Di satu sisi, ia adalah seorang ulama berpengetahuan yang luas. Di sisi yang lain, ia adalah seorang waliyullah yang bermaqam tinggi. Akan tetapi, kedua kelebihan itu tertutupi oleh sikap tawadhu’ (rendah hati)-nya
Samudera Hindia sedang tidak ramah. Saat itu, sebuah kapal yang mengarah ke Haramain mendadak berhenti. Mesin penggeraknya rusak. Tak ayal, seluruh penumpang takut dan panik.
Di tengaah situasi tak menentu itu, seorang Habib dengan wajah teduh naik ke atas dak. Di situ ia kemudian merapalkan doa dan bertawasul kepada wali penguasa daerah yang dipijak itu.
Sebentar kemudian, ia menyaksikan sosok Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf (Gresik) di tengah hamparan gelombang, tersenyum padanya. Usai pemandangan itu lenyap, ia mendengar kapten kapal memberikan pengumuman bahwa mesin kapal sudah normal dan kapal siap melanjutkan perjalanan kembali.
Kisah di atas adalah secuplik perjalanan hidup Habib Husein bin Abdullah al-Hamid. Dialah sosok Ha¬bib yang bertawasul ditengah lautan. Ketika peristiwa itu terjadi, ia tengah dalam perjalanan haji bersama isterinya.
Habib Husein lahir pada 21 Ramdhan 1301 Hijriyah di kota Amed, Hadramaut, Yaman. Sejak kecil ia su¬dah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan di banding bocah-bocah sepantarannya. Ia adalah cucu Habib Sholeh bin Abdullah al-Hamid, wali qutub yang masyhur di kota Amed.
Dalam pendidikan. Habib Husein mula-mula belajar qiroah al-Qur’an pada Syekh Muhammad bin Umar Balmahdi di kota Amed. Lalu, ia menaiki jenjang pengetahuan dengan mempelajari dasar-dasar fikih pada Habib Ahmad bin Abdullah bin Salim al-Kaff dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Musawa.
Ia juga menimba pengetahuan kepada dua putra Habib Sholeh bin Abdullah al-Atlas, seorang wali besar yang manakibnya terperinci dalam kitab Tajul A’rasy, yakni Habib Muhammad bin Sholeh dan Habib Umar bin Sholeh. Selain kepada mereka, selama di Hadramaut, ia juga belajar kepada Habib Muhammad bin Ahmad al-Attas dan saudaranya, Habib Husein bin Ahmad al-Attas.
Selanjutnya, Habib Husein bersafar ke Haramain guna menunaikan ibadah Haji dan Umrah serta berziarah ke makam datuk teragungnya, Sayyidil Kaunain, Rasulullah SAW.
Usai berhaji dan ziarah, Habib Husein tak langsung beranjak pulang ke Hadramaut. Ia menetap dulu di Mekkah selama tiga tahun, ia masih ingin meredakan dahaganya dengan meneguk ilmu-ilmu dari para masyayikh Haramain. diantaranya adalah Syekh Umar bin Abu Bukar Bajunaid dan Syekh Muhammad bin Abi Mujahid.
Selama mukim di Mekkah, Habib Husein tinggal di Rubat Sadah. Kebetulan juga saat itu Habib Ahmad bin Abdullah al-Kafff, guru Habib Husein sewaktu di Hadamraut, juga sedang tinggal di Rubat itu untuk beberapa lama. Maka, kesempatan emas ini tak disia-siakan oleh Habib Husein. Ia menggali lebih dalam lagi pengetahuan gurunya itu. Dan selama di Rubat itu pula, Habib Husein mendapatkan bimbingan khusus dari sang guru.
Setelah genap tiga tahun bermukim di Mekkah, Habib Husein berhasrat meneruskan kelananya ke pulau Jawa. Dan kota pertama yang dituju adalah Bojonegoro, Jawa Timur. Di kota ini, Habib Husein tinggal di rumah Syekh Abdullah Bayaksyud, seorang Hadrami yang juga berasal dari daerah Wadi Amed.
Rumah Syekh Bayaksyud ternyata memiliki arti tersendiri dalam lembaran sejarah Habib Husein. Sebab, di rumah itulah ia untuk pertama kalinya bertemu syekh futh-nya, Habib Abdul Qadir bin Alwi bin Idrus as-Segaf.
Kronologisnya begini, selang tidak seberapa lama setelah Habib Husein menumpang di rumah Syekh Bayaksud, Habib Abdul Qadir bin Alwi seorang ulama besar asal Sewun yang tinggal di Tuban, tiba di Bojonegoro dan mampir di rumah itu. Tak disebutkan dengan jelas, untuk tujuan apa beliau datang di kota itu. Yang jelas, dalam kesempatan itu, Syekh Bayaksyud memperkenalkan Habib Husein kepada Habib Abdul Qadir bin Alwi.
Pertemnan itu berbuntut manis. Pasalnya, dari situ Syehk Bayaksud mengusahakan pernikahan Habib Husein dengan salah satu cucu Habib Abdul Qadir, Hababah Shalihah binti Idrus bin Salim bin Syekh Abu Bakar. Dan usaha ini berhasil. Akhirnya Habib Husein pun menjadi menantu wali qutub yang mastur tersebut.
Setelah menikah, Habib Husein tinggal bersama mertuanya di kawasan Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Baru setelah Habib Abdul Qadir meninggal, ia boyongan ke rumahnya sendiri yang bersahaja di tempat yang tak jauh dari rumah mertuanya tersebut.
Belakangan Habib Husein memiliki rumah lagi di kota Tayu dan Pati, Jawa Tengah, Rumah yang di Tayu didiami oleh isteri beliau yang bernama Syarifah Maryam binti Abdurrahman al-Qadri, sementara rumah yang di Pati didiami oleh isterinya yang lain, Syarifah ‘Aisyah binti Husein al-Aidarus.
Selama di Indonesia, Habib Husein masih menyempatkah diri mengasah pengetahuanya. Diantaranya kepada syekh fath-nya yang notabene mertuanya sendiri, Habib Abdul Qadir bin Alwi as-Segaf. Juga kepada para pembesar Habaib Jawa di masa itu, antara lain Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas (Pekalongan), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas (Bogor), Habib Muhammad bin al-Muhdhar (Bondownso), Habib Segaf bin Alwi as-Segaf dan Habib Alwi bin Thahir al-Haddad (Bogor).
Habib Husein juga tercatat pernah menjadi murid Syekh al-Mu’ammar Abdul Qadir Syawi’. Namun sejatinya, guru yang paling banyak memberikan suapan pengetahuan fikih dan tasawuf pada Habib Husein adalah Habib Abu Bakar bin Muhammad Bafakih, seorang allamah kota Tuban yang dikenal keras dan tegas,
Habiib Husein adalab sosok ulama yang ‘abid (genar beribadah). Ia Zuhud dari gemerlap dunia. Jiwa sosialnya tinggi. Ia sangat memperhatikan keadaan fakir miskin dan para janda. Ia pun tak segan mengulurkan tangan untuk mereka meski keadaannya sendiri boleh dibilang pas-pasan.
Ulama yang satu ini juga dikenal sangat pendiam. Mengambil ungkapan orang Jawa, ia takkan bicara kalau belum ditabuh. Tapai kalau sudah bicara, butir-butir ilmu yang penuh hikmah akan bersemburatan dari pucuk-pucuk lisannya.
Memang shahih, ilmu Habib Husein sangat tinggi. Ia adalah lautan ilmu, demikian tutur Habib Zein bin Abdullah al-Kaff, menantu Habib Husein. Kala menghadiri rauhah (majelis telaah kitab), Habib Husein selalu diminta memberikan fatwa-fatwa.
Dalam menguraikan permasalahan fikih, Habib Husein tak jarang meloncat-loncat dari satu mazhab ke mazhab lain. Itu adalah bukti keluasan fikihnya. Adapun dalam ranah tasawuf, setali tiga uang, sama-sam dalamnya. Ia bersama menantunya, Habib Zein al-Kaff, sering terlibat dalam pendirian madrasah-madrasah. Ya, hidupnya memang untuk ilmu.
Kedalaman ilmu Habib Husein diakui oleh para ulama sejamannya. Termasuk Habib Ali bin Husein al-Attas atau yang lebih kondang dipanggil Habib Ali Bungur. Pernah Habib Ali mengajak Habib Husein berdiskusi membahas kitab al-futuhat karya Syekhu Ibnu al-‘Arabi. Habib Husein diketahui sangat menguasai kitab ini. “Aku pernah dengar salaf melarang membaca kitab ini.” Ungkap Habi Ali menyimpan tanya. “Sebenarnya membaca diwan-diwan Imam al-Haddad sudah cukup. Sebab, diwan beliau adalah syarah karya Ibnu ‘Arabi itu.” Jelas Habib Husein.
Potret pribadi Habib Husein adalah ibarat padi, semakin berisi semakin rendah menunduk. Ilmu yang menumpuk tidaklah membuat sosok Habib Husein pongah. Sebaliknya, Ia semakin tawadhu’. Demikian pula saat ia meraih maqam wilayah (kewalian)-nya, ia tidak pernah sekalipun memperlihatkan karomah-karomahnya bahkan ia selalu berusaha menutup-nutupinya. Kisah di atas hanyalah secuil yang lolos dari pengamatannya.
Habib Husein berplunag ke rahmatullah pada hari Sabtu 8 Muharram 1382 Hijriyah di Gresik, di kediaman Habib Zein bin Abdullah al-Kaff. Dan sesuai wasiatnya, ia dikebumikan di kota Surabaya disebelah makan istrinya, Syarifah Shalihah binti Idrus bin Salim bin Syekh Abu Bakar. Perhelatan haulnya dibarengkan dengan haul menantunya, Habib Zein. Biasa dihelat tiap akhir tahun dikawasan jalan pertukangan, Surabaya. (Syamsul)
Sumber: Majalah Cahaya Nabawiy Edisi Pebruari 2009
Sabtu, 26 Mei 2012
KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie: Demi Maslahat Umat
“Dengan izin dan rahmat Allah SWT, insya Allah bangsa ini akan meraih kejayaan. Tentunya manakala para pemimpinnya memiliki iman yang kukuh, bertaqwa kepada Allah SWT, begitu juga dengan rakyatnya, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta mengikuti pemimpin yang beriman dan bertaqwa.”
“Kesempatan selanjutnya kami persilakan kepada K.H. Abdul Rasyid, putra K.H. Abdullah Sya’fi’ie, untuk menyampaikan mau’izhah,” kata seorang pembawa acara pada sebuah kesempatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di majelis asuhan K.H. Yunus Muhammad, atau dikenal dengan sapaan Mu’allim Yunus, beberapa puluh tahun silam.
Di tengah sesaknya pengunjung majelis, belum sempat Kiai Abdul Rasyid berdiri, tiba-tiba tuan rumah, Mu’allim Yunus, berdiri dan mengambil mikrofon seraya mengatakan, “Ayah Kiai Abdul Rasyid ini memang seorang tokoh. Tokoh besar umat Islam Jakarta. Tapi, sekarang, saat menyebutkan sosok Kiai Abdul Rasyid, ia pun sudah menjadi seorang tokoh, tanpa harus ditekankan bahwa ia putra seorang tokoh.”
Apa yang dikatakan Mu’allim Yunus memang amat tepat. Bahwa Kiai Rasyid adalah putra seorang tokoh besar, memang benar. Ia pun tumbuh besar dalam didikan sang tokoh besar. Namun, ia bukan tipe seorang yang berleha-leha dengan menyandarkan diri di balik bayang-bayang nama besar sang ayah. Lewat berbagai aktivitas dakwah yang ia tekuni sejak muda dengan penuh kesungguhan dan tak mengenal lelah, nyatanya kini ia mendapat tempat istimewa di hati umat, khususnya di kota Jakarta.
Media Dakwah Elektronik
Penggunaan media elektronik untuk berdakwah kini semakin marak. Dalam hal ini, Yayasan Pendidikan Islam Asy-Syafi’iyah termasuk salah satu lembaga yang mengawalinya, yaitu lewat radio yang telah lebih dari setengah abad berdakwah di tengah-tengah umat Islam Nusantara, khususnya Jakarta, yaitu Radio Asy-Syafi’iyyah.
Seiring perkembangan zaman, kini Asy- Syafi’iyyah sudah memiliki tiga radio dakwah: Radio Asy-Syafi’iyah, Radio Alaikassalam FM atau Ras FM, dan Radio Suara Pulo Air.
Tak cukup sampai di situ. Baru-baru ini dakwah Kiai Rasyid merambah ke dunia televisi berbasis komunitas, yang diberinya nama “Assalam TV”.
Ahad, 25 Agustus 2011 lalu, saat peringatan haul akbar K.H. Abdulllah Syafi’ie ke-26 dan tasyakkur Pondok Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’ie Pulo Air, Sukabumi ke-21, televisi itu resmi diluncurkan. Masyarakat bisa menyaksikan tayangan Assalam TV di frekuensi VHF. Karena masih baru mengudara, jam tayangnya pun masih terbatas.
Pada kesempatan berbahagia itu, putra keempat, dari tujuh bersaudara, pasangan K.H. Abdulllah Syafi’ie dan Hj. Roqayah ini juga memaklumatkan bahwa Asy-Syafi’iyyah dengan bangga meluncurkan air mineral dalam kemasan bermerek “Pulo Air”. Bisnis ini akan menopang kegiatan dakwah dan pendidikan santri yang kurang mampu di Asy-Syafi’iyyah.
Bahan baku air mineral Pulo Air berasal dari mata air Pulo Air, yang berada di lingkungan Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’ie, Pulo Air, Sukabumi, yang berdiri di atas tanah wakaf seorang hartawan nan dermawan, H. Sukarno. Kala itu almarhum mewakafkan taman rekreasinya seluas 3,3 ha untuk dialihfungsikan menjadi lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan yang kini bertambah menjadi seluas 30 ha itu diberi nama “Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’ie, Pulo Air, Sukabumi”. Dari namanya saja, jelaslah bahwa konsentrasi pelajaran pada pesantren ini adalah tahfizh Al-Qur’an, sesuai dengan cita-cita almarhum ayah Kiai Rasyid, yang menginginkan mendirikan madrasah Qur’aniyah.
Semasa hidup, almarhum memang memiliki harapan besar akan berdirinya sebuah pesantren Al-Qur’an. Tak mengherankan, bila menghadiri undangan Musabaqah Tilawatil Al-Qur’an (MTQ) di berbagai daerah, sang ayah kerap berpesan untuk mendirikan madrasah-madrasah Qur’aniyah.
Sehat dan Berkah
Ide awal membuat air mineral dalam kemasan sebetulnya isyarat dari pewakaf. “Ketika menyerahkan lahan seluas 3,3 ha, pengusaha Rumah Makan Sunda Lembur Kuring di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, ini meminta kepada kami agar mata air yang berlimpah dari lokasi wakaf bisa diberdayakan untuk menopang pengembangan pesantren di kemudian hari,” kata Kiai Rasyid A.S., mengenang.
Kiai Rasyid optimistis, Pulo Air mampu bersaing dengan air mineral lainnya yang lebih dahulu beredar. Air dari mata air Pulo Air telah memenuhi standar untuk menjadi bahan baku air minum yang baik.
Bahkan Pulo Air memiliki keunggulan dibanding air mineral lainnya. Pasalnya, mata air Pulo Air berada di kawasan Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’i, Pulo Air, Sukabumi. Lokasi religius, setiap menit begitu semarak dengan kegiatan keislaman. Terutama pembacaan ayat suci Al-Qur’an.
Menurut Tuan Guru K.H. Dr. Zainul Majdi, menantu Kiai Rasyid, yang juga gubernur NTB, melansir penemuan ilmuwan Jepang, Dr. Masaru Emoto, sesungguhnya air itu hidup. Molekul air dapat merepons sesuatu dari lingkungannya, baik maupun buruk.
Dalam penelitiannya, ilmuan Universitas Yokohama ini berhasil mendapatkan sebuah foto air berbentuk kristal pertama di dunia bersama sahabatnya, Kazuya Ishibashi, seorang ilmuwan yang ahli dalam mikroskop.
Foto kristal air itu didapatnya dengan cara membekukan air yang telah didoakan pada suhu -25 derajat Celcius dan difoto dengan alat foto berkecepatan tinggi.
Penasaran dengan penemuannya, kedua ilmuwan hebat itu menyebutkan kata “setan” pada air itu, kemudian kristal berubah bentuk menjadi buruk. Diputarkan musik simfoni mozart, kristal muncul berbentuk bunga. Ketika musik heavy metal diperdengarkan, kristal hancur. Menariknya, ketika dicoba membacakan doa Islam, kristal bersegi enam dengan lima cabang daun muncul berkilauan. Subhanallah....
Maka sampailah pada kesimpulan bahwa ternyata air bisa merespons sesuatu di sekitarnya: “mendengar” kata-kata, “membaca” tulisan, dan “mengerti” pesan.
Dalam bukunya, The Hidden Massage in Water, Dr. Masaru Emoto menguraikan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau compact disk. Semakin kuat konsenterasi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air.
Terkait dengan informasi tersebut, Kiai Rasyid berhusnuzhzhan bahwa air Pulo Air memiliki keberkahan khusus, karena setiap saat diperdengarkan bacaan Al-Qur’an. Sehat dan berkah. Insya Allah.
Kesempatan Berharga
Kiai Rasyid lahir di Jakarta, 30 November 1942. Sejak kecil hingga dewasa, ia banyak belajar agama di pendidikan tinggi Islam As-Syafi’iyah, milik ayahanda. Praktis, ia banyak dididik langsung oleh sang ayah.
Pada waktu-waktu tertentu, sang ayah kerap memanggil dan memerintahkannya untuk belajar kitab secara khusus. Biasanya kitab yang digunakan adalah kitab yang juga kerap digunakan habaib, An-Nasha’ih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Gembelangan sang ayah, yang sangat intensif, serta disimplin yang tinggi, mempermudah Kiai Rasyid mempelajari ilmu agama.
Seiring bertambahnya usia dan ilmunya, Abdul Rasyid muda selalu mendampingi sang ayah dalam banyak kegiatan ta’lim dan dakwah, baik dalam kota, seperti di Masjid Jami’ Matraman, Masjid Al-Arif, Senen, Masjid Kebon Jeruk, Masjid An-Nur, Grogol, Masjid At-Taqwa, Pasar Minggu, Masjid Kalibata, Pasar Minggu, Tanjung Barat, menghadiri haul ke sejumlah daerah, seperti di Keramat Empang Bogor, Pekalongan, dan Tegal, maupun mengikuti rihlah dakwah sang ayah hingga ke mancanegara, seperti Singapura dan Malaysia.
Berbagai kesempatan yang dijalaninya bersama sang ayah menjadi kenangan amat berharga bagi Kiai Rasyid. Ia merasa beruntung bisa mendampingi sang ayah. Mengikuti dakwahnya tentu meninggalkan kesan mendalam yang hingga kini menjadi bekal baginya dalam menapaki dunia dakwah seperti almarhum.
Umumnya, saat mendampingi ayahnya, Kiai Rasyid memanfaatkannya dengan ikut belajar kepada para habib dan ulama besar lainnya yang hadir, bahkan kepada guru sang ayah sekalipun. Seperti kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Habib Ali bin Husen Alatas Bungur, Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan, dan Mufti Johor, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad.
Menurutnya pengalaman ini begitu berharga, lantaran tidak semua orang, bahkan kiai sekalipun, bisa merasakannya. Sehingga pengetahuan dan pergaulannya begitu luas.
Kiai Rasyid masih mengingat salah satu pesannya yang insya Allah akan terus dilaksanakan tentang mengkaji kitab-kitab habaib. “Lazimkan olehmu membaca kitab-kitab Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena di dalamnya terkandung cahaya,” kata Kiai Rasyid mengenang ucapan sang ayah.
Nasihat itu dirasakannya amat berguna baginya, yang kini juga aktif terjun ke dunia dakwah, seperti halnya ayahnya dulu.
Kiai Rasyid juga menjadi salah satu penerus lembaga yang didirikan dan diasuh K.H. Abdullah Syafi’ie, Asy-Syafi’iyyah. Kini, di bawah kepemimpinannya, Asy-Syafi’iyyah semakin maju dan berkembang.
Ayah tujuh orang anak hasil pernikahannya dengan Ustadzah Hj. Azizah binti Aziz ini juga aktif di berbagai organisasi keagamaan, seperti di MUI dan KISDI (Komite Internasional untuk Solidaritas Dunia Islam). Bahkan di KISDI, organisasi yang anggotanya terdiri dari sejumlah organisasi Islam di Indonesia, ia mendapat amanah sebagai ketua umum.
