memproduksi peralatan yang cukup canggih berbagai perlengkapan rumah tangga, hingga sampai yang namanya diesel. Dan saat itu diesel digunakan sebagai alat bantu untuk menghidupkan aliran listrik dan sebagai mesin di perahu, yang saat itu masyarakat kebanyakan masih menggunakan layar sebagai alat untuk berlayar.
Hampir sebagian masyarakat di waktu itu telah memakai diesel untuk mempermudah mereka dalam berlayar mengarungi laut. Perahu di kala dulu di pakai sebagai alat transportasi ke berbagai daerah, bahkan ada juga yang di pakai untuk perjalanan menuju Al-Mukarramah Mekah, guna untuk berhaji. keadaan masyarakat saat itu sudah mulai membaik karena adanya mesin diesel yang telah di luncurkan oleh belanda.
Hal ini sungguh berbeda dengan KH. Munsyarif. Ketika waktu dulu saat beliau berangkat haji. Beliau berhaji dengan menempuh perjalanan laut, yang di kala itu sungguh memakan waktu yang amat lama sekali dan tentunya berbahaya. Beliau dengan berlayar menggunakan perahu dengan peralatan yang seadanya (layar) hanya mengandalkan angin lah selama perjalanan beliau ke mekah.
Hal tersebut sama sekali tak menyurutkan niat beliau untuk menunaikan ibadah haji di mekah. Hingga berlayar dengan perahu layar pun beliau lakukan. Konon, Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dalam perjalanan menuju mekah dengan berlayar[12].
Namun dikala itu waktu yang dibutuhkan cukup singkat yaitu selama 7 bulan lamanya. Jikalau kita mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk berhaji adalah 7 bulan, tentu kita akan enggan sekali untuk menunaikan ibadah haji di saat itu. Waktu 7 bulan di mulai dari keberangkatan beliau hingga kepulangan beliau dari mekah.
Tak terbayang oleh kita betapa keras perjuangan beliau dalam menunaikan ibadah haji di mekah. Sangat berbeda sekali dengan keadaan saat ini yang sangat mudah dalam semua hal tentunya dalam hal transportasi. Yang hanya memakan beberapa jam saja dalam keberangkatan menuju ke mekah. KH. Munsyarif sama sekali tidak ingin memakai apa yang namanya barang buatan belanda,bisa di katakan beliau sangat anti belanda sekali. Pun barang tersebut sangat luar biasa.
Beliau hanya menginginkan untuk memakai peralatan seadanya yang benar-benar tersedia oleh alam dan murni. Dengan memanfaatkan angin kencang yang berhembus di lautan serta mengikuti arah laju mata angin beliau hanya mengikutinya, dan pada akhirnya juga sampai ke Mekah. Luar biasa sekali perjuangan beliau dalam mengarungi lautan untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Melihat bahaya yang sangat sering terjadi di lautan luas, hal tersebut tentu sangat bahaya sekali. Namun bahaya yang menghinggapi KH. Munsyarif sama sekali tidak pernah beliau risaukan dalam menjalankan kewajibannya. Karena beliau yakin bahwasanya Allah akan memberikan kemudahan kepada hambanya yang akan mengerjakan kebaikan. Berkaca pada perjuangan beliau, apakah kita mampu untuk berwira’I seperti halnya beliau?, sungguh merupakan hal yang sulit sekali, melihat realita saat ini yang serba modern dan canggih.
Sulit sekali bukan jika kita tidak mengikuti apa yang sudah modern di kala itu, namun dengan pandangan lain KH. Munsyarif memilih dengan caranya sendiri. Yaitu dengan berhaji mengaruhi samudra lautan luas dengan berbekal peralatan seadanya dan hanya mengandalkan kemurnian alam tanpa bantuan perlatan modern apapun.
Hembusan Terakhir KH. Munsyarif
Beberapa tahun kemudian, desa karas yang saat itu hanya sedikit sekali penduduk yang memeluk agama islam, akhirnya lambat laun bertambah banyak. Hampir sebagian besar penduduk desa karas beragama islam, setelah beberapa tahun berkat kesungguhan dakwah dari beliau KH. Munsyarif.
Tidak bisa dibayangkan jikalau dahulu masyarakat desa karas tidak ada seseorang yang menerangi cahaya Islam. Tentu sampai sekarang masyarakat desa karas tetap akan masih berada dalam jaman yang gelap gulita, tiada cahaya terang pun yang Nampak yang bisa di nikmati. Kini cahaya yang terang benderang sudah dirasakan oleh semua warga masyarakat desa karas dan sekitarnya.
Masyarakat desa karas sungguh merasakan betapa luar biasanya, indahnya, serta nikmatnya Islam itu sendiri. Suatu kenikmatan yang sungguh tiada ternilai harganya dan kenikamatan tersebut tak akan mampu untuk di beli dengan suatau apapun. Sungguh luar biasa Islam tersebut dirasakan oleh masyarakat.
