Drs. KH. Muhammad Zubaidi Muslich dilahirkan di desa Parijatah Kulon, Dusun Melik, Kecamatan Serono, Kabupaten Banyuwangi, pada tanggal 1 Juni 1942. Beliau dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan agama Allah SWT.
1. Asal-usul
a. Jalur keturunan dari ayah
Asal-usul Drs. KH. M. Zubaidi Muslich dari jalur keturunan ayah ini dapat diketahui sampai pada buyut beliau. Yang mana leluhur beliau adalah golongan orang-orang yang fanatik dalam masalah agama, baik di lingkungan keluarga sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Keluarga besar ini hampir seluruhnya adalah pemuka-pemuka agama atau berprofesi sebagai guru agama. Seperti halnya ayah beliau yang dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin (tahun 1935).
Secara kronologis jalur dari sang ayah ini diawali dari buyut beliau yang bernama KH. Muhammad, beliau dikenal sebagai pemuka agama sekaligus pengajar yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. KH. Muhammad mempunyai anak bernama KH. Hanafi. Pada perkembangan selanjutnya KH. Hanafi lah yang kemudian meneruskan estafet perjuangan ayahnya, yaitu dalam membimbing, membina dan mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang agamis. Kemudian KH. Hanafi mempunyai keturunan bernama KH. Muslich, yaitu ayah dari Drs. KH. M. Zubaidi Muslich. Mengikuti jejak ayah dan kakeknya, KH. Muslich juga dikenal sebagai orang yang disegani masyarakat dan pendiri dari Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin.
Pada awalnya Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin hanya sebuah padepokan dan tempat ibadah yang digunakan oleh KH. Muslich sebagai tempat mengaji dan mengajar agama untuk masyarakat setempat. Karena hari demi hari, bulan bahkan tahun demi tahun santri yang mengaji semakin bertambah. KH. Muslich bertekad dan berusaha mendirikan Pondok Pesantren untuk menampung santri-santri yang rumahnya jauh
Sebagai tokoh masyarakat dan pengasuh Pondok Pesantren, beliau mempunyai cita-cita agar Pondok Pesantren yang didirikannya dapat berkembang dan diteruskan oleh putra putrinya. Maka beliau memondokkan putra-putrinya agar mereka dapat menjadi kader-kader penerus perjuangannya dalam menegakkan dan menyebarkan agama Islam di masyarakat.
b. Jalur keturunan dari ibu
Asal-usul Drs. KH. M. Zubaidi Muslich dari jalur ibu ini sampai pada Pangeran Diponegoro bahkan ada percampuran dengan orang bugis, hanya saja beliau mengetahuinya sampai buyut saja.
Drs. K.H. M. Zubaidi Muslich mempunyai buyut bernama Sudarso. Beliau adalah orang yang sangat disegani dan terpandang karena beliau adalah tokoh dan pengajar di kalangan masyarakat. Beliau mempunyai anak bernama H. Toyyib. Sebagai seorang anak dari tokoh agama, ia sangat diperhatikan sekali masalah pendidikan agamanya, sehingga kelak ia menjadi anak yang sholeh dan menjadi penerus perjuangan ayahnya. Dari pendidikan agama yang diperolehnya dari ayah dan guru-guru beliau di Pondok Pesantren beliau tampil sebagai guru agama dan tokoh masyarakat. Dan satu hal lagi yang ada pada diri beliau, yaitu beliau memiliki keahlian dibidang ilmu kanuragan hanya saja tidak banyak orang yang tahu. Dari perkawinannya baliau mempunyai seorang putri bernama Hj. Walijah, yaitu ibunda Drs. K.H Zubaidi dan saudara-saudara kandung yang berjumlah 7 orang. diantara urut-urutan putra-putri dari pari perkawinan K.H. Muslich dengan Hj. Siti Walijah ini, yaitu :
1. Na’imah.
2. KH. Nizar, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin dan pensiunan kepala KUA Banyuwangi.
3. Zarkasyi (Alm), beliau adalah seorang guru agama.
4. Drs. KH. M. Zubaidi Muslich, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Jombang.
5. Drs. KH. Baidlowi Muslich, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang dan menjabat sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Malang.
6. Hunainah.
7. Muhtarom.
Dilihat dari kedua jalur keturunan ini, KH. M. Zubaidi Muslich adalah sosok yang dibesarkan dari lingkungan keluarga yang berjiwa juang dalam hal menegakkan dan menyiarkan agama Islam, baik mereka yang berkiprah di dunia pendidikan, pesantren, masyarakat maupun di lembaga-lembaga pendidikan formal.
2. Latar belakang pendidikan
a. Pendidikan Formal
Diantara pendidikan formal yang pernah beliau tempuh, yaitu:
1. Sekolah Rakyat (SR), pada tahun 1952
2. Setelah lulus dari sekolah rakyat beliau melanjutkan ke Sekolah Keguruan atau Pendidikan Guru Agama, pada tahun 1957
3. Setelah lulus dari sekolah keguruan, beliau melanjutkan ke Madrasah Aliyah Tebuireng-Jombang, pada tahun 1962
4. Setelah lulus dari Madrasah Aliyah, beliau melanjutkan kuliah di UNHASY (Universitas Hasyim Asy’ari, sekarang IKAHA atau I
nstitut KeIslaman Hasyim Asy’ari), pada tahun 1966-1971 dengan menyandang gelar sarjana muda.
5. Beliau kemudian mengikuti program kuliah Doktoral sebagai kelanjutan untuk mencapai kesarjanaan lengkap, pada tahun1989
dan berhasil diselesaikan pada tahun 1993.
b. Pendidikan Non-Formal
Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa lingkungan keluarga Drs. KH. M. Zubaidi Muslich adalah lingkungan keluarga yang kental dengan nilai-nilai Islam, maka tidak mengherankan jika pendidikan agama telah diperolehnya sejak kecil, yaitu di lingkungan keluarga ataupun lembaga-lembaga pengajian. Setelah beliau mencapai usia sekolah, beliau belajar di Sekolah Rakyat (SR) dan tamat, sang ayah kemudian mengirimnya kelembaga-lembaga pendidikan Islam terutama pondok pesantren. Di antara lembaga pendidikan Islam non-formal/pondok pesantren tersebut adalah :
1. Pondok Pesantren Pekauman (Banyuwangi Kota), dari tahun 1957-1960. Beberapa tahun beliau di pondok pesantren ini,
beliau merasa ilmu yang diperolehnya belum cukup kemudian beliau meneruskan ke pondok pesantren yang lain.