Baginya, seabreg aktivitasnya tersebut belum seberapa. Kiai yang selalu menekankan pentingnya menyelamatkan aqidah umat ini memiliki asa yang selama ini terus diniatkan untuk kemaslahatan umat. “Saya seorang hamba Allah SWT yang dha’if, namun saya wajib bersyukur atas semua aktivitas dakwah yang saya geluti saat ini. Untuk itu, ke depannya saya berencana mendirikan sebuah masjid dengan kapasitas yang besar, sekaligus universitas dan rumah sakit.”
Menutup perbincangan kepada alKisah, Kiai Rasyid berpesan. “Dengan izin dan rahmat Allah SWT, insya Allah bangsa ini akan meraih kejayaan. Tentunya manakala para pemimpinnya memiliki iman yang kukuh, bertaqwa kepada Allah SWT, begitu juga dengan rakyatnya, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta mengikuti pemimpin yang beriman dan bertaqwa. Bukan memerangi pemimpin lantaran dituduh menerapkan hukum jahiliyyah, dengan berbagai aksi kekerasan atau teror seperti yang belakangan kembali marak. Saya mengutuk aksi teror, apa pun bentuk dan motifnya. Karena ini tidak diajarkan dalam Islam. Jelas ini bukan jihad yang dianjurkan dalam Islam, yang cinta damai.”
“Kesempatan selanjutnya kami persilakan kepada K.H. Abdul Rasyid, putra K.H. Abdullah Sya’fi’ie, untuk menyampaikan mau’izhah,” kata seorang pembawa acara pada sebuah kesempatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di majelis asuhan K.H. Yunus Muhammad, atau dikenal dengan sapaan Mu’allim Yunus, beberapa puluh tahun silam.
Di tengah sesaknya pengunjung majelis, belum sempat Kiai Abdul Rasyid berdiri, tiba-tiba tuan rumah, Mu’allim Yunus, berdiri dan mengambil mikrofon seraya mengatakan, “Ayah Kiai Abdul Rasyid ini memang seorang tokoh. Tokoh besar umat Islam Jakarta. Tapi, sekarang, saat menyebutkan sosok Kiai Abdul Rasyid, ia pun sudah menjadi seorang tokoh, tanpa harus ditekankan bahwa ia putra seorang tokoh.”
Apa yang dikatakan Mu’allim Yunus memang amat tepat. Bahwa Kiai Rasyid adalah putra seorang tokoh besar, memang benar. Ia pun tumbuh besar dalam didikan sang tokoh besar. Namun, ia bukan tipe seorang yang berleha-leha dengan menyandarkan diri di balik bayang-bayang nama besar sang ayah. Lewat berbagai aktivitas dakwah yang ia tekuni sejak muda dengan penuh kesungguhan dan tak mengenal lelah, nyatanya kini ia mendapat tempat istimewa di hati umat, khususnya di kota Jakarta.
Media Dakwah Elektronik
Penggunaan media elektronik untuk berdakwah kini semakin marak. Dalam hal ini, Yayasan Pendidikan Islam Asy-Syafi’iyah termasuk salah satu lembaga yang mengawalinya, yaitu lewat radio yang telah lebih dari setengah abad berdakwah di tengah-tengah umat Islam Nusantara, khususnya Jakarta, yaitu Radio Asy-Syafi’iyyah.
Seiring perkembangan zaman, kini Asy- Syafi’iyyah sudah memiliki tiga radio dakwah: Radio Asy-Syafi’iyah, Radio Alaikassalam FM atau Ras FM, dan Radio Suara Pulo Air.
Tak cukup sampai di situ. Baru-baru ini dakwah Kiai Rasyid merambah ke dunia televisi berbasis komunitas, yang diberinya nama “Assalam TV”.
Ahad, 25 Agustus 2011 lalu, saat peringatan haul akbar K.H. Abdulllah Syafi’ie ke-26 dan tasyakkur Pondok Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’ie Pulo Air, Sukabumi ke-21, televisi itu resmi diluncurkan. Masyarakat bisa menyaksikan tayangan Assalam TV di frekuensi VHF. Karena masih baru mengudara, jam tayangnya pun masih terbatas.
Pada kesempatan berbahagia itu, putra keempat, dari tujuh bersaudara, pasangan K.H. Abdulllah Syafi’ie dan Hj. Roqayah ini juga memaklumatkan bahwa Asy-Syafi’iyyah dengan bangga meluncurkan air mineral dalam kemasan bermerek “Pulo Air”. Bisnis ini akan menopang kegiatan dakwah dan pendidikan santri yang kurang mampu di Asy-Syafi’iyyah.
Bahan baku air mineral Pulo Air berasal dari mata air Pulo Air, yang berada di lingkungan Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’ie, Pulo Air, Sukabumi, yang berdiri di atas tanah wakaf seorang hartawan nan dermawan, H. Sukarno. Kala itu almarhum mewakafkan taman rekreasinya seluas 3,3 ha untuk dialihfungsikan menjadi lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan yang kini bertambah menjadi seluas 30 ha itu diberi nama “Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’ie, Pulo Air, Sukabumi”. Dari namanya saja, jelaslah bahwa konsentrasi pelajaran pada pesantren ini adalah tahfizh Al-Qur’an, sesuai dengan cita-cita almarhum ayah Kiai Rasyid, yang menginginkan mendirikan madrasah Qur’aniyah.
Semasa hidup, almarhum memang memiliki harapan besar akan berdirinya sebuah pesantren Al-Qur’an. Tak mengherankan, bila menghadiri undangan Musabaqah Tilawatil Al-Qur’an (MTQ) di berbagai daerah, sang ayah kerap berpesan untuk mendirikan madrasah-madrasah Qur’aniyah.
Sehat dan Berkah
Ide awal membuat air mineral dalam kemasan sebetulnya isyarat dari pewakaf. “Ketika menyerahkan lahan seluas 3,3 ha, pengusaha Rumah Makan Sunda Lembur Kuring di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, ini meminta kepada kami agar mata air yang berlimpah dari lokasi wakaf bisa diberdayakan untuk menopang pengembangan pesantren di kemudian hari,” kata Kiai Rasyid A.S., mengenang.
Kiai Rasyid optimistis, Pulo Air mampu bersaing dengan air mineral lainnya yang lebih dahulu beredar. Air dari mata air Pulo Air telah memenuhi standar untuk menjadi bahan baku air minum yang baik.
Bahkan Pulo Air memiliki keunggulan dibanding air mineral lainnya. Pasalnya, mata air Pulo Air berada di kawasan Pesantren Al-Qur’an K.H. Abdullah Syafi’i, Pulo Air, Sukabumi. Lokasi religius, setiap menit begitu semarak dengan kegiatan keislaman. Terutama pembacaan ayat suci Al-Qur’an.
Menurut Tuan Guru K.H. Dr. Zainul Majdi, menantu Kiai Rasyid, yang juga gubernur NTB, melansir penemuan ilmuwan Jepang, Dr. Masaru Emoto, sesungguhnya air itu hidup. Molekul air dapat merepons sesuatu dari lingkungannya, baik maupun buruk.
Dalam penelitiannya, ilmuan Universitas Yokohama ini berhasil mendapatkan sebuah foto air berbentuk kristal pertama di dunia bersama sahabatnya, Kazuya Ishibashi, seorang ilmuwan yang ahli dalam mikroskop.
Foto kristal air itu didapatnya dengan cara membekukan air yang telah didoakan pada suhu -25 derajat Celcius dan difoto dengan alat foto berkecepatan tinggi.
Penasaran dengan penemuannya, kedua ilmuwan hebat itu menyebutkan kata “setan” pada air itu, kemudian kristal berubah bentuk menjadi buruk. Diputarkan musik simfoni mozart, kristal muncul berbentuk bunga. Ketika musik heavy metal diperdengarkan, kristal hancur. Menariknya, ketika dicoba membacakan doa Islam, kristal bersegi enam dengan lima cabang daun muncul berkilauan. Subhanallah....
Maka sampailah pada kesimpulan bahwa ternyata air bisa merespons sesuatu di sekitarnya: “mendengar” kata-kata, “membaca” tulisan, dan “mengerti” pesan.
Dalam bukunya, The Hidden Massage in Water, Dr. Masaru Emoto menguraikan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau compact disk. Semakin kuat konsenterasi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air.
Terkait dengan informasi tersebut, Kiai Rasyid berhusnuzhzhan bahwa air Pulo Air memiliki keberkahan khusus, karena setiap saat diperdengarkan bacaan Al-Qur’an. Sehat dan berkah. Insya Allah.
Kesempatan Berharga
Kiai Rasyid lahir di Jakarta, 30 November 1942. Sejak kecil hingga dewasa, ia banyak belajar agama di pendidikan tinggi Islam As-Syafi’iyah, milik ayahanda. Praktis, ia banyak dididik langsung oleh sang ayah.
Pada waktu-waktu tertentu, sang ayah kerap memanggil dan memerintahkannya untuk belajar kitab secara khusus. Biasanya kitab yang digunakan adalah kitab yang juga kerap digunakan habaib, An-Nasha’ih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Gembelangan sang ayah, yang sangat intensif, serta disimplin yang tinggi, mempermudah Kiai Rasyid mempelajari ilmu agama.
Seiring bertambahnya usia dan ilmunya, Abdul Rasyid muda selalu mendampingi sang ayah dalam banyak kegiatan ta’lim dan dakwah, baik dalam kota, seperti di Masjid Jami’ Matraman, Masjid Al-Arif, Senen, Masjid Kebon Jeruk, Masjid An-Nur, Grogol, Masjid At-Taqwa, Pasar Minggu, Masjid Kalibata, Pasar Minggu, Tanjung Barat, menghadiri haul ke sejumlah daerah, seperti di Keramat Empang Bogor, Pekalongan, dan Tegal, maupun mengikuti rihlah dakwah sang ayah hingga ke mancanegara, seperti Singapura dan Malaysia.
Berbagai kesempatan yang dijalaninya bersama sang ayah menjadi kenangan amat berharga bagi Kiai Rasyid. Ia merasa beruntung bisa mendampingi sang ayah. Mengikuti dakwahnya tentu meninggalkan kesan mendalam yang hingga kini menjadi bekal baginya dalam menapaki dunia dakwah seperti almarhum.
Umumnya, saat mendampingi ayahnya, Kiai Rasyid memanfaatkannya dengan ikut belajar kepada para habib dan ulama besar lainnya yang hadir, bahkan kepada guru sang ayah sekalipun. Seperti kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Habib Ali bin Husen Alatas Bungur, Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan, dan Mufti Johor, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad.
Menurutnya pengalaman ini begitu berharga, lantaran tidak semua orang, bahkan kiai sekalipun, bisa merasakannya. Sehingga pengetahuan dan pergaulannya begitu luas.
Kiai Rasyid masih mengingat salah satu pesannya yang insya Allah akan terus dilaksanakan tentang mengkaji kitab-kitab habaib. “Lazimkan olehmu membaca kitab-kitab Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena di dalamnya terkandung cahaya,” kata Kiai Rasyid mengenang ucapan sang ayah.
Nasihat itu dirasakannya amat berguna baginya, yang kini juga aktif terjun ke dunia dakwah, seperti halnya ayahnya dulu.
Kiai Rasyid juga menjadi salah satu penerus lembaga yang didirikan dan diasuh K.H. Abdullah Syafi’ie, Asy-Syafi’iyyah. Kini, di bawah kepemimpinannya, Asy-Syafi’iyyah semakin maju dan berkembang.
Ayah tujuh orang anak hasil pernikahannya dengan Ustadzah Hj. Azizah binti Aziz ini juga aktif di berbagai organisasi keagamaan, seperti di MUI dan KISDI (Komite Internasional untuk Solidaritas Dunia Islam). Bahkan di KISDI, organisasi yang anggotanya terdiri dari sejumlah organisasi Islam di Indonesia, ia mendapat amanah sebagai ketua umum.
Baginya, seabreg aktivitasnya tersebut belum seberapa. Kiai yang selalu menekankan pentingnya menyelamatkan aqidah umat ini memiliki asa yang selama ini terus diniatkan untuk kemaslahatan umat. “Saya seorang hamba Allah SWT yang dha’if, namun saya wajib bersyukur atas semua aktivitas dakwah yang saya geluti saat ini. Untuk itu, ke depannya saya berencana mendirikan sebuah masjid dengan kapasitas yang besar, sekaligus universitas dan rumah sakit.”
Menutup perbincangan kepada alKisah, Kiai Rasyid berpesan. “Dengan izin dan rahmat Allah SWT, insya Allah bangsa ini akan meraih kejayaan. Tentunya manakala para pemimpinnya memiliki iman yang kukuh, bertaqwa kepada Allah SWT, begitu juga dengan rakyatnya, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta mengikuti pemimpin yang beriman dan bertaqwa. Bukan memerangi pemimpin lantaran dituduh menerapkan hukum jahiliyyah, dengan berbagai aksi kekerasan atau teror seperti yang belakangan kembali marak. Saya mengutuk aksi teror, apa pun bentuk dan motifnya. Karena ini tidak diajarkan dalam Islam. Jelas ini bukan jihad yang dianjurkan dalam Islam, yang cinta damai.”
Bakiak Kiai Abbas Rontokkan Pesawat-2 Sekutu
KH. Abbas Buntet (1879 – 1946)
SAYA DISURUH MEMBAWA BAKIAK KIAI ABBAS
(Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu Pengawal Kiai Abbas Buntet Waktu Perang 10 November 1945 di Surabaya)
oleh : Drs.Munib Rowandi Amsal Hadi
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi Keamanan mendarat di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.1
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHU AKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai datang, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rembang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu – serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.
Sumber : http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Ulama
SAYA DISURUH MEMBAWA BAKIAK KIAI ABBAS
(Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu Pengawal Kiai Abbas Buntet Waktu Perang 10 November 1945 di Surabaya)
oleh : Drs.Munib Rowandi Amsal Hadi
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi Keamanan mendarat di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.1
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHU AKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai datang, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rembang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu – serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.
Sumber : http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Ulama
Kasyaf Terbukanya hijab antara seorang Hamba dengan Alloh
Saya teringat ketika masih Ta’lim di Pesantren darul hadist Alfaqihiyyah Malang Jawa timur, ketika musim liburan tiba para santri akan pulang ke daerahnya masing masing. Menjelang liburanpun Konsentrasi belajar sudah mulai terganggu , bayangan rumah dan bertemu dengan sanak saudara begitu terlintas dalam benak para santri. Seakan para Santri merasakan kebebasan sesaat . Ada beberapa Santri nakal yang meluapkan kebebasan dirumah dengan Nonton di Bioskop, mendengarkan Musik, Ngetrek dengan Gang Motor, Jalan jalan ke Mall Dll yang semua itu di larang di Pesantren. Termasuk saya yang bandel . Begitu memasuki tahun ajaran baru dimana semua santri harus kembali ke pesantren untuk kembali belajar dan harus melepas segala atribut kebebasan untuk konsentrasi belajar , membersihkan hati menuju ridho Alloh guna mendapat ilmu yang bermanfaat dan mendapat keberkahan dari Pendiri pesantren darul Hadist Alfaqihiyyah Al habib Abdul qodir bil Faqih dan Al habib Abdulloh Bil Faqih .
Suatu hari semua santri berkumpul di Aula untuk mendengarkan tausiyah yang di sampaikan oleh Putra guru Pon-pes Darul hadist Al faqihiyyah. Saya dan teman teman santri yang lain Habis di Marahi beliau , Beliau mengatakan kalau Muka saya dan teman teman yang lain hitam lebam karena kemaksiatan yang dilakukan sewaktu mengisi liburan di rumah. Saya tidak habis pikir bagaimana beliau bisa tahu kebandelan yang saya lakukan pada waktu libur bersama teman teman ?? . Saya jadi teringat cerita cerita kawan kawan santri bahwa ayahanda beliau Alhabib Abdulloh bil faqih pernah sholat di Masjid Agung kota Malang yang beliau lihat para jamaah yang sedang sholat wujud kepala mereka dalam Wujud binatang seperti babi dan monyet. Saya jadi merinding mendengar cerita Karomah beliau , Apa mungkin Wajah saya terlihat seperti seekor babi dalam pandangan mata guru saya ?? Kasyaf itulah sebutan yang pas untuk peristiwa seperti di atas.
Kasyaf adalah merupakan karomah dan karunia Alloh yang diberikan seorang hamba yang dikasihinya. Kasyaf dapat diartikan terbukanya tembok pemisah antara seorang hamba dengan Alloh untuk dapat melihat, merasakan dan mengetahui hal hal ghoib yang sangat sulit diterima oleh akal sehat . Nabi Muhammad saw pun mendapatkan karunia tersebut namun di sebut Mukjizat . ketika Nabi Muhammad SAW bepergian bersama Abu Bakar. Ketika melewati areal pemakaman, tiba-tiba Nabi berhenti di salah satu makam. Abu Bakar bertanya, kenapa kita berhenti di sini? Nabi kembali bertanya, apakah engkau tidak mendengarkan bahwa orang di bawah makam ini sedang disiksa dan menjerit kesakitan lantaran pada waktu hidupnya tidak bersih ketika ia habis membuang hajat kotoran. Ini pertanda bahwa ada telinga yang mampu mendengar suara-suara alam ghaib (di alam barzakh) dan yang lainnya tidak bisa.
Peristiwa Kasyaf juga pernah terjadi masa masa khalifah Umar bin khotob ketika beliau menjadi Khotib pada sholat Jumat , tiba tiba beliau berteriak “ Hai Sariah ….hai Tentaraku larilah kebukit itu…bukit itu….
Tentu saja sikap Umar tersebut membuat heran para Jamaah dan ketika selesai sholat Jumat Sayyidina Umar ditanya oleh sahabat Abdurrahman bin Auf “Ya Amirul mu’minin kenapa engkau berteriak teriak seraya pandangan matamu menatap jauh ketika berkhutbah ?? Kata Sayyidina Umar “ Beberapa waktu yang lalu aku mengutus Sariah dan bala tentaranya untuk membereskan gerombolan pengacau , tadi ketika aku sedang Khutbah tiba tiba di hadapanku tampak Sariah dan tentaranya terkepung oleh gerombolan pengacau dan tidak ada tempat untuk bertahan, maka aku melihat sebuah Bukit ..maka aku berteriak Hai Sariah…Hai Tentaraku Larilah ke bukit itu…bukit itu.. Sahabat Abdurrahman bin Auf hanya menganggukkan kepala antara percaya dan tidak. Maka beberapa lama kemudian datanglah rombongan Tentara yang dipimpin Sariah dan menceritakan dasyatnya peperangan yang mereka lakukan. Dan Sariahpun menceritakan bahwa Dia dan pasukannya di kepung gerombolan pengacau waktu itu terjadi pada saat waktunya kami Sholat Jumat , di saat pasukan kami kepepet Dia mendengar Suara Ghoib dari balik bukit “ Hai Sariah…Hai Tentararaku larilah kebukit itu…bukit itu, maka kamipun menuju bukit tersebut sebagai benteng pertahanan hingga kami memperoleh kemenangan.
Kasyaf yang menurut para Sufi adalah merupakan buah dari Zuhud yang membawa kita melintas alam Syahadah dan memasuki alam ghaib dengan menggunakan istilah sufi Zuhud yang mengantarkan kita pada alam Mukasyafah, tetapi Kasyaf tidak bisa diperoleh dengan usaha dan latihan .Kasyaf merupakan Karunia alloh yang diberikan kepada hambanya yang di Cintai dan di kasihi. Perasaan cinta kepada Alloh terus menerus diwujudkan sampai dapat mencapai ketingkat yang tinggi dan ini mengakibatkan dirinya dapat menguasai jiwanya, setidak tidaknya dapat mengurangi rasa cinta kepada perkara-perkara yang lain, sehingga selalu ingat dan tafakur kepada Alloh beserta sifat sifatnya serta keagungannya, didalam hati sanubarinya sudah tiada lagi sedikitpun ruangan untuk memikirkan hal hal lain diluar itu.
Kasyaf lebih merupakan akibat dari pada sebab. Kasyaf juga bukan merupakan tujuan para pencari Tuhan atau salikin. Namun kasyaf mempunyai peran penting untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas diri sang sufi. Kasyaf juga merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang sufi dan kekasih yang mencintai Allah.
