Minggu, 20 November 2011

Imam Syathibi: Bapak Maqasid al-Syari’ah Pertama

Oleh Aep Saepulloh Darusmanwiati

Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Syathibiyyah

Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh.[1] Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Syathibiyyah.

Pembagian ini, hemat penulis, merupakan pembagian terbaru di mana thariqah yang ditempuh Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagian corak aliran yang terpisah dari aliran ushul lainnya. Tidak berlebihan memang, karena dalam coraknya al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) Ushul Fiqh dengan konsep Maqashid al-Syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual.

Ada dua nilai penting, hemat penulis, apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum. Pertama, dapat menjembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep Ilmu Ushul Fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya tajdid Ushul al-Fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi Ushul Fiqh demi menghasilkan produk fiqh yang lebih kapabel. Di antara yang paling vokal menyuarakan konsep ini adalah Hasan al-Turaby dengan bukunya Tajdid Ushul al-Fiqh—buku ini dinyatakan terlarang dipasarkan.

Meski sesungguhnya penulis kurang sependapat dengan tayyar al-yasar ini, namun ada hal yang perlu dicatat bahwa apa yang mereka lontarkan adalah karena ketidakpuasannya dengan produk-produk fiqh para ulama yang terlalu terpaku pada teks tanpa mengindahkan konteks. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan pun menjadi mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi.[2] Keambiguan ini disebabkan methodologi yang ditempuh terlalu ushuli kurang memperhatikan Maqashid al-Syari’ah.

Betul, bahwa ulama-ulama Ushul dahulu telah membahas Maqashid al-Syari’ah ini menjadi salah satu bagian dari ilmu Ushul. Hanya saja, perlu dicatat, pembahasan al-mutaqaddimin dengan Maqashid al-Syari’ah ini boleh dikatakan hanya sebagai “lipstik” saja karena pembahasannya yang begitu singkat dan cenderung kurang mewakili.

Dengan corak methodologi Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan antara teori-teori Ushul dengan Maqashid al-Syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan teori-teori Ushul Fiqh dengan Maqashid al-Syari’ah merupakan kesalahan besar karena tidak semua al-hawadits al-haditsah atau al-qaadimah dapat diselesaikan dengan Maqashid al-Syari’ah an.sich, meskipun Thahir bin Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah secara yakin menjadikan Maqashid al-Syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu Ushul Fiqh.[3] Namun, dalam pandangan penulis, sesungguhnya teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Thahir bin Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori Ushul Fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda.

Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqh yang hidup. Karena itu, fiqh yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy.

Sedikit penulis mengajak para pembaca untuk bernostalgia ke Indonesia. Dalam pengamatan penulis, ada kesalahan fatal sikap masyarakat Indonesia khususnya terhadap fiqh. Ia lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara ibadah an sich, yang terlepas dari nilai-nilai rububiyyah murni dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini terlihat misalnya, mereka lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah daripada memperhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang kurus kering kurang gizi. Mereka lebih merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah karena fiqh dipahami hanya ibadah yang kaitannya antara manusia dan Tuhan saja.

Ada semacam pembatasan pemahaman fiqh di kalangan masyarakat dewasa ini sehingga lebih mementingakn menghapal syarat sah, syarat wajib, rukun dan lainnya dari pada efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup pula persoalan tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalam Kitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali.

Di samping itu, silabus pengajaran fiqh di Indonesia, sepengetahuan penulis, juga kurang mengarah pada Fiqh Maqashidy. Hampir tidak ada, hemat penulis, silabus yang khusus membahas tentang Maqashid al-Syari’ah. Karenanya, tidaklah heran ekses fiqh tidak berpengaruh pada tataran amaliyyah yaumiyyah, ia lebih pada tataran fardhiyyah syakhsiyyah. Akhirnya, shalat dan ibadah rajin, korupsi jalan terus. Inilah gambaran bagaiman fiqh itu mati, ambigu, sangat ushuly tidak hidup dan tidak maqashidy.

Dari paparan di atas jelas, kebutuhan untuk memahami dan mengkampanyekan Maqashid al-Syari’ah di samping Ushul Fiqh menjadi sangat penting adanya. Demi menuju ke arah itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas perjalanan Imam Sythibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah Pertama sekaligus sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah versi Syathibi.

A. Biografi Singkat Imam Syathibi

Sebelum memaparkan lebih jauh tentang biografi Imam Syathibi, perlu penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa buku yang membahas khusus seputar perjalanan hidup Imam Syathibi ini—sepengetahuan penulis—ada dua buah yaitu yang ditahkik oleh Ustadz Muhammad Abu al-Ajfan: al-Ifadaat wa al-Insyadaat li Syathibi dan Fatawa al-Imam al-Syathibi.[4] Kemudian muridnya, Ahmad Baba Attanbakaty mencoba mengembangkan lebih jauh dalam dua karyanya Nailul Ibtihaj dan Kifayatul Muhtaj. Oleh karena itu, pembahasan kali ini banyak mengacu kepada buku-buku tersebut.

Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M.[5] Nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Syathibah=arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia.[6] Pada tahun 1247M, keluarga Imam Syathibi mengungsi ke Granada setelah Sativa, tempat asalnya, jatuh ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih 9 tahun sejak tahun 1239M.

Granada sendiri awalnya adalah sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Syulair yang sangat kental dengan saljunya.[7] Karena Granada ini kota kecil dan sangat dingin, maka orang-orang muslim saat itu lebih memilih pindah ke kota Birrah—sebuah kota yang terletek tidak jauh dari Granada—dari pada tinggal di Granada.

Ketika Imam Syathibi hidup, Granada diperintah oleh Bani Ahmar.[8] Bani Ahmar sendiri adalah sebutan untuk keturunan dan keluarga Sa’ad bin Ubadah, salah seorang sahabat Anshar. Sedangkan laqab Ahmar ditujukan kepada salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id Muhammad as-Sadis (761-763H) karena memiliki warna kulit kemerah-merahan. Orang Spanyol menyebut Abu Sa’id ini dengan al-Barmekho yang dalam bahasa Spanyol berarti warna jeruk yang kemerah-merahan.[9]

Ketika Bani Ahmar berkuasa, kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan yang islami bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah. Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memegang kekuasaan.[10] Bukan hanya seringnya terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, akan tetapi pada masa itu juga setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang sebenarnya malah dituding telah keluar dari agama bahkan acap kali mendapat hukuman yang sangat berat.

Hampir semua ulama yang hidup pada masa itu adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup dan bahkan tidak jarang meraka yang tidak tahu menahu persoalan agama diangkat oleh raja sebagai dewan fatwa. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila fatwa-fatwa yang dihasilkan sangat jauh dari kebenaran.

Imam Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara Imam Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dielakkan. Setiap kali Imam Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itulah, Imam Syathibi kemudian dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama yang sebenarnya.

Hal lain yang disoroti Imam Syathibi adalah praktek tasawwuf para ulama saat itu yang telah menyimpang. Mereka berkumpul malam hari, lalu berdzikir bersama dengan suara sangat keras kemudian diakhiri dengan tari dan nyanyi sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-mukul dadanya bahkan kepalanya sendiri. Imam Syathibi bangkit mengharamkan praktek tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesugguhnya. Menurut Imam Syathibi, setiap cara mendekatkan diri yang ditempuh bukan seperti yang dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah bathil dan terlarang.[11]

Fatwa Syathibi tentang praktek tasawwuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oeh salah seorang ulama ahli tasawwuf saat itu Abul Hasan an-Nawawi. Ia mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan jalan yang keluar dari Ilmu Syari’ah, maka janganlah mendekatinya.[12]

Imam Syathibi juga menyoroti ta’ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara.[13]

Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”.[14]

Mulai saat itu, seolah sudah merupakan amar resmi, masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki. Saking berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”.[15]

Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar Andalus. Namun, sayang meninggal karena hukuman dari amir saat itu.[16]

Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama Maliki—bahkan Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus[17]—namun ia tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat sendiri—yang akan kita bahas—sengaja disusun oleh Imam Syathibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.

Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah dan khurafat yang berkembang saat itu, Imam Syathibi menyusun sebuah karya monumental lainnya yaitu al-I’tisham.

Demikian sekelumit kehidupan Imam Syathibi dan kondisi masyarakat sekitarnya yang melatarbelakangi disusunnya karya-karya agung.