2. Pondok Pesantren Bustanul Ma’mur (Genteng Banyuwangi), pada tahun 1961.
3. Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang) pada tahun 1962-1964.
4. Pondok Pesantren Lasem-Rembang (Kyai Ma’sum) pada tahun 1964.
5. Pondok Pesantren Tretek-Pare (Kediri), pada tahun 1965. Di Pesantren tersebut beliau khusus mengaji dan
mengkhatamkan Kitab Ihyaa Ulumuddin dan Shoheh Bukhori.
6. Pondok Pesantren Seblak Jombang, pada tahun 1966-1971.
c. Para Guru Drs. KH. M. Zubaidi Muslich
Guru-guru beliau di antaranya adalah:
1. KH. Masdullah, Kyai Harus, Kyai Suhini, Kyai Nawawi, Kyai Syarifuddin, Kyai Abdillah. Kesemuanya
adalah guru-guru yang mengajar selama beliau belajar di Pondok Pesantren Pekauman (Banyuwangi).
2. KH. Junaidi, beliau adalah guru Drs. KH. M. Zubaidi Muslich selama belajar di Pondok Pesantren Bustanul Ma’mur (Genteng Banyuwangi).
3. KH. Adlan Aly (alm), KH. Syamsuri, KH. Shobari, KH. Abdul Fatah, KH. Samsu, semua ini adalah guru-guru beliau semasa beliau di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
4. KH. Mbah Ma’sum, beliau adalah guru Drs. KH. M. Zubaidi Muslich ketika di Pondok Pesantren Lasem Rembang.
Dan diantara guru-guru beliau yang lainnya adalah KH. Usman Mansur, KH. Mahfud Anwar, KH. Kholil dan Prof. Tengku Ismail Yaqul (alm), serta masih banyak lagi yang tidak dapat sebutkan keseluruhannya.
Setelah beliau menyelesaikan pendidikannya, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal/pondok pesentren, beliau memutuskan untuk berumah tangga. Pada tahun 1972 beliau melepas masa lajangnya dan memperistri Ibu Nyai Hj. Asmah yang berasal dari Jakarta. Keluarga baru ini selanjutnya bertempat tinggal di desa Kwaron.
3. Pengalaman Perjuangan
a. Sebagai Guru Agama dan Dosen.
Drs. KH. M. Zubaidi Muslich memulai karirnya sebagai pengajar dan pendidik pada tahun 1966 di Madrasah Tsanawiyah Seblak dengan bidang studi literatur buku atau kitab kuning. Beliau diangkat dan percaya langsung oleh Ibu Nyai Hj. Khairiyah Hasyim (almarhumah). Pada tahun yang sama beliau masih menyelesaikan program sarjana muda di Universitas Hasyim Asy’ari –Tebuireng, Jombang .
Pada tahun 1968 beliau di angkat menjadi Kepala Sekolah di madrasah yang sama. Karena keberhasilan dan didekasi beliau yang tinggi dalam memimpin madrasah. Pada tahun 1970, beliau diberi kepercayaan dan diangkat menjadi Kepala Sekolah Madrasah Aliyah.
Selain mengajar dan menjadi Kepala Sekolah di Madrasah Aliyah Seblak, beliau juga menjadi tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Tebuireng dan dosen tetap di Institut Keislaman Hasyim Asy’ari di Fakultas Tarbiyah. Pada dasarnya untuk menjadi tenaga pengajar bukanlah hal yang mudah karena seseorang harus mempunyai pengetahuan baik dalam bidang agama maupun dalam bidang pengetahuan umum yang benar-benar mumpuni atau luas wawasan. Jika seseorang ingin menjadi guru agama di madrasah dengan kurikulum mayoritas memakai kitab-kitab kuning, paling tidakseseorang harus menguasai atau paham akan kitab-kitab Islam klasik.
Kemampuan seperti ini telah dimiliki oleh Drs. KH. M. Zubaidi Muslich, karena sejak kecil beliau berada dalam lingkungan yang agamis yang penuh dengan gemblengan ajaran agama dan didukung pula dengan kehidupan pendidikan pondok pesantren. Maka tidak heran jika beliau cukup menguasai kitab-kitab Islam klasik dan dipercayai untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal yang mayoritas kurikulumnya menggunakan kitab-kitab Islam klasik. Sampai sekarang beliau masih menjadi pengajar di beberapa lembaga pendidikan formal.
b. Sebagai Juru Dakwah
Aktifitas Drs. KH. M. Zubaidi Muslich selain dalam bidang pendidikan, beliau juga aktif dalam bidang dakwah Islamiyah. Kegiatan dakwah ini sudah dilakukannya sejak menetap di desa Kwaron Diwek Jombang, baik berupa ceramah maupun pengajian-pengajian rutin. Sampai saat ini beliau masih mengajar di desa tersebut dan tempat-tempat yang lain.
Di antara aktifitas dakwah beliau adalah :
1. Memberikan pengajian-pengajian rutin, yaitu pada setiap hari Kamis, pengajian ini khusus di masyarakat.
2. Memberikan ceramah-ceramah, baik pada hari-hari besar Islam yang di selenggarakan oleh masyarakat dan pondok pesantren
maupun ceramah atas untuk undangan dari orang lain.
Setelah sekian tahun beliau dan keluarga menetap di desa Kwaron, beliau hijrah ke desa Jatirejo yang kelak merupakan cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam (MMH). Pada masa awal beliau tinggal di desa Jatirejo ini, kondisi kehidupan keagamaannya masih sangat kurang, sehingga beliau tergerak untuk melakukan dakwah dan pemantapan keagamaan masyarakat Jatirejo, yaitu dengan cara dakwah bil lisan, dakwah bil fi’li dan dakwah bil hal. Beliau mengadakan pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah pada setiap kesempatan dan ketika ada acara-acara yang diselengarakan oleh masyarakat.
Hingga saat ini beliau masih konsisten melakukan dakwah Islam di masyarakat. Semua ini karena didasari oleh ruhul jihad yang tertanam dalam jiwa beliau sejak belia.
Selasa, 31 Januari 2012
KH. M. Ma’shum bin Aly
Banyak orang yang tak mengenal ulama alim satu ini. Sikap sederhana yang dimilikinya, membuat banyak orang tidak mengenalnya. Namun jangan dikira beliau adalah pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Sebuah kitab sharaf yang amat masyhur di Nusantara bahkan negara luar sekali pun.