Dengan sifat rahmat-Nya, Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambah kerinduannya yang bergelora dalam lautan cintanya kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan Ahli al-kasyaf wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.
Lalu bisakah orang awam seperti kita memperoleh karunia tersebut ?? Kenapa tidak ? Alloh maha rahman dan rohim , siapapun seorang hamba yang dikehendaki oleh Alloh mendapatkan karunia kasyaf tersebut tentu akan diberikan . dan tentunya ibadah serta amaliah semuanya semata mata untuk mendapatkan ridho alloh yang harus dikerjakan secara istiqomah. wallohualam
Sumber : http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib
Suatu hari semua santri berkumpul di Aula untuk mendengarkan tausiyah yang di sampaikan oleh Putra guru Pon-pes Darul hadist Al faqihiyyah. Saya dan teman teman santri yang lain Habis di Marahi beliau , Beliau mengatakan kalau Muka saya dan teman teman yang lain hitam lebam karena kemaksiatan yang dilakukan sewaktu mengisi liburan di rumah. Saya tidak habis pikir bagaimana beliau bisa tahu kebandelan yang saya lakukan pada waktu libur bersama teman teman ?? . Saya jadi teringat cerita cerita kawan kawan santri bahwa ayahanda beliau Alhabib Abdulloh bil faqih pernah sholat di Masjid Agung kota Malang yang beliau lihat para jamaah yang sedang sholat wujud kepala mereka dalam Wujud binatang seperti babi dan monyet. Saya jadi merinding mendengar cerita Karomah beliau , Apa mungkin Wajah saya terlihat seperti seekor babi dalam pandangan mata guru saya ?? Kasyaf itulah sebutan yang pas untuk peristiwa seperti di atas.
Kasyaf adalah merupakan karomah dan karunia Alloh yang diberikan seorang hamba yang dikasihinya. Kasyaf dapat diartikan terbukanya tembok pemisah antara seorang hamba dengan Alloh untuk dapat melihat, merasakan dan mengetahui hal hal ghoib yang sangat sulit diterima oleh akal sehat . Nabi Muhammad saw pun mendapatkan karunia tersebut namun di sebut Mukjizat . ketika Nabi Muhammad SAW bepergian bersama Abu Bakar. Ketika melewati areal pemakaman, tiba-tiba Nabi berhenti di salah satu makam. Abu Bakar bertanya, kenapa kita berhenti di sini? Nabi kembali bertanya, apakah engkau tidak mendengarkan bahwa orang di bawah makam ini sedang disiksa dan menjerit kesakitan lantaran pada waktu hidupnya tidak bersih ketika ia habis membuang hajat kotoran. Ini pertanda bahwa ada telinga yang mampu mendengar suara-suara alam ghaib (di alam barzakh) dan yang lainnya tidak bisa.
Peristiwa Kasyaf juga pernah terjadi masa masa khalifah Umar bin khotob ketika beliau menjadi Khotib pada sholat Jumat , tiba tiba beliau berteriak “ Hai Sariah ….hai Tentaraku larilah kebukit itu…bukit itu….
Tentu saja sikap Umar tersebut membuat heran para Jamaah dan ketika selesai sholat Jumat Sayyidina Umar ditanya oleh sahabat Abdurrahman bin Auf “Ya Amirul mu’minin kenapa engkau berteriak teriak seraya pandangan matamu menatap jauh ketika berkhutbah ?? Kata Sayyidina Umar “ Beberapa waktu yang lalu aku mengutus Sariah dan bala tentaranya untuk membereskan gerombolan pengacau , tadi ketika aku sedang Khutbah tiba tiba di hadapanku tampak Sariah dan tentaranya terkepung oleh gerombolan pengacau dan tidak ada tempat untuk bertahan, maka aku melihat sebuah Bukit ..maka aku berteriak Hai Sariah…Hai Tentaraku Larilah ke bukit itu…bukit itu.. Sahabat Abdurrahman bin Auf hanya menganggukkan kepala antara percaya dan tidak. Maka beberapa lama kemudian datanglah rombongan Tentara yang dipimpin Sariah dan menceritakan dasyatnya peperangan yang mereka lakukan. Dan Sariahpun menceritakan bahwa Dia dan pasukannya di kepung gerombolan pengacau waktu itu terjadi pada saat waktunya kami Sholat Jumat , di saat pasukan kami kepepet Dia mendengar Suara Ghoib dari balik bukit “ Hai Sariah…Hai Tentararaku larilah kebukit itu…bukit itu, maka kamipun menuju bukit tersebut sebagai benteng pertahanan hingga kami memperoleh kemenangan.
Kasyaf yang menurut para Sufi adalah merupakan buah dari Zuhud yang membawa kita melintas alam Syahadah dan memasuki alam ghaib dengan menggunakan istilah sufi Zuhud yang mengantarkan kita pada alam Mukasyafah, tetapi Kasyaf tidak bisa diperoleh dengan usaha dan latihan .Kasyaf merupakan Karunia alloh yang diberikan kepada hambanya yang di Cintai dan di kasihi. Perasaan cinta kepada Alloh terus menerus diwujudkan sampai dapat mencapai ketingkat yang tinggi dan ini mengakibatkan dirinya dapat menguasai jiwanya, setidak tidaknya dapat mengurangi rasa cinta kepada perkara-perkara yang lain, sehingga selalu ingat dan tafakur kepada Alloh beserta sifat sifatnya serta keagungannya, didalam hati sanubarinya sudah tiada lagi sedikitpun ruangan untuk memikirkan hal hal lain diluar itu.
Kasyaf lebih merupakan akibat dari pada sebab. Kasyaf juga bukan merupakan tujuan para pencari Tuhan atau salikin. Namun kasyaf mempunyai peran penting untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas diri sang sufi. Kasyaf juga merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang sufi dan kekasih yang mencintai Allah.
Dengan sifat rahmat-Nya, Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambah kerinduannya yang bergelora dalam lautan cintanya kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan Ahli al-kasyaf wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.
Lalu bisakah orang awam seperti kita memperoleh karunia tersebut ?? Kenapa tidak ? Alloh maha rahman dan rohim , siapapun seorang hamba yang dikehendaki oleh Alloh mendapatkan karunia kasyaf tersebut tentu akan diberikan . dan tentunya ibadah serta amaliah semuanya semata mata untuk mendapatkan ridho alloh yang harus dikerjakan secara istiqomah. wallohualam
Sumber : http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib
Habib Hamid al-Kaaf - Khalifah Syaikh Yaasin
Habib Hamid al-Kaaf - Khalifah Syaikh Yaasin
Di antara ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah bermazhab Syafi`i yang masih hidup dan berbakti menabur ilmu di Kota Suci Makkah al-Mukarramah adalah al-Habib Hamid bin `Alwi bin Salim bin Abu Bakar al-Kaaf al-Husaini asy-Syafi`i al-Makki hafizahullah. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 25 Sya'baan 1345H di Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia. Dibesarkan dalam keluarga mulia dan mula menuntut ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau sendiri. Ayahanda wafat di Makkah ketika beliau masih kecil, lalu beliau meneruskan persekolahannya di Banjar sebelum pergi ke Surabaya untuk bersekolah di Madrasah al-Khairiyyah pada tahun 1360H. Di sana beliau belajar selama 3 tahun dan di antara guru beliau adalah Syaikh `Umar Baraja`, Habib Salim bin `Aqil dan lain-lainnya. Setelah 3 tahun di madrasah tersebut, beliau kembali ke Banjarmasin dan meneruskan pengajian di Ma'had Darus Salam ad-Diniyyah di Martapura. Antara guru beliau di sini adalah Syaikh Muhammad Sya'raani bin `Arif, Syaikh Husain Qudri dan Syaikh Abdul Qadir Hasan. Pada tahun 1367 beliau ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji dan untuk menuntut ilmu di sana. Beliau menuntut di Masjidil Haram selama 4 tahun sebelum masuk ke Darul Ulum ad-Diniyyah pada tahun 1371 sehingga selesai pengajian di sana pada tahun 1373H. Setelah tamat pengajian, beliau mula mengajar berbagai ilmu seperti fiqh, usul, hadis, nahu, falak dan ilmu-ilmu alat, sehingga menjadi antara ulama yang mengajar dalam Masjidil Haram selain menjadi guru di Madrasah Ulum ad-Diniyyah, Makkah. Beliau juga pernah dilantik menjadi setiausaha Majlis Syura dan sehingga kini beliau menjadi ahli fatwa (mufti) Kedutaan Indonesia di Arab Saudi. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang mahir dalam ilmu-ilmu hadits dan falak sehingga beliau digelar sebagai al-`Allaamah al-Muhaddits al-Falaki.
Antara guru-guru beliau yang lain adalah Syaikh Muhammad Yaasin al-Fadani di mana beliau mempunyai ikatan yang erat dengan Syaikh Muhammad Yaasin sehingga beliaulah yang menjadi khalifah beliau dan kini beliau tetap terus mengajar di halaqah Syaikh Muhammad Yaasin pada setiap malam Rabu di Syari' Sittin. Semoga Allah memberikan umur yang panjang kepada beliau dalam sempurna kesihatan lagi banyak keberkatan.
Sumber : http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib
Di antara ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah bermazhab Syafi`i yang masih hidup dan berbakti menabur ilmu di Kota Suci Makkah al-Mukarramah adalah al-Habib Hamid bin `Alwi bin Salim bin Abu Bakar al-Kaaf al-Husaini asy-Syafi`i al-Makki hafizahullah. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 25 Sya'baan 1345H di Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia. Dibesarkan dalam keluarga mulia dan mula menuntut ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau sendiri. Ayahanda wafat di Makkah ketika beliau masih kecil, lalu beliau meneruskan persekolahannya di Banjar sebelum pergi ke Surabaya untuk bersekolah di Madrasah al-Khairiyyah pada tahun 1360H. Di sana beliau belajar selama 3 tahun dan di antara guru beliau adalah Syaikh `Umar Baraja`, Habib Salim bin `Aqil dan lain-lainnya. Setelah 3 tahun di madrasah tersebut, beliau kembali ke Banjarmasin dan meneruskan pengajian di Ma'had Darus Salam ad-Diniyyah di Martapura. Antara guru beliau di sini adalah Syaikh Muhammad Sya'raani bin `Arif, Syaikh Husain Qudri dan Syaikh Abdul Qadir Hasan. Pada tahun 1367 beliau ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji dan untuk menuntut ilmu di sana. Beliau menuntut di Masjidil Haram selama 4 tahun sebelum masuk ke Darul Ulum ad-Diniyyah pada tahun 1371 sehingga selesai pengajian di sana pada tahun 1373H. Setelah tamat pengajian, beliau mula mengajar berbagai ilmu seperti fiqh, usul, hadis, nahu, falak dan ilmu-ilmu alat, sehingga menjadi antara ulama yang mengajar dalam Masjidil Haram selain menjadi guru di Madrasah Ulum ad-Diniyyah, Makkah. Beliau juga pernah dilantik menjadi setiausaha Majlis Syura dan sehingga kini beliau menjadi ahli fatwa (mufti) Kedutaan Indonesia di Arab Saudi. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang mahir dalam ilmu-ilmu hadits dan falak sehingga beliau digelar sebagai al-`Allaamah al-Muhaddits al-Falaki.
Antara guru-guru beliau yang lain adalah Syaikh Muhammad Yaasin al-Fadani di mana beliau mempunyai ikatan yang erat dengan Syaikh Muhammad Yaasin sehingga beliaulah yang menjadi khalifah beliau dan kini beliau tetap terus mengajar di halaqah Syaikh Muhammad Yaasin pada setiap malam Rabu di Syari' Sittin. Semoga Allah memberikan umur yang panjang kepada beliau dalam sempurna kesihatan lagi banyak keberkatan.
Sumber : http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib
Habib Hamid bin Ja’far Al-Qadri: Membumikan Madrasah Hadhramaut
“Jadi, ada keseimbangan dakwah antara wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhajnya Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Nusantara.”
Habib Hamid bin Ja’far lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 Desember 1981 M/11 Shafar 1402 H. Kakeknya, yaitu Habib Umar, memang lahir di Pontianak, namun kemudian hijrah ke Madura dan wafat di sana. Sang kakek adalah putra Pangeran Arya, yang menjadi semacam qadhi di Kesultanan Pontianak. Nama asli Pangeran Arya adalah Syarif Alwi bin Muhammad Al-Gadri (Tuan Mad Besar) bin Sulthan Utsman Al-Gadri, sultan Pontianak yang ketiga.
Habib Hamid menjalani pendidikan awalnya di Madrasah Al-Hamidiyah. Tahun 1992, saat ia memasuki kelas 3 ibtidaiyah, orangtuanya memasukkannya ke Pesantren Sidogiri.
Lulus tsanawiyah, tahun 1999, ia mendapat tugas mengajar di Pesantren Al-Ihsan, Leces, Probolinggo. Setelah itu ia mengajar di pesantren asuhan Habib Haidarah Al-Hinduan, sambil meneruskan pelajarannya kepada sang pengasuh pesantren, hingga 2004.
Sewaktu di Sidogiri, ia sudah aktif menulis dan berceramah, yaitu lewat Jam’iyyah Al-Muballighin, semacam lembaga untuk pelatihan para muballigh di Pesantren Sidogiri. Itu dijalaninya sejak kelas 6 ibtidaiyah. Sedang di tengah-tengah masyarakat, yakni sewaktu liburan pondok, ia mulai terjun ceramah sejak usia 16 tahun. Di Madura, saat usia 16 tahun itu, ia sempat membentuk Forma, Forum Remaja Madura, yang masih eksis hingga sekarang.
Tahun 2004, atas jasa Habib Haidarah Al-Hinduan, gurunya saat di Situbondo, ia pun berangkat ke Hadhramaut.
Sarat Aktivitas
Sesampainya di Hadhramaut, Habib Hamid ditempatkan di furu’ (cabang) Darul Musthafa, kota Syihr.
Belum sampai dua bulan, ia mengajukan diri untuk diuji pada semua displin mata pelajaran tingkat furu’, seperti nahwu, fiqih, tauhid. Alhamdulillah, ia lulus dan tak lama kemudian langsung dipindahkan ke Darul Musthafa, Tarim.
Di Tarim, di tahun kedua ia sudah membaca kitab Minhaj ath-Thalibin, di bawah bimbingan beberapa guru. Selain guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz, dan kakaknya, Habib Ali Masyhur Bin Hafidz, juga sejumlah guru Darul Musthafa lainnya.
Ketika bacaannya pada kitab Minhaj hampir khatam, yang ia tempuh selama sekitar dua tahun lebih, ia menikah dengan salah seorang santriwati Daruz Zahra, asuhan Hababah Nur binti Muhammad Al-Haddar, istri Habib Umar Bin Hafidz.
Setelah menikah, ia pulang ke Indonesia.
Selama di Hadhramaut, Habib Hamid aktif sebagai aktivis organisasi. Ia menjadi salah seorang ketua HIPMI (Himpunan Pelajar-Mahasiswa Indonesia) Yaman, yang sekarang berubah nama menjadi PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Yaman. Ia juga kemudian menjadi ketua pelajar Indonesia Darul Musthafa, tahun 2006-2007.
Selain tekun dalam mengikuti pelajaran dan aktif berorganisasi, ia pun meneruskan kesukaannya dalam menulis. Ia menulis, di antaranya, di An-Nadwah, terbitan HIPMI, dan di Anwar al-Ma’rifah, yang diterbitkan para pelajar Darul Musthafa, saat ia menjadi ketua pelajar Indonesia di Darul Musthafa Yaman.
Bukan hanya mengikuti pelajaran di Darul Musthafa, ia juga aktif mengikuti pelajaran-pelajaran para ulama lainnya di Hadhramaut, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah Bin Syihab, dan Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, yang tinggal di kota ‘Aden.
Dari Habib Abubakar, ia mendapat ijazah. Ceritanya, suatu saat ia mempunyai sejumlah pertanyaan, khususnya terkait Madrasah Hadhramaut. Dalam surat itu ia meminta ijazah kepada Habib Abubakar. Suratnya pun dibalas oleh Habib Abubakar. Dalam surat itu, Habib Abubakar sekaligus memberikan ijazah kepadanya.
Kalau Habib Abubakar datang ke Tarim, ia meminta izin kepada Habib Umar untuk mengikuti setiap kegiatan atau majelis yang diadakan Habib Abubakar secara penuh. Selama ia di Hadhramaut, Habib Abubakar Al-Masyhur beberapa kali datang ke Tarim, dan selama di Tarim rata-rata sekitar lima belas hari. Maka, selama sekitar dua pekan itu ia selalu hadir di majelis-majelis Habib Abubakar, rauhah, seminar, ceramah, dan sebagainya.
Kegemarannya dalam membaca membuatnya juga aktif mengikuti pemikiran sejumlah ulama Timur Tengah non-Hadhramaut lainnya. Selain sangat mengidolakan guru-gurunya saat di Hadhramaut, ia juga menggandrungi pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syria, Syaikh Abdullah bin Mahfudz Bin Bayyah, Mauritania, dan Syaikh Ali Jum’ah, Mesir.
Di matanya, para pemikir Ahlussunnah wal Jama’ah yang mempunyai sanad mata rantai keilmuan itu memiliki keselarasan pemikiran dengan ajaran kaum salafush shalih. Selain mengoleksi kitab-kitab karya mereka, terutama karya Al-Buthi, yang hampir lengkap ia miliki, ia juga aktif mengikuti pemikiran-pemikiran mereka hingga sekarang lewat media internet.
Sepulangnya di Indonesia, setahun pertama ia banyak bolak-balik Jakarta-Madura.
Setelah setahun, akhirnya ia memutuskan tinggal di Jakarta. Istrinya memang berasal dari keluarga Al-Haddad, Kalibata, Jakarta Selatan.
Di Jakarta, ayah Muhammad dan Umar ini kemudian mendirikan semacam institusi penelitian, yang ia namakan “Al-Ghanna Foundation”, yang bergerak di bidang keilmuan, ta’ziyah, dan dakwah.
Aktivitasnya dalam mengajar saat ini antara lain membuka majelis mingguan setiap malam Senin di rumahnya. Di antara kajiannya adalah tentang sirah shahabat, sejarah kehidupan para sahabat Nabi SAW. Di antara kitab yang ia gunakan adalah Tarikh al-Khulafa Ar-Rasyidin, karya As-Suyuthi. Setiap Rabu pagi ia membuka pelajaran bahasa Arab, fiqih, akhlaq, dan tafsir, juga di rumahnya. Dua minggu sekali ia mengajar di Masjid Al-Fudhala’, Tanjung Priok, bergantian setiap pekannya dengan K.H. Saifuddin Amsir.
Lewat Al-Ghanna pula ia membuat jaringan satri dan alumni pesantren salaf, misalnya, lewat penulisan buku-buku atau terjemah kitab-kitab, yang kemudian diterbitkan Nurani Publishing, yang juga ia dirikan untuk kebutuhan menerbitkan buku-buku keislaman.
Saat ini, ia juga aktif sebagai pembina keruhanian di Rijalul Anshar, sebuah lembaga otonom di bawah payung organisasi GP Ansor, organisasi pemuda NU. Selain itu ia pun menjadi pembina ubudiyah pada perguruan pencak silat Tiga Serangkai, yang anggotanya kini mencapai puluhan ribu orang, yang tersebar di seluruh Nusantara.
Madrasah Hadhramaut
Saat berangkat ke Hadhramaut, diakuinya, itu bukan hanya karena adanya hubungan emosional, lantaran ia berdarah Hadhramaut. Setidaknya, ada dua alasan hingga ia menempatkan Hadhramaut sebagai pilihan terbaik.
Pertama, adanya sanad yang dimiliki para ulama Hadhramaut. Sanad ulama Hadhramaut bukan hanya bersifat formal, tapi juga sanad bi ma’nal kalimah, sanad yang sesungguhnya, lewat pengajaran turun-temurun dari anak-ayah-kakek dan seterusnya, baik dalam pemikiran, suluk, tarbiyah, maupun dakwah.
Habib Hamid kemudian melanjutkan, “Kalau dalam hadits, itu dari segi riwayah. Dari segi dirayah, dan ini alasan kedua, dalam keilmuan, suluk, dan dakwah, Hadhramaut telah menjawab semua yang saya butuhkan : pemikiran, ruhiyah, dakwah, dan sebagainya. Manhaj mereka dapat mengikuti perkembangan zaman, yang dapat diterima secara sadar oleh akal yang sehat, yang hadir sebagai manhaj yang lurus, yang menjadi bukti bahwa ini adalah manhaj Nabawi.”