Karya-karya Imam Syathibi

Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang merupakan wasilah untuk memahami Ilmu Maqasid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sekilas tentang karya-karya Imam Syathibi:

1. Kitab al-Muwafaqat

Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh di penghujung bahasan ini

2. Kitab al-I’tisham

Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.[18]

3. Kitab al-Majalis

Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty melihat faidah buku ini dengan menyebutnya: “minal fawaid wa al-tahqiqat ma la ya’lamuhu illallah”.[19]

4. Syarah al-Khulashah

Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar dan menurut Attanbakaty buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terbaik dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkannya.[20]

5. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq

Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sebanding dengan buku al-Khulashah karya Ibn Jinny. Hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak Imam Syathibi masih hidup.[21]

6. Ushul an-Nahw

Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu.[22]

7. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat

Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.

8. Fatawa al-Syathibi

Buku ini adalah buku paling bontot. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.

Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak hanya tiga buah yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.

Sekilas Tentang al-Muwafaqat

“Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”. Demikian salah satu syair yang dikemukakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab karya Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham dalam Muqaddimah Kitab al-I’tisham yang ditulisnya. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya.[23]

Memang layak Imam Syathibi menyandang dua gelar di atas karena dalam al-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.

Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Akan tetapi Imam Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syathibi bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Syathibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat.[24]

Dari ungkapan Imam Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba menyamakan kedudukan Imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibn al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik.

Buku ini terdiri dari 4 juz akan tetapi dilihat dari segi temanya terbagi kepada 5 bagian:

1. Al-Muqaddimah

Ada 13 masalah yang dipaparkan dalam mukaddimah ini sebagai langkah awal dan dasar dalam memahami pembahasan kitab al-Muwafaqat berikutnya.

2. Al-Ahkam

Membahas lima hukum taklifi dan lima hukum wadh’i di samping itu dijelaskan pula keterkaitannya dengan maqasid al-Syari’ah.

3. Al-Maqasid

Pembahasan ini dibahas dalam juz II sampai selesai. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membedah bab ini saja mengingat persoalan ini yang membuat al-Muwafaqat membumbung tinggi.

4. Al-Adillah

Bab ini membahas tentang dua dalil yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya seperti naskh, amr, nahyi dan lainnya.

5. Al-Ijtihad wa al-Tajdid

Bab ini mengupas seputar persoalan ijtihad dan taqlid atau yang lebih dikenal dengan Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.

Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302H atau 1884M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341H / 1922M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia.[25] Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan.[26]

Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969M) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).[27]

Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun.[28]

Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil syu’bah Islamic Studies.

Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam bentuk disertasi dan thesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya dimaksud—sepengetahuan penulis untuk lingkungan Timur Tengah—adalah Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi; Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, Abd Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi.

B. Sejarah Maqashid AL-Syari’ah

Apakah sebelum Imam Syathibi Maqahid al-Syari’ah sudah ada? Pertanyaan inilah yang hendak penulis bahas dalam sub bab kali ini.

Betul bahwa Imam Syathibi adalah Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Maqashid, namun itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada Ilmu Maqashid. Imam Syathibi lebih tepat disebut orang yang pertama menyusun secara sistematis Maqashid al-Syari’ah sebagaimana Imam Syafi’i—menurut kaum Sunni—dengan ilmu Ushul Fiqhnya.

Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni,[29] pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan Maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.

Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365) dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w. 403) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.

Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwaeny[30], al-Ghazali,[31] al-Razy,[32] al-Amidy,[33] Ibn Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi,[34] al-Thufi,[35] Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.[36]

Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah Maqashid al-Syari’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah.[37]

Adapun menurut Hammadi al-Ubaidy orang yang pertama kali membahas Maqashid al-Syari’ah adalah Ibrahim an-Nakha’i (w.96H), seorang tabi’in sekaligus gurunya Hammad bin Sulaiman gurunya Abu Hanifah.

Setelah itu lalu muncul al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin at-Thufi dan terakhir Imam Syathibi.[38]

Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Imam Syathibi, Maqashid al-Syari’ah sudah ada dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum sistematis sehingga datangnya Imam Syathibi.

C. Sekilas Tentang Maqashid al-Syari’ah MenurutImam Syathibi

Imam Syathibi membahas tentang Maqashid al-Syari’ah ini dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.

Dalam pembahasannya, Imam Syathibi membagi al-Maqashid ini kepada dua bagian penting yakni Maksud Syari’ (qashdu al-syari’) dan Maksud Mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud Syari’ kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:

1. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari dalam menetapakan syariat).

Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan. Namun semuanya mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari dengan menetapkan syari’atnya itu?”

Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tersier,lux).

Maqashid atau Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan[39] seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql).[40]

Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:

1. Dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya

2. Dari segi tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini:

a. Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan zakat
b. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad
c. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum
d. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan diyat
e. Menjaga aqal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu
f. Menjaga aqal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr
g. Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah
h. Menjaga an-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif
i. Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki
j. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.

Sebelum penulis memaparkan lebih jauh cara kerja dan aflikasi dari al-dharuriyyat al-khams ini, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu urutan kelima dharuriyyat ini baik menurut Imam Syathibi maupun ulama ushul lainnya. Hal ini sangat penting karena berpengaruh pada kesimpulan hukum yang akan dihasilkan.

Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelima dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah), Imam Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun Imam Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan din dan nafs terlebih dahulu.

Dalam al-Muwafaqat I/38, II/10, III/10 dan IV/27 urutannya adalah sebagai berikut: ad-din (agama), an-nafs (jiwa), an-nasl (keturunan), al-mal (harta) dan al-aql (akal).

Sedangkan dalam al-Muwafaqat III/47: ad-din, an-nafs, al-aql, an-nasl dan al-mal.

Dan dalam al-I’tisham II/179 dan al-Muwafaqat II/299: ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.

Perbedaan urutan di atas, menunjukkan bahwa semuanya sah-sah saja karena sifatnya ijtihadi.

Para ulama ushul lainnya pun tidak pernah ada kata sepakat tentang hal ini. Bagi al-Zarkasyi misalnya, urutan itu adalah:[41] an-nafs, al-mal, an-nasab, ad-din dan al-‘aql.

Sedangkan menurut al-Amidi:[42] ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.

Bagi al-Qarafi:[43] an-nufus, al-adyan, al-ansab, al-‘uqul, al-amwal atau al-a’radh.

Sementara menurut al-Ghazali:[44] ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl dan al-mal.

Namun urutan yang dikemukakan al-Ghazali ini adalah urutan yang paling banyak dipegang para ulama Fiqh dan Ushul Fiqh berikutnya. Bahkan, Abdullah Darraz, pentahkik al-Muwafaqat sendiri, memandang urutan versi al-Ghazali ini adalah yang lebih mendekati kebenaran.[45]

Cara kerja dari kelima dharuriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan nasl begitu seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah disinggung diatas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang Palestina dengan pertimbangan hukum di atas.

Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang kerena suatu kebutuhan pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat, bukankah itu berarti an-nafs lebih didahulukan dari pada ad-din?

Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. Al-Amidy dalam al-Ahkam-nya, misalnya, telah mengulas secara panjang lebar yang tidak mungkin penulis kutipkan di sini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat langsung dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, akan tetapi penulis lebih condong membacanya al-Ahkam) juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengutip pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa dalam tataran umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini menyangkut ushul al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan kejelian seorang mujtahid.[46]

Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqah dan kesempitan.[47] Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.

Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis.[48]

Ada beberapa qaidah penting yang dikemukakan Imam Syathibi dalam menerangkan keterkaitan atau cara kerja ketiga maslahah di atas yang tidak mungkin penulis kemukakan di sini mengingat panjangnya pembahasan dimaksud. Namun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam masalah ke-4 halaman 13 buku al-Muwafaqat.


2. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah lil Ifham (maksud Syari’ dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami).

Bagian ini merupakan pembahasan yang peling singkat karena hanya mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.

Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syu’ara:195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab.

Dalam hal ini Imam Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu Karena tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan masalah ini”.[49]

Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari’at ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Ma’ani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila bahasa Arab, Ushul Fiqh termasuk salah satu persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid.

Kedua, bahwa syari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan.[50] Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa ‘ala i’tibari al-maslahah).[51]

Di antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-keterangan lainnya.

Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan sifat syari’ah ummiyyah ini, lanjut Syathibi, yaitu bahwa al-Qur’an mencakup semua bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut Syathibi, al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.

Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”, dn surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Qur’an”. Menurut Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama dimaksudkan mengenai masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-mahfudz.[52]


3. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha

Bagian ini dimaksudkan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya.

Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:

Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia.[53] Dalam hal ini Imam Syathibi mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas kemampuan manusia, maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal membolehkannya”.[54]

Apabila dakan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, furman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun.

Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.

Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh Imam Syathibi. Menurut Imam Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukalla.[55] Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa berikutnya.

Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.

Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapi kulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut Imam Syathibi disebut Masyaqah Mu’tadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.[56]

Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.


4. Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah

Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam istilah Imam Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang idthiraran.[57] Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila dairatil ‘ubudiyyah.[58]

Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.

Ada beberapa kaidah penting yang perlu dipahami dalam bagian ini dan penulis tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam al-Muwafaqat Juz II hal. 128-150.

Demikian sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah menurut Imam Syathibi. Gambaran di atas tentunya tidak memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang Maqashid Syari’ah itu sendiri, namun paling tidak tergambar bahwa rumusan Imam Syathibi ini lebih sistematis dan lengkap dibandingkan rumusan-rumusan para ulama Ushul sebelumnya.

Apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat khususnya dan karya-karta Imam Syathibi lainnya betul-betul telah mempengaruhi pemikiran para ulama berikutnya semisal Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraj, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy.

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya Imam Syathibi terutama al-Muwafaqat.[59] Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha. Bahkan bukan saja terpengaruh dengan ide maqashidnya Imam Syathibi, ia juga sangat terpengaruh dengan al-I’tishamnya demi menghidupkan kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusungnya.

Demikian juga dengan Thahir bin Asyur. Ulama asal Tunis ini telah mengarang sebuah buku berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang sempat menggegerkan ulama Ushul Timur Tengah karena idenya yang mencoba mengenyampingkan Ushul Fiqh dan menggantinya dengan Maqashid al-Syari’ah. Baginya, Maqashid al-Syari’ah merupakan ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm mustaqil) dan terlepas dari Ilmu Ushul bahkan Ilmu Ushul dipandangnya sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya cenderung kurang manusiawi. Namun demikian, idenya lahir karena pengaruh dari Imam Syathibi, bahkan Abdul Majid Turki memandang buku Thahir bin Asyur ini sebagai mustalhaman min kitab al-Muwafaqat (jiplakan dari kitab al-Muwafaqat).[60]

Allal Fasy, ulama asal Maroko, juga termasuk meraka yang terpengaruh oleh ide Syathibi. Bukunya Difa’ ‘an al-Syari’ah dan Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha merupakan perluasan dan terkadang pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat. Karena besarnya pengaruh Syathibi dengan al-Muwafaqatnya inilah, ulama-ulama Ushul kemudian sepakat menjadikan Imam Syathibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama yang telah menyusun teori-teorinya secara lengkap, sistematis dan jelas.

Wallahu a’lam bis shawab

Aep Saepulloh Darusmanwiati, anak bimbing Dompet Dhuafa Republika, mahasiswa pasca sarjana Universitas al-Azhar Kairo, Fakultas Syari’ah jurusan Ushul Fiqh dan santri Madrasah al-Thibrasiyyah li Tahfidz al-Qur’an Masjid al-Azhar Kairo.

[1]Musthafa Said al-Khin, al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Muassasah risalah, 2000, hal. 8.

[2]Hasan al-Turaby, Qadhaya al-Tajdid: Nahwa Manhaj Ushuly, Dar al-Hady, 2000, hal. 18.

[3]Muhammad Thahir bin Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Malaysia: Dar al-Fajr, 1999, hal. 180

[4]Buku-buku ini tidak banyak menyinggung konsep maqashidnya, tapi lebih bersifat memaparkan perjalanan hidup Imam Syathibi. Buku ini dicetak oleh Muassasah Risalah.

[5]Sebetulnya tempat kelahiran Imam Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau di Sativa. Karena dalam teks buku al-Ifadaat sendiri hanya disebutkan bahwa Imam Syathibi itu nasya’a bi gharnathah, hanya tumbuh bukan dilahirkan. Demikian juga dengan tahun kelahirannya. Akan tetapi karena tidak ada keterangan lain, maka para penulis berikutnya menjadikan Granada sebagai tempat kelahirannya. Demikian juga dengan tahun kelahirannya, ada yang mengatakan ia lahir sebelum tahun 720H ada juga yang setelahnya. Lihat at-Tanbakaty, Nailul Ibtihaj, hal. 46, Abu al-Ajfan, al-Ifadat hal. 151 dan Hammady al-Ubaidy, al-Syathibi wa Maqashid al-Syari’ah, hal. 11.

[6]Hammady al-Ubaidy, Ibid., hal 12.

[7]Nama Syulair adalah bahasa Latin yang berarti al-musyammir artinya yang berjemur karena pantulan sinar mataharinya terhadap salju yang terdapat dalam gunung tersebut. Kadang Syulair ini disebut juga Siranqada yang dalam bahasa Spanyol berarti arrummanaal, pusar dan perut sekitarnya, dan juga berarti jabal al-tsalj, gunung es. Lihat Hammady al-Ubaidy, Ibid., hal 27.

[8]Daulah ini berjaya selama dua abad enam puluh dua tahun yaitu sejak tahun 635H-897H. dengan runtuhnya Bani Ahmar ini sekaligus mengakhiri kehadiran Islam di Andalusia.

[9]Hammady, Ibid., hal. 29

[10]Ibid., hal. 31.

[11]Imam Syathibi, al-I’tisham, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982, juz I, hal., 264.

[12]Ibid., hal.96.

[13]Muhammad Fadhil bin Asyur, A’lam al-Fikr al-Islamy, Tunisia: Maktabah an-Najah, t.th., hal. 10.

[14]Ibid., hal. 77

[15]Ibid.

[16]Imam Syathibi, Op.Cit., Juz II, hal., 348

[17]Muhammad Makhluf, Syajarah an-Nur al-Zakiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, 1349H., hal. 231.

[18]Muhammad Rasyid Ridha, Mukaddimah Kitab al-I’tisham, Juz I, hal.4.

[19]Attanbakaty, Op.Cit., hal. 48.

[20]Ibid.

[21]Ibid., hal. 49.

[22]Ibid.

[23]Muhammad Rasyid Ridha, Op.Cit., hal. 4

[24]Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th., Juz I, hal. 17

[25]Muhammad Fadhil bin Asyur, Op.Cit., hal. 76.

[26]Lihat Mukaddimah Kitab al-Muwafaqaat, Juz I, hal. 11.

[27]Hammady, Op.Cit., hal. 101.

[28]Lihat Mukaddimah Kitab al-I’tisham, Juz I, hal. 4.

[29]Ahmad Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah Liddirasat wan Nasyr wa al-Tauzi’, 1992, hal. 32.

[30]Nama lengkapnya adalah Abul Ma’ali ‘Abdl Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayuwiyah al-Juwainy. Di antara karyanya adalah: al-Burhan, al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq. Wafat tahun 478H. Lihat Ibn Subuki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, Juz V, hal. 165.

[31]Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly al-Thusy, seorang faqih, ushuly, filosof, sekaligus sufi. Karyanya kurang lebih 200 buah di antaranya: al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Wajiz, Ihya Ulumiddin dan Syifa al-Ghalil. Wafat tahun 505H. Lihat Ibn Subuki, Ibid., juz VI, hal.191.

[32]Nama lengkapnya Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain at-Taimy al-Bikry. Dia adalah seorang mufassir yang lebih dikenal dengan nama Ibn Khatib ar-Ray. Di antara karyanya adalah Mafatih al-Ghaib, al-Aayat al-Bayyinaat, al-Mahshul dan Asas at-Taqdis. Wafat tahun 606H. Lihat az-Zarkaly, al-A’lam, juz VI, hal. 313.

[33]Nama lengkapnya Ali bin Abi Ali bin Muhammad bin Salim as-Tsa’laby yang lebih dikenal dengan nama Saifuddin al-Amidi seorang ulama ushul, theolog dan ahli mantiq. Di antara karyanya: al-Ahkam, dan Ghayatul Maram. Wafat tahun 631H. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz XIII, hal. 140.


[34]Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Idris bin Abdurrahman as-Shanhaji al-Maliki. Diantara karyanya adalah: Nafais al-Ushul, Syarh al-Mahshul, al-Furuq, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam wa Tasharruf al-Qadhi wal Imam. Wafat tahun 684H. Muhammad Makhluf, Op.Cit., hal. 188.

[35]Nama lengkapnya Sulaiman bin Abdul Qawy bin Sai’d at-Thufi ash-Sharshari Najmuddin. Di antara karyanya: Mukhtashar al-Raudhah wa Syarhuhu dan al-Iksar fi Qawaid at-Tafsir. Wafat tahun 716H. Lihat at-Thufi, Syarh Mukhtashar ar-Raudah, tahkik Ibrahim Ali Ibrahim, juz I, hal. 21.