Nama lengkapnya, Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang extag/hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratu Syekh sendiri.
1. Mendirikan Pondok di Seblak
Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.
2. Karya Pena Kiai Ma’shum
Jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syekh yang mencapai belasan kitab. Tetapi hamper seluruh kitab Kiai Ma’shum terbilang sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal karangannya dibanding si pengarangnya itu sendiri. Terhitung ada empat kitab karya beliau;
Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap eksis dikaji. Karena saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”. Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi. Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba). Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
Fath Al-Qadir. Konon, kitab ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup, oleh penerbit Salaim Nabhan Surabaya. Halamannya tipis tapi lengkap. Kini kitab tersebut banyak dijumpai di pasaran.
Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan “mudah”. Hal ini tak lain karena kehebatan Kiai Ma’shum dalam menyusun dan menguraikan bab dengan gamblang. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriyah, keberadaan matahari dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilidan dengan jumlah 109 halaman.
Badi’ah Al-Mitsal. Kitab ini juga menerangkan ilmu falak. Kali ini beliau menerangkan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari, sebagaimana teori Barat, kabut pilin, pijar. Menurut beliau, yang menjadi pusat peredaran alam semesta ialah bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi bumi.
3. Kepribadian yang Sederhana
Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum bukan berarti harus meninggalkan pergaulnya bersama masyarakat awam. Beliau dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Bahkan saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.
Menurut pandangan beliau, semua orang lebih pintar darinya. Buktinya, beliau pernah berguru kepada nelayan. Kejadian ini terjadi taatkala beliau pergi haji. Selama perjalanan, Kiai Ma’shum menggunakan waktu yang cukup lama itu dengan berguru kepada nelayan di perahu. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Tak disangka, dari hasil pengamatan beliau itulah, lalu lahir kitab berjudul Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sombong dihadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang beliau miliki. Hal ini tak lain karena beliau takut kalau dirinya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati.
Kesederhanaannya tidak hanya terlihat ketika beliau masih hidup. Setelah wafat pun, kesederhanaannya dapat kita lihat. Makam beliau tampak biasa-biasa saja (baca: sangat sederhana). Jangankan untuk hiasan yang menandakan sebagai makamnya seorang Kiai, batu nisannya saja hanya tersisa satu. Sampai banyak orang yang tidak tahu kalau sebenarnya itu adalah makam Kiai Ma’shum. Justru dari kesederhanan itulah, nama beliau dikenang dunia sebagi ulama alim dengan karyanya yang paling monumental dan fenomenal sepanjang zaman.
4. Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari beliau mencerminkan orang yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, atau santri. Khusus kepada Hadratus Syekh, Kiai Ma’shum sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Ketika sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagi hadiah untuk beliau. Bahkan kitab As-Syifa yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syekh ketika mengarang kitab.
Almh. Ny. Khoiriyah Hasyim, menceritakan; suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syekh tentang dua persoalan, foto dan penentuan awal ramadhan (lihat; Heru Sukardi: 1979). Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syekh menyatakan haram.
Begitu pula mengenai permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab. Sedangkan Hadratus Syekh memilih dengan teori ru’yat. Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama’ terkemuka ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab, layak tak ada konflik yang mengingat. Ada seorang santri yang mengatakan kalau Kiai Ma’sum tidak punya adab, ia berani berbeda pandang dengan guru yang sekaligus mertuanya sendiri. Mengetahui hal itu Hadratus Syekh menegurnya “Setiap orang memiliki pendirian sendiri-sendiri, harap dalam hal yang seperti ini saudara jangan ikut campur tangan.”
Pulang Keharibaan Ilahi Rabbi
Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat sebab penyakit paru-paru yang dideritanya. Usianya + 46 tahu. Kewafatan beliau membawa musibah besar, terutama bagi santri Tebuireng. Karena beliaulah satu-satunya Kiai yang menjadi rujukan utama dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syekh .
Sungguh besar jasa beliau dalam bidang keilmuan. Kita dapat merasakannya dari peninggalan karya beliau yang hingga kini belum ada seorang ulama pun yang mampu menyainginya.
Semoga segala perjuangan beliau diterima oleh Allah SWT dan apa yang beliau tinggalkan semoga bermanfaat tiada henti, hingga menjadikannya amal jariyah nan abadi. Allahummagfir lah wa nafa’ana bih wa biulumih Amin.
Sumber : http://uwhmaksum.blogspot.com/2009/12/profil-kh-m-mashum-bin-aly.html
Nama lengkapnya, Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang extag/hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratu Syekh sendiri.
1. Mendirikan Pondok di Seblak
Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.
2. Karya Pena Kiai Ma’shum
Jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syekh yang mencapai belasan kitab. Tetapi hamper seluruh kitab Kiai Ma’shum terbilang sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal karangannya dibanding si pengarangnya itu sendiri. Terhitung ada empat kitab karya beliau;
Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap eksis dikaji. Karena saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”. Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi. Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba). Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
Fath Al-Qadir. Konon, kitab ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup, oleh penerbit Salaim Nabhan Surabaya. Halamannya tipis tapi lengkap. Kini kitab tersebut banyak dijumpai di pasaran.
Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan “mudah”. Hal ini tak lain karena kehebatan Kiai Ma’shum dalam menyusun dan menguraikan bab dengan gamblang. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriyah, keberadaan matahari dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilidan dengan jumlah 109 halaman.
Badi’ah Al-Mitsal. Kitab ini juga menerangkan ilmu falak. Kali ini beliau menerangkan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari, sebagaimana teori Barat, kabut pilin, pijar. Menurut beliau, yang menjadi pusat peredaran alam semesta ialah bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi bumi.
3. Kepribadian yang Sederhana
Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum bukan berarti harus meninggalkan pergaulnya bersama masyarakat awam. Beliau dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Bahkan saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.
Menurut pandangan beliau, semua orang lebih pintar darinya. Buktinya, beliau pernah berguru kepada nelayan. Kejadian ini terjadi taatkala beliau pergi haji. Selama perjalanan, Kiai Ma’shum menggunakan waktu yang cukup lama itu dengan berguru kepada nelayan di perahu. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Tak disangka, dari hasil pengamatan beliau itulah, lalu lahir kitab berjudul Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sombong dihadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang beliau miliki. Hal ini tak lain karena beliau takut kalau dirinya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati.