Saat itu masjid yang dulunya hanya terbalut oleh anyaman daun kelapa dan dan beratapkan rotan, akhirnya sedikit demi sedikit di perbaharui oleh warga. Namun tidak seindah yang ada saat ini. Ya masih sederhana, namun sudah lumayan dari sebelumnya. Dan meski masjid tersebut tergolong tidak terlalu besar, masjid jami’ karas terus di gunakan untuk pengajian dan jama’ah shalat fardhu lima waktu.
Jama’ah yang berkunjung ke masjid karas tidak hanya warga karas, namun sudah meliputi warga sekitar desa karas yaitu desa Mbalong, bulu, ngampel, karas geneng, watu celeng dll. Masjid jami’ karas juga di pergunakan oleh warga untuk shalat Jum’at. Warga desa karas sudah tidak lagi harus berjalan jauh menelusuri semak-semak dan lereng gunung, bahkan pinggir sungai. Ketika hari Jum’at mereka datang berduyun-duyun untuk melaksanakan shalat jum’at.
Serta yang tak kalah penting santri KH. Munsyarif yang tinggal di pondok samping masjid, ikut serta meramaikan Masjid. Jeda beberapa tahun, pengawasan pasukan belanda sudah tidak begitu ketat. Namun, meskipun demikian para warga desa karas juga masih berhati-hati untuk tetap waspada.
Setelah sekian lama dalam dakwah KH. Munsyarif di karas, sungguh membawa dampak yang luar biasa. Konon, dakwah beliau sukses dalam babat tanah karas. Karena hampir sebagian besar warga karas sudah mengenal agama Islam, dan akhirnya pun mereka bermassal berbondong-bondong masuk Islam.
Namun, semakin lama umur beliau juga semakin bertambah, dan di usia senjanya sebelum beliau wafat sempat beliau berwejangan kepada santrinya untuk menyembelih kerbau yang sudah lama beliau pelihara, ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Mendengar ucapan yang terucap dari lisan beliau, menjadikan sedih yang bukan main yang menimpa para santri. Dan ketika beliau wafat, kerbau yang tadinya merumput di hutan sebelah selatan desa karas akhirnya pulang sendiri tanpa di cari oleh santri yang biasa menggembala kerbau beliau. Tiba-tiba kerbau tersebut datang dengan sendirinya ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya[13].
[1] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada malam minggu tanggal 4 Juni 2011 diserambi depan rumah beliau.
[2] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari minggu tanggal 15 Mei 2011, di kediaman beliau.
[3] Gunung yang ada di daerah sedan yang banyak dihuni oleh orang saat ini, warga menyebutnya dengan desa koplok.
[4] Mbah Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman beliau desa Karas
[5] Mbah Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman beliau desa Karas
[6] K. Asyhari Abu, beliau adalah kyai yang berada di desa Mbalong. Cerita beliau pada hari senin tanggal 16 Mei 2011, di serambi Masjid Al-Munsyarif setelah jama’ah shalat duhur.
[7] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari minggu tanggal 15 Mei 2011.
[8] Pagupon: rumah/tempat di mana burung dara tinggal.
[9] Kyai yang pertama kali babat tanah di daerah sedan.
[10] Mbah. Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman K. asyhari desa Karas.
[11] KH. Maemun Zubair, ceramah beliau dalam rangka maulid Nabi Muhammad SAW, pada hari minggu tanggal 27 Februari 2011 di masjid Jami’ Al-Munsyarif desa Karas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang.
[12] KH. Maemun Zubair, ceramah beliau dalam rangka maulid Nabi Muhammad SAW, pada hari minggu tanggal 27 Februari 2011 di masjid Jami’ Al-Munsyarif desa Karas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang.
[13] Mbah. Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari selasa 17 Mei 2011.
Kyai kharismatik yang luar biasa di daerah Lasem di kala itu adalah sayyid Ibrahim. Mbah sambu, itulah orangnya. Lasem di saat itu merupakan kadipaten, yang saat ini sudah tidak menjadi kadipaten. Ketika itu, datanglah musim paceklik dengan panas yang sangat luar biasa. Dan anehnya, hampir semua orang mulai dari daerah Lasem hingga sampai daerah kecamatan Sedan, menderita penyakit yang sangat sulit sekali untuk di sembuhkan. Bahkan, tobib dan dokter pada waktu itu, tidak sanggup untuk menyembuhkan penyakit yang melanda daerah sepanjang Lasem sampai kecamatan Sedan.
Banyak orang menyebutnya dengan penyakit “pageblug” [1], yakni penyakit panas yang di idap seseorang kemudian meninggal dunia lah orang yang menderita penyakit tersebut. Misalkan, di pagi hari seseorang menderita penyakit tersebut, dan siangnya pun meninggal seketika, begitu pula ketika seseorang menderita panas di siang hari, pasti sorenya meninggal, begitu seterusnya. Sungguh tragis bukan, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Di jaman yang serba sulit dan di landa penyakit aneh yang belum di temukan penawarnya. Bingung bukan kepalang yang dirasakan warga Lasem hingga kecamatan Sedan di saat itu.