[36]Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz az-Zur’I ad-Dimasyqi yang lebih dikenal dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah seorang faqih sekaligus ushuli. Di antara karyanya: Zadul Ma’ad, I’lam al-Muwaqi’in, Syifa al-‘Alil dan Miftah Dar al-Sa’adah. Wafat tahun 751H. Lihat Bakar Abu Zaid, at-Taqrib li Fiqh Ibn Qayyim, juz I, hal., 19.

[37]Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, Maqashid al-Syari’ah ‘Inda Ibn Taimiyyah, Yordan: Dar an-Nafais, 2000, hal. 75-114.

[38]Hammady, Op.Cit., hal. 134.

[39]Imam Syathibi, al-Muwafaqat…, Op.Cit., Juz II, hal. 7.

[40]Ibid., hal 8.

[41]Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa al-syu’un al-Islamiyyah, 1993, Jilid VI, hal. 612.

[42]Al-Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Muassasah al-Halaby, 1991, Juz IV, hal. 252.

[43]Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, t.th., hal. 391.

[44]Al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: dar al-Fikr, 1997, Juz I, hal. 258.

[45]Komentar Abdullah Darraz dalam al-Muwafaqat, Juz II, hal. 153.

[46]Ibid., hal. 154.

[47]Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 9

[48]Ibid.

[49]Ibid., hal 50

[50]Ibid., hal 53.

[51]Ibid.

[52]Ibid., hal 61.

[53]Akan tetapi dalam salah satu pendapatnya, Abu Hasan al-Asy’ari membolehkan taklif yang di luar kemampuan manusia, baik yang sifatnya menolak atau menetapkan dan ini tentunya menyalahi Jumhur Ulama Ushul, lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Juz I, hal. 81.

[54]Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 82.

[55]Ibid., hal. 93.

[56]Ibid., hal 94.

[57]Ibid., hal. 128.

[58]Ahmad Zaid, dalam muhadharah Fiqh Maqashid yang diselenggarakan Syathibi Center, Wisma Nusantara, 13 Agustus 2002.

[59]Abdul Majid Turki, Munadharat fi Ushul al-Syari’ah al-Islamiyyah Baina Ibn Hazm wa al-Baji, Beirut: Dar al-Garb al-Islamy, 1986, hal. 513.

[60]Ibid., hal. 477.
01/05/2003 | Tokoh, | #
Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Genealogi maqashid syariah menurut kedangkalan pemahamanku adalah memiliki akar yang amat kuat pra al-Syathibi. Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik, namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang qiyas.

Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H. adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.

Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.[5]

Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al- khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.
Silahkan baca dalam makalah saya ttg tafsir maqashidi; sebuah penafsiran alternatif

Syekh Yasin al-Fadani dan Nasionalisme Indonesia

Oleh Ulil Abshar Abdalla
Informasi dari Martin van Bruinessen ini menarik karena memperlihatkan sosok Syekh Yasin bukan saja sebagai seorang alim yang mempertahankan doktrin Sunni di tanah haramain, tetapi juga seorang nasionalis yang memiliki kecintaan pada tanah air. Tahun saat madrasah Dar a-‘Ulum itu berdiri, yakni 1934, jelas merupakan periode di mana gerakan-gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan di tanah air sedang mencapai tahap kematangan.

Kemanapun orang Padang pergi, di situ akan berdiri warung makan, begitulah kesan umum di masyarakat. Tetapi kaidah ini tidak berlaku bagi tokoh yang akan saya ulas dalam tulisan ini, yakni Syekh Yasin al-Fadani. Ia menuntut ilmu hingga jauh ke Mekah dan merintis sebuah madrasah yang mencetak banyak ulama dari Indonesia.

Sebuah informasi menarik saya temukan dalam buku karangan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1995) berkenaan dengan sosok Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani (meninggal 1990), seorang alim asal Padang yang tinggal di Mekah dan pendiri madrasah yang terkenal, Dar al-‘Ulum al-Diniyyah.

Sebelum madarasah itu berdiri, ada madrasah lain yang cukup terkenal di Mekah, yaitu Madrasah Shaulatiyyah. Madrasah ini didirikan oleh seorang tokoh perempuan dari India, Shaulah al-Nisa’, pada 1874, karena itu disebut Shaulatiyyah. Pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada seorang ulama militan yang dikenal karena polemik-polemiknya melawan para misionaris Kristen di India, yaitu Rahmatullah ibn Khalil al-‘Utsmani.

Banyak pelajar Indonesia yang menjadi murid madrasah itu, termasuk Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani. Ada suatu kejadian di madrasah tersebut yang membuat Syekh Yasin marah dan kemudian memutuskan untuk keluar. Pada suatu hari, seorang guru di madrasah itu merobek koran berbahasa Indonesia yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru itu juga mengejek aspirasi nasonalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan.

Kejadian ini disaksikan langsung oleh Syekh Yasin, dan tentu saja membuatnya marah dan memutuskan untuk keluar dari madrasah itu. Ia kemudian terlibat dalam usaha-usaha untuk mendirikan madrasah terpisah guna menampung mahasiswa asal Indonesia. Berdirilah Madrasah Dar al-‘Ulum al-Diniyyah pada 1934. Ada sekitar 120 santri Jawa (istilah Jawa saat itu mencakup seluruh kawasan Indonesia, Melayu, bahkan juga Thailand Selatan) yang pindah ke madrasah baru itu, termasuk Syekh Yasin sendiri. Belakangan, Syekh Yasin menjadi mudir atau direktur madrasah tersebut hingga dia wafat pada 1990.

Semasa dia masih hidup, banyak jamaah haji Indonesia yang selalu menyempatkan mampir di madrasah itu. Syekh Yasin juga memelihara relasi dengan sejumlah kiai di Indonesia, bahkan menuliskan semacam “thabaqat/tarajum” atau biografi sejumlah kiai di tanah air.

Dia sempat hadir dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979. Pada kesempatan itulah dia menyempatkan diri untuk mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa Tengah, antara lain pesantren milik kakek saya, KH. Muhammadun, dari Pondohan, Tayu, Pati. Meskipun saya tidak melihatnya sendiri, konon Syekh Yasin menulis tarjamah atau biografi singkat Kiai Muhammadun menurut tradisi thabaqat yang kita kenal dalam khazanah historiografi Islam klasik.

Kunjungan Syekh Yasin ke pesantren kakek saya itu meninggalkan kenangan yang mendalam pada diri saya. Saat itu, saya berumur 13 tahun. Tentu saja saat itu saya belum mengerti mengenai sosok Syekh Yasin, meskipun namanya selalu saya dengar melalui pengajian yang disampaikan oleh ayah saya. Tetapi ribuan orang yang datang ke pesantren kakek saya saat itu untuk betemu dan melihat langsung sosok Syekh Yasin membuat saya berpikir bahwa tentu sosok ini bukanlah main-main.

Di kalangan santri Indonesia, Syekh Yasin dikenal sebagai “benteng” doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di tanah haramain berhadapan dengan kampanye agresif ideologi Wahabi yang disokong oleh pemerintah Saudi. Salah satu bukunya yang dikenal di kalangan pesantren adalah al-Fawa’id al-Janiyyah yang berisi ulasan mengenai kaidah fikih (qawa’id al-fiqh).

Informasi dari Martin van Bruinessen ini menarik karena memperlihatkan sosok Syekh Yasin bukan saja sebagai seorang alim yang mempertahankan doktrin Sunni di tanah haramain, tetapi juga seorang nasionalis yang memiliki kecintaan pada tanah air. Tahun saat madrasah Dar a-‘Ulum itu berdiri, yakni 1934, jelas merupakan periode di mana gerakan-gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan di tanah air sedang mencapai tahap kematangan.

Dengan demikian, kita patut mengenang Syekh Yasin sebagai seorang patriot yang cinta tanah air Indonesia, selain sebagai seorang muhaddits (pakar hadis), dan faqih (ahli mengenai hukum Islam). Hal ini juga memperlihatkan dengan baik sekali bahwa tidak ada pertentangan antara aspirasi nasionalisme dengan ajaran Islam.

Kecintaan pada tanah air yang diperlihatkan oleh seorang alim dengan kaliber seperti Syekh Yasin tentu cukup menjadi bukti bahwa Islam dan nasionalisme bukanah dua hal yang harus dipertentangkan. Semangat inilah yang kemudian dipertahankan oleh Nahdlatul Ulama (NU) hingga sekarang—semangat cinta tanah air. Semangat ini makin relevan untuk digaungkan kembali saat ini di tengah-tengah ramainya sejumlah gerakan Islam yang hendak mendirikan negara khilafah akhir-akhir ini.[]

Syekh Ahmad Khatib Sambas


Guru para Pahlawan Bangsa
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpulan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Perkumpulan thariqah ini merupakan penyatuan dan pengembangan terhadap metode dua thariqat sufi besar. yakni Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.

Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.

Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.

Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.

Guru-guru dan Murid
Di antara guru Ahmad Khatib Sambas semasa menuntut ilmu di tanah suci adalah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani, seorang Syeikh terkenal yang berdomisili di Makkah, dan Syeikh Abdus Shomad al-Palimbani. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami, Ahmad al-Marzuqi al-Makki al-Maliki.

Sedangkan mengingat masa meninggalnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah Oktober 1812 M. setelah mengabdi di tanah air selama empat puluh tahun, dan Beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1820 M. maka tidak mengherankan jika Beliau pun diduga sebagai salah satu guru Ahmad Khatib Sambas. Dalam hemat penulis, sangat mungkin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah guru Beliau sewaktu belum berangkat ke tanah suci.

Pendapat ini setidaknya mematahkan penolakan bahwa Ahmad Katib Sambas tidaklah mungkin pernah bertemu dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Mengingat tradisi nomaden dan situasi politik era perdagangan maritim yang telah dijelaskan sebelumnya, maka sebenarnya sangat mungkin bagi Ahmad Katib Sambas untuk bertemu dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama bersama dengan bimbingan pamannya yang juga adalah seorang ulama.

Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke tanah air.

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur.

Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas.

Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara.

Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Peranan dan Karya
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.

Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.

Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.

Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.

Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.

Umar Abdul Jabbar, menyebut bulan Safar 1217 H (kira-kira bersamaan 1802 M.) sebagai tanggal lahirnya demikian pun Muhammad Sa’id al-Mahmudi. Namun mengenai tahun wafatnya di Mekah, terdapat perbedaan. Abdullah Mirdad Abul Khair menyebut bahwa Syeikh Ahmad Khatib wafat tahun 1280 H. (kira-kira bersamaan 1863 M.), tetapi menurut Umar Abdul Jabbar, pada tahun 1289 H. (kira-kira bersamaan 1872 M.).

Tahun wafat 1280 H. yang disebut oleh Abdullah Mirdad Abul Khair sudah pasti ditolak, karena berdasarkan sebuah manuskrip Fathul Arifin salinan Haji Muhammad Sa'id bin Hasanuddin, Imam Singapura, menyebutkan bahwa Muhammad Sa'ad bin Muhammad Thasin al-Banjari mengambil tariqat (berbaiat) dari gurunya, Syeikh Ahmad Khatib sedang berada di Makkah menjalani khalwat. Manuskrip ini menyebutkan bahwa baiat ini terjadi pada hari Rabu ketujuh bulan Dzulhijjah, tahun 1286 H. Jadi berarti pada tanggal 7 Dzulhijah 1286 H. Syeikh Ahmad Khathib Sambas masih hidup. Oleh tanggal wafat Syeikh Ahmad Khatib Sambas, yang wafat tahun 1289 H. yang disebut oleh Umar Abdul Jabbar lebih mendekati kebenaran. Wallahu A’lam Bisshowab (Syaifullah Amin)

Ibu Hj. Nyai Sholihah Munawwaroh Wahid Hasyim


Ketua Muslimat yang Tak Suka ke Super Market
Ibu Hj. Nyai Sholichah Munawaroh binti KH. Bisri Sansuri adalah keponakan KH. Wahab Hasbullah. Ibunda Sholichah, Ibu Nyai Hj. Nur Chadijah adalah adik kandung KH. Wahab Hasbullah. Sebuah drama menarik seputar pernikahan wanita muda Chadijah dengan pemuda Bisri Sansuri, terjadi di atas sebuah geladak kapal, di pelabuhan Jeddah.

Syahdan, ketika Wahab Hasbullah muda yang energik sedang sibuk untuk mendirikan cabang Sarekat Islam di Arab Saudi, sampailah kabar kepadanya bahwa ibunya sakit, maka ia pun segera kembali ke tanah air. Beberapa bulan kemudian ia sudah merapat kembali di pelabuhan Jeddah. Namun kedatangannya kali ini disertai dengan ibunda dan seorang wanita muda, yakni adiknya yang bernama Chadijah, pengantin baru yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Kedatangannya bersama ibunya ke tanah suci adalah untuk menunaikan ibadah haji dan sebagai pelipur lara sang adik.

Setelah beberapa lama tinggal di tanah suci, oleh Wahab Hasbullah, adiknya ini kemudian dijodohkan dengan temannya. Bisri Sansuri yang telah lama menemani Wahab Hasbullah sejak masih menjadi santri di Kajen, bersedia menikahi adik temannya ini. Namun rupanya Wahab memiliki rencananya sendiri. Setelah acara pernikahan selesai, ia mengutarakan niatnya untuk kembali ke tanah air kepada teman lama yang telah menjadi adik ipar barunya. Namun rupanya Bisri Sansuri berkeinginan juga untuk pulang ke tanah air, ia juga sudah merindukan kampung halamannya. Tetapi Wahab menolaknya, sebesar apa pun keinginan, Bisri sekeras itu pula penolakan Wahab yang menginginkan agar mereka menetap lebih lama lagi di tanah suci.

Karena sama-sama ngotot, Wahab nampak mulai mengalah. Maka mereka pun, Wahab beserta ibunda, adik dan ipar Bisri, berangkat menuju dermaga pemberangkatan kapal. Sesampainya di dermaga mereka berhenti dan hanya menunggu, Bisri mempertanyakan mengapa mereka tidak segera naik, Wahab pun menjawab bahwa mereka semestinya tidak perlu turut pulang. Perdebatan pun kembali terjadi, hingga akhirnya tangga jembatan yang menghubungkan antara kapal dan dermaga diangkat. Ketika peluit pemberangkatan kapal kemudian melengking tinggi, Wahab segera melompat dan berenang menuju tambang kapal yang masih berjuntaian di atas permukaan air. Sementara Bisri kebingungan, ia sangat ingin turut melompat dan mengikuti Wahab kembali ke tanah air, namun bagaimanakah dengan mertua dan istrinya? Rupanya ia perlu beberapa waktu untuk menyadari bahwa tadi, Wahab hanya mengulur waktu saja agar mereka tidak bisa ikut.

Cerita bahwa Bisri "dikerjain" Wahab ini sering disampaikan oleh Gus Dur dalam pengajiannya di Pesantren Ciganjur. Beberapa tahun kemudian mereka kembali ke Tanah air, dan mendirikan pesantren di Denanyar Jombang dengan bekal sebidang tanah dari mertuanya, KH. Hasbullah, ayah Wahab, pengasuh pesantren Tambak Beras. Pernikahan Bisri dan Nur Chadijah ini dikaruniai sepuluh anak, namun yang hidup hingga dewasa hanya empat, salah satunya adalah Munawaroh (Sholichah A. Wahid Hasyim).

Salah satu keberanian kontroversial yang tampaknya kemudian menurun dari KH. Bisri Sansuri kepada anak cucu mereka adalah ketika mereka mendirikan Pesantren Putri di bawah pengawasan langsung Ibu Nyai Hj. Khadijah. Konon di Denanyar inilah cikal bakal pesantren putri di Jawa Timur, yang sebelumnya belum lazim didirikan.

Masa kecil dan Pernikahan

Munawaroh lahir di Jombang 11 oktober 1922 sebagai seorang anak Kyai pengasuh pesantren. Neng Waroh (panggilan kecilnya) dididik dalam lingkungan keagamaan yang ketat, namun keberaniannya telah terlihat sejak kecil. Neng Waroh sering menyelinap melihat prosesi pemakaman orang-orang Cina di bong dekat pesantrennya, baik sendirian maupun mengajak teman-temannya. Ia juga sangat mahir memanjat pohon, sesuatu yang tidak lazim bagi anak putri. Kenakalan masa kecilnya ini berakhir ketika ia dinikahkan dengan Abdurrachim, putera KH. Cholil, Singosari, pada usia 14 tahun. Pernikahan pertamanya ini hanya berumur satu bulan karena suaminya meninggal.

Dua tahun kemudian, 10 Syawal 1356 H./1938 M. ia dinikahkan lagi dengan Abdul Wahid, putera sulung KH. Hasyim asy'ari, dan diboyong ke Tebu Ireng. Maka sejak inilah kehidupan Munawaroh menapak babak baru, entah bagamana selanjutnya ia lebih di kenal sebagai Ibu Sholichah, Nyonya Wahid.