Kesederhanaannya tidak hanya terlihat ketika beliau masih hidup. Setelah wafat pun, kesederhanaannya dapat kita lihat. Makam beliau tampak biasa-biasa saja (baca: sangat sederhana). Jangankan untuk hiasan yang menandakan sebagai makamnya seorang Kiai, batu nisannya saja hanya tersisa satu. Sampai banyak orang yang tidak tahu kalau sebenarnya itu adalah makam Kiai Ma’shum. Justru dari kesederhanan itulah, nama beliau dikenang dunia sebagi ulama alim dengan karyanya yang paling monumental dan fenomenal sepanjang zaman.
4. Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari beliau mencerminkan orang yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, atau santri. Khusus kepada Hadratus Syekh, Kiai Ma’shum sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Ketika sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagi hadiah untuk beliau. Bahkan kitab As-Syifa yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syekh ketika mengarang kitab.
Almh. Ny. Khoiriyah Hasyim, menceritakan; suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syekh tentang dua persoalan, foto dan penentuan awal ramadhan (lihat; Heru Sukardi: 1979). Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syekh menyatakan haram.
Begitu pula mengenai permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab. Sedangkan Hadratus Syekh memilih dengan teori ru’yat. Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama’ terkemuka ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab, layak tak ada konflik yang mengingat. Ada seorang santri yang mengatakan kalau Kiai Ma’sum tidak punya adab, ia berani berbeda pandang dengan guru yang sekaligus mertuanya sendiri. Mengetahui hal itu Hadratus Syekh menegurnya “Setiap orang memiliki pendirian sendiri-sendiri, harap dalam hal yang seperti ini saudara jangan ikut campur tangan.”
Pulang Keharibaan Ilahi Rabbi
Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat sebab penyakit paru-paru yang dideritanya. Usianya + 46 tahu. Kewafatan beliau membawa musibah besar, terutama bagi santri Tebuireng. Karena beliaulah satu-satunya Kiai yang menjadi rujukan utama dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syekh .
Sungguh besar jasa beliau dalam bidang keilmuan. Kita dapat merasakannya dari peninggalan karya beliau yang hingga kini belum ada seorang ulama pun yang mampu menyainginya.
Semoga segala perjuangan beliau diterima oleh Allah SWT dan apa yang beliau tinggalkan semoga bermanfaat tiada henti, hingga menjadikannya amal jariyah nan abadi. Allahummagfir lah wa nafa’ana bih wa biulumih Amin.
Sumber : http://uwhmaksum.blogspot.com/2009/12/profil-kh-m-mashum-bin-aly.html
KH. Marzuqi Romli
Giriloyo adalah sebuah dusun di bawah kaki perbukitan Imogiri. Masyarakat sekitar mengenal dengan nama Pajimatan, suatu bukit yang terkenal di daerah kawasan selatan Yogyakarta karena disanalah raja-raja Kerajaan Mataram Islam dimakamkan.
Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (jaraknya hanya sekitar 15 km). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di kaki bukit. Sasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut.
Suasana sepi yang mewarnai Giriloyo itu pada pertengahan abad ke-18 M sedikit demi sedikit berubah dengan munculnya kelompok pengajian yang diasuh oleh KH. Romli, seorang ulama yang menjadi Mursyid Tarekat Syathariyah. Seluruh murid-muridnya diberi ijazah tarekat tersebut dengan maksud agar mereka memiliki amalan-amalan harian yang pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.
Keseriusan dan ketekunan dalam pengelolaan pengajian, membuat KH. Romli seakan melupakan sunnah rasul yang lain, yaitu melangsungkan pernikahan. Maka ketika dirasa jama'ah pengajian yang dibinanya itu semakin lama semakin menunjukkan peningkatan, beliau segera melaksanakan pernikahan dengan putri dari Kiai Ali. Dari pernikahan dengan putri Kiai Ali ini lahir 5 orang putra yang salah satunya adalah bernama Ahmad Marzuqi.
KH. Ahmad Marzuqi lahir pada tahun 1901 M di desa tempat ayahnya tinggal yaitu di Giriloyo Wukirsari Imogiri Bantul sebagai putra bungsu. Kiai Romli sangat berkeinginan kelak si bungsu apabila sudah besar dapat menggantikan perjuangan yang telah dirintisnya, mendidik orang-orang untuk lebih dekat pada Allah. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, sangat wajar apabila KH Marzuqi ketika baru berumur 4 tahun sudah dididik dengan konsentrasi penuh.
Pada tahun 1905 oleh Kiai Romli, Ahmad Marzuqi di-pondok-kan di Pondok Pesantren Kanggotan Pleret Bantul di bawah bimbingan KH. Zaini. Karena masih kecil, maka pada waktu itu beliau hanya diajari kitab-kitab ubudiyah seperti Safinatun Najah, Fathul Qorib dan lain-lain. Di pondok Kanggotan ini beliau belajar sampai tahun 1910 M.
Setelah lima tahun belajar di Kanggotan, Ahmad Marzuqi kemudian pindah pondok. Pondok yang dituju kali ini adalah Pondok Pesantren Termas yang berada di Pacitan Jawa Timur. pada saat itu pondok Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati, beliau belajar berbagai ilmu agama, seperti syara’, tasawuf, dan lain-lain. Di pondok ini beliau belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914 M.
Ahmad Marzuki melanjutkan ngangsu kaweruh di ponok pesantren Watucongol Muntilan Magelang, tahun 1915 sampai tahun 1918. Kehausan Ahmad Marzuki dengan ilmu-ilmu keislmaan terobati di bawah bimbingan KH. Dimyati.
Sepulang dari Watucongol, Ahmad Marzuqi kemudian meneruskan di Pondok Pesantren Somolangu Kebumen Jawa Tengah. Dibawah bimbingan KH. Abdurrauf, beliau mendapat kepercayaan untuk mengajar santri (badal: sebagai pengganti kyai) apabila kiai sedang berhalangan atau sakit. Kepercayaan itu diemban dengan tekun dan ikhlas sehingga tidak heran jika beliau semakin lama semakin menguasai ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di pondok-pondok yang terdahulu. Di Somolangu ini berlangsung antara tahun 1919 sampai tahun 1922.
Tahun 1922 sepulang dari Pondok Somolangu sampai tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah. Walaupun sudah mahir membaca kitab, namun beliau tidak jemu untuk lebih mendalami kitab-kitab yang telah dikajinya terdahulu.
Hanya dua tahun lebih sedikit Ahmad Marzuqi menempat di Lirap Kebumen, pada tahun 1926 sampai tahun 1927 beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada di bawah bimbingan KH. Idris. Sepulang dari Pondok Jamsaren ini beliau menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kali dalam hidupnya.
