Kamis, 18 Agustus 2011

AL-HIKAM, Aphorisma Sang Sufi

Tak pelak, Al-Hikam (Al-‘Athaiyah) merupakan salah satu karya monumental Ibn ‘Athaillah As-Sakandary (Abul Fadhal Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah; wafat tahun 709H). Al-Hikam merupakan mutiara-mutiara cemerlang bagi meningkatkan kesadaran spiritual, tidak hanya untuk para saalik dan murid-murid tasawuf, tapi juga untuk umumnya para peminat olah batin.

Buku yang tidak terlalu tebal ini, tidak hanya dibaca dan didiskusikan tapi juga disyarahi oleh banyak ulama antara lain oleh sufi besar Ibnu ‘Ubad; Ibn ‘Ajiebah; Syeikh Syarqawi; Syeikh Syarnubi; dll. Bahkan seorang alim dari Faz, Syeikh Zarrouq (Ahmad bin Ahmad bin Muhammad Al-Faasi; 846-899H) yang kemana-mana membawa Al-Hikam, telah mensyarahi karya Ibn ‘Athaillah ini tidak kurang dari 30 syarah.

Al-Hikam juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia dan Melayu. Dari keluarga saya sendiri, paman saya Almarhum KH Misbah Mustofa sudah menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa; adik saya Almarhum KH Adib Bisri telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia; dan terakhir kakak saya Almarhum KH Cholil Bisri juga membuat syarah dalam bahasa Indonesia yang diberi judul Indahnya Bertasawuf.

Di samping bil-barakah, para pensyarah dan penterjemah itu pastilah mula-mula terpikat oleh ungkapan-ungkapan istimewa Syeikh Ibn ‘Athaillah dan kandungan isinya yang dalam. Selama ini orang mungkin hanya mengenal aphorisma, ajaran yang dirumuskan secara singkat dan padat, melalui Peribahasa Sulaiman dalam Perjanjian Lama atau karangan-karangan Nietzsche; di kalangan kaum muslimin mungkin melalui Nahjul Burdah-nya sayyidina Ali karramaLlahu wajhah. Namun agaknya aphorisma Ibn ‘Athaillah ini memang lain.

Berbeda dengan kebanyakan ungkapan-ungkapan para sufi terkenal seperti Rabi’ah Al-‘Adawiyah; Rumi; ‘Atthar; dlsb –yang juga diminati oleh kalangan sastrawan di kita—umumnya orang hanya menganggap dan memperlakukan Al-Hikam ‘semata-mata’ sebagai karya tasawuf. Banyak kiai sepuh –terutama dari kalangan thariqah—yang mengajarkan kitab ini kepada santri-santri tua. Dengan kata lain, Al-Hikam lebih diperlakukan sebagai kitab pelajaran akhlak dan tasawuf belaka.

Padahal, paling tidak menurut saya, aphorisma Al-Hikam dari segi bahasanya pun luar biasa indah. Kata dan makna begitu padu, saling mendukung, melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan sebagaimana bisa Anda rasakan sendiri nanti, insya Allah.

Ratusan hikmah (sekitar 284) yang indah diakhiri dengan munajat Syeikh ‘Athaillah yang juga sangat indah, merupakan untaian mutiara yang telah mempesona jutaan hamba pencari keindahan Sang Maha Indah.

Sebenarnya saya ingin berbagi dengan Anda dan mencoba –bil-barakah—menjelaskan ala kadarnya makna dari ungkapan-ungkapan indah Al-Hikam seukur kemampuan saya yang terbatas. Namun , karena kesibukan saya yang tidak jelas, saya hanya berani memberikan kepada Anda icip-icip. Satu mutiara yang mudah-mudahan keindahan dan pelajarannya dapat bersama-sama mencerahkan kita. Apabila benar, Anda pun juga menangkap keindahan dan pelajarannya, alhamduliLlah, pastilah itu berkat inayah Allah. Namun apabila tidak, pastilah semata-mata karena keterbatasan dan kebodohan saya.

Selanjutnya, akan sangat baik apabila di antara jama’ah Fisbuqiyah ada yang melanjutkan membagi keindahan aphorisma Al-Hikam ini.

Saya akan memulai menyuguhkan icip-icip dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim..

من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Min ‘alaamatil i’timaadi ‘alal ‘amali nuqshaanur rajaa-i ‘inda wujuudiz zalali
Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan

Kita dituntut beramal, namun untuk keselamatan dan kebahagiaan abadi kita, kita tidak boleh mengandalkan amal kita. Bahkan Rasulullah SAW sendiri ketika ditanya apakah seorang mukmin dapat masuk sorga dengan mengandalkan amal-ibadahnya, beliau menjawab tegas: “Tidak”. Bahkan beliau juga menegaskan “Walaa anaa illa an yataghammadaniyaLlahu birahmatiHi wamaghfiratiHi” (Tidak juga aku, kecuali Allah melimpahiku dengan rahmat dan ampunanNya).

Bagi kalangan sufi, mengandalkan amal merupakan sikap angkuh yang tidak bisa dimengerti. Pertama, karena hamba yang beramal tidak tahu pasti apakah amalnya diterima atau tidak oleh Allah; kedua, karena ia bisa beramal semata-mata karena Allah. Lagi pula biasanya orang yang mengandalkan amalnya, akan merasa puas diri dan mengecilkan sesamanya yang dipandangnya tidak atau kurang beramal seperti dia.

Nah, apakah kita termasuk orang yang mengandalkan amal kita ataukah kita termasuk hamba yang tahu diri dan hanya mengandalkan Allah, syeikh Ibn ‘Athaillah memberi petunjuk mengenai tanda-tanda orang yang mengandalkan amalnya yakni antara lain: berkurangnya harapan (istilah tasawufnya: rajaa) orang yang beramal itu ketika dia berbuat kesalahan. Rajaa, berharap kasihsayang dan fadhal Allah merupakan imbangan dari khauf, cemas atau khawatir akan hukuman dan murka Allah. Seorang hamba Allah, bagaimana pun keadaannya tidak boleh kehilangan rajaa. Karena kehilangan rajaa sama dengan berburuk sangka terhadap Allah. Para ‘aarifiin, mereka yang makrifat kepada Allah, tidak pernah kehilangan rajaa; karena mereka tidak mengandalkan –bahkan tidak melihat—kepada amal mereka.

Sumber: catatan Fb Gus mus http://www.facebook.com/note.php?note_id=109055983333