Sejak tinggal di Tebu Ireng inilah ia mulai aktif di pengajian-pengajian masyarakat, membuka ranting-ranting Muslimat NU baru dan terlibat di Fujinkai yang membuatnya terlibat dengan banyak kalangan. Salah satu sisi penting dari kehadiran Sholichah adalah "mengganti baju" Fujinkai, dengan dipenuhi "badge" kemuslimatan. Di mana kegiatan-kegiatannya diisi dengan pengajian dan kursus-kursus kemandirian perempuan.

Dalam situasi perang, sebagai istri seorang tokoh nasional, aktifitas Sholichah adalah membantu para pejuang dengan mendirikan dapur umum di dekat pabrik gula Cukir. Menyelamatkan dokumen-dokumen rahasia ketika suaminya dikejar-kejar Belanda, termasuk menyamar menjadi babu.

Sejak Januari 1950 ketika terjadi penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, Sholichah mulai meninggalkan Jombang karena harus mengikuti kepindahan suaminya yang dipercaya untuk menduduki jabatan Menteri Agama. Pada masa-masa ini A. Wahid Hasyim dan istri lebih dapat sering berkumpul sebagai sebuah keluarga. Namun kesempatan dan keutuhan ini tidak berlangsung lama, tiga tahun kemudian, A. Wahid Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di daerah Bandung, sementara Sholichah baru berumur tiga puluh tahun.

Bertahan di Jakarta

Semenjak ditinggalkan oleh almarhum KH. Wahid Hasyim, sebagai janda dengan enam orang anak yang masih kecil-kecil tentu terasa sangat berat hidup di Jakarta. Dari sini banyak tawaran mengajaknya kembali saja ke kampung halaman, Jombang Jawa Timur. Namun mengingat pesan almarhum suaminya yang menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat dididik untuk menjadi orang-orang yang dapat diandalkan untuk memperjuangkan bangsanya, Sholichah menyatakan tekadnya untuk bertahan di Jakarta. Tawaran ini juga datang dari orang tua Beliau, KH Bisri Sansuri. Ia meneguhkan dirinya tetap menempati rumah peninggalan suaminya, Jalan Amir Hamzah nomer 8 Matraman Jakarta Pusat.

Lalu bagaimanakah caranya agar cita-cita almarhum suaminya dapat diwujudkan? Sementara ia hanyalah seorang janda? Maka ia pun mulai berusaha mempertahankan kehidupannya di Jakarta. Ny. Sholichah kemudian mengajukan ijin dagang beras kepada Walikota Jakarta yang kala itu dijabat oleh Syamsurijal. Setelah mendapatkan ijin, ia mencoba mengembangkan pangsa pasarnya dengan mendapatkan hak untuk memasok kebutuhan Departemen Sosial dan Departemen Agama.

Ia juga membuka usaha jual beli mobil secon yang pada waktu itu disebut sebagai catut mobil. Serta menjadi subrevelansir bahan-bahan bangunan dalam proyek pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok. Ia mendatangkan pasir dan bambu-bambu dari daerah untk dijual kepada pelaksana di sana, yakni PT Sitra dari Perancis. Dengan demikian ia dapat membiayai pendidikan putera-puterinya hingga ada yang dikuliahkan ke ITB, Pesantren Tegal Rejo serta ke Mesir dan lain-lain dengan topangan perekonomian yang dirintisnya sendiri dari awal.


Perjuangan dan Keorganisasian

Selanjutnya, Sholicah terus melanjutkan perjuangannya dengan berkecimpung di dunia politik melalui NU, turut membesarkan NU di Jakarta dan terpilih sebagai anggota DPRD mewakili NU hingga ketika NU harus berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan.

Sejak saat itu, Ibu Sholichah mulai menjalani berbagai aktivitas. Beraneka ragam kegiatan dijalaninya, mulai dari menjadi Anggota Pimpinan Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU sejak 1959 sampai meninggal.

Menurut Mahmudah Mawardi, teman seperjuangannya di PP Muslimat NU, Sholichah adalah sosok yang berpikiran maju, menjadi salah satu motor penggerak Muslimat NU serta dicintai oleh anggota. Ia bukan hanya pandai menganjurkan, melainkan juga senantiasa lebih dahulu memberikan contoh atas anjuran-anjurannya, termasuk banyak sekali mengorbankan hak-haknya untuk kemajuan dan perkembangan organisasi, dalam hal ini Muslimat NU.

Ketika NU menjadi partai, Sholichah aktif dalam berbagai kegiatan Muslimat NU. Ketika NU berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, ia tetap menjadi anggota legislatif (1978-1987). Sempat aktif dalam kegiatan Yayasan Dana Bantuan, sejak 1958 sampai akhir hayatnya. Terlibat aktif dalam mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta mendirikan Panti Harapan Remaja, Jakarta Timur (1976).

Dalam bidang kegiatan keagamaan, Ibu Sholichah mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1978), Pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), Majlis Taklim Masjid Jami Matraman.

Salah satu sifat paling menonjol dalam diri Solichah adalah rasa sosial dan kedermawanannya. Dalam banyak hal, ia cenderung mengedepankan kepentingan orang-orang lain, terutama kepada mereka yang tergolong kurang beruntung secara ekonomi. Rasa sosialnya ini nyata terlihat ketika Beliau dipercaya untuk membina badan sosial Muslimat. Dalam pembinaannya, bersama dengan kekompakan teman-teman seangkatannya seperti Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah Syahroni, badan sosial Muslimat mencatat banyak sekali kemajuan. Antara lain dengan mendirikan Rumah bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik KB dan memberikan bea siswa kepada putera-puteri NU yang terlantar, serta kunjungan-kunjungan berkesinambungan kepada panti-panti sosial lain di daerah.

Para cucu menceritakan bahwa Nenek mereka ini hampir-hampir tidak pernah berbelanja di super market, langganan belanja untuk kebutuhan sehari-harinya adalah pasar cikini, meskipun ia adalah anggota DPR.

Selain itu pada saat yang sama, Sholichah juga aktif beraktivitas di perkumpulan "Bunga Kemboja", yakni sebuah organisasi sosial yang khusus menangani masalah jenazah dan penguburan di Jakarta. Bersama-sama dengan Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu Anie Walandaoe (golongan Kristen) dan Mr. Hamid Algadri (dianggap sebagai wakil golongan sosialis), beliau mendirikan yayasan tersebut sebagai bukti sosial yang tentu saja "hanya" berlaku bagi kalangan menengah-atas ibu kota saja.

Karena keaktifan dan prestasinya dalam berorganiasasi, maka sejak 1957 Ibu Sholicah telah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta (1957), Anggota DPR-GR/MPRS (1960) anggota DPR/MPR (1971-1987).

Selama menjadi DPR, sebagai seorang janda mendiang menteri agama, Sholichah Wahid tidak menunjukkan keangkuhan sedikit pun, ia senantiasa berbaur bersama masyarakat tanpa pernah ingin disambut sebagai janda mantan pejabat tinggi negara atau menunjukkan rasa ingin dihormati. Ia senantiasa tidur seadanya di tempat yang telah disediakan oleh panitia (bukan di hotel). Tanpa mengalami perubahan apa pun baik sebelum suaminya menjadi menteri agama, selama ia sebagai istri menteri maupun setelah ia berstatus sebagai janda mendiang menteri agama.

Bukan hanya mau berkecimpung di organisasi pada level nasional atau pusat saja, melainkan juga tetap bersedia aktif membimbing beberapa organisasi di tinkat yang terendah seperti PKK di kelurahan dan RT/RW tempat tinggalnya.

Bersama dengan teman-temannya, ia juga mendirikan Yayasan al-Islah di Kebayoran Baru untuk mengelola yatim puiatu dan anak-anak tidak mampu lainnya.

Seabrek kegiatan organisasi lain yang dijalaninya adalah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Sosial RI (1958). Bendahara BKS-Wamil (Badan Kerjasama Wanita Militer)/Front Nasional Pembebasan Irian Barat (1958), anggota Palang Merah Indonesia (1950), Anggota Pimpinan Yayasan Dana Bantuan Departemen Sosial RI. Anggota pimpinan Kowani wakil dari Muslimat NU (1960).

Salah satu bukti perhatiannya kepada perkembangan keislaman di tingkat lokal adalah masjid peninggalannya di Ciganjur. Yang dinamai al-Munawwaroh, nama kecilnya. Masjid ini didirikan pada mulanya dengan swadaya dan bantuan masyarakat sekitar, namun dalam perkembangannya, pembangunan ini mendapatkan sumbangan dari Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Di mana menurut penduduk setempat, mereka banyak sekali menerima wejangan dari Ibu Sholichah agar berjanji untuk selalu memakmurkannya hingga kelak jika ia meninggal dunia.