Pada tahun 1927 (selepas menunaikan ibadah haji) sampai tahun 1931 beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dibawah bimbingan KH. Munawwir ini beliau mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam ketika masih mengaji di Watucongol dahulu, yaitu keinginannya untuk menghafal Al-Qur’an 30 juz.
Keinginan itu menjadi kenyataan bahkan untuk melanggengkannya beliau baca ayat-ayat suci itu sampai khatam yaitu pada bulan Ramadlan saat sholat tarwih. Diceritakan, bahwa selama bulan ramadlan apabila badannya sehat, beliau khatamkan dalam satu bulan itu tiga kali khataman. Sepuluh hari pertama khatam untuk yang pertama, sepuluh hari kedua digunakan untuk mengkhatamkan bacaannya yang kedua dan sepuluh hari ketiga untuk yang ketiga kalinya.
KH. Ahmad Marzuqi Mulai Berda’wah
Sepulang dari ngangsu kaweruh di berbagai pondok pesantren, sekitar tahun 1931, KH. Ahmad Marzuqi mulai melakukan pengajian-pengajian di berbagai tempat terutama di desa-desa di Gunungkidul. Perjalanan untuk mencapai daerah-daerah di Gunungkidul yang melewati hutan belantara memakan waktu berhari-hari itu beliau lakukan dengan berjalan kaki.
Dalam melakukan Dakwah di Gunungkidul, KH. Ahmad Marzuqi atau Mbah Marzuqi bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi keberadaan Islam di daerah tersebut. Ketika beliau membuka jamaah pengajian yang baru di desa-desa, beliau islamkan terlebih dahulu orang-orang yang akan ikut dalam pengajian tersebut. Sehingga ketika semakin hari semakin bertambah jumlah jamaahnya berarti semakin banyak pula orang Islam yang ada di desa itu.
Perjalanan dalam berdakwah itu bukan berarti tanpa mendapatkan rintangan. Rintangan itu datang dalam perjalanan maupun oleh orang yang tidak suka dengan dakwah yang beliau lakukan. Diceritakan, ketika dalam suatu perjalanan menuju salah satu desa di daerah Gunungkidul harus melewati sebuah sungai yang lebar dan dalam. Seseorang harus berenang untuk sampai di seberang karena tidak ada getek (perahu dari bambu). KH. Habib yang pada waktu itu diajak untuk menemani, tidak berani turun ke sungai karena melihat ada seekor ular besar sedang menunggu. Melihat ular di sungai yang siap untuk menyerangnya KH. Habib berteriak “Pak, ada ular !” Teriakannya tidak dijawab oleh Mbah Marzuqi. Beliau hanya menusukkan jari manisnya di pinggang KH. Habib. Seketika itu juga KH. Habib sudah berada di seberang sungai.
Untuk mempersatukan jama’ah pengajian, Mbah Marzuqi mendirikan masjid atau musholla di desa-desa. Hal ini dimaksudkan agar para jamaah bisa berkumpul dalam satu tempat dalam melaksanakan kegiatan. Pendirian masjid dan musholla ini juga dimaksudkan agar masyarakat di desa itu apabila sholat tidak dilakukan sendiri-sendiri di rumah, tetapi dilakukan di masjid atau musholla dengan berjama'ah.
Untuk melengkapi pembangunan masjid, beliau mendirikan sekolah-sekolah formal yang tentunya hal ini bertujuan agar generasi mudanya bisa mendapatkan pendidikan formal. Tercatat ada 130 buah untuk tingkat taman kanak-kanak, 53 buah untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah, 12 sekolah untuk tingkat MTs dan SMP, 8 sekolah untuk tingkat MA dan SMU.
Aktivitas dakwah ini masih terus berlangsung ketika beliau dipercaya memimpin pesantren yang didirikan oleh sang ayah, KH. Romli, pada tahun 1935. Pondok itu dipimpin oleh beliau berlangsung sampai dengan tahun 1955. Bahkan selama memimpin pondok pesantren tersebut, beliau mendapatkan sambutan yang semakin hangat dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari terus berkembangnya pondok tersebut yang semakin hari semakin banyak orang yang ikut mengaji.
Selepas Kemerdekaan RI 1945, bumi nusantara ternyata masih disenangi oleh Belanda sehingga wajar apabila pada bulan-bulan setelah Agustus itu Belanda masih banyak yang berseliweran di Indonesia. Orang-orang pribumi yang melihat tingkah Belanda itu merasa tidak senang sehingga di banyak tempat dikumpulkan para pemuda untuk digembleng menjadi prajurit yang tangguh. Mereka diberi ijazah dan amalan serta olah-kanuragan. Salah satu tempat yang digunakan sebagai markas itu adalah pesantren yang dipimpin oleh KH. Ahmad Marzuqi.
Mbah Marzuqi yang semenjak kecil suka dengan kehidupan sederhana, suka menolong orang lain dan tidak suka hidup mewah, mempunyai pandangan hidup bahwa seluruh jiwa dan raganya semata-mata dicurahkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Prinsip hidup ini beliau wujudkan dengan melakukan dakwah dari satu desa ke desa yang lainnya tanpa pernah mengharapkan imbalan. Dakwah ini beliau lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya untuk mengharapkan ridla dari Allah.
Kiai memang dalam berdakwah tidak pernah mengharapkan imbalan bahkan beliau serahkan seluruh harta bendanya pada mereka yang membutuhkan. Diceritakan, bahwa beliau mempunyai sawah yang luasnya mencapai 7 hektar dan sapi yang jumlahnya mencapai sekitar 150 ekor. Harta miliknya itu seluruhnya beliau serahkan pada masyarakat yang kurang mampu dengan sistem bagi hasil (tidak ada informasi yang menceritakan berapa bagian untuk beliau dan orang yang diserahi). Pemberian dengan sistem tersebut semata-mata hanya untuk meringankan beban yang ada pada masyarakat.
Pertolongan yang beliau berikan disamping secara materi juga dengan memberikan pengobatan kepada siapa saja yang memerlukannya. Bahkan dengan memberikan pengobatan ini, aktivitas dan pengikut dalam jama'ahnya semakin besar sehingga sangat memudahkan beliau apabila berkeinginan membuka daerah binaan yang baru.