Tersebar berita penyakit yang melanda di kala itu. Berita tersebut mencuat hingga terdengar sampai ke telinga bupati Lasem. Sehingga, akhirnya pun bupati membuat sayembara “ barang siapa yang sanggup mengatasi penyakit tersebut, maka akan memperoleh hadiah yang sangat besar”. Berlomba-lomba orang di kala itu untuk mencari penawar penyakit pegembeleng. Mbah sambu pun, ikut berikhtiar dalam mengatasi penyakit tersebut. Namun, beliau sama sekali tidak tergiur dengan yang namanya hadiah. Berikhtiarlah beliau hingga sampai pada puncak spiritualitas yang tinggi. Dhuriyahnya Mbah sambu adalah KH., Ja’far-KH. Jumali-KH. Munsyarif, begitulah dhuriahnya. Mbah sambu merupakan tokoh masyarakat/kyai yang pertama kali babat tanah Lasem. Maqamnya saat ini berada di sebelah samping barat laut masjid Jami’ Lasem, dan setiap tahunnya pun di adakan haul. Yaitu do’a yang dikerjakan bersama untuk mendo’akan para pejuang Islam di jaman dulu, yang telah membawa Islam terang benderang saat ini.
Akhirnya, dengan usaha yang mentok penyakit tersebut belum bisa teratasi. Dan akhirnya pun beliau memasrahkan semuanya pada Allah. Melalui usaha batin yang beliau kerjakan, dan tanpa henti-hentinya untuk mencoba, akhirnya pun penyakit tersebut bisa teratasi dengan usaha yang sungguh-sungguh dari beliau dengan jalan meminta petunjuk pada Allah. Ketika sedikit demi sedikit beliau mengobati warga yang terkena penyakit, akhirnya berhasil juga. Dan sedikit demi sedikit warga sembuh berkat bantuan dari beliau.
Hingga pada akhirnya beberapa bulan kemudian, penyakit tersebut bisa diobati, dan teratasilah penyakit yang mengerikan itu. Jeda beberapa minggu datanglah bupati Lasem, mendengar penyakit aneh yang melanda tersebut sudah teratasi. Bapak bupati, menanyakan pada warga sekitar, siapakah yang bisa mencari penawar penyakit aneh yang telah melanda daerah Lasem dan sekitarnya.
Warga pun mengatakan bahwasanya semua ini adalah berkat kesungguhan mbah Sambu yang tiada henti berusaha demi kesembuhan warga desa Lasem dan sekitarnya. Mendengar hal tersebut, bapak bupati Lasem berkenan untuk menemui beliau guna bersilaturahmi pada beliau. Dan akhirnya, ketika sudah berbincang-bincang cukup lama. Bapak bupati menyudahi pertemuan, dan dihadiahilah mbah sambu tanah yang cukup luas, entah berapa luas tanah yang di berikan di waktu itu.
Yang jelas tanah yang di berikan bapak bupati Lasem cukup luas, karena saat ini tanah tersebut di bangun masjid Lasem yang saat ini berdiri gagah dan kokoh, serta di bangun beberapa maqam di sekitarnya di daerah Lasem.
Banyak kerajaan berdiri di akhir kejayaan walisongo di tanah Jawa. Lasem yang mayoritas penduduknya adalah orang cina dan berkeyakinan konghucu merupakan masyarakat terbanyak yang menduduki tanah Lasem pada 500 tahun silam. Lasem di kala itu berada di bawah naungan kerajaan Brawijaya. Pada suatu ketika terjadilah perang sengit antara kerajaan Brawijaya dan kerajaan Lasem. Perang tersebut di latar belakangi karena saking luasnya tanah Lasem di saat itu. Sehingga membuat kerajaan Brawijaya tergiur untuk menguasai tanah Lasem di kala itu. Namun, hal tersebut sama sekali tidak membuat hati gentar para masyarakat muslim di Lasem saat itu. Mereka berjuang untuk mempertahankan tanah Lasem. Ketika itu masyarakat cina pun berat sekali untuk mengulurkan tangannya dalam mendukung perjuangan Kadipaten Lasem melawan kerajaan Brawijaya. Perang pun berlangsung sengit hingga beberapa saat mbah Sambu melepaskan panahnya yang ketika itu tepat mengenai sasaran, yaitu mengenai paying yang di kenakan oleh raja Brawijaya tat kala peperangan berlangsung, sehingga membuat pasukan Brawijaya minder yang akhirnya memutuskan untuk kembali dan menyerah pada kadipaten Lasem. Sehingga Adipati Lasem menghadiahi setengah dari luas tanah Lasem seluruhnya.
Keadaan Masyarakat Karas di Kala Dulu
Perjalanan mbah sambu dalam mensyiarkan agama Islam di Lasem, lambat laun menuai hasil yang sangat luar biasa. Hal itu terbukti, dari banyaknya masyarakat Lasem yang berpindah ke Islam.
Beralih ke desa Karas, begitulah orang-orang menyebutnya. Konon daerah karas dulunya orang-orangnya relatif agak keras. Sehingga, lahirlah nama Karas sebagai julukannya. Namun, hal tersebut sangat berlawanan sekali dengan fakta yang nampak saat ini, yang hampir semua warga desa karas adalah baik-baik. Karas merupakan desa kecil yang berada di kecamatan Sedan kabupaten Rembang. Yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di jauh hari sekitar 150 tahun silam, desa Karas adalah sebuah desa yang sangat rimbun, dan bahkan bisa dikatakan sebagai hutan. Karena saking banyaknya pohon-pohon yang hidup memenuhi ranah Karas di masa itu. Pun Karas adalah salah satu daerah jajahan Belanda yang saat itu berkuasa di Sedan.
