Oleh: Muhammad Kurtubi
Pagi hari, pukul 10.00 WIB Kamis pagi Pondok Buntet Pesantren sepanjang jalan menuju pusat kegiatan pesantren dipenuhi oleh serombongan ibu-ibu. Mereka berasal dari desa sekitar Buntet Pesantren. Puluhan ibu-ibu berbondong-bondong berjalan berbaris dengan pakaian rapih berkerudung dan menggunakan kain panjang. Perjalanan mereka ternyata berhenti di rumah KH. Muhammad Akyas. Di sana sudah berkumpul ibu-ibu yang siap mendengarkan pengajian di rumahnya.
Itulah salah satu kegiatan harian KH. Muhammad Akyas (Ki Akyas) dalam mengemban misi pendidikan kemasyarakatan ala pesantren. Para santri yang dibina beliau bukan saja santri yang datang dari daerah-daerah jauh dan bermukin di asrama-asrama, namun murid-murid (santri) beliau adalah juga para warga sekitar pesantren yang khusus datang mengaji kepadanya setiap hari Selasa dan Kamis. Pengajian “Kamisan” itu kini masih terus berlanjut dan dipimpin oleh anaknya, KH. Abdullah Syifa.
Kyai Akyas bin Abdul Jamil sosok ulama dari Buntet Pesantren yang dikenal dengan sifatnya yang alim, tawadlu, berani, tegas, lugas, dan disiplin serta hidup apa adanya. Kealiman dan kesederhanannya itu beliau tampilkan saat membina santri-santri di asramanya juga kepada masyarakat yang berguru pada beliau. Menjelang wafatnya, beliau sempat berpesan kepada keluarganya ingin mati fakir. Saat ajal tiba, benarlah kalau beliau meninggal dalam keadaan fakir.
Beliau memiliki satu anak dari isteri pertama, Nyai Tike, dan 9 anak dari isteri kedua yang menemaninya hingga wafat di Buntet Pesantren. Isteri beliau yang kedua ini bernama Nyai Masriah putri seorang "Penghuku Landrat" atau Kepala KUA pada masa Belanda.
Karena Nyai Masri seorang anak pejabat zaman Belanda, ia mendapat kesempatan belajar di HIS Belanda di Cirebon. Dengan pendidikan setinggi ini Nyai Masri mahir berbahasa Asing. Sedangkan Kyai Akyas sendiri mahir berbahasa Arab. Sehingga seringkali jika Buntet Pesantren kedatangan tokoh Internasional maka keluarga Kyai Akyas yang menemani.
Suatu ketika, Buntet Pesantren kedatangan ulama dari Arab Saudi seorang Qori Internasional bernama Abdul Basith. Penguasaan qiroat dan syair-syair berbahasa Arab Kyai Akyas mampu mengimbangi intensitas komunikasi. Bahkan menurut penuturan orang yang pernah melihat pertemuan itu, Abdul Bastih mengagumi sosok Kyai Akyas yang dianggap fasih baik dalam ilmu qiroat, maupun syair-syaiar dari Arab.
Sedangkan Nyai Masri yang mahir berbahasa Belanda, terlihat akrab ketika isteri KH. Nahduddin Abbas dari Perancis datang ke Buntet Pesantren dalam sebuah kunjungan keluarga. Namun Nyai Masri saat diminta menjadi pegawai Kedutaan Indonesia di Belanda tidak mau karena alasan menemani Kyai di Buntet Pesantren.
Jika orang Indonesia mengenal sosok KH. Abbas dari Buntet Pesantren Cirebon sebagai kyai alim dan pejuang yang pernah memimpin pasukan Hizbullah pada 10 November 1945 bersama Bung Tomo di Surabaya, maka tidak demikian dengan adiknya, KH. Muhammad Akyas. Beliau justru dikenal sebagai kyai dikenal sebagai sosok Kyai yang sederhana namun berani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat pasca kemerdekaan.
Tidak heran, kiprah beliau dalam menegakkan sendi sendi agama di masyarakat masih mebekas hingga kini. Di samping itu beliau sebagai muqoddam (mursyid) Tarekat Tijani, kerap dalam setiap dakwahnya selalu membawa pesan yang mudah dimengerti. Salah satunya, beliau pandai menirukan dalang saat berdakwah dan seringkali menegur orang secara langsung ke masalah utama.
KH. Akyas lahir tahun 1893 putra dari KH. Abdul Jamil sesepuh Pondok Buntet Pesantren pada periode dulu. Menurut penuturan anakya, KH. Abdullah Syifa, Ki Akyas, sapaan akrab KH. Muhammad Akyas, wafat pada tahun 1978 memasuki usia 85 tahun. Anak keturunannya berjumlah 10. Dari isteri pertama yang kemudian meninggal dikaruniai 1 orang anak dan bersama isteri kedua, beliau dikaruniai anak 9 orang. Salah satu putranya yang meneruskan perjuangan dakwah adalah KH. Abdullah Syifa seperti ayahnya, Ki Syifa, pun membimbing thareqah Tijani.