Ilmu ketabiban ini beliau dapatkan disamping dari ayahnya, KH. Romli juga beliau dapatkan dari semenjak beliau mondok di pesantren-pesantren. Menurut KH. Habib Marzuqi, salah seorang putranya bahwa ilmu ketabiban itu beliau peroleh dari KH. Dalhar Watucongol, KH. Ma’ruf, KH. Kholil Bangkalan, KH. Dimyati Termas, KH. Dimyati Kebumen dan KH. Abdurrahman. Pemberian pertolongan ini juga beliau imaksudkan sebagai sarana berda’wah.
Membina Rumah Tangga
Sebagai putra bungsu dari lima bersaudara, KH. Ahmad Marzuqi mendapatkan tongkat estafet dari KH. Romli untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membantu perjuangannya KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan dengan putri dari KH. Arifin yaitu Ny. Dasinah. Dari pernikahan ini menurunkan dua orang putra yaitu KH. Asyhari Marzuqi (Kotagede) dan KH. Habib Marzuqi (Wates Kulonprogo).
Setelah berpisah dengan Ny. Dasinah, pada tahun 1949 KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kalinya yaitu dengan putri KH. Abdullah, Ny. Zuhroh. Dari pernikahan ini menurunkan dua putra yaitu KH. Masyhudi dan KH. Ahmad Zabidi dan seorang putri yaitu Hj. Siti Hannah.
Akhir Hayatnya
KH. Ahmad Marzuqi sewaktu hidupnya pernah melarang tentang 3 (tiga) hal. Tiga hal itu adalah pertama, beliau melarang dan mengharamkan adanya kebijakan pemerintah mengenai diberlakukannya Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat Indonesia. Kedua, beliau melarang dan mengharamkan adanya praktek dunia perbankan. Ketiga, beliau melarang keras adanya anggapan bahwa semua agama di Indonesia adalah baik dan benar.
Larangan ini sekitar awal tahun 80-an beliau tanamkan kembali pada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya di Giriloyo. Tidak peduli apakah tamu itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, pegawai biasa maupun pejabat. Semua dilarang untuk melaksanakan tiga hal tersebut diatas. Begitulah semua itu berlangsung sampai pada tahun 1991 disaat beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Tanggal 9 Jumadil Akhir 1411 H atau tanggal 14 Desember 1991 M pada hari Sabtu malam Ahad adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Seluruh putranya dan masyarakat sekitar sudah berkumpul. Disaat itulah beliau berwasiat kepada putra-putra dan seluruh kaum muslimin untuk membaca do’a Nekto Dinulu. Do’a itu bacaannya adalah sebagai berikut:
Allahumma Nekto Dinulu ahub-ahub ing Allah
Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam
Allahumma Roh amadep ing Nurullah
Somad-somad kelawan roh idlofi
Jisim rupaku amadep ing cahaya
Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz
Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.
Pagi harinya, ribuan orang datang dari berbagai daerah untuk memberikan penghormatan yang terakhir (melayat). Tidak sedikit dari para pelayat itu mengetahui meninggalnya KH. Ahmad Marzuqi lewat mimpi.
Diceritakan, pada malam hari (malam Ahad) seorang haji di daerah Prembun Kebumen bermimpi kedatangan Mbah Marzuqi. Dalam mimpi itu Mbah Marzuqi menyuruhnya untuk pergi ke Giriloyo dan jangan lupa membawa bakmi. Hari Ahad pagi, sambil membawakan bakmi pesanan Mbah Marzuqi pak haji dari kebumen itu meluncur menuju Giriloyo. Sebelum memasuki Giriloyo, haji itu singgah terlebih dahulu di masjid Pondok Ar-Ramli Wukirsari karena dilihatnya ada ribuan orang berkumpul. Kemudian pak haji dari kebumen itu bertanya “Ada apa kok suasananya ramai sekali?” Orang yang ditanya oleh pak haji itu menjawab bahwa Mbah Marzuqi meninggal. Pak haji tidak percaya karena tadi malam beliau bermimpi bertemu Mbah Marzuqi dan disuruh ke Giriloyo. Namun setelah mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi, pak haji dari Kebumen itupun lemas.
Begitulah banyak dari para hadirin yang datang karena mendapatkan mimpi “disuruh ke Giriloyo oleh Mbah Marzuqi”. Semua masyarakat yang ditinggalkan merasa kehilangan dengan kepergiannya. Namun apa mau dikata, kita tidak bisa melawan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitulah KH. Ahmad Marzuqi telah mendahului kita dengan menanamkan pijakan yang mantap dan kokoh pada masyarakat yang ditinggalkan. Semoga amal baik beliau diterima disisi-Nya dan kita yang ditinggalkan bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citanya. Amin.
(sumber :http://www.nurulummah.com/statis-13-kh-marzuki-romli.html)
Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (jaraknya hanya sekitar 15 km). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di kaki bukit. Sasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut.
Suasana sepi yang mewarnai Giriloyo itu pada pertengahan abad ke-18 M sedikit demi sedikit berubah dengan munculnya kelompok pengajian yang diasuh oleh KH. Romli, seorang ulama yang menjadi Mursyid Tarekat Syathariyah. Seluruh murid-muridnya diberi ijazah tarekat tersebut dengan maksud agar mereka memiliki amalan-amalan harian yang pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.
Keseriusan dan ketekunan dalam pengelolaan pengajian, membuat KH. Romli seakan melupakan sunnah rasul yang lain, yaitu melangsungkan pernikahan. Maka ketika dirasa jama'ah pengajian yang dibinanya itu semakin lama semakin menunjukkan peningkatan, beliau segera melaksanakan pernikahan dengan putri dari Kiai Ali. Dari pernikahan dengan putri Kiai Ali ini lahir 5 orang putra yang salah satunya adalah bernama Ahmad Marzuqi.
KH. Ahmad Marzuqi lahir pada tahun 1901 M di desa tempat ayahnya tinggal yaitu di Giriloyo Wukirsari Imogiri Bantul sebagai putra bungsu. Kiai Romli sangat berkeinginan kelak si bungsu apabila sudah besar dapat menggantikan perjuangan yang telah dirintisnya, mendidik orang-orang untuk lebih dekat pada Allah. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, sangat wajar apabila KH Marzuqi ketika baru berumur 4 tahun sudah dididik dengan konsentrasi penuh.
Pada tahun 1905 oleh Kiai Romli, Ahmad Marzuqi di-pondok-kan di Pondok Pesantren Kanggotan Pleret Bantul di bawah bimbingan KH. Zaini. Karena masih kecil, maka pada waktu itu beliau hanya diajari kitab-kitab ubudiyah seperti Safinatun Najah, Fathul Qorib dan lain-lain. Di pondok Kanggotan ini beliau belajar sampai tahun 1910 M.