Belanda pada saat itu berkuasa di tanah Karas dengan mendirikan suatu pabrik yang saat ini masih berdiri yang berada di Desa Ngandang Kecamatan Sale Kabupaten Rembang yang berada di sebelah selatan desa Karas. Saat itu Belanda mendirikan pabrik peralatan rumah tangga seperti piring, sendok, garpu, mangkuk dan lain-lain. Dulunya alat tersebut hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berada. Karena peralatan tersebut relatif mahal harganya, hingga tidak terjangkau oleh saku para penduduk sekitar di kala itu.
Di samping hal tersebut, desa Karas dulunya, jika kita telisik dari segi keagamaanya, sungguh sangat kurang. Hampir separuh lebih masyarakat sekitar sama sekali tidak mengenal apa yang namanya Islam. Sehingga masyarakat sangat fanatik sekali, karena belum sampainya dakwah Islam pada masyarakat daerah sekitar Karas. Hingga hanya segelintir orang saja yang pada saat itu beragama Islam. Bahkan, konon ketika seseorang mengumandangkan adzan, saking fanatiknya mereka bilang bahwa suara adzan bagaikan ‘gonggongan anjing’ yang telah mencuat, menggerogoti telinga ucap mereka para penduduk sekitar desa Karas.
Terlepas dari itu, ketika itu akses jalan yang sungguh sangat sulit, hingga menerobos jalan setapak, semak-semak di lakukan oleh orang-orang pada saat itu, dan di tambah dengan penjagaan yang super ketat dari pasukan Belanda. Hingga keadaan yang serba sulit tersebut, menjadikan keadaan semakin tertekan dirasakan kebanyakan penduduk saat itu.
Masjid di waktu dulu hanya ada satu[2], pun letaknya sangat jauh yang berada di kecamatan Sedan. Saat ini namanya Masjid Jami’ Sidorejo.Yang memakan jarak 5 Km dengan ditempuh melalui jalan kaki. Sungguh ironis bukan? Perjuangan kaum muslim saat itu untuk mendirikan shalat Jum’at mereka harus tertatih-tatih serta berhati-hati untuk sampai ke Masjid Jami’, guna menghindari pengawasan pasukan belanda yang super ketat.
Di kala itu akses untuk menuju ke Masjid yaitu harus melewati pingir-pinggir sungai dan lereng gunung Kunci[3] yang terletak di sebelah barat desa Karas. Gunung yang menjulang ke utara tersebut di jadikan akses jalan untuk menuju ke Masjid Jami’ Sidorejo. Hingga jalan setapak yang sangat jarang sekali di lewati oleh orang, bahkan sama sekali tidak pernah dilewati oleh seseorang tetap mereka terobos. Demi menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang ta’at menjalankan perintah agama.
Sungguh merupakan hal yang sulit sekali berjuang untuk mendirikan sholat Jum’at di masjid harus bersusah payah seperti itu. Menerobos bahaya yang sangat tinggi risikonya. Dengan keterbatasan alat transportasi, serta hanya mengandalkan fisik hal tersebut tidak menjadikan kecil hati bagi warga sekitar desa Karas.
Tak tahu kenapa pemerintahan di kala itu hanya membangun sebuah masjid saja dan tidak berani untuk membangun masjid dibanyak desa. Mungkin karena mereka semua berada di bawah tekanan pemerintahan belanda, sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk, patuh, serta ta’at pada pemerintahan Belanda yang berkuasa di Karas saat itu.
Ahyauddinal Islam KH. Munsyarif
Jikalau disetiap desa terdapat satu masjid tentu tidak akan menyulitkan warga untuk menempuh perjalanan ke masjid. Namun, jika masyarakat tetap nekat untuk mendirikan masjid, tentu masalahnya akan semakin rumit, karena telah menentang pemerintahan belanda. Sudah barang tentu pasukan belanda akan meluluh lantahkan masjid yang telah susah payah mereka dirikan, itu kalau mereka nekat mendirikan masjid.
Tetapi hal tersebut sama sekali tidak mengurungkan niat luhur sesosok kyai yang saat itu merupakan seseorang yang memulai babat tanah Karas. Beliau adalah KH. Munsyarif, yang hampir setiap orang bahkan semua penduduk Karas belum mengetahui betapa keras dan semangatnya beliau dalam menegakkan agama Islam di tanah Karas pada saat itu. Beliau berdakwah dengan tujuan “Akhyauddinal Islam”, ngurip-ngurip agama Islam[4].