Benar yang dikatakannya. Tokoh-tokoh utama Hadhramaut yang kini ada di sana memang dapat disaksikan dengan mata kepala dan mata hati sebagai orang-orang yang kala kita memandangnya saja dapat mengingatkan kita kepada Allah SWT. Mereka benar-benar tampil di hadapan kita sebagai sosok-sosok yang memang berhak untuk kita cintai.
Syuyukh, tuan-tuan guru tanah Hadhramaut itu, melestarikan manhaj Nabawi dan manhaj para salafush shalih dalam sebuah tatanan yang dalam istilah yang sering dikatakan Habib Abubakar Adni Al-Masyhur, “Inilah Madrasah Hadhramaut.” Demikian Habib Hamid menjelaskan.
Bukan Menjahati Orang-orang Kafir
Sosok-sosok seperti Habib Umar Bin Hafidz, misalnya, menurut Habib Hamid, benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dunia sebagai figur yang meneladani sosok rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah SAW, yang tak lain datuk mereka sendiri.
Karenanya, Habib Umar Bin Hafidz, dalam salah satu ceramahnya di New York, menyatakan, makna asyidda’u ‘alal kuffar bukan berarti ketegasan kita dalam menghujat atau menjahati orang-orang kafir, tetapi kita tegas di depan mereka bahwa kita ini punya prinsip.
Kita tunjukkan kepada mereka, inilah akhlaq kita, inilah pemikiran kita, inilah jalan kita. Jangan sampai saat kita berbaur dan bermuamalah dengan mereka kemudian akhlaq kita meniru mereka. Di sini, tampak bahwa pemahaman beliau jauh dari pemahaman untuk bersikap frontal.
Itu pula sebabnya, Habib Umar menggagas sebuah pemikiran, yang kemudian diluncurkan secara institusional lewat muridnya, Habib Ali Al-Jufri, tentang kalimatun sawa, kesamaan kata atau platform, yaitu antara umat Islam dan Kristen.
Saat ide kalimatun sawa tersebut diluncurkan, tak kurang dari 300 tokoh Kristen dunia mendukungnya secara penuh.
Bagaimanapun, agama Nasrani, awalnya, diturunkan kepada Nabi Isa AS. Tentu, pasti saja masih terdapat hal-hal yang sama di antara kedua ajaran agama besar dunia itu. Dan pada hal-hal tersebut kedua umat beragama ini dapat bergandengan tangan.
Kalau Habib Umar dapat bergandengan tangan dengan kalangan non-muslim, bagaimana mungkin beliau tidak dapat bergandengan tangan dengan sesama muslim?
Karenanya, pada saat yang bersamaan, Habib Umar Bin Hafidz juga mengusung ide wa’tashimu di setiap tempat yang ia singgahi. Wa’tashimu adalah kata-kata yang dikutip dari sebuah ayat Al-Qur’an yang maknanya “bersatulah kalian”.
Lewat dakwahnya, Habib Umar tak henti berupaya mempererat ukhuwah sesama umat Islam, terutama di kalangan ulamanya, sebagai poros dakwah umat. Di Indonesia, kita mengenal Majelis Muwashalah bayna al-‘Ulama’ wal Muslimin (majelis penghubung antar sesama ulama dan umat Islam), yang juga didirikan Habib Umar. Institusi tersebut kini mendapat sambutan hangat hampir seluruh ulama Nusantara.
Sehingga, terhadap perbedaan pendapat sesama umat Islam, Habib Umar selalu berusaha menyikapinya dengan bijak. Sarat nuansa rahmatan lil ‘alamin. Terhadap paham-paham umat yang ekstrem, beliau selalu mengedepankan akhlaqul karimah.
Jadi, ada keseimbangan dakwah antara wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Nusantara. Mereka, para wali-wali itu, yang juga kaum sadah ‘Alawiyyin, tentunya terlahir pula dari didikan Madrasah Hadhramaut. Dari sini, kita melihat bahwa Madrasah Hadhramaut, sebagai salah satu manhaj dakwah, menjadi penting untuk ditekankan setiap insan dakwah di Nusantara di setiap medan dakwah yang mereka geluti.
Kita, yang Ahlussunnah wal Jama’ah, harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalau pemikiran kita berbenturan di sana-sini dengan kalangan Wahabi atau Syi’ah, misalnya, sikapi dengan akhlaq yang dicontohkan para salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.
“Orang bilang, Wahabi suka mengkafirkan. Orang juga bilang, Syi’ah suka mencaci maki. Nah, menolak paham Wahabi atau Syi’ah, harus dengan cara yang tidak sama dengan cara orang Wahabi dan Syi’ah itu. Akhlaq yang dicontohkan Rasulullah SAW, yang kemudian diteladani para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, harus dikedepankan. Dan ini pula salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut,” ujarnya memungkasi wawancara dengan alKisah.
Ismail Yahya
Habib Hamid bin Ja’far lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 Desember 1981 M/11 Shafar 1402 H. Kakeknya, yaitu Habib Umar, memang lahir di Pontianak, namun kemudian hijrah ke Madura dan wafat di sana. Sang kakek adalah putra Pangeran Arya, yang menjadi semacam qadhi di Kesultanan Pontianak. Nama asli Pangeran Arya adalah Syarif Alwi bin Muhammad Al-Gadri (Tuan Mad Besar) bin Sulthan Utsman Al-Gadri, sultan Pontianak yang ketiga.
Habib Hamid menjalani pendidikan awalnya di Madrasah Al-Hamidiyah. Tahun 1992, saat ia memasuki kelas 3 ibtidaiyah, orangtuanya memasukkannya ke Pesantren Sidogiri.
Lulus tsanawiyah, tahun 1999, ia mendapat tugas mengajar di Pesantren Al-Ihsan, Leces, Probolinggo. Setelah itu ia mengajar di pesantren asuhan Habib Haidarah Al-Hinduan, sambil meneruskan pelajarannya kepada sang pengasuh pesantren, hingga 2004.
Sewaktu di Sidogiri, ia sudah aktif menulis dan berceramah, yaitu lewat Jam’iyyah Al-Muballighin, semacam lembaga untuk pelatihan para muballigh di Pesantren Sidogiri. Itu dijalaninya sejak kelas 6 ibtidaiyah. Sedang di tengah-tengah masyarakat, yakni sewaktu liburan pondok, ia mulai terjun ceramah sejak usia 16 tahun. Di Madura, saat usia 16 tahun itu, ia sempat membentuk Forma, Forum Remaja Madura, yang masih eksis hingga sekarang.
Tahun 2004, atas jasa Habib Haidarah Al-Hinduan, gurunya saat di Situbondo, ia pun berangkat ke Hadhramaut.
Sarat Aktivitas
Sesampainya di Hadhramaut, Habib Hamid ditempatkan di furu’ (cabang) Darul Musthafa, kota Syihr.
Belum sampai dua bulan, ia mengajukan diri untuk diuji pada semua displin mata pelajaran tingkat furu’, seperti nahwu, fiqih, tauhid. Alhamdulillah, ia lulus dan tak lama kemudian langsung dipindahkan ke Darul Musthafa, Tarim.
Di Tarim, di tahun kedua ia sudah membaca kitab Minhaj ath-Thalibin, di bawah bimbingan beberapa guru. Selain guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz, dan kakaknya, Habib Ali Masyhur Bin Hafidz, juga sejumlah guru Darul Musthafa lainnya.
Ketika bacaannya pada kitab Minhaj hampir khatam, yang ia tempuh selama sekitar dua tahun lebih, ia menikah dengan salah seorang santriwati Daruz Zahra, asuhan Hababah Nur binti Muhammad Al-Haddar, istri Habib Umar Bin Hafidz.
Setelah menikah, ia pulang ke Indonesia.
Selama di Hadhramaut, Habib Hamid aktif sebagai aktivis organisasi. Ia menjadi salah seorang ketua HIPMI (Himpunan Pelajar-Mahasiswa Indonesia) Yaman, yang sekarang berubah nama menjadi PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Yaman. Ia juga kemudian menjadi ketua pelajar Indonesia Darul Musthafa, tahun 2006-2007.
Selain tekun dalam mengikuti pelajaran dan aktif berorganisasi, ia pun meneruskan kesukaannya dalam menulis. Ia menulis, di antaranya, di An-Nadwah, terbitan HIPMI, dan di Anwar al-Ma’rifah, yang diterbitkan para pelajar Darul Musthafa, saat ia menjadi ketua pelajar Indonesia di Darul Musthafa Yaman.
Bukan hanya mengikuti pelajaran di Darul Musthafa, ia juga aktif mengikuti pelajaran-pelajaran para ulama lainnya di Hadhramaut, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah Bin Syihab, dan Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, yang tinggal di kota ‘Aden.
Dari Habib Abubakar, ia mendapat ijazah. Ceritanya, suatu saat ia mempunyai sejumlah pertanyaan, khususnya terkait Madrasah Hadhramaut. Dalam surat itu ia meminta ijazah kepada Habib Abubakar. Suratnya pun dibalas oleh Habib Abubakar. Dalam surat itu, Habib Abubakar sekaligus memberikan ijazah kepadanya.
Kalau Habib Abubakar datang ke Tarim, ia meminta izin kepada Habib Umar untuk mengikuti setiap kegiatan atau majelis yang diadakan Habib Abubakar secara penuh. Selama ia di Hadhramaut, Habib Abubakar Al-Masyhur beberapa kali datang ke Tarim, dan selama di Tarim rata-rata sekitar lima belas hari. Maka, selama sekitar dua pekan itu ia selalu hadir di majelis-majelis Habib Abubakar, rauhah, seminar, ceramah, dan sebagainya.
Kegemarannya dalam membaca membuatnya juga aktif mengikuti pemikiran sejumlah ulama Timur Tengah non-Hadhramaut lainnya. Selain sangat mengidolakan guru-gurunya saat di Hadhramaut, ia juga menggandrungi pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syria, Syaikh Abdullah bin Mahfudz Bin Bayyah, Mauritania, dan Syaikh Ali Jum’ah, Mesir.
Di matanya, para pemikir Ahlussunnah wal Jama’ah yang mempunyai sanad mata rantai keilmuan itu memiliki keselarasan pemikiran dengan ajaran kaum salafush shalih. Selain mengoleksi kitab-kitab karya mereka, terutama karya Al-Buthi, yang hampir lengkap ia miliki, ia juga aktif mengikuti pemikiran-pemikiran mereka hingga sekarang lewat media internet.
Sepulangnya di Indonesia, setahun pertama ia banyak bolak-balik Jakarta-Madura.
Setelah setahun, akhirnya ia memutuskan tinggal di Jakarta. Istrinya memang berasal dari keluarga Al-Haddad, Kalibata, Jakarta Selatan.
Di Jakarta, ayah Muhammad dan Umar ini kemudian mendirikan semacam institusi penelitian, yang ia namakan “Al-Ghanna Foundation”, yang bergerak di bidang keilmuan, ta’ziyah, dan dakwah.
Aktivitasnya dalam mengajar saat ini antara lain membuka majelis mingguan setiap malam Senin di rumahnya. Di antara kajiannya adalah tentang sirah shahabat, sejarah kehidupan para sahabat Nabi SAW. Di antara kitab yang ia gunakan adalah Tarikh al-Khulafa Ar-Rasyidin, karya As-Suyuthi. Setiap Rabu pagi ia membuka pelajaran bahasa Arab, fiqih, akhlaq, dan tafsir, juga di rumahnya. Dua minggu sekali ia mengajar di Masjid Al-Fudhala’, Tanjung Priok, bergantian setiap pekannya dengan K.H. Saifuddin Amsir.
Lewat Al-Ghanna pula ia membuat jaringan satri dan alumni pesantren salaf, misalnya, lewat penulisan buku-buku atau terjemah kitab-kitab, yang kemudian diterbitkan Nurani Publishing, yang juga ia dirikan untuk kebutuhan menerbitkan buku-buku keislaman.
Saat ini, ia juga aktif sebagai pembina keruhanian di Rijalul Anshar, sebuah lembaga otonom di bawah payung organisasi GP Ansor, organisasi pemuda NU. Selain itu ia pun menjadi pembina ubudiyah pada perguruan pencak silat Tiga Serangkai, yang anggotanya kini mencapai puluhan ribu orang, yang tersebar di seluruh Nusantara.
Madrasah Hadhramaut
Saat berangkat ke Hadhramaut, diakuinya, itu bukan hanya karena adanya hubungan emosional, lantaran ia berdarah Hadhramaut. Setidaknya, ada dua alasan hingga ia menempatkan Hadhramaut sebagai pilihan terbaik.
Pertama, adanya sanad yang dimiliki para ulama Hadhramaut. Sanad ulama Hadhramaut bukan hanya bersifat formal, tapi juga sanad bi ma’nal kalimah, sanad yang sesungguhnya, lewat pengajaran turun-temurun dari anak-ayah-kakek dan seterusnya, baik dalam pemikiran, suluk, tarbiyah, maupun dakwah.
Habib Hamid kemudian melanjutkan, “Kalau dalam hadits, itu dari segi riwayah. Dari segi dirayah, dan ini alasan kedua, dalam keilmuan, suluk, dan dakwah, Hadhramaut telah menjawab semua yang saya butuhkan : pemikiran, ruhiyah, dakwah, dan sebagainya. Manhaj mereka dapat mengikuti perkembangan zaman, yang dapat diterima secara sadar oleh akal yang sehat, yang hadir sebagai manhaj yang lurus, yang menjadi bukti bahwa ini adalah manhaj Nabawi.”
Benar yang dikatakannya. Tokoh-tokoh utama Hadhramaut yang kini ada di sana memang dapat disaksikan dengan mata kepala dan mata hati sebagai orang-orang yang kala kita memandangnya saja dapat mengingatkan kita kepada Allah SWT. Mereka benar-benar tampil di hadapan kita sebagai sosok-sosok yang memang berhak untuk kita cintai.
Syuyukh, tuan-tuan guru tanah Hadhramaut itu, melestarikan manhaj Nabawi dan manhaj para salafush shalih dalam sebuah tatanan yang dalam istilah yang sering dikatakan Habib Abubakar Adni Al-Masyhur, “Inilah Madrasah Hadhramaut.” Demikian Habib Hamid menjelaskan.
Bukan Menjahati Orang-orang Kafir
Sosok-sosok seperti Habib Umar Bin Hafidz, misalnya, menurut Habib Hamid, benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dunia sebagai figur yang meneladani sosok rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah SAW, yang tak lain datuk mereka sendiri.
Karenanya, Habib Umar Bin Hafidz, dalam salah satu ceramahnya di New York, menyatakan, makna asyidda’u ‘alal kuffar bukan berarti ketegasan kita dalam menghujat atau menjahati orang-orang kafir, tetapi kita tegas di depan mereka bahwa kita ini punya prinsip.
Kita tunjukkan kepada mereka, inilah akhlaq kita, inilah pemikiran kita, inilah jalan kita. Jangan sampai saat kita berbaur dan bermuamalah dengan mereka kemudian akhlaq kita meniru mereka. Di sini, tampak bahwa pemahaman beliau jauh dari pemahaman untuk bersikap frontal.
Itu pula sebabnya, Habib Umar menggagas sebuah pemikiran, yang kemudian diluncurkan secara institusional lewat muridnya, Habib Ali Al-Jufri, tentang kalimatun sawa, kesamaan kata atau platform, yaitu antara umat Islam dan Kristen.
Saat ide kalimatun sawa tersebut diluncurkan, tak kurang dari 300 tokoh Kristen dunia mendukungnya secara penuh.
Bagaimanapun, agama Nasrani, awalnya, diturunkan kepada Nabi Isa AS. Tentu, pasti saja masih terdapat hal-hal yang sama di antara kedua ajaran agama besar dunia itu. Dan pada hal-hal tersebut kedua umat beragama ini dapat bergandengan tangan.
Kalau Habib Umar dapat bergandengan tangan dengan kalangan non-muslim, bagaimana mungkin beliau tidak dapat bergandengan tangan dengan sesama muslim?
Karenanya, pada saat yang bersamaan, Habib Umar Bin Hafidz juga mengusung ide wa’tashimu di setiap tempat yang ia singgahi. Wa’tashimu adalah kata-kata yang dikutip dari sebuah ayat Al-Qur’an yang maknanya “bersatulah kalian”.
Lewat dakwahnya, Habib Umar tak henti berupaya mempererat ukhuwah sesama umat Islam, terutama di kalangan ulamanya, sebagai poros dakwah umat. Di Indonesia, kita mengenal Majelis Muwashalah bayna al-‘Ulama’ wal Muslimin (majelis penghubung antar sesama ulama dan umat Islam), yang juga didirikan Habib Umar. Institusi tersebut kini mendapat sambutan hangat hampir seluruh ulama Nusantara.
Sehingga, terhadap perbedaan pendapat sesama umat Islam, Habib Umar selalu berusaha menyikapinya dengan bijak. Sarat nuansa rahmatan lil ‘alamin. Terhadap paham-paham umat yang ekstrem, beliau selalu mengedepankan akhlaqul karimah.
Jadi, ada keseimbangan dakwah antara wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Nusantara. Mereka, para wali-wali itu, yang juga kaum sadah ‘Alawiyyin, tentunya terlahir pula dari didikan Madrasah Hadhramaut. Dari sini, kita melihat bahwa Madrasah Hadhramaut, sebagai salah satu manhaj dakwah, menjadi penting untuk ditekankan setiap insan dakwah di Nusantara di setiap medan dakwah yang mereka geluti.
Kita, yang Ahlussunnah wal Jama’ah, harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalau pemikiran kita berbenturan di sana-sini dengan kalangan Wahabi atau Syi’ah, misalnya, sikapi dengan akhlaq yang dicontohkan para salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.
“Orang bilang, Wahabi suka mengkafirkan. Orang juga bilang, Syi’ah suka mencaci maki. Nah, menolak paham Wahabi atau Syi’ah, harus dengan cara yang tidak sama dengan cara orang Wahabi dan Syi’ah itu. Akhlaq yang dicontohkan Rasulullah SAW, yang kemudian diteladani para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, harus dikedepankan. Dan ini pula salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut,” ujarnya memungkasi wawancara dengan alKisah.
Ismail Yahya
SAYYID THOHIR ALAUDDIN AL JAILANI (Sang Juru Kunci Makam "Sulthonul Auliya As Syeikh As Sayyid 'Abdul Qodir Al Jailani")
Al Allamah Al 'Arif Billah As Sayyid Thohir Alauddin Al Jailani Al Hasani adalah Beliau seorang 'ulama Qodariyyah yang menjadi juru kunci makam datuknya, Sulthon Auliya Syeikh 'Abdul Qodir Al Jailani. Beliau lahir di Baghdad tanggal 18 Juni 1932 M. Beliau merupakan keturunan ke-17 dari Sulthon Auliya, dan keturunan ke-28 dari Rosulullah SAW. Ayah beliau adalah juru kunci makam Sulthon Auliya sebelumnya. Begitu juga dengan kakek beliau, semasa hidupnya beliau manjadi juru kunci makam, sekaligus menjadi Perdana Menteri Iraq selama dua tahun setelah kekuasaan Khalifah Utsmaniyyah berakhir.
Nasabnya beliau adalah Sayyid Thohir Alauddin Al Jailani bin Mahmud Hisamuddin bin 'Abdurrohman bin 'Ali bin Musthofa bin Sulaiman bin Zainuddin bin Muhammad bin Hisamuddin bin Nuruddin bin Waliyuddin bin Zainuddin bin Syarafuddin bin Syamsuddin bin Muhammad Al Hattaki bin 'Abdul 'Aziz bin Sulthon Auliya Syeikh 'Abdul Qodir Al Jailani bin Abu Sholeh Musa bin Janki Dausat bin Yahya Azzahid bin Muhammad bin Daud bin Musa Al Juni bin 'Abdullah Al Mahdi bin Hasan Al Mutsana bin Hasan bin 'Ali bin Abu Tholib yang menikah dengan Fathimah Azzahro' binti Rosululillah SAW.