Rupanya Sholichah ingin mendobrak stigma negatif mengenai adanya pandangan bahwa tradisi perempuan-perempuan pesantren adalah pribadi yang apatis dan hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) saja, apalagi kok terhadap dunia politik. Dalam hal ini ia berhasil menepis stigma-stigma miring seputar peran perempuan pesantren. Melalui aktivitasnya tersebut, ia ingin menyadarkan kepada khalayak, "Ini lho bukti bahwa perempuan pesantren tak kalah bersaing dengan perempuan kota atau pun laki-laki."

Masa G30.S

Selama masa-masa pergolakan pemberontakan gerakan G30.S Sholichah merupakan salah satu penandatangan pernyataan pengganyangan terhadap PKI yang disebut-sebut sebagai dalang dari segala peristiwa tersebut. Bahkan menurutnya, Muslimat NU-lah yang terlebih dahulu memiliki ide dan pernyataan pengganyangan ini, namun demi efektivitas aksi, akhirnya pernyataan ini diatasnamakan pada PBNU. Hal ini karena menurutnya, Muslimat telah terlebih dahulu mengeluarkan pernyataannya pada tanggal 3 Oktober 1965, sedangkan PBNU baru mengeluarkan pernyataan senada pada tangal 5 Oktober 1965 bersama-sama dengan ormas-ormas lain. Sholichah-lah yang pertama kali mengeluarkan pernyataan pengganyangan melalui siaran RRI.

Sholichah bersama-sama dengan Subhan ZE, pemimpin Front Pancasila dan Kesatuan Aksi Pengganyangan G30.S bahu-membahu untuk mengkonsolidasikan kekuatan demi mengganyang PKI. Meski rumah Subhan yang dijadikan markas pengganyangan, namun secara spesifik markas pengganyangan PKI PBNU berada di kediaman Sholichah. Di sana sekaligus berfungsi sebagai dapur umum. Rumahnya-lah yang dianggap paling aman saat itu, karena letaknya berdekatan dengan rumah Jenderal Alamsyah yang merupakan orang dekat Soeharto, Komandan Kostrad yang merupakan pemegang komando resmi pengganyangan.

Selaku ketua pusat Muslimat, ia adalah orang pertama yang membubuhkan tanda tangan di atas surat pernyataan yang berisi kecaman terhadap aksi kekerasan tersebut. Bahkan, beberapa orang mengatakan, "Andai Sholichah tidak mengawali tanda tangan, sangat mungkin PBNU tidak mengeluarkan pernyataan sikap."

Paling Berkesan

Menurut penuturannya kepada majalah Risalah Islamiyah tahun 1977, hal paling berkesan dalam hidupnya adalah pidatonya di depan sidang badan pekerja MPRS 1967 dalam rangka memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden RI. Ia mengatakan bahwa "Bungkarno adalah orang yang berjasa dan pejuang yang tidak diragukan lagi. Tetapi manusia bisa khilaf, bersifat terbatas dan tidak dapat terlepas dari kesalahan, karenanya, saya mengusulkan untuk memberhentikan Bung Karno dari Jabatan Presiden." Katanya waktu itu. Kesempatan inilah menurut pengakuannya, menjadi hal paling berkesan yang pernah dilakukannya.

Sementara menurut KH. Abdurrahman Wahid, putera sulungnya yang mantan presiden RI keempat, menyatakan bahwa hal paling berkesan dari ibundanya ini adalah, kegigihannya dalam bersilaturrahmi. Termasuk adalah ketika Ibu Sholichah harus berkeliling ke seluruh pulau Jawa untuk meminta tanda tangan dari para kiyai untuk pernyataan ketidakterlibatan adik iparnya, Yusuf Hasyim, dalam gerakan DI/TII. Saat itu Yusuf Hasyim sedang dalam tahanan Polisi Militer. Bahwa Beliau adalah "Anak Jaman" yang sangat rajin bersilahturahmi, di samping memberikan "sumbangan" besar dalam menegakkan kerukunan antar golongan setelah mencapai kemerdekaan.

Ibu Sholichah al-Munawwarah (nama yang dikenal di Ciganjur sekarang) wafat pada 9 Juli 1994 di RSCM dan dikebumikan di pemakaman keluarga, Komplek Pesantren Tebu Ireng Jombang. Semoga perjuangan dan dharma bhaktinya dapat kita teladani dan arwahnya diterima di sisi Allah SWT. (Syaifullah Amin)

Syekh Yasin Al-Fadani


Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani lahir di kota Mekah pada tahun 1915 dan wafat pada tahun 1990. beliau adalah ulama besar yang pernah sekolah di Madrasah Shaulatiyyah. Beliau adalah pencetus ide berdirinya Madrasah Darul-Ulũm sekaligus menjadi murid pertama madrasah itu.
Konon sebab tercetusnya ide membangun Madrasah tersebut disebabkan karena tindakan dan perlakuan direktur Madrasah Shaulatiyyah yang sangat menyinggung (hususnya) pelajar yang kebanyakan dari Asia Tenggara saat itu. Hal ini terbukti dengan berpindahnya 120 orang pelajar dari Shaulatiyyah ke Madrasah Darul-Ulum yang baru didirikan. Ini hampir tidak pernah dialami oleh Madrasah-madrasah yang baru dibuka mendapat murid yang begitu banyak sebagaimana Darul-Ulũm.
Dalam sebuah situs(1) dinyatakan bahwa pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orang Indonesia, guru dan murid ‘Jawah’ telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan madrasah Darul Ulum di Makkah.
Mengenai kesehari-harian beliau, dari cerita yang saya dengar dari ayah saya, yaitu Ustaz Sukarnawadi H. Husnuddu’at: “Syekh Yasin orangnya santai, sederhana, tidak menampakkan diri, sering muncul menggunakan kaos biasa, sarung, dan sering nongkrong di “Gahwaji” untuk Nyisyah (menghisap rokok arab)… tak seorangpun yang berani mencela beliau karena kekayaan ilmu yang beliau miliki… Yang ingkar kepada beliau hanyalah orang-orang yang lebih mengutamakan tampang zahir daripada yang bathin…

PUJIAN PARA ULAMA:
Syekh Zakaria Abdullah Bila teman dekat pendiri Nahdlatul Wathan yaitu Syekh M. Zainuddin pernah berkata, “waktu saya mengajar Qawa’idul-Fiqhi di Shaulatiyyah, seringkali mendapat kesulitan yang memaksa saya membolak balik kitab-kitab yang besar untuk memecahkan kesulitan tersebut. Namun setelah terbit kitab Al-Fawa’idul-Janiah karangan Syekh Yasin… menjadi mudahlah semua itu, dan ringanlah beban dalam mengajar.
Seorang ahli Hadits bernama Sayyid Abdul Aziz Al-Qumari pernah memuji dan menjuluki beliau sebagai kebanggaan Ulama Haramain dan sebagai Muhaddits.
Doctor Abdul Wahhab bin Abu Sulaiman (Dosen Dirasatul ‘Ulya Universitas Ummul Qura) di dalam kitab: الجواهر الثمينة في بيان أدلة عالم المدينة berkata: Syekh Yasin adalah Muhaddits, Faqih, Mudir Madrasah Darul-Ulum, pengarang banyak kitab dan salah satu Ulama Masjid Al-Haram…
Syekh Umar Abdul-Jabbar berkata didalam surat kabar Al-Bilad (jumat 24 Dzulqaidah 1379H/ 1960M): “…bahkan yang terbesar dari amal bakti Syekh Yasin adalah membuka madrasah putri pada tahun 1362H. Dimana dalam perjalanannya selalu ada rintangan, namun beliau dapat mengatasinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan…
Assayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal sebagai Mufti negeri Murawah Yaman saat itu, mengarang sebuah syiir yang panjang husus untuk memuji Syekh Yasin Al-Fadani Berikut saya nukilkan satu bait saja yang berbunyi:

أنت في العلم والمعاني فريد…… وبعقد الفخار أنت الوحيد

“Engkau tak ada taranya dalam ilmu dan hakekat, Dibangun orang kejayaan kaulah satu-satunya yang jaya”

Doctor Yusuf Abdurrazzaq sebagai dosen kuliah Ushuluddin Universitas Al-Azhar cairo juga memuji beliau dengan perkataan dan syiir yang panjang, saya nukilkan satu bait saja yang bunyinya:

أنت فينا بقية من كرام……لا ترى العين مثلهم إنسانا

“Engkau di tengah kami orang terpilih dari orang terhormat, tak pernah mata melihat manusia seumpama mereka.”