Karena sudah hampir 150 tahun lebih, dan setelah di lakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata sesosok kyai bernama KH. Munsyarif, berasal dari daerah tuyuhan yang merupakan kecamatan Pamotan kabupaten Rembang saat ini, yang terletak di sebelah barat desa Karas. KH. Munsyarif adalah mbah dari mbahnya Mbah Asyhari Manaf, yang saat ini adalah seorang kyai di Karas pimpinan Masjid Al-Munsyarif Karas. Sungguh amat sangat jauh sekali jarak antara Mbah Asyhari Manaf dengan KH. Munsyarif. Konon Mbah Asyhari Manaf memperoleh cerita tersebut dari ayahnya yang bernama K.H. Manaf. Dan KH. Manaf pun memperoleh cerita tersebut dari mbahnya. Namun, Mbah Asyhari Manaf paham akan cerita KH. Munsyarif, yang sudah sekian lama terkubur sejarahnya yang hampir semua warga desa Karas saat ini belum banyak mengetahui.
Namun, dengan di adakannya haul setiap hari Jum’at Legi setelah shalat Jum’at para jama’ah shalat Jum’at berbondong-bondong ke makam untuk mendo’akan KH. Munsyarif. Dan hal itu saat ini sudah menjadi rutinitas warga desa Karas untuk mendo’akan para pejuang Islam di desa Karas. Terlepas dari itu semua, daerah Karas yang saat itu sungguh sangat rimbun sekali bahkan hanya sedikit penghuni yang ada di desa tersebut.
Jikalau di saat itu tidak ada pelopor seperti halnya KH. Munsyarif, sudah pasti masyarakat desa Karas tidak akan menikmati betapa indahnya Islam, bisa saja masyarakat desa Karas akan buta tentang Islam. Bahkan bisa saja mereka masih tetap dalam keprimitifan dan tidak mengenal agama sama sekali. Sungguh na’as bukan?.
Masih di bawah tekanan belanda, melihat kesusahan para warga desa Karas untuk mendirikan masjid, timbulah niat kuat yang terdorong dari hati terdalam KH. Munsyarif untuk mendirikan sebuah masjid yang tidak begitu besar dan berada tidak jauh dari rumahnya. Konon beliau memiliki tanah yang cukup luas. Pun tanah tersebut adalah hibah dari mbah yahya[5].
Di dirikanlah masjid berukuran sedang yang hanya beratapkan anyaman daun kelapa dan daun rotan. Dengan bertembok anyaman bambu yang telah di anyam sedemikian rupa, hingga menyerupai asbes yang tersedia saat ini. Begitu pula penutup pintu yang pada saat itu menggunakan anyaman daun rotan, guna menghindari serangan ayam kampung yang masuk ke dalam masjid supaya tidak jadi masuk ke dalam masjid dan akhirnya terlepas dari ancaman kotorannya.[6]
Meskipun, hanya sebatas bahan berbahan alami, hal itu tak menjadikan penghambat bagi KH. Munsyarif untuk tetap mendirikan masjid, dan akhirnya pun jadilah masjid yang sungguh sangat sederhana, dibandingkan dengan masjid yang ada pada saat ini. Masjid yang dibuat tersebut menyerupai gubug reog yang tak akan kuat menahan terpaan angin. Sehingga para pasukan belanda sama sekali tidak menyangka bahwasanya gubug reog tersebut adalah masjid warga Karas saat itu. Yang saat ini menjadi Masjid Jami’ Karas yaitu masjid Al-Munsyarif, yang kini berdiri gagah nan luar biasa dengan desain yang sedemikian rupa menakjubkan.
Walaupun di kala itu dengan keterbatasan yang ada. Para muslimin yang hidup di desa Karas memanfaatkan masjid tersebut untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai kaum muslim yang taat pada Rabb nya. Bermodal masjid sederhana nan kecil, dimulailah dakwah beliau dalam menegakan agama Islam di desa Karas saat itu. Alasan beliau berdakwah di Karas, karena Karas saat itu fanatik sekali orangnya serta menghidupkan Islam.
Beliau berdakwah dengan sangat sederhana sekali, dan secara sembunyi-sembunyi, seperti halnya dakwah yang dikerjakan oleh Rasulullah pertama kali. Target KH. Munsyarif adalah masyarakat sekitar rumah dan desa yang berada di sekitar desa Karas. Namun, kendati demikian tidak mudah di saat itu. Sungguh banyak sekali hambatan dan rintangan yang beliau hadapi. Setelah beberapa bulan tanpa rasa putus asa, akhirnya, dakwah yang selama ini dikerjakan beliau menuai hasil yang cukup memuaskan, meski masih ada segelintir orang yang belum sadar, dan masih berpegang teguh pada keyakinan mereka.
Sungguh,keadaan yang sangat sulit sekali. Dihadapkan pada ketatnya pengawasan pasukan belanda yang saat itu mengawasi gerak-gerik masyarakat desa Karas, di tambah lagi dengan keprimitifan masyarakat sekitar desa Karas. Hal tersebut di atas sama sekali tidak menciutkan niat mulia beliau untuk berdakwah menegakkan agama Islam di desa Karas.
Di waktu itu merupakan waktu yang sangat sulit sekali untuk mengelabui pasukan belanda. Apalagi untuk memberontak pasukan belanda, sungguh hal yang mustahil,dan konyol. Sama sekali tidak ada celah untuk itu. Bagaikan kutuk marani sunduk . Hanya orang bodoh saja lah yang mau menyetorkan nyawanya dengan sia-sia kepada pasukan belanda.