Sayyid Thohir Alauddin mulai belajar ilmu agama kepada ayah beliau, Sayyid Mahmud Hisamuddin Al Jailani, kemudian kepada seorang guru di Masjid Sultan ;Ali. Setelah itu melanjutkan ke Madrasah Darul Nizami dibawah bimbingan Syeikh Al Mullah Asad Affandi (Mufti wilayah Qasim, Iraq) dan Syeikh Kholil Al Baghdadi. Setelah lama belajar di Baghdad, pada tahun 1956 M, beliau hijrah menuju Pakistan dan menetap di Quetta hingga wafat. Kepindahan beliau dari Baghdad (Iraq) ke Pakistan bukan tanpa sebab, akan tetapi isyaroh dari datuk beliau, Sulthon Auliya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani yang menyiratkan akan terjadinya sesuatu di Baghdad, dan benar, pada masa akhir hayat beliau terjadi perang di Baghdad.
Akhlak dan kepribadian Sayyid Thohir Alauddin ini begitu memukau dan mulia, sehingga banyak diantara para penguasa negeri Islam kala itu meminta beliau untuk menjadi menantunya. Diantara semua permintaan itu, beliau memilih Putri Sardar Yaar Khan Ahmad dari wilayah Kalat sebagai istrinya. Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai enam anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Diantara anak-anak laki-laki beliau adalah Sayyid Muhyiddin Mahmud (beliau mempunyai empat anak, Sayyid Thohir Hisamuddin, Sayyid 'Abdurrohman, Sayyid Saifuddin dan Sayyid Ahmad Nuruddin), Sayyid Jamaluddin 'Abdul Qodir (beliau mempunya satu anak, Sayyid Yahya Syamsuddin yang sempat menjadi Menteri Majelis Nasional Iraq) dan Sayyid Zainuddin Muhammad (beliau memiliki satu anak, Sayyid Thohir Alauddin)
Menjelang akhir hayat, Sayyid Thohir Alauddin menderita sakit parah hingga dirujuk ke Jerman oleh murid-muridnya. Beliau wafat disana pada hari Jum’at, tanggal 23 Dzulhijjah 1411 H (7 Juni 1991 M). Rencananya beliau akan dimakamkan di Baghdad, namun karena situasi di Baghdad dan Iraq umumnya sedang berlangsung peperangan, maka beliau dimakamkan di Lahore, Pakistan. Saking banyaknya pelayat yang datang, pemakaman selesai pukul 03.00 pagi.
Demikian riwayat singkat "Sang Juru Kunci", mudahan kita dapat madad dan berkah Beliau dan juga berkah dari Sulthon Auliya Syeikh 'Abdul Qodir Al Jailani.
Sumber : http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts
Nasabnya beliau adalah Sayyid Thohir Alauddin Al Jailani bin Mahmud Hisamuddin bin 'Abdurrohman bin 'Ali bin Musthofa bin Sulaiman bin Zainuddin bin Muhammad bin Hisamuddin bin Nuruddin bin Waliyuddin bin Zainuddin bin Syarafuddin bin Syamsuddin bin Muhammad Al Hattaki bin 'Abdul 'Aziz bin Sulthon Auliya Syeikh 'Abdul Qodir Al Jailani bin Abu Sholeh Musa bin Janki Dausat bin Yahya Azzahid bin Muhammad bin Daud bin Musa Al Juni bin 'Abdullah Al Mahdi bin Hasan Al Mutsana bin Hasan bin 'Ali bin Abu Tholib yang menikah dengan Fathimah Azzahro' binti Rosululillah SAW.
Sayyid Thohir Alauddin mulai belajar ilmu agama kepada ayah beliau, Sayyid Mahmud Hisamuddin Al Jailani, kemudian kepada seorang guru di Masjid Sultan ;Ali. Setelah itu melanjutkan ke Madrasah Darul Nizami dibawah bimbingan Syeikh Al Mullah Asad Affandi (Mufti wilayah Qasim, Iraq) dan Syeikh Kholil Al Baghdadi. Setelah lama belajar di Baghdad, pada tahun 1956 M, beliau hijrah menuju Pakistan dan menetap di Quetta hingga wafat. Kepindahan beliau dari Baghdad (Iraq) ke Pakistan bukan tanpa sebab, akan tetapi isyaroh dari datuk beliau, Sulthon Auliya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani yang menyiratkan akan terjadinya sesuatu di Baghdad, dan benar, pada masa akhir hayat beliau terjadi perang di Baghdad.
Akhlak dan kepribadian Sayyid Thohir Alauddin ini begitu memukau dan mulia, sehingga banyak diantara para penguasa negeri Islam kala itu meminta beliau untuk menjadi menantunya. Diantara semua permintaan itu, beliau memilih Putri Sardar Yaar Khan Ahmad dari wilayah Kalat sebagai istrinya. Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai enam anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Diantara anak-anak laki-laki beliau adalah Sayyid Muhyiddin Mahmud (beliau mempunyai empat anak, Sayyid Thohir Hisamuddin, Sayyid 'Abdurrohman, Sayyid Saifuddin dan Sayyid Ahmad Nuruddin), Sayyid Jamaluddin 'Abdul Qodir (beliau mempunya satu anak, Sayyid Yahya Syamsuddin yang sempat menjadi Menteri Majelis Nasional Iraq) dan Sayyid Zainuddin Muhammad (beliau memiliki satu anak, Sayyid Thohir Alauddin)
Menjelang akhir hayat, Sayyid Thohir Alauddin menderita sakit parah hingga dirujuk ke Jerman oleh murid-muridnya. Beliau wafat disana pada hari Jum’at, tanggal 23 Dzulhijjah 1411 H (7 Juni 1991 M). Rencananya beliau akan dimakamkan di Baghdad, namun karena situasi di Baghdad dan Iraq umumnya sedang berlangsung peperangan, maka beliau dimakamkan di Lahore, Pakistan. Saking banyaknya pelayat yang datang, pemakaman selesai pukul 03.00 pagi.
Demikian riwayat singkat "Sang Juru Kunci", mudahan kita dapat madad dan berkah Beliau dan juga berkah dari Sulthon Auliya Syeikh 'Abdul Qodir Al Jailani.
Sumber : http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts
AL IMAM AL MUHAQQIQ AL MUDAQQIQ ABUL FAIDH SAYYID AHMAD BIN MUHAMMAD AL GHUMARI AL HASANI ( MAROCCO )
Nasab Beliau
Al Hafidz Al ‘Allamah Al Imam Al Mujtahid Al Muhaqqiq Al Mudaqqiq Abul Faidh Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Siddiq bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Qosim bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Mukmin bin ‘Ali bin al Hasan bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Abdullah bin ‘Isa bin Sa’id bin Mas’ud bin Al Fudhoil bin ‘Ali bin ‘Umar bin Al ‘Arabi bin ‘Allal (Ali menurut bahasa Maghribi) bin Musa bin Ahmad bin Daud bin Maulana Idris Al Asghor bin Maulana Idris Al Akbar bin ‘Abdullah Al Kamil bin Al Hasan Al Muthanna bin Imam Hasan Al Mujtaba bin Sayyidina ‘Ali Karromallahu Wajhah dan Sayyidah Fathimah Az Zahro’ binti Sayyidina Rosulillah Saw.
Beliau dilahirkan di desa Bani Sa’ad, wilayah Ghumarah, utara Maghrib Aqso, Morocco pada hari Juma’at, 27 Ramadhan 1320 H (1902 M). Selepas 2 hari kelahiran beliau, ayahandanya membawa beliau pulang ke wilayah Tonjah (Tangiers).
Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan anak sulung daripada 7 orang bersaudara. Bukan sekedar sulung daripada sudut susunan keluarga, bahkan sulung daripada sudut keilmuan sehingga adik-adiknya berguru dengan beliau. Bahkan adik-adik beliau akan membentangkan setiap karya mereka kepadanya untuk disemak, diedit dan dikomentar. Ayahanda beliau, Sayyid Muhammad Siddiq Al Ghumari merupakan tokoh ‘ulama yang hebat sehingga menjadi rujukan para ‘ulama dari seluruh Morocco. Beliau juga merupakan pengasas Madrasah Siddiqiyyah yang menjadi gedung penyumbang para ulama’ di dunia umumnya dan Morocco khasnya. Datuk beliau Sayyid Ibnu ‘Ajibah Al Hasani merupakan seorang ulama’ yang tidak asing lagi. Beliau merupakan penulis kitab tafsir al-Quran yang berjudul Bahrul Madid fi Tafsir al-Quran al Majid dan kitab tasawwuf yang berjudul Iqozul Himam yang merupakan uraian terhadap kitab Hikam Ibnu ‘Athoillah karangan Imam Al ‘Allamah al Faqih Sayyid Ahmad bin ‘Atoillah al Sakandari. Adik-adik beliau, Sayyid ‘Abdullah, Sayyid ‘Abdul ‘Aziz, Sayyid ‘Abdul Hayy, Sayyid Al Hasan, Sayyid Ibrohim dan Sayyid Muhammad Zamzami merupakan tokoh-tokoh muhaqqiqin. Di kalangan mereka ada yang mencapai martabat Al Hafiz dalam bidang hadits. Begitu juga di kalangan mereka terdapat pakar-pakar yang menjadi rujukan dalam bidang Tafsir, Fiqh, Usul Fiqh, Bahasa Arab, Tasawwuf dan bidang ilmu yang lain. Namun keluarga Al Ghumari merupakan keluarga ulama’ yang menonjol dalam bidang hadits serta keluarga yang melahirkan tokoh-tokoh ulama’ yang mencapai taraf Mujtahid.
Sayyid Ahmad Al Ghumari mulai menuntut ilmu pada usia 5 tahun. Ayahandanya memasukkan beliau ke pondok dengan tujuan untuk menghafal al-Quran. Di samping itu, beliau turut menghafal beberapa matan ilmu seperti Muqaddimah al-Ajurumiyyah dan lain-lain lagi. Setelah itu, beliau mula menumpukan perhatian terhadap subjek-subjek yang lain seperti Nahu, Sorof, Fiqh Maliki, Tauhid dan Hadits. Ayahandanya begitu mengambil berat tentang pendidikan beliau di mana ayahandanya memberi galakan supaya beliau bersungguh-sungguh dan berpenat lelah dalam menuntut ilmu. Ketika mana ayahandanya memerintahkan para pelajar Madrasah Siddiqiyyah supaya menghafal al-Quran, lantas beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul Riyadh al Tanzih fi Fadhoil al Quran wa Hamilih untuk menjelaskan tentang kelebihan-kelebihan al Quran dan golongan yang menghafalnya. Perkara ini beliau lakukan ketika masih lagi berusia belasan tahun. Dalam tempoh ini juga, beliau cenderung untuk mempelajari ilmu Hadith dan bergelumang dengan perkara-perkara yang berkaitan dengannya lantas beliau mula membaca dan mengkaji kitab-kitab Hadith khususnya kitab al Targhib wa al Tarhib dan kitab al Jami’ al Soghir berserta huraiannya yang berjudul al Taisir. Ketika berusia 20 tahun, dengan perintah ayahandanya beliau pun merantau ke Mesir untuk melanjutkan pengajian di al Azhar al Syarif. Di Mesir, beliau menumpukan sepenuh perhatian untuk mempelajari Fiqh Maliki dan Syafie. Antara subjek-subjek yang beliau pelajari: 1) Nahu: Matan al Ajurumiyyah berserta huraiannya yang bertajuk Syarah al Kafrowi. Beliau turut mempelajari matan Alfiyyah Ibnu Malik berserta huraiannya yang berjudul Syarah Ibnu ‘Aqil dan Syarah al Asymuni. 2) Tauhid: Kitab Jauharah al Tauhid. 3) Fiqh: Kitab al Tahrir karangan Syeikhul Islam Zakaria al Ansori dalam Fiqh Syafie dan kitab Syarah al Hidayah dalam Fiqh Hanafi. 4) Hadith: Sohih al Bukhari, al Adab al Mufrad, Musnad al Imam al Syafie, Musalsal Awwaliyyah dan Musalsal Yaum ‘Asyura. 5) Usul Fiqh: Kitab Minhaj al Usul ila ‘Ilmi al Usul berserta huraiannya yang berjudul Nihayah al Sul. Dan beberapa subjek lagi yang merangkumi pelbagai bidang ilmu sama ada ilmu-ilmu berbentuk naqliyyah mahu pun ‘aqliyyah. Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan seorang pelajar yang pintar dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu sehingga kepintaran dan kesungguhan beliau menimbulkan kekaguman para gurunya. Ini kerana beliau berjaya menghabiskan subjek-subjek tersebut dalam masa yang singkat.
Sayyid Ahmad Al Ghumari memiliki banyak guru dari berbagai negara Islam seperti Mesir, Halab, Damsyik dan Sudan. Beliau menyebut nama-nama mereka secara khusus di dalam kitab yang berjudul al Bahsul ‘Amiiq fi Marwiyyat Ibni al Siddiq. Di antaranya ialah:
1) Ayahanda beliau sendiri Al Imam Al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Siddiq Al Ghumari Al Idris Al Hasani.
2) Syeikh Al ‘Arobi bin Ahmad Bu Durrah, murid ayahandanya.
3) Al ‘Allamah Al Muhaddits Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kittani.
4) Al ‘Allamah Syeikh Muhammad Imam bin Ibrohim Al Saqa Al Syafi’i.
5) Al ‘Allamah Al Faqih Al Usuli Al Mufassir Syeikh Muhammad Bakhit Al Muthi’i, mufti Kerajaan Mesir.
6) Al ‘Allamah Muhaddits Al Haromain Syeikh ‘Umar Hamdan Al Mahrasi
dan lain-lain .
Setelah menamatkan pengajian, beliau mula menumpukan sepenuh perhatian untuk mengkaji bidang Hadits secara riwayat dan dirayah. Lantas beliau mengurung dirinya di rumah dengan tujuan untuk mengkaji hadith dengan lebih mendalam dan teliti. Beliau tidak keluar dari rumahnya melainkan untuk menunaikan sembahyang lima waktu dan tidak tidur pada waktu malam kecuali seketika selepas menunaikan sembahyang sunat Dhuha. Beliau berterusan dalam keadaan sebegini sehingga 2 tahun lamanya. Dalam tempoh ini, beliau menghafal hadits, mengkaji dan mentakhrijnya. Apabila tamat tempoh ini, beliau merantau pula ke Damsyik bersama-sama ayahandanya dan terus pulang ke Morocco. Beliau menetap selama lebih kurang empat tahun di Morocco. Dalam tempoh ini, beliau meneruskan kesungguhan dalam mengkaji ilmu Hadits di samping menghafal, mentakhrij, menulis dan mengajar. Dalam tempoh ini juga, beliau mula mengajar kitab Nailul Autor dan al Syamail al Muhammadiyyah yang mana kedua-duanya merupakan kitab hadith. Setelah itu, beliau kembali merantau ke Mesir bersama dua orang adiknya Sayyid ‘Abdullah dan Sayyid Muhammad Zamzami. Di Mesir, beliau menjadi tempat rujukan para ulama’ walaupun beliau masih lagi berusia muda.
Di samping menulis, beliau diminta untuk membacakan kitab Fathul Bari dan Muqaddimah Ibnu Solah. Beliau turut mengadakan majlis imla’ yang bertempat di Masjid Imam Husain dan Masjid al Kokhya. Pada tahun 1354 H(1936 M), beliau pulang ke Morocco disebabkan kewafatan ayahandanya. Lantas beliau mengambil alih tempat ayahandanya bagi meneruskan kelangsungan Madrasah Siddiqiyyah. Maka beliau mula mengajar kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu Hadith dan mengadakan majlis-majlis imla’. Sayyid Ahmad Al Ghumari sering menyeru orang ramai agar kembali berpegang dengan Sunnah Nabawiyyah dan beliau menentang dengan keras sebarang peniruan dan penyeruan serta ikutan terhadap golongan kafir lebih-lebih lagi Morocco ketika itu telah mula dimasuki pengaruh Eropah yang membawa unsur-unsur yang negatif.
Sayyid Ahmad Al Ghumari bukan saja terkenal sebagai seorang ilmuwan dan tokoh dalam bidang hadits bahkan beliau adalah seorang tokoh mujahid yang berjuang bermati-matian menentang penjajah dan penjajahan. Lantas kerana itu, beliau telah dipenjara selama beberapa tahun. Setelah dibebaskan dari penjara, beliau berterusan dikenakan tekanan oleh pihak penjajah sehingga akhirnya beliau memutuskan untuk merantau meninggalkan Morocco dan memilih untuk menetap di Mesir sampai akhir hayat.
Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan seorang ‘ulama yang banyak menulis sehingga diberi gelaran sebagai ‘al Suyuti pada zamannya’. Karangan beliau mencecah sebanyak 169 buah. Beliau menulis dalam berbagai bidang ilmu seperti ‘Aqidah, Fiqh, Tafsir, Hadith, Tasawwuf, Sejarah, Biografi dan sebagainya. Karya-karya beliau ada yang telah dicetak dan ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Diantara karya-karya beliau:
1) Ibraz al Wahm al Maknun min Kalam Ibni Khaldun.
2) Ithaf al Adib bima fi Ta’liq ‘Ilam al Arib.
3) Ithaf al Huffaz al Maharah bi Asanid al Usul al ‘Asyarah.
4) Al Ajwibah al Sorifah ‘an Isykal Hadith al Toifah.
5) Ihya’ al Maqbur bi Adillah Bina’ al Masajid wal Qubab ‘ala al Qubur.
6) Azhaar al Raudhatain fiman yu’ta Ajrahu Marratain.
7) Al Azhar al Mutakathifah fil Alfaz al Mutaradifah.
8)Al Isti’azah wal Hasbalah mimman Sohhaha Hadith al Basmalah.
9) Al Isti’adhoh bi Hadith Wudhu’ al Mustahadhah.
10) Al Istinfar li Ghazwi al Tasyabbuh bil Kuffar.
11) Al Asrar al ‘Ajibah fi Syarh Azkar Ibn ‘Ajibah.
12) Al Ifdhol wal Minnah bi Ru’yah al Nisa’ Lillah fil Jannah.
13) Iqomah al Dalil ‘ala Hurmah al Tamsil.
14) Al Iqlid bi Tanzil Kitabillah ‘ala Ahli al Taqlid.
15) Al Iqna’ bi Sihhah al Solah Khalfa al Mizya’ dan lain-lain lagi.
Karya-karya Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan himpunan karya yang bermutu tinggi. Di dalamnya terhimpun dalil-dalil, hujah-hujah, fakta-fakta serta keterangan-keterangan yang membuktikan keluasan ilmu beliau di dalam pelbagai lapangan ilmu ditambah dengan beberapa pandangan yang dilontarkan hasil ijtihad beliau sendiri. Ini merupakan suatu perkara yang tidak mustahil kerana beliau sendiri telah mencapai taraf mujtahid. Dikatakan beliau mula berijtihad setelah berjaya membaca 7 buah kitab dalam pelbagai mazhab yang mana kitab-kitab tersebut ada yang mencecah berjilid-jilid banyaknya. Ini merupakan suatu perkara yang mengagumkan.
Setelah pulang dari Sudan, beliau ditimpa sakit terus menerus. Hingga akhirnya pada hari Ahad, awal bulan Jumadil Akhir 1380 H(1962 M) Beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 60 tahun. Jenazah beliau disemedikan di Kaherah, Mesir.
Semoga Allah merohmati Sayyid Ahmad Al Ghumari serta membalas jasa-jasa beliau dalam mempertahankan Sunnah Nabawiyyah dengan sebaik-baik pembalasan. Amin !!!.
http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts
Al Hafidz Al ‘Allamah Al Imam Al Mujtahid Al Muhaqqiq Al Mudaqqiq Abul Faidh Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Siddiq bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Qosim bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Mukmin bin ‘Ali bin al Hasan bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Abdullah bin ‘Isa bin Sa’id bin Mas’ud bin Al Fudhoil bin ‘Ali bin ‘Umar bin Al ‘Arabi bin ‘Allal (Ali menurut bahasa Maghribi) bin Musa bin Ahmad bin Daud bin Maulana Idris Al Asghor bin Maulana Idris Al Akbar bin ‘Abdullah Al Kamil bin Al Hasan Al Muthanna bin Imam Hasan Al Mujtaba bin Sayyidina ‘Ali Karromallahu Wajhah dan Sayyidah Fathimah Az Zahro’ binti Sayyidina Rosulillah Saw.
Beliau dilahirkan di desa Bani Sa’ad, wilayah Ghumarah, utara Maghrib Aqso, Morocco pada hari Juma’at, 27 Ramadhan 1320 H (1902 M). Selepas 2 hari kelahiran beliau, ayahandanya membawa beliau pulang ke wilayah Tonjah (Tangiers).
Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan anak sulung daripada 7 orang bersaudara. Bukan sekedar sulung daripada sudut susunan keluarga, bahkan sulung daripada sudut keilmuan sehingga adik-adiknya berguru dengan beliau. Bahkan adik-adik beliau akan membentangkan setiap karya mereka kepadanya untuk disemak, diedit dan dikomentar. Ayahanda beliau, Sayyid Muhammad Siddiq Al Ghumari merupakan tokoh ‘ulama yang hebat sehingga menjadi rujukan para ‘ulama dari seluruh Morocco. Beliau juga merupakan pengasas Madrasah Siddiqiyyah yang menjadi gedung penyumbang para ulama’ di dunia umumnya dan Morocco khasnya. Datuk beliau Sayyid Ibnu ‘Ajibah Al Hasani merupakan seorang ulama’ yang tidak asing lagi. Beliau merupakan penulis kitab tafsir al-Quran yang berjudul Bahrul Madid fi Tafsir al-Quran al Majid dan kitab tasawwuf yang berjudul Iqozul Himam yang merupakan uraian terhadap kitab Hikam Ibnu ‘Athoillah karangan Imam Al ‘Allamah al Faqih Sayyid Ahmad bin ‘Atoillah al Sakandari. Adik-adik beliau, Sayyid ‘Abdullah, Sayyid ‘Abdul ‘Aziz, Sayyid ‘Abdul Hayy, Sayyid Al Hasan, Sayyid Ibrohim dan Sayyid Muhammad Zamzami merupakan tokoh-tokoh muhaqqiqin. Di kalangan mereka ada yang mencapai martabat Al Hafiz dalam bidang hadits. Begitu juga di kalangan mereka terdapat pakar-pakar yang menjadi rujukan dalam bidang Tafsir, Fiqh, Usul Fiqh, Bahasa Arab, Tasawwuf dan bidang ilmu yang lain. Namun keluarga Al Ghumari merupakan keluarga ulama’ yang menonjol dalam bidang hadits serta keluarga yang melahirkan tokoh-tokoh ulama’ yang mencapai taraf Mujtahid.
Sayyid Ahmad Al Ghumari mulai menuntut ilmu pada usia 5 tahun. Ayahandanya memasukkan beliau ke pondok dengan tujuan untuk menghafal al-Quran. Di samping itu, beliau turut menghafal beberapa matan ilmu seperti Muqaddimah al-Ajurumiyyah dan lain-lain lagi. Setelah itu, beliau mula menumpukan perhatian terhadap subjek-subjek yang lain seperti Nahu, Sorof, Fiqh Maliki, Tauhid dan Hadits. Ayahandanya begitu mengambil berat tentang pendidikan beliau di mana ayahandanya memberi galakan supaya beliau bersungguh-sungguh dan berpenat lelah dalam menuntut ilmu. Ketika mana ayahandanya memerintahkan para pelajar Madrasah Siddiqiyyah supaya menghafal al-Quran, lantas beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul Riyadh al Tanzih fi Fadhoil al Quran wa Hamilih untuk menjelaskan tentang kelebihan-kelebihan al Quran dan golongan yang menghafalnya. Perkara ini beliau lakukan ketika masih lagi berusia belasan tahun. Dalam tempoh ini juga, beliau cenderung untuk mempelajari ilmu Hadith dan bergelumang dengan perkara-perkara yang berkaitan dengannya lantas beliau mula membaca dan mengkaji kitab-kitab Hadith khususnya kitab al Targhib wa al Tarhib dan kitab al Jami’ al Soghir berserta huraiannya yang berjudul al Taisir. Ketika berusia 20 tahun, dengan perintah ayahandanya beliau pun merantau ke Mesir untuk melanjutkan pengajian di al Azhar al Syarif. Di Mesir, beliau menumpukan sepenuh perhatian untuk mempelajari Fiqh Maliki dan Syafie. Antara subjek-subjek yang beliau pelajari: 1) Nahu: Matan al Ajurumiyyah berserta huraiannya yang bertajuk Syarah al Kafrowi. Beliau turut mempelajari matan Alfiyyah Ibnu Malik berserta huraiannya yang berjudul Syarah Ibnu ‘Aqil dan Syarah al Asymuni. 2) Tauhid: Kitab Jauharah al Tauhid. 3) Fiqh: Kitab al Tahrir karangan Syeikhul Islam Zakaria al Ansori dalam Fiqh Syafie dan kitab Syarah al Hidayah dalam Fiqh Hanafi. 4) Hadith: Sohih al Bukhari, al Adab al Mufrad, Musnad al Imam al Syafie, Musalsal Awwaliyyah dan Musalsal Yaum ‘Asyura. 5) Usul Fiqh: Kitab Minhaj al Usul ila ‘Ilmi al Usul berserta huraiannya yang berjudul Nihayah al Sul. Dan beberapa subjek lagi yang merangkumi pelbagai bidang ilmu sama ada ilmu-ilmu berbentuk naqliyyah mahu pun ‘aqliyyah. Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan seorang pelajar yang pintar dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu sehingga kepintaran dan kesungguhan beliau menimbulkan kekaguman para gurunya. Ini kerana beliau berjaya menghabiskan subjek-subjek tersebut dalam masa yang singkat.
Sayyid Ahmad Al Ghumari memiliki banyak guru dari berbagai negara Islam seperti Mesir, Halab, Damsyik dan Sudan. Beliau menyebut nama-nama mereka secara khusus di dalam kitab yang berjudul al Bahsul ‘Amiiq fi Marwiyyat Ibni al Siddiq. Di antaranya ialah:
1) Ayahanda beliau sendiri Al Imam Al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Siddiq Al Ghumari Al Idris Al Hasani.
2) Syeikh Al ‘Arobi bin Ahmad Bu Durrah, murid ayahandanya.
3) Al ‘Allamah Al Muhaddits Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kittani.
4) Al ‘Allamah Syeikh Muhammad Imam bin Ibrohim Al Saqa Al Syafi’i.
5) Al ‘Allamah Al Faqih Al Usuli Al Mufassir Syeikh Muhammad Bakhit Al Muthi’i, mufti Kerajaan Mesir.
6) Al ‘Allamah Muhaddits Al Haromain Syeikh ‘Umar Hamdan Al Mahrasi
dan lain-lain .
Setelah menamatkan pengajian, beliau mula menumpukan sepenuh perhatian untuk mengkaji bidang Hadits secara riwayat dan dirayah. Lantas beliau mengurung dirinya di rumah dengan tujuan untuk mengkaji hadith dengan lebih mendalam dan teliti. Beliau tidak keluar dari rumahnya melainkan untuk menunaikan sembahyang lima waktu dan tidak tidur pada waktu malam kecuali seketika selepas menunaikan sembahyang sunat Dhuha. Beliau berterusan dalam keadaan sebegini sehingga 2 tahun lamanya. Dalam tempoh ini, beliau menghafal hadits, mengkaji dan mentakhrijnya. Apabila tamat tempoh ini, beliau merantau pula ke Damsyik bersama-sama ayahandanya dan terus pulang ke Morocco. Beliau menetap selama lebih kurang empat tahun di Morocco. Dalam tempoh ini, beliau meneruskan kesungguhan dalam mengkaji ilmu Hadits di samping menghafal, mentakhrij, menulis dan mengajar. Dalam tempoh ini juga, beliau mula mengajar kitab Nailul Autor dan al Syamail al Muhammadiyyah yang mana kedua-duanya merupakan kitab hadith. Setelah itu, beliau kembali merantau ke Mesir bersama dua orang adiknya Sayyid ‘Abdullah dan Sayyid Muhammad Zamzami. Di Mesir, beliau menjadi tempat rujukan para ulama’ walaupun beliau masih lagi berusia muda.
Di samping menulis, beliau diminta untuk membacakan kitab Fathul Bari dan Muqaddimah Ibnu Solah. Beliau turut mengadakan majlis imla’ yang bertempat di Masjid Imam Husain dan Masjid al Kokhya. Pada tahun 1354 H(1936 M), beliau pulang ke Morocco disebabkan kewafatan ayahandanya. Lantas beliau mengambil alih tempat ayahandanya bagi meneruskan kelangsungan Madrasah Siddiqiyyah. Maka beliau mula mengajar kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu Hadith dan mengadakan majlis-majlis imla’. Sayyid Ahmad Al Ghumari sering menyeru orang ramai agar kembali berpegang dengan Sunnah Nabawiyyah dan beliau menentang dengan keras sebarang peniruan dan penyeruan serta ikutan terhadap golongan kafir lebih-lebih lagi Morocco ketika itu telah mula dimasuki pengaruh Eropah yang membawa unsur-unsur yang negatif.
Sayyid Ahmad Al Ghumari bukan saja terkenal sebagai seorang ilmuwan dan tokoh dalam bidang hadits bahkan beliau adalah seorang tokoh mujahid yang berjuang bermati-matian menentang penjajah dan penjajahan. Lantas kerana itu, beliau telah dipenjara selama beberapa tahun. Setelah dibebaskan dari penjara, beliau berterusan dikenakan tekanan oleh pihak penjajah sehingga akhirnya beliau memutuskan untuk merantau meninggalkan Morocco dan memilih untuk menetap di Mesir sampai akhir hayat.
Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan seorang ‘ulama yang banyak menulis sehingga diberi gelaran sebagai ‘al Suyuti pada zamannya’. Karangan beliau mencecah sebanyak 169 buah. Beliau menulis dalam berbagai bidang ilmu seperti ‘Aqidah, Fiqh, Tafsir, Hadith, Tasawwuf, Sejarah, Biografi dan sebagainya. Karya-karya beliau ada yang telah dicetak dan ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Diantara karya-karya beliau:
1) Ibraz al Wahm al Maknun min Kalam Ibni Khaldun.
2) Ithaf al Adib bima fi Ta’liq ‘Ilam al Arib.
3) Ithaf al Huffaz al Maharah bi Asanid al Usul al ‘Asyarah.
4) Al Ajwibah al Sorifah ‘an Isykal Hadith al Toifah.
5) Ihya’ al Maqbur bi Adillah Bina’ al Masajid wal Qubab ‘ala al Qubur.
6) Azhaar al Raudhatain fiman yu’ta Ajrahu Marratain.
7) Al Azhar al Mutakathifah fil Alfaz al Mutaradifah.
8)Al Isti’azah wal Hasbalah mimman Sohhaha Hadith al Basmalah.
9) Al Isti’adhoh bi Hadith Wudhu’ al Mustahadhah.
10) Al Istinfar li Ghazwi al Tasyabbuh bil Kuffar.
11) Al Asrar al ‘Ajibah fi Syarh Azkar Ibn ‘Ajibah.
12) Al Ifdhol wal Minnah bi Ru’yah al Nisa’ Lillah fil Jannah.
13) Iqomah al Dalil ‘ala Hurmah al Tamsil.
14) Al Iqlid bi Tanzil Kitabillah ‘ala Ahli al Taqlid.
15) Al Iqna’ bi Sihhah al Solah Khalfa al Mizya’ dan lain-lain lagi.
Karya-karya Sayyid Ahmad Al Ghumari merupakan himpunan karya yang bermutu tinggi. Di dalamnya terhimpun dalil-dalil, hujah-hujah, fakta-fakta serta keterangan-keterangan yang membuktikan keluasan ilmu beliau di dalam pelbagai lapangan ilmu ditambah dengan beberapa pandangan yang dilontarkan hasil ijtihad beliau sendiri. Ini merupakan suatu perkara yang tidak mustahil kerana beliau sendiri telah mencapai taraf mujtahid. Dikatakan beliau mula berijtihad setelah berjaya membaca 7 buah kitab dalam pelbagai mazhab yang mana kitab-kitab tersebut ada yang mencecah berjilid-jilid banyaknya. Ini merupakan suatu perkara yang mengagumkan.
Setelah pulang dari Sudan, beliau ditimpa sakit terus menerus. Hingga akhirnya pada hari Ahad, awal bulan Jumadil Akhir 1380 H(1962 M) Beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 60 tahun. Jenazah beliau disemedikan di Kaherah, Mesir.
Semoga Allah merohmati Sayyid Ahmad Al Ghumari serta membalas jasa-jasa beliau dalam mempertahankan Sunnah Nabawiyyah dengan sebaik-baik pembalasan. Amin !!!.
http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts
AL HABIB ‘ALWI BIN ‘ABDULLAH AL ‘AYDRUS (Salah Satu Sayap Dakwahnya Guru Mulia Al Habib ‘Umar bin Hafidz)
"Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridho Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara." Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib 'Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib ‘Alwi bin ‘Abdullah bin Husein Alaydrus.
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib ‘Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib ‘Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at Beliau dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh ‘Abdul Karim bin Abdul Qadir Al-Mallah( Mufti Syihir), Sayyid ‘Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafizh( Mufti Tarim), dan Syeikh Salim bin Khamis Al-Habli,dan ‘Ulama besar lainnya yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka Habib ‘Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi.
Setelah Habib ‘Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthofa pada tahun 1417 H/1996 M, barulah Habib ‘Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib ‘Umar Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di Darul Musthofa.
Selain menyelami ilmu di Darul Musthofa, Habib ‘Alwi juga telah menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hadhromaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib ‘Alwi dipercaya mengemban jabatan ketua Divisi Halaqoh dan Kajian Ilmu Darul Musthofa, yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar Hadhromaut, yang berada di bawah payung Darul Mushthofa.
Yang menarik, dalam setiap halaqoh yang diadakan di masjid-masjid tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin, Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada, Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar Riyad Ash-Shalihin.
Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama 12 tahun, tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala berdasarkan kurikulum yang ada.
Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib ‘Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus Darul Musthofa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan pengalamannya selama berada di Hadhromaut. Demikianlah contoh yang diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.
"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara," kata Habib ‘Alwi.
Produktif Menulis
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthofa, ia juga aktif sebagai salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat Al-Muslimin.
Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib ‘Alwi, sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi, sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.
Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.
Dalam kondisi seperti itu, Habib ‘Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang menelepon.
"Siapa Anda?"
"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”
Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.
Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”
"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhol (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib ‘Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.
Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga meminta hal yang sama.
Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut dan bertanya, "Anda siapa?"
"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."
Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.
"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.
Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang pernah dialaminya.
Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia lakukan karena beberapa hal.
Safari Dakwah
Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam, Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih Muqaddam.
Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.
Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz. At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.
Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.
Sumber:http://alhabaib.blogspot.com/2011/07/habib-alwi-bin-abdullah-alaydrus-ikhlas.html
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib ‘Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib ‘Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at Beliau dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh ‘Abdul Karim bin Abdul Qadir Al-Mallah( Mufti Syihir), Sayyid ‘Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafizh( Mufti Tarim), dan Syeikh Salim bin Khamis Al-Habli,dan ‘Ulama besar lainnya yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka Habib ‘Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi.
Setelah Habib ‘Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthofa pada tahun 1417 H/1996 M, barulah Habib ‘Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib ‘Umar Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di Darul Musthofa.
Selain menyelami ilmu di Darul Musthofa, Habib ‘Alwi juga telah menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hadhromaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib ‘Alwi dipercaya mengemban jabatan ketua Divisi Halaqoh dan Kajian Ilmu Darul Musthofa, yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar Hadhromaut, yang berada di bawah payung Darul Mushthofa.
Yang menarik, dalam setiap halaqoh yang diadakan di masjid-masjid tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin, Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada, Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar Riyad Ash-Shalihin.
Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama 12 tahun, tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala berdasarkan kurikulum yang ada.
Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib ‘Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus Darul Musthofa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan pengalamannya selama berada di Hadhromaut. Demikianlah contoh yang diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.
"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara," kata Habib ‘Alwi.
Produktif Menulis
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthofa, ia juga aktif sebagai salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat Al-Muslimin.
Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib ‘Alwi, sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi, sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.
Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.
Dalam kondisi seperti itu, Habib ‘Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang menelepon.
"Siapa Anda?"
"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”
Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.
Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”
"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhol (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib ‘Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.
Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga meminta hal yang sama.
Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut dan bertanya, "Anda siapa?"
"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."
Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.
"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.
Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang pernah dialaminya.
Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia lakukan karena beberapa hal.
Safari Dakwah
Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam, Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih Muqaddam.
Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.
Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz. At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.
Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.
Sumber:http://alhabaib.blogspot.com/2011/07/habib-alwi-bin-abdullah-alaydrus-ikhlas.html
PERTEMUAN AGUNG BERTABUR NUR KEBERKAHAN ANTARA AL QUTHUB AL HABIB ‘ALWI BIN ‘ALI AL HABSYI (Gurawan,Solo) DAN AL QUTHUB AL HABIB ABU BAKAR BIN MUHAMMAD ASSEGAF (Gresik)
Penulis: Al Habib ‘Abdul Qodir bin Husein bin Segaf Assegaf
Pada hari Sabtu, tanggal 18 Dzulqoidah 1371 H, jam 08.00 pagi, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1952 M, Habib ‘Alwi bin Al Quthub Al Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi (Pengarang Simthuddhuror), seorang dermawan yang bertakwa, berniat untuk mengunjungi Al Quthub Al Waro’ Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf yang tinggal di kota Gresik.
Habib Abu Bakar telah berulang kali menulis surat kepada Habib ‘Alwi mengabarkan keinginannya untuk menyampaikan sesuatu yang dititipkan kepadanya. Habib ‘Alwi sendiri telah mendapatkan petunjuk yang jelas dari perkataan Habib Ali dalam diwan[1] beliau:
Wahai kekasihku,
Pergilah dengan nama Allah
kemana pun kau suka
Niscaya kau selamat dari segala kejahatan
Inayah Allah Al-Muhaimin
selalu menjagamu dalam perjalanan
Anak-anak dan kerabat beliau banyak yang hadir saat itu. Sebelum Habib ‘Alwi meninggalkan kediaman beliau yang penuh berkah di Gurawan Solo, beliau membaca Fatihah dan memanjatkan doa-doa mulia. Membaca Fatihah ketika hendak bepergian merupakan kebiasaan ayah beliau, sebagaimana disebutkan dalam kalam Habib ‘Ali. Kemudian dengan jari beliau,Habib ‘Alwi menulis ayat berikut pada dinding rumahnya:
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.”
(QS Al-Qoshosh, 28:85)
Kami dan Kami beranjak keluar. Di depan rumah kendaraan telah menunggu. Habib ‘Alwi berpamitan kepada mereka yang mengantarkan dan mereka memohon doa dari beliau. Beliau lalu masuk ke dalam mobil milik Sayyid ‘Abdullah bin Muhammad Al ‘Aydrus. Mobil mewah, masih baru, produksi tahun 1952, merek Desoto Custom.
(Kami berangkat menjemput Sayyid Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus) Di depan rumahnya telah berkumpul beberapa orang dari golongan sa’adah dan lainnya untuk mengantarkan kepergian Habib ‘Alwi dan memohon do’a dari beliau. Di antara mereka adalah Sayyid Salim bin Bashri,Sayyid Muhammad Al ‘Aydrus yang telah siap di rumahnya segera bergegas keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Jadi, dalam perjalanan ini Habib ‘Alwi ditemani oleh Sayyid Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus,Habib ’Abdul Qodir bin ‘Umar Maulachela, Syeikh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin ‘Abud Deqil dan aku sendiri (Habib ‘Abdul Qodir bin Husein bin Segaf Assegaf).
Mobil kemudian membawa kami ke tempat penjualan bensin. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin, lalu dengan memohon pertolongan Allah SWT kami segera menuju Jombang. Dari Solo kami berangkat pukul 08:45 pagi.
Dalam perjalanan Habib ‘Alwi mendiktekan khotbah catatan perjalanan ini, kemudian kami semua melagukan qoshidah berikut dengan suara nyaring :
Dengan kebesaran Pencipta langit,
Kami duduk bersimpuh
memohon perlindungan dari segala bencana,
Juga dengan Al-Hadi Muhammad dan Sab’ul
Matsâni[2]
Setelah itu Habib ‘Alwi menggubah dua bait sya’ir:
Niat kami dalam ziarah ini sebagaimana niat
sang Habib
Kami mengharap karomah yang dapat mempertemukan
kami dengan para pecinta
Telah lama kami nanti kelalaian musuh yang selalu
mengawasi hingga datang izin
Sebab, orang yang memohon dengan benar
pasti ‘kan mendapat jawaban
Habib ‘Abdul Qodir bin ‘Umar Maulachela melagukan sya’ir itu. Habib ‘Alwi kemudian meneruskan syair gubahannya:
Kami niat berziarah agar semua tujuan tercapai
Kami akan mengunjungi kekasih yang bersemayam
di hati
Husein bin Muhammad, pemuas dahaga mereka yang kehausan
Kami akan mengunjungi kekasih yang tinggal
di pusat kota Jombang
Katakan kepadanya, kami datang bersama rombongan
Bersedekahlah, berdermalah kepada orang
yang telah terlatih lapar
Hidangkan kepada mereka sajian yang pantas
untuk pesta atau untuk tamu
Kami ingin mengunjungi kekasih di pusat kota Jombang
Berilah ilmu orang-orang yang dagangannya telah hilang
agar hari-hari mereka menjadi indah
dan dagangan mereka kembali pulang
Hati menjadi gembira karena akan bertemu para kekasih
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di pusat kota Jombang.