Namun kenangan dan cerita dibalik kehidupan beliau yang unik sangat membekas di hati para murid-muridnya juga pada para santri yang pernah mondok di asrama Beliau. Tidak heran beliau dipercaya sebagai muqoddam Tarekat Tijani pada waktu hidupnya.
Hafal Alfiah
Dalam menelusuri ilmu-ilmu keislaman, syarat mutlak untuk memasuki bab-bab ilmu adalah ilmu Nahwu Shorof. Di pesantren santri yang mampu menguasai "ilmu alat" ini (linguistik) diharapkan akan mudah mempelajari kitab-kitab ulama. Karenanya, Kyai Akyas sejak muda tekun sekali menghafal alfiah saat masih di Buntet Pesantren.
Namun Sebagai anak kyai tidaklah heran jika para putranya diharuskan untuk mengikuti jejang ayahnya. Karenanya, Ki AKyas saat masih remaja diperintahkan untuk memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren lain . Namun berbeda dengan para santri umumnya. Ki Akyas saat datang mondok pertama kali sudah hafal alfiah. Karenanya, ia hanya butuh waktu 18 bulan saja mondok di Jombang dan berguru langsung kepada Hadratusshaikh, KH.Hasyim Asy'ari.
Dari situ, beliau berpindah ke Tambak Resi, Welleri untuk berguru kepada KH. Abdullah. Tidak lama kemudian Ki Akyas pindah lagi mondoknya di KH. Abdul Malik di Pesantren Jami Soren di Solo. Namun di pesantren ini, justru Ki Akyas bukannya belajr malah disuruh mengajar Alfiah di Madrasah Mambaul Ulum. Di pesantren ini hanya memakan waktu setengah tahun saja.
Awalnya, guru madrasah bertanya, kepada para santri-sanrinya kalau-kalau ada yang hafal alfiyah. Saat itu Ki Akyas masih remaja dan saat ia mengaku hafal alfiah, dianggap gurauan. Sebab para guru di sana masih belum percaya kalau Ki Akyas remaja ini hafal alfiah. Tapi akhirnya setelah di tes kemampuannya, semuanya mempercayai daya hafal santri cilik ini.
Rupanya, KH. AKyas menuntut ilmu di pesantren lain tidak memakan waktu lama karena ilmu yang dipelajari di pesantren lain itu sudah diajarkan di Buntet Pesantren seperti alfiyah salah satu ilmu alat (linguistik) untuk membaca kitab-kitab ulama mutaqoddimin. Namun karena menuntut ilmu di pondok pesantren bagi keluarga kyai merupakan semacam prasyarat untuk bisa memimpin pesantren. Maka menunutut ilmu di banyak guru lain di pesantrenlain merupakan tindakan "tabarrukan" atau mencari kebaikan dari kyai-kyai di pesantren lain.
Meski masih muda, dengan berbekal ilmu dan pengalaman di pesantren lain itulah Ki Akyas dipercaya oleh ayahnya untuk mengajar para santri di pesantren. Akhirnya beliau dipercaya untuk mendirikan asrama di lingkungan Pondok Buntet Pesantren. Di asrama inilah kemudian berbondong-bondong para santri untuk mendalami ilmu pada beliau.
Teguh Pendirian
Kyai Akyas terkenal dengan julukan kyai yang teguh dalam pendirian dalam ajaran kepantasan dan kesopanan. Ketegasan sikap dan prilaku itu ditunjukkan beliau saat melihat hal-hal yang menurutnya tidak pantas yang berkembang di masyarakat. Salah satunya beliau tidak segan-segan menegur orang yang salah prilakuknya.
Misalnya melihat orang sudah dewasa tetapi masih memakai celana pendek, coba-coba berani melintas di depan beliau, maka tidak ragu-ragu Kyai Akyas menegurnya dan dikasih tahu jangan sekali-kali memakai celana pendek karena tidak pantas. Karenaya di Buntet Pesantren melihat adab kesopanan berpakaian ini diikuti hingga saat ini. Hampir tidak ditemui orang-orang dewasa memakai celana pendek.
Demikian juga dalam hal kepantasan berpakaian, menurut para kyai di pesantren khususnya di Buntet pesatnren ada semacam ketidakpatutan jika orang yang memakai peci putih ala haji. Maklum dalam dunia pesantren memakai peci putih itu rupanya dikhususkan bagi orang yang pernah pergi haji. Karenanya, bila ada santri atau warga pesantren yang belum naik haji kemudian memakai peci langsung ditegur beliau.
Lain lagi bila datang hari Jum’at. Menurut penuturan beberapa warga Pesantren, apalagi hari Jum’at beliau beliau selalu datang awal di masjid. Kemudian seperti biasa berdzikir dan lain-lain. Namun ada hal yang unik dilakukan kyai satu ini. Sebelum khatib naik mimbar, beliau selalu mengatur barisan shaf orang-orang yang ada di dalam masjid agar duduk tenang dan rapih. Padahal belum dilaksanakan shalat jum’at. Hal ini dilakukan bukan saja di masjid Pesantren namun di beberapa masjid di wilayah lain.