Hari silih berganti menjadi minggu, minggu pun berganti menjadi bulan, dan bulan pun berganti menjadi tahun. Ketika KH. Munsyarif telah mendirikan masjid yang sederhana beratapkan anyaman daun kelapa serta anyaman daun rotan, masyarakat tak henti-hentinya menjadikan masjid sederhana tersebut sebagai ranah untuk memperkokoh ukhuwah, dan mendirikan jama’ah.
Ketika itu, di siang hari dan telah masuk waktu duhur, muadzin mengumandangkan adzannya, hinga terdengar dari kejauhan sana, sampai ke daerah sekitar desa Karas. Dan lagi-lagi ketika warga sekitar kdesa Karas mendengar seruan adzan, mereka melontarkan kata ‘anjingnya sudah menggaung’ ungkap mereka yang tinggal di sekitar desa Karas[7].
Hal yang semacam itu sama sekali tidak di permasalahkan oleh masyarakaat warga Karas, karena mereka memaklumi bahwasanya mereka belum mengetahui apakah Islam itu sejatinya.
Sedikit demi sedikit dakwah KH. Munsyarif masuk dalam ranah sekitar desa Karas, dan mereka pun menyambut dengan baik. Mungkin karena warga yang berada di sekitar Karas tersebut telah merindukan apa yang namanya ketenangan hati. Maka mereka menyambut kedatangan KH. Munsyarif saat itu. Sungguh sangat luar biasa, mereka tertarik pada ajaran Islam, dan akhirnya pun hampir 80% masyarakat di sekitar desa Karas telah beragama Islam, dan hanya sedikit gelintir orang saja yang masih mempertahankan keyakinan mereka.
Kalau kita refleksikan perjuangan KH. Munsyarif dalam berdakwah, sungguh sangat manjur sekali beliau dalam berdakwah. Dengan lisan yang cakap dan halus hal tersebut mudah bagi KH. Munsyarif untuk berdakwah kepada masyarakat sekitar desa Karas. Dengan waktu yang relatif singkat, beliau menunjukkan kepiawaiannya dalam berdakwah mengajak umat masuk dalam agama Islam tanpa suatu paksaan apapun, untuk selalu berbuat kebajikan, dan saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan pula. Dan kini masjid yang mulanya hanya di kunjungi oleh masrakat warga desa Karas akhirnya masyarakat sekitar desa Karas berduyun-duyun untuk mengadakan shalat berjama’ah tatkala adzan berkumandang.
Ketika dakwah beliau sudah menuai kesuksesan, beliau mendirikan pondok pesantren yang sederhana pula, seperti halnya masjid yang dibangunnya. Pondok pesantrennya sungguh sederhana sekali hanya berbentuk rumah ysng tinggi yang memakai alas kayu. Ya hampir seperti pagupon[8].
Beda sekali dengan pondok pesantren yang saat ini banyak sekali didirikan, yang berkamar-kamar serta bertingkat- tingkat. Hingga mampu menampung ratusan bahkan ribuan santri dalam tiap periodenya. Tapi pondok pesantren yang didirikan sungguh lain. Namun meskipun tidak seberapa besar pondok pesantren yang di bangun oleh beliau, banyak juga santri dari desa Karas sendiri, desa sekitar Karas hingga daerah di luar Karas. Bahkan, santri beliau yang menjadi kyai diantaranya adalah K. Syakur-Jatirogo, Mbah Sarbani- Karang asem, Mbah Ustman-Sedan. Konon, gubug reog yang berada di sisi maqam mbah Hamzah Syato’[9] adalah rumah Mbah Ustman. Yang sampai saat ini tak seorang pun yang berani membongkar rumah tua tersebut. Suatu hari ketika rumah tersebut mau dirobohkan keluarlah Harimau dari rumah tua tersebut. Hingga sangat ketakutan sekali bagi orang yang mau membongkar rumah tua tersebut.
Dulunya KH. Munsyarif berguru pada ayahnya sendiri di usia kecil hngga remajanya. Dan di usia mudanya beliau mondok di Surabaya di pondok Ndresmo. Keseharian beliau adalah mengaji kitab Ikhya’ Ulumuddin dan Tafsir Jalalain.Ulama’ se-era beliau adalah Mbah Ghazali, beliau adalah orang daerah sarang yang telah mendirikan masjid Al- Ghazaliyah. Mbah Sungeb, beliau adalah buyut dari KH. Maemun Zubair sarang[10].
Ketika itu KH. Munsyarif sungguh sangat anti belanda sekali. Beliau sangat wira’i. pun dalam hal apapun. Bahkan makan pun tidak akan mau dengan memakai sendok, piring dan lain-lainnya. Sangat wira’i sekali beliau hanya cukup dengan daun pohon jati atau daun pisang sebagai alas yang di gunakan dalam makan beliau. Hingga suatu ketika tatkala beliau akan makan bersama dengan santri-santrinya. Ada seorang santri [11]yang mengkritik beliau di kala itu. Lho mbah kyai, “panjenengan dahar kaleh cowek, niku ndamelane kaleh campuran blotong lho mbah”. “Ora nang, iki mengko tak teleme’i karo godong gedang” ungkap mbah Munsyarif kala itu.