Setelah lima tahun belajar di Kanggotan, Ahmad Marzuqi kemudian pindah pondok. Pondok yang dituju kali ini adalah Pondok Pesantren Termas yang berada di Pacitan Jawa Timur. pada saat itu pondok Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati, beliau belajar berbagai ilmu agama, seperti syara’, tasawuf, dan lain-lain. Di pondok ini beliau belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914 M.
Ahmad Marzuki melanjutkan ngangsu kaweruh di ponok pesantren Watucongol Muntilan Magelang, tahun 1915 sampai tahun 1918. Kehausan Ahmad Marzuki dengan ilmu-ilmu keislmaan terobati di bawah bimbingan KH. Dimyati.
Sepulang dari Watucongol, Ahmad Marzuqi kemudian meneruskan di Pondok Pesantren Somolangu Kebumen Jawa Tengah. Dibawah bimbingan KH. Abdurrauf, beliau mendapat kepercayaan untuk mengajar santri (badal: sebagai pengganti kyai) apabila kiai sedang berhalangan atau sakit. Kepercayaan itu diemban dengan tekun dan ikhlas sehingga tidak heran jika beliau semakin lama semakin menguasai ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di pondok-pondok yang terdahulu. Di Somolangu ini berlangsung antara tahun 1919 sampai tahun 1922.
Tahun 1922 sepulang dari Pondok Somolangu sampai tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah. Walaupun sudah mahir membaca kitab, namun beliau tidak jemu untuk lebih mendalami kitab-kitab yang telah dikajinya terdahulu.
Hanya dua tahun lebih sedikit Ahmad Marzuqi menempat di Lirap Kebumen, pada tahun 1926 sampai tahun 1927 beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada di bawah bimbingan KH. Idris. Sepulang dari Pondok Jamsaren ini beliau menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kali dalam hidupnya.
Pada tahun 1927 (selepas menunaikan ibadah haji) sampai tahun 1931 beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dibawah bimbingan KH. Munawwir ini beliau mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam ketika masih mengaji di Watucongol dahulu, yaitu keinginannya untuk menghafal Al-Qur’an 30 juz.
Keinginan itu menjadi kenyataan bahkan untuk melanggengkannya beliau baca ayat-ayat suci itu sampai khatam yaitu pada bulan Ramadlan saat sholat tarwih. Diceritakan, bahwa selama bulan ramadlan apabila badannya sehat, beliau khatamkan dalam satu bulan itu tiga kali khataman. Sepuluh hari pertama khatam untuk yang pertama, sepuluh hari kedua digunakan untuk mengkhatamkan bacaannya yang kedua dan sepuluh hari ketiga untuk yang ketiga kalinya.
KH. Ahmad Marzuqi Mulai Berda’wah
Sepulang dari ngangsu kaweruh di berbagai pondok pesantren, sekitar tahun 1931, KH. Ahmad Marzuqi mulai melakukan pengajian-pengajian di berbagai tempat terutama di desa-desa di Gunungkidul. Perjalanan untuk mencapai daerah-daerah di Gunungkidul yang melewati hutan belantara memakan waktu berhari-hari itu beliau lakukan dengan berjalan kaki.
Dalam melakukan Dakwah di Gunungkidul, KH. Ahmad Marzuqi atau Mbah Marzuqi bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi keberadaan Islam di daerah tersebut. Ketika beliau membuka jamaah pengajian yang baru di desa-desa, beliau islamkan terlebih dahulu orang-orang yang akan ikut dalam pengajian tersebut. Sehingga ketika semakin hari semakin bertambah jumlah jamaahnya berarti semakin banyak pula orang Islam yang ada di desa itu.
Perjalanan dalam berdakwah itu bukan berarti tanpa mendapatkan rintangan. Rintangan itu datang dalam perjalanan maupun oleh orang yang tidak suka dengan dakwah yang beliau lakukan. Diceritakan, ketika dalam suatu perjalanan menuju salah satu desa di daerah Gunungkidul harus melewati sebuah sungai yang lebar dan dalam. Seseorang harus berenang untuk sampai di seberang karena tidak ada getek (perahu dari bambu). KH. Habib yang pada waktu itu diajak untuk menemani, tidak berani turun ke sungai karena melihat ada seekor ular besar sedang menunggu. Melihat ular di sungai yang siap untuk menyerangnya KH. Habib berteriak “Pak, ada ular !” Teriakannya tidak dijawab oleh Mbah Marzuqi. Beliau hanya menusukkan jari manisnya di pinggang KH. Habib. Seketika itu juga KH. Habib sudah berada di seberang sungai.
Untuk mempersatukan jama’ah pengajian, Mbah Marzuqi mendirikan masjid atau musholla di desa-desa. Hal ini dimaksudkan agar para jamaah bisa berkumpul dalam satu tempat dalam melaksanakan kegiatan. Pendirian masjid dan musholla ini juga dimaksudkan agar masyarakat di desa itu apabila sholat tidak dilakukan sendiri-sendiri di rumah, tetapi dilakukan di masjid atau musholla dengan berjama'ah.
Untuk melengkapi pembangunan masjid, beliau mendirikan sekolah-sekolah formal yang tentunya hal ini bertujuan agar generasi mudanya bisa mendapatkan pendidikan formal. Tercatat ada 130 buah untuk tingkat taman kanak-kanak, 53 buah untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah, 12 sekolah untuk tingkat MTs dan SMP, 8 sekolah untuk tingkat MA dan SMU.
Aktivitas dakwah ini masih terus berlangsung ketika beliau dipercaya memimpin pesantren yang didirikan oleh sang ayah, KH. Romli, pada tahun 1935. Pondok itu dipimpin oleh beliau berlangsung sampai dengan tahun 1955. Bahkan selama memimpin pondok pesantren tersebut, beliau mendapatkan sambutan yang semakin hangat dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari terus berkembangnya pondok tersebut yang semakin hari semakin banyak orang yang ikut mengaji.
Selepas Kemerdekaan RI 1945, bumi nusantara ternyata masih disenangi oleh Belanda sehingga wajar apabila pada bulan-bulan setelah Agustus itu Belanda masih banyak yang berseliweran di Indonesia. Orang-orang pribumi yang melihat tingkah Belanda itu merasa tidak senang sehingga di banyak tempat dikumpulkan para pemuda untuk digembleng menjadi prajurit yang tangguh. Mereka diberi ijazah dan amalan serta olah-kanuragan. Salah satu tempat yang digunakan sebagai markas itu adalah pesantren yang dipimpin oleh KH. Ahmad Marzuqi.