Pada hari-hari biasa, Ki Akyas ini sering sekali berputar-putar keliling Buntet Pesantren menggunakan kendaraan beca. Dari rumah beliau menuju barat, kemudian hingga batas wilayah pesantren beliau menyuruh tukang beca untuk berbalik kembali dan menuju timur, Utara dan Selatan.
Pintar Meniru Dalang
Berdakwah adalah ciri khas dari kyai satu ini. Kepiawaiannya dalam mengkomunikasikan ajaran agama kepada masyarakat cukup unik. Beliau salah satunya mahir menirukan gaya dalang namun bukan untuk membawakan wayang. Syair-syair arab diubah beliau menjadi langgam mirip gaya dalang.
Hal itu pernah beliau lakukan di suatu daerah diundang. Dalam undangan tersebut ada pertunjukan wayang. Giliran beliau tampil berpidato, Kyai Akyas bercerita seputar tokoh-tokoh wayang namun dikaitkan dengan ajaran keagamaan. Suara dan intonasinya yang fasih melafalkan ayat-ayat quran dan syair-syair arab membuat para hadirin terpukau. Sekan-akan tampilan ki Dalang itu kalah oleh beliau.
Menurut putranya, keahlian melagukan syair ini kemudian banyak ditiru oleh salah satu murid beliau KH. Fuad Hasyim (almarhum) salah satu ulama kyai dari Buntet Pesantren yang terkenal dengan kefasihan dalam melagukan ayat-ayat suci Al Quran.
Kerikil dan Hadits
Kemampuan berbahasa Arab Kyai Akyas ditempa sedari muda. Beliau sudah hafal alfiah sejak itu dan untuk memperdalam ilmu, langsung belajar ke Pesantren KH. Hasyim Asyari di Jombang Jawa Timur.
Kemampuan bahasa ini terus diasah dalam kesehariannya membina masyakat dan santri-santrinya. Tercatat dalam ingatan seorang cucunya, Imaduddin Al Kaf (Kang Imad) yang selalu mendampingi beliau hingga wafatnya.
Salah satu kebiasaan Bapak Yai, (maksudnya Kyai Akyas) kata Kang Imad adalah suka menghafal hadits-hadits Rasulullah saw. Saya biasanya disuruh mengumpulkan batu kerikil yang fungsinya untuk "nengeri" hafalan haditsnya. Batu kerilik ini beliau ambil lalu menghafal setelah selesai dilempar ke wadah yang lain begitulah seterusnya hingga hafalannya selesai. Kemudian saya juga disuruh menulis hafalan beliau itu dalam satu buku catatan. Sayangnya buku catatan hafalan hadits mbah Yai itu dipinjam seorang santri dan belum mengembalikan. Kalau tidak salah, saya baru mencatat 400 hadtis hasil beliau menghafal.
Cerita kerikil ini kemudian belanjut, saat seorang tamu datang mengeluhkan penyakit di perutnya yang sangat mengganggunya cukup lama. Orang Madura bernama Pak Selamet tukang sate Ayam, ini hanya dikasih kerikil wirid hadits yang biasa dipake beliau. Ganjel saja dengan batu kerikil yang biasa diapkai untuk menghafal hadits, kata beliau kepada Pak Selamet.
Bumi Hangus
Di balik sifat kealiman beliau, kyai Akyas sendiri merupakan kyai pejuang pada masa penjajahan Belanda. Ketika Buntet Pesantren menjadi target operasi tentara kompeni Belanda kabarpun beredar di masyarakat kalau Buntet hendak diserang dan dibakar dari dari darat dan udara seperti di daerah-daerah lain. Keberadaan pesantren ini sudah lama diincar oleh Belanda namun selalu gagal. Konon, menurut cerita yang berkembang di kalangan orang Buntet, peta Buntet Pesantren itu tidak nampak oleh pilot pembawa bom saat hendak dijatuhi bom dari pesawat.
Dari kabar yang menggetarkan itu membuat orang-orang Buntet Pesantren disuruh mengungsi ke daerah lain guna menghindari jatuhnya korban di pihak sipil. Tentara Hisbullah yang terdiri dari orang-orang Buntet dan kyai waktu itu juga mengungsikan penduduk Buntet. Namun Kyai Akyas tetap bertahan tidak mau bringsut dari rumahnya sedangkan yang lain sudah bersembunyi di perbatasan desa ada yang mengungsi ke hutan.
Alasan kyai Akyas kenapa tidak ikut mengungsi tidak mengada-ada. Isterinya Nyai Masri yang pandai berbahasa Belanda itu mendapat informasi rahasia dari markas Belanda di Cirebon. seorang pejabat kabupaten datang ke Buntet memberitagar jangan mengungsi. Sebab katanya, jika masih ada orang yang tidak mengungsi maka bumi hangus tidak jadi.