Kami akan mengambil amanat, madad dan titipan
Dari qutbul wara wan nafaa’ah yang tinggal di Kota Gresik
Atas perintahnya dan mereka adalah kaum dermawan dan budiman
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di tengah kota Jombang.
Memasuki kota Sragen kami bertemu dengan rombongan pengantin. Keluar dari kota Sragen, kami bertemu lagi dengan rombongan pengantin. Habib ‘Alwi berkata, “Ini adalah pertanda baik.” Sebelum berangkat dari Solo seorang yang bernama Faraj (kelapangan, kelonggaran) datang menemui beliau. Beliau senang dengan kejadian ini, sebab menurut beliau semua itu merupakan pertanda baik bagi kepergian beliau. Rosulullah Saw juga sangat menyukai pertanda baik.
Setelah itu Habib ‘Abdul Qodir Maulachela melagukan syair Hababah Khodijah, putri
Habib ‘Ali Al Habsyi.[3]
Kami sampai di Madiun dalam waktu 1 ½ jam, lalu singgah di rumah Syeikh ‘Awudh Ba’abduh. Beliau menyambut gembira kedatangan Habib ‘Alwi dan rombongan. Kami istirahat di rumah Syeikh kurang lebih 1 jam, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Mobil melaju dengan cepat, seakan bumi ini dilipat.Tak terasa kami telah sampai di Jombang. Kami segera menuju rumah Habib Husein bin Muhammad Al Haddad. Sewaktu mobil kami berhenti di halaman rumah beliau yang luas, beliau memanggil pembantunya, “Hai Aman! Lihatlah, siapa yang datang!” Habib ‘Alwi berkata, ‘Ini pertanda baik lagi[4].”
Kami lalu memasuki rumah beliau yang luas, yang selalu dipenuhi tamu pagi maupun sore. Mengetahui yang berkunjung Habib ‘Alwi, Habib Husein segera berdiri menyambut beliau dengan gembira, “Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta.
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan yang datang secara tiba-tiba.
Habib Husein tidak diberi kabar bahwa Habib ‘Alwi akan datang berkunjung. Beliau lalu membacakan bait-bait syair Habib ‘Abdullah bin Husein bin Thohir:
Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap
“Kedatangan kalian ini adalah karunia dari Allah. Alhamdulillâhi robbil ‘âlamîn.”
Habib Husein merasa sangat gembira dengan kedatangan Habib ‘Alwi.
Setelah semuanya duduk dengan nyaman, Habib ‘Alwi[5] memberitahu Habib Husein[6], “Kepergianku dari Solo adalah untuk mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf di Gresik. Sebab, beliau telah berulang kali mengirim utusan mengundangku. Aku datang kemari untuk meminta pendapat dan saran, karena aku dengar engkau tidak ingin aku datang kepadanya. Aku sengaja menunda kepergianku karena ucapanmu ini. Sekarang aku telah datang, jika kau perintahkan aku untuk melanjutkan perjalanan, aku akan melakukannya. Tetapi jika kau larang aku melanjutkan perjalanan,aku akan pulang.”
Habib Husein lalu menjelaskan, “Aku tidak pernah mengutus seseorang untuk melarangmu pergi. Hanya saja, ketika aku berada di rumah Habib Abubakar, beliau berkata kepadaku, ‘Aku mengemban amanat Habib ‘Ali untuk ‘Alwi. Aku ingin ia datang kemari agar amanat itu dapat kusampaikan.’ Aku lalu berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah rumah amanat, di tanganmu amanat itu pasti terjaga, dan ‘Alwi masih hidup bersama kita.’ Sekarang kupikir Habib Abu Bakar ingin menyampaikannya kepadamu. Hanîan laka… Selamat untukmu. Berilah kami bagian.
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS An-Nisa, 4:8)
Habib Abu Bakar sekarang ini sedang menunggu kalian. Ia berdiri, duduk, berdiri, duduk… Seandainya kalian langsung berangkat ke sana tentu akan lebih baik.”
Sesungguhnya Habib ‘Alwi berniat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya bersama Habib Husein. Akan tetapi Habib Husein berhalangan, kaki beliau sakit dan beliau memerintahkan Habib ‘Alwi agar segera menemui Habib Abu Bakar yang sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Habib Husein rupanya meng-kasyaf keadaan ini.
Sebenarnya keinginan untuk melakukan perjalanan ke Gresik ini muncul Jum’at tengah hari. Namun Habib ‘Alwi baru memberitahukan niatnya ini kepada istri dan anak-anaknya sore hari, dan Sabtu pagi beliau telah berangkat. Demikianlah para wali Allah melihat dengan cahaya Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.” (HR Turmudzi)
Semoga Allah meridhoi mereka semua dan memberi kita manfaat berkat mereka.
“Sejak Subuh aku merasa gelisah, tapi setelah kalian datang perasaan itu hilang berubah menjadi kegembiraan. Semua ini adalah karunia Allah,” kata Habib Husein.
Syeikh Hadi Makarim lalu bercerita, bahwa ia mimpi melihat Habib ‘Ali Al Habsyi menggandeng tangan Habib Husein ke luar dari satu rumah masuk ke rumah lain. Kemudian datang seorang lelaki memberi Habib ‘Ali tiga ridâ[7]: dua berwarna hijau dan satu coklat. Habib ‘Ali memakai ridâ yang hijau, memberikan ridâ hijau yang lain kepada Habib Husein, dan memberikan yang coklat kepada Syeikh Hadi Makarim.
Cerita ini menggembirakan hati Habib Husein, beliau lalu pergi dan kembali membawa dua ridâ: yang berwarna hijau buatan Bali diberikan kepada Habib ‘Alwi, yang putih buatan Solo diberikan kepada Syeikh Hadi Makarim sambil berkata, “Ini sebagai hadiah atas mimpimu yang menggembirakan itu.”
Habib Husein kemudian membacakan lagi sya’ir Habib ‘Abdullah bin Husein:
Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap
Habib Husein berkata, “Perhatikanlah bait sya’ir ini: dan seluruh tindakan Mu amat indah, ini adalah maqôm ridho.”
Habib Husein lalu bicara tentang mode pakaian. “Penghuni zaman ini telah merubah cara berpakaian mereka, juga cara berpakaian anak mereka, terlebih lagi putri-putri mereka. Mereka memberi anak-anak perempuan mereka pakaian yang pendek hingga di atas lutut. Ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Suatu hari aku datang ke rumah salah seorang pecintaku. Saat itu anak-anak putrinya berpakaian sebagaimana pakaian kebanyakan orang di zaman ini: pendek di atas lutut. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Kalau aku datang ke tempat asal kalian di Hadhramaut, kemudian dengan tongkat di tanganku ini kusingkapkan pakaian putrimu hingga ke atas lutut, bagaimana sikapmu?’ Ia menjawab, ‘Kita akan saling pukul.’ Aku lalu berkata, ‘Tapi kalian sendiri sekarang melakukan hal itu terhadap putri-putri kalian.’
Rupanya ucapanku itu membekas di hatinya. Ia kemudian segera mengganti pakaian putri-putrinya dengan pakaian yang panjang seperti dahulu. Aku pun merasa sangat bahagia. Adapun teman-teman lain, mereka mengakui bahwa mode pakaian macam itu tidak benar, tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Kelak di hari kiamat, anak-anak perempuan mereka akan bergantungan di leher mereka dan berkata, “Ayah kamilah yang mengajarkan semua ini kepada kami.”
Habib Husein membahas persoalan ini panjang lebar dan hanya inilah yang dapat kuhapal. Dan kupikir, ini pun sudah cukup.
Kami kemudian melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashor jamak taqdim. Setelah makan siang, Habib Husein menganjurkan agar kami segera berangkat ke Gresik. Kurang lebih pukul 13:30 kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah keluar dari kota Jombang, Habib ‘Abdul Qodir Maulachela melantunkan bait-bait sya’ir humainiyah yang dikarang Habib ‘Alwi di masa lalu.[8]
Kami berhenti sejenak di Mojokerto, kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai di Surabaya pukul 16:30. Di Surabaya kami singgah di rumah seorang sayyid yang mulia, yang menempuh jalan leluhurnya, Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf. Habib ‘Alwi ingin agar Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf menemani beliau ke Gresik. Sesampainya di depan kampung Habib ’Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, mobil berhenti dan aku diutus Habib ‘Alwi untuk mengabarkan kedatangan beliau. Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf[9] segera keluar menemui Habib ‘Alwi. Keduanya bersalaman dan berpelukan. Beliau merasa sangat senang dengan kedatangan Habib ’Alwi. Habib ‘Alwi memberitahu Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf bahwa beliau ingin segera ke Gresik untuk menemui Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan meminta agar ia bersedia menemani beliau ke Gresik. Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf memenuhi permintaan Habib ‘Alwi, padahal ia telah menyediakan sebuah rumah untuk Habib ‘Alwi dan rombongannya.
Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegafmemiliki seorang adik yang tinggal di Solo. Ia bernama Sayyid Ahmad bin Hadi. Ketika adiknya mendengar rencana perjalanan Habib ‘Alwi, ia segera pergi ke Surabaya dengan kereta api pagi agar dapat memberitahu kakaknya rencana perjalanan Habib ‘Alwi. Mendengar berita dari adiknya ini, Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf segera menyediakan sebuah rumah karena antara dia dan Habib ‘Alwi terjalin ikatan mahabbah dan persaudaraan yang sangat kuat.
Habib Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf meminta Habib ‘Alwi untuk singgah sebentar di rumah itu. Letaknya tidak jauh dari tempat berhentinya mobil kami. Rumah itu sangat bagus, penuh dengan perabotan indah, dan lampu yang bersinar terang. Kami lalu mengelilingi rumah yang luas itu. Pemilik rumah itu adalah Syarifah Zahro’ binti Sayyid Abdurrahman bin Hasan Assegaf, sepupu Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf. Rumah itu dijadikan sebagai rumah peristirahatan, sedang pemiliknya tinggal di rumah yang lain.
Setelah duduk sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Gersik bersama Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf. Pukul 17.15 kami telah sampai di depan rumah Al Quthub Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Di depan rumah tampak Sayyid Hud bin Abdullah, putra Habib Abu Bakar Assegaf dan sejumlah Muhib di antaranya Salmin Doman telah siap menyambut kedatangan kami.
Beberapa saat sebelumnya Salmin Doman masih
di Surabaya. Setelah mengetahui tujuan perjalanan Habib ‘Alwi, ia segera menyusul ke Gresik untuk menyambut Habib ‘Alwi dan ikut dalam majelis-majelis beliau.
Kami kemudian masuk ke dalam rumah Habib Abu Bakar Assegaf yang penuh berkah. Tatkala menatap wajah beliau yang tampan dan bercahaya seperti bulan purnama,
air mata kami jatuh berderai.
Kebahagiaan menyelimutiku
begitu hebat hingga ‘ku tak kuasa
menahan tangisku
Habib ’Alwi menghampiri Habib Abu Bakar Assegaf[10], mencium tangan beliau. Keduanya lalu saling berpelukan, menangis dan bersyukur kepada Allah SWT atas pertemuan ini. 10 tahun lamanya mereka tidak saling berjumpa. Kekhusyukan dan haibah pertemuan ini dirasakan oleh semua yang hadir. Mereka seakan terpukau dan suasana menjadi hening. Setiap pipi basah oleh air mata, setiap kepala tertunduk ke bawah. Mereka semua menyaksikan pertemuan agung ini setelah perpisahan yang begitu lama. Perpisahan yang dimaksud adalah perpisahan raga, adapun ruh mereka senantiasa hadir dan tak pernah berpisah.
Habib Abu Bakar, semoga Allah memanjangkan umurnya, menatap Habib ‘Alwi dan berulang kali mengucapkan selamat datang dan penghormatan. Selang beberapa saat Habib Abu Bakar memeluk beliau. Ini dilakukannya tiga kali. Tanda-tanda kebahagiaan dan suka cita tampak jelas di wajah keduanya.
Habib Abubakar berkata:
“Yang telah memegang takkan melepaskan.”[11]
“Aku akan mentaatimu. Aku datang kemari dengan berbagai kebutuhan. Dan mengharapkan pemberian untukku, anak-anakku, dan keluargaku,” kata Habib ‘Alwi. Beliau lalu membacakan salah satu ayat Quran.
“Hai pembesar, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf, 12:88)
“Tentu…, tentu…, aku akan memberimu kabar gembira,” kata beliau, “Sejak subuh hari ini aku merasa gelisah dan tak banyak berkata-kata. Aku tidak tahu apa sebabnya. Melihat engkau datang, hilanglah kegelisahanku, hatiku terasa lapang dan aku menjadi bersemangat.”
Catatan Kaki :
[1] Buku yang berisi kumpulan sya'ir.
[2] Sab’ul Matsâni: Surat Al-Fatihah
[3] Lihat lampiran ke-1
[4] Pertanda baik karena pembantu Habib Husein bernama Aman yang berarti keselamatan.
[5] Habib Alwi lahir tahun 1311 H, meninggal tahun 1373 H. Jadi beliau melakukan perjalanan ini pada usia 60 tahun.
[6] Habib Husein lahir di Qoidun tahun 1303 H, meninggal tahun 1376 H. Jadi pada pertemuan ini umur beliau 68 tahun. Beliau ke Jawa tahun 1329 H, ketika berumur 27 tahun.
[7] Ridâ adalah sejenis selendang.
[8] Keterangan ada pada lampiran ke-2 dalam buku.
[9] Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf meninggal di Surabaya bulan Dzulhijjah tahun 1376 pada usia 68 tahun. Jadi waktu pertemuan ini beliau berusia 63 tahun.
[10] Habib Abu Bakar lahir di Besuki Jawa Timur tahun 1285 H, meninggal di Gresik, Jawa Timur pada malam Senin 17 Dzulhijjah 1376 H pada usia 91 tahun. Jadi pada pertemuan ini usia beliau 86 tahun.
[11] Maksudnya, Habib Abu Bakar takkan membiarkan Habib ‘Alwi pergi.
sumber : http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts
Pada hari Sabtu, tanggal 18 Dzulqoidah 1371 H, jam 08.00 pagi, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1952 M, Habib ‘Alwi bin Al Quthub Al Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi (Pengarang Simthuddhuror), seorang dermawan yang bertakwa, berniat untuk mengunjungi Al Quthub Al Waro’ Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf yang tinggal di kota Gresik.
Habib Abu Bakar telah berulang kali menulis surat kepada Habib ‘Alwi mengabarkan keinginannya untuk menyampaikan sesuatu yang dititipkan kepadanya. Habib ‘Alwi sendiri telah mendapatkan petunjuk yang jelas dari perkataan Habib Ali dalam diwan[1] beliau:
Wahai kekasihku,
Pergilah dengan nama Allah
kemana pun kau suka
Niscaya kau selamat dari segala kejahatan
Inayah Allah Al-Muhaimin
selalu menjagamu dalam perjalanan
Anak-anak dan kerabat beliau banyak yang hadir saat itu. Sebelum Habib ‘Alwi meninggalkan kediaman beliau yang penuh berkah di Gurawan Solo, beliau membaca Fatihah dan memanjatkan doa-doa mulia. Membaca Fatihah ketika hendak bepergian merupakan kebiasaan ayah beliau, sebagaimana disebutkan dalam kalam Habib ‘Ali. Kemudian dengan jari beliau,Habib ‘Alwi menulis ayat berikut pada dinding rumahnya:
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.”
(QS Al-Qoshosh, 28:85)
Kami dan Kami beranjak keluar. Di depan rumah kendaraan telah menunggu. Habib ‘Alwi berpamitan kepada mereka yang mengantarkan dan mereka memohon doa dari beliau. Beliau lalu masuk ke dalam mobil milik Sayyid ‘Abdullah bin Muhammad Al ‘Aydrus. Mobil mewah, masih baru, produksi tahun 1952, merek Desoto Custom.
(Kami berangkat menjemput Sayyid Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus) Di depan rumahnya telah berkumpul beberapa orang dari golongan sa’adah dan lainnya untuk mengantarkan kepergian Habib ‘Alwi dan memohon do’a dari beliau. Di antara mereka adalah Sayyid Salim bin Bashri,Sayyid Muhammad Al ‘Aydrus yang telah siap di rumahnya segera bergegas keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Jadi, dalam perjalanan ini Habib ‘Alwi ditemani oleh Sayyid Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus,Habib ’Abdul Qodir bin ‘Umar Maulachela, Syeikh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin ‘Abud Deqil dan aku sendiri (Habib ‘Abdul Qodir bin Husein bin Segaf Assegaf).
Mobil kemudian membawa kami ke tempat penjualan bensin. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin, lalu dengan memohon pertolongan Allah SWT kami segera menuju Jombang. Dari Solo kami berangkat pukul 08:45 pagi.
Dalam perjalanan Habib ‘Alwi mendiktekan khotbah catatan perjalanan ini, kemudian kami semua melagukan qoshidah berikut dengan suara nyaring :
Dengan kebesaran Pencipta langit,
Kami duduk bersimpuh
memohon perlindungan dari segala bencana,
Juga dengan Al-Hadi Muhammad dan Sab’ul
Matsâni[2]
Setelah itu Habib ‘Alwi menggubah dua bait sya’ir:
Niat kami dalam ziarah ini sebagaimana niat
sang Habib
Kami mengharap karomah yang dapat mempertemukan
kami dengan para pecinta
Telah lama kami nanti kelalaian musuh yang selalu
mengawasi hingga datang izin
Sebab, orang yang memohon dengan benar
pasti ‘kan mendapat jawaban
Habib ‘Abdul Qodir bin ‘Umar Maulachela melagukan sya’ir itu. Habib ‘Alwi kemudian meneruskan syair gubahannya:
Kami niat berziarah agar semua tujuan tercapai
Kami akan mengunjungi kekasih yang bersemayam
di hati
Husein bin Muhammad, pemuas dahaga mereka yang kehausan
Kami akan mengunjungi kekasih yang tinggal
di pusat kota Jombang
Katakan kepadanya, kami datang bersama rombongan
Bersedekahlah, berdermalah kepada orang
yang telah terlatih lapar
Hidangkan kepada mereka sajian yang pantas
untuk pesta atau untuk tamu
Kami ingin mengunjungi kekasih di pusat kota Jombang
Berilah ilmu orang-orang yang dagangannya telah hilang
agar hari-hari mereka menjadi indah
dan dagangan mereka kembali pulang
Hati menjadi gembira karena akan bertemu para kekasih
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di pusat kota Jombang.
Kami akan mengambil amanat, madad dan titipan
Dari qutbul wara wan nafaa’ah yang tinggal di Kota Gresik
Atas perintahnya dan mereka adalah kaum dermawan dan budiman
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di tengah kota Jombang.
Memasuki kota Sragen kami bertemu dengan rombongan pengantin. Keluar dari kota Sragen, kami bertemu lagi dengan rombongan pengantin. Habib ‘Alwi berkata, “Ini adalah pertanda baik.” Sebelum berangkat dari Solo seorang yang bernama Faraj (kelapangan, kelonggaran) datang menemui beliau. Beliau senang dengan kejadian ini, sebab menurut beliau semua itu merupakan pertanda baik bagi kepergian beliau. Rosulullah Saw juga sangat menyukai pertanda baik.
Setelah itu Habib ‘Abdul Qodir Maulachela melagukan syair Hababah Khodijah, putri
Habib ‘Ali Al Habsyi.[3]
Kami sampai di Madiun dalam waktu 1 ½ jam, lalu singgah di rumah Syeikh ‘Awudh Ba’abduh. Beliau menyambut gembira kedatangan Habib ‘Alwi dan rombongan. Kami istirahat di rumah Syeikh kurang lebih 1 jam, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Mobil melaju dengan cepat, seakan bumi ini dilipat.Tak terasa kami telah sampai di Jombang. Kami segera menuju rumah Habib Husein bin Muhammad Al Haddad. Sewaktu mobil kami berhenti di halaman rumah beliau yang luas, beliau memanggil pembantunya, “Hai Aman! Lihatlah, siapa yang datang!” Habib ‘Alwi berkata, ‘Ini pertanda baik lagi[4].”