Mbah Marzuqi yang semenjak kecil suka dengan kehidupan sederhana, suka menolong orang lain dan tidak suka hidup mewah, mempunyai pandangan hidup bahwa seluruh jiwa dan raganya semata-mata dicurahkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Prinsip hidup ini beliau wujudkan dengan melakukan dakwah dari satu desa ke desa yang lainnya tanpa pernah mengharapkan imbalan. Dakwah ini beliau lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya untuk mengharapkan ridla dari Allah.
Kiai memang dalam berdakwah tidak pernah mengharapkan imbalan bahkan beliau serahkan seluruh harta bendanya pada mereka yang membutuhkan. Diceritakan, bahwa beliau mempunyai sawah yang luasnya mencapai 7 hektar dan sapi yang jumlahnya mencapai sekitar 150 ekor. Harta miliknya itu seluruhnya beliau serahkan pada masyarakat yang kurang mampu dengan sistem bagi hasil (tidak ada informasi yang menceritakan berapa bagian untuk beliau dan orang yang diserahi). Pemberian dengan sistem tersebut semata-mata hanya untuk meringankan beban yang ada pada masyarakat.
Pertolongan yang beliau berikan disamping secara materi juga dengan memberikan pengobatan kepada siapa saja yang memerlukannya. Bahkan dengan memberikan pengobatan ini, aktivitas dan pengikut dalam jama'ahnya semakin besar sehingga sangat memudahkan beliau apabila berkeinginan membuka daerah binaan yang baru.
Ilmu ketabiban ini beliau dapatkan disamping dari ayahnya, KH. Romli juga beliau dapatkan dari semenjak beliau mondok di pesantren-pesantren. Menurut KH. Habib Marzuqi, salah seorang putranya bahwa ilmu ketabiban itu beliau peroleh dari KH. Dalhar Watucongol, KH. Ma’ruf, KH. Kholil Bangkalan, KH. Dimyati Termas, KH. Dimyati Kebumen dan KH. Abdurrahman. Pemberian pertolongan ini juga beliau imaksudkan sebagai sarana berda’wah.
Membina Rumah Tangga
Sebagai putra bungsu dari lima bersaudara, KH. Ahmad Marzuqi mendapatkan tongkat estafet dari KH. Romli untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membantu perjuangannya KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan dengan putri dari KH. Arifin yaitu Ny. Dasinah. Dari pernikahan ini menurunkan dua orang putra yaitu KH. Asyhari Marzuqi (Kotagede) dan KH. Habib Marzuqi (Wates Kulonprogo).
Setelah berpisah dengan Ny. Dasinah, pada tahun 1949 KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kalinya yaitu dengan putri KH. Abdullah, Ny. Zuhroh. Dari pernikahan ini menurunkan dua putra yaitu KH. Masyhudi dan KH. Ahmad Zabidi dan seorang putri yaitu Hj. Siti Hannah.
Akhir Hayatnya
KH. Ahmad Marzuqi sewaktu hidupnya pernah melarang tentang 3 (tiga) hal. Tiga hal itu adalah pertama, beliau melarang dan mengharamkan adanya kebijakan pemerintah mengenai diberlakukannya Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat Indonesia. Kedua, beliau melarang dan mengharamkan adanya praktek dunia perbankan. Ketiga, beliau melarang keras adanya anggapan bahwa semua agama di Indonesia adalah baik dan benar.
Larangan ini sekitar awal tahun 80-an beliau tanamkan kembali pada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya di Giriloyo. Tidak peduli apakah tamu itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, pegawai biasa maupun pejabat. Semua dilarang untuk melaksanakan tiga hal tersebut diatas. Begitulah semua itu berlangsung sampai pada tahun 1991 disaat beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Tanggal 9 Jumadil Akhir 1411 H atau tanggal 14 Desember 1991 M pada hari Sabtu malam Ahad adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Seluruh putranya dan masyarakat sekitar sudah berkumpul. Disaat itulah beliau berwasiat kepada putra-putra dan seluruh kaum muslimin untuk membaca do’a Nekto Dinulu. Do’a itu bacaannya adalah sebagai berikut:
Allahumma Nekto Dinulu ahub-ahub ing Allah
Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam
Allahumma Roh amadep ing Nurullah
Somad-somad kelawan roh idlofi
Jisim rupaku amadep ing cahaya
Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz
Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.
Pagi harinya, ribuan orang datang dari berbagai daerah untuk memberikan penghormatan yang terakhir (melayat). Tidak sedikit dari para pelayat itu mengetahui meninggalnya KH. Ahmad Marzuqi lewat mimpi.
Diceritakan, pada malam hari (malam Ahad) seorang haji di daerah Prembun Kebumen bermimpi kedatangan Mbah Marzuqi. Dalam mimpi itu Mbah Marzuqi menyuruhnya untuk pergi ke Giriloyo dan jangan lupa membawa bakmi. Hari Ahad pagi, sambil membawakan bakmi pesanan Mbah Marzuqi pak haji dari kebumen itu meluncur menuju Giriloyo. Sebelum memasuki Giriloyo, haji itu singgah terlebih dahulu di masjid Pondok Ar-Ramli Wukirsari karena dilihatnya ada ribuan orang berkumpul. Kemudian pak haji dari kebumen itu bertanya “Ada apa kok suasananya ramai sekali?” Orang yang ditanya oleh pak haji itu menjawab bahwa Mbah Marzuqi meninggal. Pak haji tidak percaya karena tadi malam beliau bermimpi bertemu Mbah Marzuqi dan disuruh ke Giriloyo. Namun setelah mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi, pak haji dari Kebumen itupun lemas.
Begitulah banyak dari para hadirin yang datang karena mendapatkan mimpi “disuruh ke Giriloyo oleh Mbah Marzuqi”. Semua masyarakat yang ditinggalkan merasa kehilangan dengan kepergiannya. Namun apa mau dikata, kita tidak bisa melawan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitulah KH. Ahmad Marzuqi telah mendahului kita dengan menanamkan pijakan yang mantap dan kokoh pada masyarakat yang ditinggalkan. Semoga amal baik beliau diterima disisi-Nya dan kita yang ditinggalkan bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citanya. Amin.
(sumber :http://www.nurulummah.com/statis-13-kh-marzuki-romli.html)
Langganan:
Postingan (Atom)