Maka benarlah Kyai Akyas tidak jadi pergi. Sebagai gantinya, Kyai Akyas diambil Belanda dan ditahan di Cirebon untuk beberapa lama kemudian dibebaskan kembali. Setidaknya, Kyai Akyas bersyukur dengan penghorbanan dirinya, Kampung Buntet Pesantren tidak jadi dibakar. Konon akhirnya Belanda melampiaskan kemarahannya dengan membakar pesantren lain di wilayah Cirebon.
Mengembara
Ada cerita menarik seputar pengembaraan beliau. Pertama ketika berada di sebuah pesantren di Jawa, ada orang gila mengamuk sambil membawa pedang. Semua santri ribut dan ketakutan sehingga lari tunggang-langgang tinggal Kyai Akyas sendirian di situ. Para santri yang melihat dari jauh merasa khawatir pada kyai Akyas itu. Namun beliau tetap tenang dan menyambut orang itu dengan senyuman.
"Sampean itu Orang sakt!" sambil mengangkat jempol tangan kanan tanda memuji.
"Heheh, kamu benar! saya ini sakti, kalau mau bukti silahkan ambil pedang saya dan coba potong tangan saya heheheh." Kata si stress sesumbar.
Pak Kyai berusaha tenang saat si stress itu menyerahkan pedangnya. Begitu pedang sudah berpindah ke tangan Kyai, beliau tidak mau ambil resiko. Dengan sigapnya, pak Kyai langsung melempar pedang itu jauh-jauh disaksikan oleh oran-orang yang sedari tadi deg-degan khawatir terjadi apa-apa.
Kontan saja begitu pedang sudah tidak ada pada orang stress yang ngamuk tadi, kyai langsung meminta bantuan teman-temannya untuk menundukkan dan meringkusnya. Setelah itu barulah suasana pesantren manjadi tenang kembali dan orang stress tadi diserahkan kepada pimpinan asrama untuk diobati.
Cerita kedua, saat masih muda pak kyai tengah berjalan di pesisir pantai. Saat itu ada prahu di pinggir pantai kemudian beliau naiki. Tanpa diduga, tiba-tiba saja angin besar bertiup sangat kencang, hingga menyeret perahu tadi hingga ke tengah laut. Di tmenerpa perahu dan terbawalah di tengah laut.. tapi akhirnya beliau bisa kembali lagi.
Perhatian kepada Keluarga
Dalam masalah perkawinan Kyai Akyas seringkali menasehati putra-putrinya tentang urusan menikah itu yang penting adalah calonnya mengerjakan shalat. Artinya jangan melihat kedudukan lebih-lebih karena hartanya. "Wis pokoke wong laki rabi itu sing penting bener, semabayang." Itulah satu nasehat beliau kepada anak cucunya.
Perhatian kepada keluarga juga tidak kalah pentingnya. Pak Kyai memiliki besan dengan keluarga di Pekalongan dan Tegal. Dua orang anaknya menjadi keluarga di sana. Karenanya beliau suka silaturahmi ke ke Pekalongan dan Tegal sekalian berdakwah.
Di kota Tegal besan Kyai Akyas bernama Abah Muhammad. Beliau mempunyai anak bernama Muhammad Lazim dan Masih keluarga dengan Sayyid Abdul Ghoffar Purbaya, Kali Soka Tegal. Muhammad Lazim ini dinikahkan dengan putri perempuan Kyai Akyas bernama Yuhanna. Kemudian di Pemalang beliau memiliki besan satu lagi bernama H. Basari. Putri H Basari ini bernama Siti Zakiah yang kemudian menjadi penamping setia KH. Muhammad Syifa hingga saat ini.
Di samping perhatian terhadap keluarga, Kyai Akyas memiliki intensitas hubungan baik dengan orang-orang biasa. Beliau sering sekali dengan tukang becak mengobrol dan makan bersama. Keakraban itu terus menerus beliau tunjukkan hingga masa akhir hayatnya.
Membutktikan kata kata
H. Narsa adalah santri yang menganggap kalau Kyai Akyas itu seorang waliullah. Santri ini pekerjaanya menimba air untuk bak mandi keluarga kyai. Tugas berikutnya adalah menggendong cucu kyai. Keseharian H. Narsa ini bahwa hampir tidak sempat mengaji justru yang sering dialami adalah suka digentak (dimarahi) oleh Kyai.
Tetapi di luar dugaan nasib H. Narsa setelah selesai mondok dari Buntet (H. Narsa atau dikenal juga dengan H. Ismail dari Kedung Wungu Lebaksiu Tegal itu berhasil menjabat sebagai kepala KUA.
Saat menjelang wafatnya pak kyai mengatakan kepada saya: "Sira kah baka isun mati, bakale teka." Kamu jika saya meninggal datang. Ketika itu H. Narsa mikir-mikir apa iya bisa mendengar kabar, bukankah saya ini tinggal di pedalaman desa Pemalang di kaki gunung selamat. Gumam H. Narsa yang waktu itu masih mondok.