Kalau kita melihat cerita tersebut, sungguh sangat wira’i dan hati-hati sekali beliau dalam suatu hal apapun termasuk dalam makan, yang mungkin banyak orang mengira bahwa makan adalah suatu yang biasa yang sama sekali tidak ada adab di dalamnya. Kalau hal tersebut di terapkan dalam kekinian, hampir tidak ada orang yang bisa menjalani hal tersebut seperti apa yang di kerjakan oleh KH. Munsyarif di kala itu.
Padahal kalau kita melihat, di jaman dulu sudah ada peralatan yang cukup modern yang telah banyak di produksi oleh belanda saat itu. Yang hargaya lambat laun terjangkau oleh saku jkebanyakan warga. Bahkan, di waktu itu ada sebagian kecil perahu di laut yang telah menggunakan mesin diesel yang pada saat itu merupakan buatan belanda. Yang hampir sebagian besar perahu melaju dengan layar, tanpa adanya mesin diesel.
Karena saking antinya beliau dengan belanda apapun barang buatan Belanda, beliau tidak akan memakai sama sekali. Hingga akhirnya ketika beliau menginginkan untuk berangkat Haji ke Mekah, beliau tidak mau menggunakan diesel. Sama sekali tidak mau.
Berhaji ke- Al-Mukarramah
Belanda di kala itu berhasil memproduksi peralatan yang cukup canggih berbagai perlengkapan rumah tangga, hingga sampai yang namanya diesel. Dan saat itu diesel digunakan sebagai alat bantu untuk menghidupkan aliran listrik dan sebagai mesin di perahu, yang saat itu masyarakat kebanyakan masih menggunakan layar sebagai alat untuk berlayar.
Hampir sebagian masyarakat di waktu itu telah memakai diesel untuk mempermudah mereka dalam berlayar mengarungi laut. Perahu di kala dulu di pakai sebagai alat transportasi ke berbagai daerah, bahkan ada juga yang di pakai untuk perjalanan menuju Al-Mukarramah Mekah, guna untuk berhaji. keadaan masyarakat saat itu sudah mulai membaik karena adanya mesin diesel yang telah di luncurkan oleh belanda.
Hal ini sungguh berbeda dengan KH. Munsyarif. Ketika waktu dulu saat beliau berangkat haji. Beliau berhaji dengan menempuh perjalanan laut, yang di kala itu sungguh memakan waktu yang amat lama sekali dan tentunya berbahaya. Beliau dengan berlayar menggunakan perahu dengan peralatan yang seadanya (layar) hanya mengandalkan angin lah selama perjalanan beliau ke mekah.
Hal tersebut sama sekali tak menyurutkan niat beliau untuk menunaikan ibadah haji di mekah. Hingga berlayar dengan perahu layar pun beliau lakukan. Konon, Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dalam perjalanan menuju mekah dengan berlayar[12].
Namun dikala itu waktu yang dibutuhkan cukup singkat yaitu selama 7 bulan lamanya. Jikalau kita mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk berhaji adalah 7 bulan, tentu kita akan enggan sekali untuk menunaikan ibadah haji di saat itu. Waktu 7 bulan di mulai dari keberangkatan beliau hingga kepulangan beliau dari mekah.
Tak terbayang oleh kita betapa keras perjuangan beliau dalam menunaikan ibadah haji di mekah. Sangat berbeda sekali dengan keadaan saat ini yang sangat mudah dalam semua hal tentunya dalam hal transportasi. Yang hanya memakan beberapa jam saja dalam keberangkatan menuju ke mekah. KH. Munsyarif sama sekali tidak ingin memakai apa yang namanya barang buatan belanda,bisa di katakan beliau sangat anti belanda sekali. Pun barang tersebut sangat luar biasa.
Beliau hanya menginginkan untuk memakai peralatan seadanya yang benar-benar tersedia oleh alam dan murni. Dengan memanfaatkan angin kencang yang berhembus di lautan serta mengikuti arah laju mata angin beliau hanya mengikutinya, dan pada akhirnya juga sampai ke Mekah. Luar biasa sekali perjuangan beliau dalam mengarungi lautan untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Melihat bahaya yang sangat sering terjadi di lautan luas, hal tersebut tentu sangat bahaya sekali. Namun bahaya yang menghinggapi KH. Munsyarif sama sekali tidak pernah beliau risaukan dalam menjalankan kewajibannya. Karena beliau yakin bahwasanya Allah akan memberikan kemudahan kepada hambanya yang akan mengerjakan kebaikan. Berkaca pada perjuangan beliau, apakah kita mampu untuk berwira’I seperti halnya beliau?, sungguh merupakan hal yang sulit sekali, melihat realita saat ini yang serba modern dan canggih.