Kami lalu memasuki rumah beliau yang luas, yang selalu dipenuhi tamu pagi maupun sore. Mengetahui yang berkunjung Habib ‘Alwi, Habib Husein segera berdiri menyambut beliau dengan gembira, “Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta.
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan yang datang secara tiba-tiba.
Habib Husein tidak diberi kabar bahwa Habib ‘Alwi akan datang berkunjung. Beliau lalu membacakan bait-bait syair Habib ‘Abdullah bin Husein bin Thohir:
Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap
“Kedatangan kalian ini adalah karunia dari Allah. Alhamdulillâhi robbil ‘âlamîn.”
Habib Husein merasa sangat gembira dengan kedatangan Habib ‘Alwi.
Setelah semuanya duduk dengan nyaman, Habib ‘Alwi[5] memberitahu Habib Husein[6], “Kepergianku dari Solo adalah untuk mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf di Gresik. Sebab, beliau telah berulang kali mengirim utusan mengundangku. Aku datang kemari untuk meminta pendapat dan saran, karena aku dengar engkau tidak ingin aku datang kepadanya. Aku sengaja menunda kepergianku karena ucapanmu ini. Sekarang aku telah datang, jika kau perintahkan aku untuk melanjutkan perjalanan, aku akan melakukannya. Tetapi jika kau larang aku melanjutkan perjalanan,aku akan pulang.”
Habib Husein lalu menjelaskan, “Aku tidak pernah mengutus seseorang untuk melarangmu pergi. Hanya saja, ketika aku berada di rumah Habib Abubakar, beliau berkata kepadaku, ‘Aku mengemban amanat Habib ‘Ali untuk ‘Alwi. Aku ingin ia datang kemari agar amanat itu dapat kusampaikan.’ Aku lalu berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah rumah amanat, di tanganmu amanat itu pasti terjaga, dan ‘Alwi masih hidup bersama kita.’ Sekarang kupikir Habib Abu Bakar ingin menyampaikannya kepadamu. Hanîan laka… Selamat untukmu. Berilah kami bagian.
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS An-Nisa, 4:8)
Habib Abu Bakar sekarang ini sedang menunggu kalian. Ia berdiri, duduk, berdiri, duduk… Seandainya kalian langsung berangkat ke sana tentu akan lebih baik.”
Sesungguhnya Habib ‘Alwi berniat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya bersama Habib Husein. Akan tetapi Habib Husein berhalangan, kaki beliau sakit dan beliau memerintahkan Habib ‘Alwi agar segera menemui Habib Abu Bakar yang sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Habib Husein rupanya meng-kasyaf keadaan ini.
Sebenarnya keinginan untuk melakukan perjalanan ke Gresik ini muncul Jum’at tengah hari. Namun Habib ‘Alwi baru memberitahukan niatnya ini kepada istri dan anak-anaknya sore hari, dan Sabtu pagi beliau telah berangkat. Demikianlah para wali Allah melihat dengan cahaya Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.” (HR Turmudzi)
Semoga Allah meridhoi mereka semua dan memberi kita manfaat berkat mereka.
“Sejak Subuh aku merasa gelisah, tapi setelah kalian datang perasaan itu hilang berubah menjadi kegembiraan. Semua ini adalah karunia Allah,” kata Habib Husein.
Syeikh Hadi Makarim lalu bercerita, bahwa ia mimpi melihat Habib ‘Ali Al Habsyi menggandeng tangan Habib Husein ke luar dari satu rumah masuk ke rumah lain. Kemudian datang seorang lelaki memberi Habib ‘Ali tiga ridâ[7]: dua berwarna hijau dan satu coklat. Habib ‘Ali memakai ridâ yang hijau, memberikan ridâ hijau yang lain kepada Habib Husein, dan memberikan yang coklat kepada Syeikh Hadi Makarim.
Cerita ini menggembirakan hati Habib Husein, beliau lalu pergi dan kembali membawa dua ridâ: yang berwarna hijau buatan Bali diberikan kepada Habib ‘Alwi, yang putih buatan Solo diberikan kepada Syeikh Hadi Makarim sambil berkata, “Ini sebagai hadiah atas mimpimu yang menggembirakan itu.”
Habib Husein kemudian membacakan lagi sya’ir Habib ‘Abdullah bin Husein:
Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap
Habib Husein berkata, “Perhatikanlah bait sya’ir ini: dan seluruh tindakan Mu amat indah, ini adalah maqôm ridho.”
Habib Husein lalu bicara tentang mode pakaian. “Penghuni zaman ini telah merubah cara berpakaian mereka, juga cara berpakaian anak mereka, terlebih lagi putri-putri mereka. Mereka memberi anak-anak perempuan mereka pakaian yang pendek hingga di atas lutut. Ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Suatu hari aku datang ke rumah salah seorang pecintaku. Saat itu anak-anak putrinya berpakaian sebagaimana pakaian kebanyakan orang di zaman ini: pendek di atas lutut. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Kalau aku datang ke tempat asal kalian di Hadhramaut, kemudian dengan tongkat di tanganku ini kusingkapkan pakaian putrimu hingga ke atas lutut, bagaimana sikapmu?’ Ia menjawab, ‘Kita akan saling pukul.’ Aku lalu berkata, ‘Tapi kalian sendiri sekarang melakukan hal itu terhadap putri-putri kalian.’
Rupanya ucapanku itu membekas di hatinya. Ia kemudian segera mengganti pakaian putri-putrinya dengan pakaian yang panjang seperti dahulu. Aku pun merasa sangat bahagia. Adapun teman-teman lain, mereka mengakui bahwa mode pakaian macam itu tidak benar, tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Kelak di hari kiamat, anak-anak perempuan mereka akan bergantungan di leher mereka dan berkata, “Ayah kamilah yang mengajarkan semua ini kepada kami.”
Habib Husein membahas persoalan ini panjang lebar dan hanya inilah yang dapat kuhapal. Dan kupikir, ini pun sudah cukup.
Kami kemudian melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashor jamak taqdim. Setelah makan siang, Habib Husein menganjurkan agar kami segera berangkat ke Gresik. Kurang lebih pukul 13:30 kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah keluar dari kota Jombang, Habib ‘Abdul Qodir Maulachela melantunkan bait-bait sya’ir humainiyah yang dikarang Habib ‘Alwi di masa lalu.[8]
Kami berhenti sejenak di Mojokerto, kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai di Surabaya pukul 16:30. Di Surabaya kami singgah di rumah seorang sayyid yang mulia, yang menempuh jalan leluhurnya, Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf. Habib ‘Alwi ingin agar Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf menemani beliau ke Gresik. Sesampainya di depan kampung Habib ’Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, mobil berhenti dan aku diutus Habib ‘Alwi untuk mengabarkan kedatangan beliau. Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf[9] segera keluar menemui Habib ‘Alwi. Keduanya bersalaman dan berpelukan. Beliau merasa sangat senang dengan kedatangan Habib ’Alwi. Habib ‘Alwi memberitahu Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf bahwa beliau ingin segera ke Gresik untuk menemui Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan meminta agar ia bersedia menemani beliau ke Gresik. Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf memenuhi permintaan Habib ‘Alwi, padahal ia telah menyediakan sebuah rumah untuk Habib ‘Alwi dan rombongannya.
Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegafmemiliki seorang adik yang tinggal di Solo. Ia bernama Sayyid Ahmad bin Hadi. Ketika adiknya mendengar rencana perjalanan Habib ‘Alwi, ia segera pergi ke Surabaya dengan kereta api pagi agar dapat memberitahu kakaknya rencana perjalanan Habib ‘Alwi. Mendengar berita dari adiknya ini, Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf segera menyediakan sebuah rumah karena antara dia dan Habib ‘Alwi terjalin ikatan mahabbah dan persaudaraan yang sangat kuat.
Habib Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf meminta Habib ‘Alwi untuk singgah sebentar di rumah itu. Letaknya tidak jauh dari tempat berhentinya mobil kami. Rumah itu sangat bagus, penuh dengan perabotan indah, dan lampu yang bersinar terang. Kami lalu mengelilingi rumah yang luas itu. Pemilik rumah itu adalah Syarifah Zahro’ binti Sayyid Abdurrahman bin Hasan Assegaf, sepupu Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf. Rumah itu dijadikan sebagai rumah peristirahatan, sedang pemiliknya tinggal di rumah yang lain.
Setelah duduk sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Gersik bersama Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf. Pukul 17.15 kami telah sampai di depan rumah Al Quthub Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Di depan rumah tampak Sayyid Hud bin Abdullah, putra Habib Abu Bakar Assegaf dan sejumlah Muhib di antaranya Salmin Doman telah siap menyambut kedatangan kami.
Beberapa saat sebelumnya Salmin Doman masih
di Surabaya. Setelah mengetahui tujuan perjalanan Habib ‘Alwi, ia segera menyusul ke Gresik untuk menyambut Habib ‘Alwi dan ikut dalam majelis-majelis beliau.
Kami kemudian masuk ke dalam rumah Habib Abu Bakar Assegaf yang penuh berkah. Tatkala menatap wajah beliau yang tampan dan bercahaya seperti bulan purnama,
air mata kami jatuh berderai.
Kebahagiaan menyelimutiku
begitu hebat hingga ‘ku tak kuasa
menahan tangisku
Habib ’Alwi menghampiri Habib Abu Bakar Assegaf[10], mencium tangan beliau. Keduanya lalu saling berpelukan, menangis dan bersyukur kepada Allah SWT atas pertemuan ini. 10 tahun lamanya mereka tidak saling berjumpa. Kekhusyukan dan haibah pertemuan ini dirasakan oleh semua yang hadir. Mereka seakan terpukau dan suasana menjadi hening. Setiap pipi basah oleh air mata, setiap kepala tertunduk ke bawah. Mereka semua menyaksikan pertemuan agung ini setelah perpisahan yang begitu lama. Perpisahan yang dimaksud adalah perpisahan raga, adapun ruh mereka senantiasa hadir dan tak pernah berpisah.
Habib Abu Bakar, semoga Allah memanjangkan umurnya, menatap Habib ‘Alwi dan berulang kali mengucapkan selamat datang dan penghormatan. Selang beberapa saat Habib Abu Bakar memeluk beliau. Ini dilakukannya tiga kali. Tanda-tanda kebahagiaan dan suka cita tampak jelas di wajah keduanya.
Habib Abubakar berkata:
“Yang telah memegang takkan melepaskan.”[11]
“Aku akan mentaatimu. Aku datang kemari dengan berbagai kebutuhan. Dan mengharapkan pemberian untukku, anak-anakku, dan keluargaku,” kata Habib ‘Alwi. Beliau lalu membacakan salah satu ayat Quran.
“Hai pembesar, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf, 12:88)
“Tentu…, tentu…, aku akan memberimu kabar gembira,” kata beliau, “Sejak subuh hari ini aku merasa gelisah dan tak banyak berkata-kata. Aku tidak tahu apa sebabnya. Melihat engkau datang, hilanglah kegelisahanku, hatiku terasa lapang dan aku menjadi bersemangat.”
Catatan Kaki :
[1] Buku yang berisi kumpulan sya'ir.
[2] Sab’ul Matsâni: Surat Al-Fatihah
[3] Lihat lampiran ke-1
[4] Pertanda baik karena pembantu Habib Husein bernama Aman yang berarti keselamatan.
[5] Habib Alwi lahir tahun 1311 H, meninggal tahun 1373 H. Jadi beliau melakukan perjalanan ini pada usia 60 tahun.
[6] Habib Husein lahir di Qoidun tahun 1303 H, meninggal tahun 1376 H. Jadi pada pertemuan ini umur beliau 68 tahun. Beliau ke Jawa tahun 1329 H, ketika berumur 27 tahun.
[7] Ridâ adalah sejenis selendang.
[8] Keterangan ada pada lampiran ke-2 dalam buku.
[9] Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf meninggal di Surabaya bulan Dzulhijjah tahun 1376 pada usia 68 tahun. Jadi waktu pertemuan ini beliau berusia 63 tahun.
[10] Habib Abu Bakar lahir di Besuki Jawa Timur tahun 1285 H, meninggal di Gresik, Jawa Timur pada malam Senin 17 Dzulhijjah 1376 H pada usia 91 tahun. Jadi pada pertemuan ini usia beliau 86 tahun.
[11] Maksudnya, Habib Abu Bakar takkan membiarkan Habib ‘Alwi pergi.
sumber : http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts
AL HABIB ‘ALI BIN SYECH ABU BAKAR BIN SALIM (PANGERAN SYARIF ‘ALI – KESULTANAN PALEMBANG)
Al Habib lahir dari pasangan penuh berkah Habib Abu bakar bin Sholeh B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrohim bin Yahya, sejak kecil beliau dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik. Ayah beliau, Habib Abu Bakar, yang lahir di kota 'Inat Hadromaut adalah cucu se orang Wali Besar yaitu Habib ‘Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Al Imam Al Quthub Al Habib ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad Shohiburrothib.
Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima Habib ‘Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari generasi habaib sebelumnya, beliau pegang teguh dan diteruskannya kepada para muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu Bakar, yang kemudian meneruskan tarbiyah itu kepada putranya yang bernama ‘Ali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Syarif ‘Ali.
Pangeran Syarif ‘Ali atau Habib ‘Ali bin Abu Bakar bin Sholeh bin ‘Ali bin ‘Ahmad Bin Syech Abu Bakar bin Salim Asseggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin seorang sultan yang sholeh, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.
Gelar Pangeran yang disandang beliau adalah karena kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam, baik secara nasab, pertalian pernikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Nenekn beliau dari sebelah ibu adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya adalah putri Sultan Husein Dhiauddin.
Ibundanya yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita sholehah putri seorang Al Allamah Habib Ibrohim bin Zein bin Yahya,beliau adalah Ahli Tasawwuf. Pangeran Syarif ‘Ali mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para paman beliau, seperti Habib ‘Abdullah bin Ibrohim dan Habib Syech bin Ibrohim, serta dari banyak ‘ulama lainnya pada masa itu.
Diriwayatkan, beliau memiliki koleksi hingga sekitar seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu beliau yang mendalam.
Masa kecil beliau, sebagaimana putra-putri keluarga ‘Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil kecerdasannya terlihat menonjol dan beliau memiliki banyak teman sepergaulan yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif ‘Ali sering mengunjungi kesultanan, hingga
beliau pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.
Menginjak remaja, Pangeran Syarif ‘Ali giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. beliau arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.
Suatu saat, Sultan Husein Dhiauddin meminta beliau menyelesaikan sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil menyelesaikan misi tersebut itulah beliau, yang masih dalam usia relatif muda, dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan salah satu putrinya, Raden Ayu Maliya.
Dari pernikahannya dengan putri sultan ini, beliau mendapat putra bernama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayah beliau, berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif ‘Ali dengan kapal ayahbeliau berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.
Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud, 1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan oleh Sayyid Hasan bin Syech Abu Bakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada hubungannya dengan putra Pangeran Syarif ‘Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif ‘Ali, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun beliau hadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.
Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif ‘Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.
Pangeran Syarif ‘Ali merasakan hal ini sebagai sebuah dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila beliau menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia dapat. Bila diterima, beliau hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat memerlukannya.
Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut, dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor Residen. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, beliau pun ingin dibantu oleh putra beliau Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif ‘Ali, yang selalu mengenakan pakaian ke’ulamaannya, Residen Belanda saat itu memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh putranya selama hampir setengah abad. Sebaliknya, Pangeran Syarif ‘Ali sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak satu sen pun beliau ambil.
Pangeran Syarif ‘Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 ilir Palembang.
Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putra beliau, Habib Muhammad Mahmud. Sedangkan dalam hal aktivitas beliau di kesultanan, digantikan oleh putra beliau, Habib Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911
Al Habib lahir dari pasangan penuh berkah Habib Abu bakar bin Sholeh B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrohim bin Yahya, sejak kecil beliau dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik. Ayah beliau, Habib Abu Bakar, yang lahir di kota 'Inat Hadromaut adalah cucu se orang Wali Besar yaitu Habib ‘Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Al Imam Al Quthub Al Habib ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad Shohiburrothib.
Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima Habib ‘Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari generasi habaib sebelumnya, beliau pegang teguh dan diteruskannya kepada para muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu Bakar, yang kemudian meneruskan tarbiyah itu kepada putranya yang bernama ‘Ali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Syarif ‘Ali.
Pangeran Syarif ‘Ali atau Habib ‘Ali bin Abu Bakar bin Sholeh bin ‘Ali bin ‘Ahmad Bin Syech Abu Bakar bin Salim Asseggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin seorang sultan yang sholeh, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.
Gelar Pangeran yang disandang beliau adalah karena kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam, baik secara nasab, pertalian pernikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Nenekn beliau dari sebelah ibu adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya adalah putri Sultan Husein Dhiauddin.
Ibundanya yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita sholehah putri seorang Al Allamah Habib Ibrohim bin Zein bin Yahya,beliau adalah Ahli Tasawwuf. Pangeran Syarif ‘Ali mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para paman beliau, seperti Habib ‘Abdullah bin Ibrohim dan Habib Syech bin Ibrohim, serta dari banyak ‘ulama lainnya pada masa itu.
Diriwayatkan, beliau memiliki koleksi hingga sekitar seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu beliau yang mendalam.
Masa kecil beliau, sebagaimana putra-putri keluarga ‘Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil kecerdasannya terlihat menonjol dan beliau memiliki banyak teman sepergaulan yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif ‘Ali sering mengunjungi kesultanan, hingga
beliau pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.
Menginjak remaja, Pangeran Syarif ‘Ali giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. beliau arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.
Suatu saat, Sultan Husein Dhiauddin meminta beliau menyelesaikan sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil menyelesaikan misi tersebut itulah beliau, yang masih dalam usia relatif muda, dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan salah satu putrinya, Raden Ayu Maliya.
Dari pernikahannya dengan putri sultan ini, beliau mendapat putra bernama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayah beliau, berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif ‘Ali dengan kapal ayahbeliau berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.
Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud, 1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan oleh Sayyid Hasan bin Syech Abu Bakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada hubungannya dengan putra Pangeran Syarif ‘Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif ‘Ali, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun beliau hadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.
Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif ‘Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.
Pangeran Syarif ‘Ali merasakan hal ini sebagai sebuah dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila beliau menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia dapat. Bila diterima, beliau hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat memerlukannya.
Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut, dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor Residen. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, beliau pun ingin dibantu oleh putra beliau Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif ‘Ali, yang selalu mengenakan pakaian ke’ulamaannya, Residen Belanda saat itu memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh putranya selama hampir setengah abad. Sebaliknya, Pangeran Syarif ‘Ali sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak satu sen pun beliau ambil.
Pangeran Syarif ‘Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 ilir Palembang.
Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putra beliau, Habib Muhammad Mahmud. Sedangkan dalam hal aktivitas beliau di kesultanan, digantikan oleh putra beliau, Habib Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911
KH. Abdul Manan Muncar Banyuwangi Jawa Timur
Kiai Jadug dari Banyuwangi
Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi-Jawa Timur, khususnya desa Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.
KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan Kandangan, Kab Kediri.
KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri . Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut. Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol, ia kemudian melalaang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong” karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan pangilan Mbah Cholil Bangkalan.
Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh Ilyas.
KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo , Kandangan (Kediri).
Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun.
Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun,Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha.
Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.
Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan ia rintis.
Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan , Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.
Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk. Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.
KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud. Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat di mana bila sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani. Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Rotan bertuah
Setelah Indonesia merdeka,m justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.
Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia mua. Saat masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur).
SUMBER MAJALAH ALKISAH
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi-Jawa Timur, khususnya desa Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.
KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan Kandangan, Kab Kediri.
KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri . Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut. Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol, ia kemudian melalaang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong” karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan pangilan Mbah Cholil Bangkalan.
Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh Ilyas.
KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo , Kandangan (Kediri).
Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun.
Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun,Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha.
Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.
Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan ia rintis.
Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan , Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.
Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk. Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.
KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud. Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat di mana bila sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani. Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Rotan bertuah
Setelah Indonesia merdeka,m justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.
Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia mua. Saat masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur).
SUMBER MAJALAH ALKISAH
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
Langganan:
Postingan (Atom)