Kata-kata itu dibuktikan tahun 76 saat ia sudah menjadi orang sukses di Pemalang. Ia tengah bermain ke kota Tegal. Pada saat jalan-jalan di kota Tegal, ada yang mengabari kalau Kyai Akyas wafat. Saat itu ia langsung teringat dengan kata-kata pak Kyai dan kontan saja tidak ba bi bu, ia menuju ke Buntet Pesantren. Rupanya kata-kata Kyai itu benar-benar terbukti. Kata H. Narsa.
Akhir Umur
Kyai Akyas sehari-harinya sebagai ulama yang waktunya digunakan untuk membimbing masyarakat dan keluarga. Beliau, disamping mengajar para santri di rumahnya beliau juga mengajar masyarakat terutama ibu-ibu dalam pengajian "Senen-an" "Kemis-an". Muridnya ratusan saat pengajian itu dilaksanakan. Datang dari semua penjuru kampung sekitar Buntet juga warga buntet sendiri ikut mengaji kepada beliau. Mereke berbondong-bondong ke rumah kyai untuk mengaji di pagi hari.
Beliau sendiri seorang petani dan juga berkebun. Sawahnya ada di makam Dulek, kebonya terletak di Buntet Desa. Kekayaan yang diperoleh dari hasil tani itu cukup lumayan untuk ukuran di kampung. Anaknya yang banyak itu dapat hidup sejahtera dari hasil berkebun dan bersawah.
Seperti juga kyai yang lainnya di Buntet Pesantren para kyai memiliki sawah dan ladang. Hasil pertanian ini sangat dibutuhkan untuk memberi makan keluarga juga para santri yang tinggal di asrama. Sebab di masa lalu, para santri yang mondok di Buntet Pesantren tidak semuanya membayar. Kalaupun membayar, tidak dibatasi, bahkan zaman dulu, kebanyakan santri itu ngliwet (masak) sendiri.
Sebab mereka datang dan ingin menjadi santri namun hanya berbekal semangat dan cita-cita. Jumlah santri model seperti ini cukup banyak. Termasuk H. Narsa salah satu santri pemalang yang hidup bersama dengan pak Kyai, membantu pekerjaan rumah tangga kyai.
Namun pada saat menjelang umur berakhir, beliau mati dalam keadaan fakir. Maksudnya, beliau menjual semua kekayaanya dan hingga akhir umurnya Kyai Akyas yang dicintai itu meninggal dalam keadaan fakir.
Mati dalam keadaan fakir itu, bagi kyai adalah cita-citanya. Sebelumnya beliau telah memberitahukan kepada isterinya. "Kita kih baka wis bli doyan udud bakale akhire umur. Jadi titena bae ya." Saya nanti kalau sudah dekat ke akhir umur, cirinya saya tidak lagi merokok, jadi perhatikan ya. Ujar kyai Akyas kepada isterinya. Kemudian isterinya menjawab dengan sedih, "Jangan begitu sih" kata isterinya.
"Terus baka sira munggah haji, iku tandae isun wis akhire ning umur." Kemudian, jika kamu pergi haji, maka itu berarti saya sudah sebentar lagi pergi. Kata kyai memberitahukan kepada isterinya.
Waktu berjalan terus, dan ketika itu kyai sudah tidak merokok beliau tetap memberitahukan kepada isterinya, kalau dia sudah menjelang ajalnya. Tentu saja isterinya kaget.
Ibadah
Kyai Akyas dimata keluarga dan murid-muridnya adalah sosok ulama yang ahli hadtis, ahli tahajud, ahli quran. Kebiasaan harian beliau saat menjalng jam 2-3 malam sudah berada dalam posisi di tempat ibadah. Berdzikir keras, pelan. Itu disaksikan oleh cucunya yang merawat beliau.
Beliau juga sebagai pembimbing spiritual yang tergabung dalam tarekat Tijani. Namun meski demikian, beliau sebagai muqoddam tijani, tidak memaksa siapapun untuk masuk ke dalam tharekatnya.
Hal unik lainya yang diajarkan beliau kepada muridnya adalah dalam hal "istikhoroh singkat" artinya metode istikhoroh jika tidak menggunakan shalat. Jika orang dalam keadaan bingung, maka dianjurkan shalat istikhoroh, namun jika keadaan tidak memungkinkan, bisa dicoba metode kyai Akyas ini.
Kata beliau cobalah menggunakan metode hurf Syin dan Kho dalam alquran. Buka alquran, dan hitung berapa huruf kho dan syin yang ada di dalam dua hlalaman quran kita lihat. Jika banyak huruf syin singkatan dari kata syarrun berarti pilihan yang akan diambil itu tidak baik. Jika banyak huruf kho, singkatan dari kata khoirun, berarti keputusan itu baik.
Kena Santet
Cerita ini disampaikan oleh cucunya yang merawat beliau hingga akhir masanya. Bapak Yai, katanya pernah dioperasi, diarawat oleh Dokter karena tidak bisa keluar udara dari tubuh nya. Ketika, pagi-pagi beliau belum makan apa-apa, tapi didahuli makan tape ketan, akhirnya beliau tidak bisa mengeluakan kotoran dari tubuhnya. Ketika mau dioperasi langsung sembuh. Bahkan dokter merasa heran, karena langsung sembuh.