Sulit sekali bukan jika kita tidak mengikuti apa yang sudah modern di kala itu, namun dengan pandangan lain KH. Munsyarif memilih dengan caranya sendiri. Yaitu dengan berhaji mengaruhi samudra lautan luas dengan berbekal peralatan seadanya dan hanya mengandalkan kemurnian alam tanpa bantuan perlatan modern apapun.
Hembusan Terakhir KH. Munsyarif
Beberapa tahun kemudian, desa karas yang saat itu hanya sedikit sekali penduduk yang memeluk agama islam, akhirnya lambat laun bertambah banyak. Hampir sebagian besar penduduk desa karas beragama islam, setelah beberapa tahun berkat kesungguhan dakwah dari beliau KH. Munsyarif.
Tidak bisa dibayangkan jikalau dahulu masyarakat desa karas tidak ada seseorang yang menerangi cahaya Islam. Tentu sampai sekarang masyarakat desa karas tetap akan masih berada dalam jaman yang gelap gulita, tiada cahaya terang pun yang Nampak yang bisa di nikmati. Kini cahaya yang terang benderang sudah dirasakan oleh semua warga masyarakat desa karas dan sekitarnya.
Masyarakat desa karas sungguh merasakan betapa luar biasanya, indahnya, serta nikmatnya Islam itu sendiri. Suatu kenikmatan yang sungguh tiada ternilai harganya dan kenikamatan tersebut tak akan mampu untuk di beli dengan suatau apapun. Sungguh luar biasa Islam tersebut dirasakan oleh masyarakat.
Saat itu masjid yang dulunya hanya terbalut oleh anyaman daun kelapa dan dan beratapkan rotan, akhirnya sedikit demi sedikit di perbaharui oleh warga. Namun tidak seindah yang ada saat ini. Ya masih sederhana, namun sudah lumayan dari sebelumnya. Dan meski masjid tersebut tergolong tidak terlalu besar, masjid jami’ karas terus di gunakan untuk pengajian dan jama’ah shalat fardhu lima waktu.
Jama’ah yang berkunjung ke masjid karas tidak hanya warga karas, namun sudah meliputi warga sekitar desa karas yaitu desa Mbalong, bulu, ngampel, karas geneng, watu celeng dll. Masjid jami’ karas juga di pergunakan oleh warga untuk shalat Jum’at. Warga desa karas sudah tidak lagi harus berjalan jauh menelusuri semak-semak dan lereng gunung, bahkan pinggir sungai. Ketika hari Jum’at mereka datang berduyun-duyun untuk melaksanakan shalat jum’at.
Serta yang tak kalah penting santri KH. Munsyarif yang tinggal di pondok samping masjid, ikut serta meramaikan Masjid. Jeda beberapa tahun, pengawasan pasukan belanda sudah tidak begitu ketat. Namun, meskipun demikian para warga desa karas juga masih berhati-hati untuk tetap waspada.
Setelah sekian lama dalam dakwah KH. Munsyarif di karas, sungguh membawa dampak yang luar biasa. Konon, dakwah beliau sukses dalam babat tanah karas. Karena hampir sebagian besar warga karas sudah mengenal agama Islam, dan akhirnya pun mereka bermassal berbondong-bondong masuk Islam.
Namun, semakin lama umur beliau juga semakin bertambah, dan di usia senjanya sebelum beliau wafat sempat beliau berwejangan kepada santrinya untuk menyembelih kerbau yang sudah lama beliau pelihara, ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Mendengar ucapan yang terucap dari lisan beliau, menjadikan sedih yang bukan main yang menimpa para santri. Dan ketika beliau wafat, kerbau yang tadinya merumput di hutan sebelah selatan desa karas akhirnya pulang sendiri tanpa di cari oleh santri yang biasa menggembala kerbau beliau. Tiba-tiba kerbau tersebut datang dengan sendirinya ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya[13].
[1] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada malam minggu tanggal 4 Juni 2011 diserambi depan rumah beliau.
[2] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari minggu tanggal 15 Mei 2011, di kediaman beliau.
[3] Gunung yang ada di daerah sedan yang banyak dihuni oleh orang saat ini, warga menyebutnya dengan desa koplok.
[4] Mbah Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman beliau desa Karas
[5] Mbah Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman beliau desa Karas
[6] K. Asyhari Abu, beliau adalah kyai yang berada di desa Mbalong. Cerita beliau pada hari senin tanggal 16 Mei 2011, di serambi Masjid Al-Munsyarif setelah jama’ah shalat duhur.
[7] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari minggu tanggal 15 Mei 2011.
[8] Pagupon: rumah/tempat di mana burung dara tinggal.
[9] Kyai yang pertama kali babat tanah di daerah sedan.
[10] Mbah. Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman K. asyhari desa Karas.
[11] KH. Maemun Zubair, ceramah beliau dalam rangka maulid Nabi Muhammad SAW, pada hari minggu tanggal 27 Februari 2011 di masjid Jami’ Al-Munsyarif desa Karas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang.
[12] KH. Maemun Zubair, ceramah beliau dalam rangka maulid Nabi Muhammad SAW, pada hari minggu tanggal 27 Februari 2011 di masjid Jami’ Al-Munsyarif desa Karas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang.
[13] Mbah. Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari selasa 17 Mei 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)