Sebelumnya, saat itu kyai buang air besar dan yang keluar dari dalam tubuhnya itu salak beserta paku. "Nginsing angel pisan kujeh isie kuh salak karo paku" kata kyai kepada cucunya. Kemudian oleh Kyai Jud, muridnya dari Babadan menyarankan agar dibalas orang yang "menyantet itu". Tapi dijawab oleh kyai jangan nanti Allah saja yang membalasnya.
Getokan Kyai
Sosok Kyai Akyas dikenal dengan ketegasannya dalam hal menerapkan peraturan pondok. Coba-coba melanggar, maka jika ketahuan kyai Akyas siapapun dikenai teguran atau sangsi. Namun hukuman seorang kyai Akyas bisa membawa hikmah luar biasa, seperti kyai Akyas menggetok kepala Dr. Manarul Hidayah saat mondok gara-gara tidak memakai peci.
Kenapa ia katakan gara-gara Kyai Akyas, karena sebelumnya Kyai Manarul ini bertemu Gus Dur kemudian Gus Dur mengatakan bahwa kalau saya bisa seperti ini katanya pernah "ditotok" kepalanya oleh Kyai Akyas waktu di Buntet Pesantren. Saya heran kok Gus Dur tahu kejadian masa kecil saya di pondok dan pernah ditotok. Saya hanya mesem-mesem saja. Kata Manarul dalam sebuah ceramahnya.
Tasawuf
Tasawuf merupakan pola hidup beliau. Selain ibadah yang rutin, beliu juga menerapkan disiplin kepada santri-santrinya di Buntet agar iku menerapkan akhlak tasawuf dan menghindari tindakan muruah. Saat beliau masih hidup, paling tidak suka kepada warga atau santrinya yang tidak menerapkan tasawuf misalnya tidak pake peci atau bermain bola.
Bila ada santri yang coba-coba bermain bola, kyai Akyas tidak sungkan untuk menegur santri, jika coba-coba lari, si santri akan dikejar hingga ketangkep dan dirampas bolanya. Suatu ketika ada pengakuan santrinya kalau sudah dikejar oleh kyai sulit menghindar karena dari segenap penuru seolah-olah kyai itu mengepung.
Menjelang akhir hayat Kyai Akyas mempunya tiga orang santri binaan dari Desa Cipicung, Sumedang dua orang: Sanusi dan Muhidin keduanya kini sudah menjadi orang makmur dan bermanfaat hidupnya. Pak Muhidin menjadi Polisi sedangkan Pak Sanusi menjadi kyai yang memiliki pesantren dengan murid sekitar 600 orang. Saat menjadi santri dulu Sanusi dan Muhidin ini kerjanya hanya mendorong dorong becak menemani kyai untuk keliling kampung. Karena kebiasaan beliau setiap hari keliling kampung bertemu dengna orang-orang dan saudara dari segenap kalangan.
Ketiga belaiu juga memiliki santri dari arjawinangun dari desa Winong, Mubtadi namanya. Kini dia menjadi pengusaha sukses. Tiga orang inilah santri binaan kyai di akhir masanya. Di asrama kyai ini santri yang bermukim tidak banyak. Yang banyak adalah beliau memiliki santri ibu-ibu yang datang dari berbagai desa se Kecamatan Astanajapura mengaji pada hari kemisan.
Warisan Amnat
Nasehat-nasehat beliau dalam setiap pengajian disampaikan dalam bahasa yang jelas dan sangat mengena. Beberapa nasehat beliau yang masih dikenang oleh para muridnya itu misalnya:
Kata beliau, masyarakat akan hancur manakala terjadi empat hal berikut:
Pertama, orang alim yang mengaku-aku kealimannya.
Kedua, orang miskin yang disuruh memegang uang;
Ketiga, orang kaya melihat keuntungan;
Kelima, penguasa yang suka melihat jabatan.
Kemudian kepada anak-anaknya, beliau sering berwanti-wanti dalam nasehatnya. Misalnya nasehat yang dituturkan oleh KH. Syifa:
Jika kamu menjadi tua, maka janganlah seperti ayam jago tetapi juga tirulah jago. Maksudnya, prilaku ayam jago ada yang baik ada pula yang buruk. Yang baik misalnya, ayam jago itu bila melihat ayam betina pasangannya direbut oleh pejantan yang lain, akan langsung diburu dan dipatuk hingga kabur dan jika melawan dilabrak. Namun prilaku yang tidak boleh ditiru dari ayam jantan adalah ia tidak suka melihat ayam jatan lain yang lebih. Hal ini sama seperti jika melihat orang lain lebih baik, jangan dibencinya.
Jika suatu ketika bepergian dengan isteri kemudian sang isteri meminta macam-macam barang untuk dibelikan, menurut Ki Akyas sebaiknya ikuti saja permintaanya dan jangan sekali-kali ditentang dan bersitegang di jalan. Namun bila ingin menegurnya, maka nanti kalau sudah sampai di rumah.
Bila diundang oleh masyarakat biasa, maka jangan sekali-kali merasa menajdi orang yang penting sehingga menjadi satu-satunya orang yang ditunggu. Merasa penting sendiri inilah yang harus dihindari.
Jakarta, 18 Maret 2008 16:04 WIB seperti yang diceritakan KH. Muhammad Syifa kepada Redaksi (Muhammad Kurtubi)
Sumber:http://buntetpesantren.org/
Minggu, 04 Desember 2011
Mimpi Kyai Hamim dan Dzikir Haddad
Mimpi seseorang kadangkala menjadi isyarat dalam kehidupan nyata, apalagi dialami oleh seorang ulama pasti membawa hikmah atau sebuah isyarat, hanya Allah yang Maha Tahu, sedangkan manusia tidak bisa memastikannya. Tetapi dari mimpi beliau, melahirkan sesuatu yang bermanfaat.
Pada suatu malam KH. Hamim ini bercerita seputar mimpi yang dialaminya kepada keluarganya. Katanya, ia seolah berjalan di pematang sawah bersama dua orang kyai yang mendampinginya.
Kyai yang pertama adalah KH. Siradj (kakek dari Prof. DR. Aqil Siradj) dari Pesantren Gedongan dan satunya lagi oleh KH. Dahlan dari Pesantren Benda Kerep. Ketiga Kiai ini memang memiliki hubungan keluarga yang amat dekat. KH. Hamim merupakan keponakan KH. Ahmad Said dari Pesantren Gedongan. KH. Ahmad Said hidup sezaman dengan KH. Abdul Djamil, Hadratus syekh KH. Hasyim Asy`ari dan Mbah Cholil Madura. Sementara KH. Siradj adalah putra dari KH. Ahmad Said.
Dalam mpimpinya ini, saat menikmati perjalanan meniti pematang sawah itu tiba-tiba KH. Hamim terpeleset kakinya dan terjatuh ke sawah. Anehnya, pada saat yang bersamaan kedua kyai yang mengiringinya itu ikut terpeset. Baik KH. Siradj maupun KH. Dahlan hampir berbarengan jatuhnya. Walhasil, ketiganya tercebur ke sawah. Itulah isi cerita yang dialami KH. Khamim seperti dituturkan kepada keluarganya.
Jika mimpi adalah tanda-tanda, maka tanda-tanda itu menjadi kenyataan selang beberapa hari kemudian. KH. Hamim benar-benar menderita sakit sampai akhirnya wafat. Pada hari wafatnya itu, Buntet Pesantren banyak sekali dikunjungi para tamu yang bertakziyah, terlebih keluarga besar dari pesantren Gedongan tumpah ruah ke Buntet. Hadir juga pada hari itu Habib Ali yang amat masyhur karomahnya dari Jatibarang Brebes. Jenazah Almarhum KH. Hamim dimandikan oleh KH. Ma`sum dan KH. Dimyati serta dishalatkan di Masjid Jami` Buntet Pesantren.
Seperti biasanya para ulama dan warga Buntet begitu selesai shalat, kemudian ada dzikir dan isyhad. Rupanya kepergian KH. Hamim ini menjadi perhatian banyak kalangan sebab yang hadir bukan saja dari Buntet tetapi dari keluarga besar Gedongan ikut hadir. Selesai shalat jenazah, Habib Ali dari Jatibarang memimpin pembacaan dzikir yang berbeda dari biasanya, tetapi amat menarik perhatian seluruh kiai dan warga Buntet. Dalam suasana duka dan hidmat dzikir itu dikumandangkan amat menyentuh rasa keimanan. Ajaran tauhid pada bait-baitnya menggugah dan menimbulkan kesadaran betapa fana dan rapuhnya seorang makhluq di hadapan Sang Khaliq. Lafadz demi lafadz dibacakan oleh Habib Ali membuat terkesima seluruh jama`ah.
Salah seorang kiai Buntet pada waktu itu, KH. Akyas Abdul Djamil sangat tertarik dengan dzikir tersebut. Beliau kemudian minta ijazah kepada Habib Ali untuk mengamalkannya. Hingga saat ini dzikir tersebut dikenal dengan “Dzikir Haddad” yang selalu dibacakan oleh KH. Abdullah Syifa putra dari KH. Akyas Abdul Djamil setiap selesai shalat jenazah bagi warga Buntet Pesantren.
Namun tiba-tiba belum selesai prosesi pengurusan jenazah kyai Hamim ini, ada berita yang amat mengejutkan yaitu wafatnya KH. Siradj Gedongan. Padahal keluarga besar Gedongan masih ta`ziah di Buntet. Suasana panik penuh haru menyelimuti keluarga Buntet dan Gedongan. Selang beberapa jam kemudian, ada lagi satu berita duka datangnya dari daerah Benda Kerep bahwa KH. Dahlan wafat. Innalillah wa innaa ilihi rajiun dalam satu hari ada 3 kiai bersaudara wafat bersamaan persis seperti yang dituturkan KH. Khamim dalam mimpinya, di mana beliau berjalan di sawah dan ketiganya jatuh bersamaan.
Semoga Allah memulyakan tiga orang Kiai yang bersaudara itu dan semoga pula Allah memperkokoh ikatan persaudaraan bagi keturunan-keturunannya. Amin. Wallahu a`lam. (Drs. H. Dhabas Rakhmat)
Pada suatu malam KH. Hamim ini bercerita seputar mimpi yang dialaminya kepada keluarganya. Katanya, ia seolah berjalan di pematang sawah bersama dua orang kyai yang mendampinginya.
Kyai yang pertama adalah KH. Siradj (kakek dari Prof. DR. Aqil Siradj) dari Pesantren Gedongan dan satunya lagi oleh KH. Dahlan dari Pesantren Benda Kerep. Ketiga Kiai ini memang memiliki hubungan keluarga yang amat dekat. KH. Hamim merupakan keponakan KH. Ahmad Said dari Pesantren Gedongan. KH. Ahmad Said hidup sezaman dengan KH. Abdul Djamil, Hadratus syekh KH. Hasyim Asy`ari dan Mbah Cholil Madura. Sementara KH. Siradj adalah putra dari KH. Ahmad Said.
Dalam mpimpinya ini, saat menikmati perjalanan meniti pematang sawah itu tiba-tiba KH. Hamim terpeleset kakinya dan terjatuh ke sawah. Anehnya, pada saat yang bersamaan kedua kyai yang mengiringinya itu ikut terpeset. Baik KH. Siradj maupun KH. Dahlan hampir berbarengan jatuhnya. Walhasil, ketiganya tercebur ke sawah. Itulah isi cerita yang dialami KH. Khamim seperti dituturkan kepada keluarganya.
Jika mimpi adalah tanda-tanda, maka tanda-tanda itu menjadi kenyataan selang beberapa hari kemudian. KH. Hamim benar-benar menderita sakit sampai akhirnya wafat. Pada hari wafatnya itu, Buntet Pesantren banyak sekali dikunjungi para tamu yang bertakziyah, terlebih keluarga besar dari pesantren Gedongan tumpah ruah ke Buntet. Hadir juga pada hari itu Habib Ali yang amat masyhur karomahnya dari Jatibarang Brebes. Jenazah Almarhum KH. Hamim dimandikan oleh KH. Ma`sum dan KH. Dimyati serta dishalatkan di Masjid Jami` Buntet Pesantren.
Seperti biasanya para ulama dan warga Buntet begitu selesai shalat, kemudian ada dzikir dan isyhad. Rupanya kepergian KH. Hamim ini menjadi perhatian banyak kalangan sebab yang hadir bukan saja dari Buntet tetapi dari keluarga besar Gedongan ikut hadir. Selesai shalat jenazah, Habib Ali dari Jatibarang memimpin pembacaan dzikir yang berbeda dari biasanya, tetapi amat menarik perhatian seluruh kiai dan warga Buntet. Dalam suasana duka dan hidmat dzikir itu dikumandangkan amat menyentuh rasa keimanan. Ajaran tauhid pada bait-baitnya menggugah dan menimbulkan kesadaran betapa fana dan rapuhnya seorang makhluq di hadapan Sang Khaliq. Lafadz demi lafadz dibacakan oleh Habib Ali membuat terkesima seluruh jama`ah.
Salah seorang kiai Buntet pada waktu itu, KH. Akyas Abdul Djamil sangat tertarik dengan dzikir tersebut. Beliau kemudian minta ijazah kepada Habib Ali untuk mengamalkannya. Hingga saat ini dzikir tersebut dikenal dengan “Dzikir Haddad” yang selalu dibacakan oleh KH. Abdullah Syifa putra dari KH. Akyas Abdul Djamil setiap selesai shalat jenazah bagi warga Buntet Pesantren.
Namun tiba-tiba belum selesai prosesi pengurusan jenazah kyai Hamim ini, ada berita yang amat mengejutkan yaitu wafatnya KH. Siradj Gedongan. Padahal keluarga besar Gedongan masih ta`ziah di Buntet. Suasana panik penuh haru menyelimuti keluarga Buntet dan Gedongan. Selang beberapa jam kemudian, ada lagi satu berita duka datangnya dari daerah Benda Kerep bahwa KH. Dahlan wafat. Innalillah wa innaa ilihi rajiun dalam satu hari ada 3 kiai bersaudara wafat bersamaan persis seperti yang dituturkan KH. Khamim dalam mimpinya, di mana beliau berjalan di sawah dan ketiganya jatuh bersamaan.
Semoga Allah memulyakan tiga orang Kiai yang bersaudara itu dan semoga pula Allah memperkokoh ikatan persaudaraan bagi keturunan-keturunannya. Amin. Wallahu a`lam. (Drs. H. Dhabas Rakhmat)
Langganan:
Postingan (Atom)