Ustaz Fadhal bin M. bin Iwadh Attarimi-pun berkata:

فيا طالب العلم لب نداء……ياسين وافرح بهذا القرى

“Wahai pencari ilmu sambutlah panggilan Yasin, bergembiralah dengan sajian yang ia sajikan,”

Doctor Ali Jum’ah yang menjabat sebagai Mufti Mesir dalam kitab Hasyiah Al-Imam Al-Baijuri Ala Jauharatittauhid yang ditahqiqnya, pada halaman 8 mengaku pernah menerima Ijazah Sanad Hadits Hasyiah tersebut dari Syekh Yasin yang digelarinya sebagai مسند الدنيا Musnid Addunia…
Al-Habib Assayyid Segaf bin Muhammad Assagaf seorang tokoh pendidik di Hadramaut (pada tahun 1373H) menceritakan kekaguman beliau terhadap Syekh Yasin, dan menjulukinya sabagai “Sayuthiyyu Zamanihi”. Beliau juga mengarang sebuah syiir untuk memuji beliau, berikut saya nukilkan dua bait saja yang bunyinya sebagai berikut:

لله درك يا ياسين من رجل……أم القرى أنت قاضيها ومفتيها
في كل فن وموضوع لقد كتبا ……يداك ما أثلج الألباب يحديها

“Bagus perbuatanmu hai Yasin engkau seorang tokoh,
dari Ummul Qura engkau Qhadi dan Muftinya.”
“Setiap pandan judul ilmu tertulis dengan dua tanganmu,
Alangkah sejuknya akal pikiran rasa terhibur olehnya.”

Assayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki sebagai guru Madrasah Al-Falah dan Masjid Al-Haram, Syekh M. Mamduh Al-Mishri dan Al-Habib Ali bin Syekh Balfaqih Siun Hadramaut dan Ulama lainnya, pernah memuji karangan-karangan beliau…
Doctor Yahya Al-Gautsani bercerita, pernah ia menghadiri majlis Syekh Yasin untuk mengkhatam Sunan Abu Daud. Ketika itu hadir pula Muhaddits Al-Magrib Syekh Sayyid Abdullah bin Asshiddiq Al-Gumari dan Syekh Abdussubhan Al-Barmawi dan Syekh Abdul-Fattah Rawah.
H.M.Abrar Dahlan berkata: “yang membuat beliau lepas dari sorotan publikasi ialah karena ia telah menjadi lambang Ulama Saudi yang “bukan Wahabi” yang tersisa di Makkah. Walaupun begitu ia diakui juga oleh ulama Wahabi sebagai Ulama yang bersih dan tidak pernah menyerang kaum Wahabi… Seorang tokoh agama Najid dari Ibukota Riyadh (Pusat Paham Wahabi) yaitu Jasim bin Sulaiman Addausari pada tahun 1406H pernah berkata:

أبلغوا مني سلاما من صبا نجد……ذكيالأبي الفيض فداني
مسند الوقت بعيد عن نزول……هابط أما لما يعلو فداني
فدى أسر الروايات فلوتنطق……لقالت: علم الدين فداني

KARYA TULIS & MURID-MURID BELIAU:
Jumlah karya beliau mencapai 97 Kitab, di antaranya 9 kitab tentang Ilmu Hadits, 25 kitab tentang Ilmu dan Ushul fiqih, 36 buku tentang ilmu Falak, dan sisanya tentang Ilmu-ilmu yang lain…
Di antara murid-murid yang pernah berguru dan mengambil Ijazah sanad-sanad Hadits dari beliau adalah Al-Habib Umar bin Muhammad (Yaman), Syekh M. Ali Asshabuni (Syam), Doctor M. Hasan Addimasyqi, Syekh Isma’il Zain Alyamani, Doctor Ali Jum’ah (Mesir), Syekh Hasan Qathirji, Tuan Guru H. M. Zaini Abdul-Ghani (Kalimantan) dll…
Dan di antara murid-murid beliau yang di samping mengambil Sanad Hadits, mendapatkan Ijazah ‘Ammah dan Khasshah, juga diberi izin untuk mengajar di Madrasah Darul-Ulum adalah: H. Sayyid Hamid Al-Kaff, Dr. Muslim Nasution, H.Ahmad Damanhuri, H.M.Yusuf Hasyim, H.M. Abrar Dahlan, Dr. Sayyid Aqil Husain Al Munawwar, Ayah saya sendiri yaitu Ustaz Sukarnawadi KH. Husnuddu’at dll…
Ayah saya pernah bercerita, seseorang bernama H.Abdul-Aziz asal Jeruwaru Lombok NTB pernah mendatangi Syekh Yasin untuk meminta bai’at, izin serta restu untuk menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyyah… ketika itu Syekh Yasin memberi satu syarat, yaitu, ayah saya harus turut dibai’at, karena ayah saya di samping menjadi Guru yang lama mengajar di Madrasah Darul-Ulum, (dari tahun 1978 sampai 1990) juga sebagai salah satu dari sekian murid yang selalu diberikan bimbingan dan perhatian khusus… maka yang mendapat izin dari beliau untuk menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyyah yang berasal dari Lombok saat itu hanyalah Ayah saya dan H.Abdul Aziz…
Ayah saya sebagai warga, bahkan tokoh NW (ketika pulang ke lombok) menceritakan hal itu kepada pendiri Nahdlatul Wathan, yaitu Syekh M. Zainuddin, dan beliaupun tidak mengingkari hal tersebut, bahkan beliau merestui, memberikan Ijazah dan doa yang khusus serta harapan agar di samping itu tetap berjuang membela NW…

KEKERAMATAN BELIAU:
Seseorang bernama Zakariyya Thalib asal Syiria pernah mendatangi rumah Syekh Yasin Pada hari jumat. Ketika Azan jumat dikumandangkan, Syekh Yasin masih saja di rumah, ahirnya Zakariyya keluar dan solat di masjid terdekat. Seusai solat jum’at, ia menemui seorang kawan, Zakariyyapun bercerita pada temannya bahwa Syekh Yasin ra. tidak solat Jum’at. Namun dibantah oleh temannya karena kata temannya, “kami sama-sama Syekh solat di Nuzhah, yaitu di Masjid Syekh Hasan Massyat ra. yang jaraknya jauh sekali dari rumah beliau”…
H.M.Abrar Dahlan bercerita, suatu hari Syekh Yasin pernah menyuruh saya membikin Syai (teh) dan Syesah (yang biasa diisap dengan tembakaudari buah-buahan/rokok teradisi bangsa arab). Setalah saya bikinkan dan syekh mulai meminum teh, saya keluar menuju Masjidil-Haram. Ketika kembali, saya melihat Syekh Yasin baru pulang mengajar dari Masjid Al-Haram dengan membawa beberapa kitab… saya menjadi heran, anehnya tadi di rumah menyuruh saya bikin teh, sekarang beliau baru pulang dari masjid.
Dikisahkan ketika K.H.Abdul Hamid di Jakarta sedang mengajar dalam ilmu fiqih “bab diyat”, beliau menemukan kesulitan dalam suatu hal sehingga pengajian terhenti karenanya… malam hari itu juga, beliau menerima sepucuk surat dari Syekh Yasin, ternyata isi surat itu adalah jawaban kesulitan yang dihadapinya. Iapun merasa heran, dari mana Syekh Yasin tahu…? Sedangkan K.H.Abdul Hamid sendiri tidak pernah menanyakan kepada siapapun tentang kesulitan ini..!
Ketika ayah saya tamat Darul-Uulum (Aliah), beliau dilarang oleh Syekh Yasin untuk melanjutkan studinya di Universitas manapun, ayah saya diperintahkan untuk mengabdi di Darul-Ulum. Sedangkan mata pelajaran yang pernah dipegang oleh ayah saya sejak tahun 1978 hingga 1990 adalah Hadits, Fiqih, Tauhid, Tarikh dan Geografi. Di samping itu Syekh Yasin pernah berdo’a untuk ayah saya agar menjadi seorang penulis… kekeramatan do’a beliau dapat dirasakan sendiri oleh ayah saya. Walaupun sibuk dalam pekerjaannya sebagai guru dan pegawai di kantor, namun beliau selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dan kini tulisan beliau sudah mencapai 24 judul. Yang sudah dicetak sampai saat ini baru 12 judul saja… Ayah saya berkata pada saya, “ini berkat do’a restu Syekh Yasin dan Syekh Zainuddin” Oleh karena itu Ayah saya berpesan agar kami di Mesir, juga mencari seorang guru yang benar-benar pewaris Nabi, agar mendapatkan barokah do’a restu serta barokah ilmunya…
H.Mukhtaruddin asal Palembang bercerita, pernah ketika pak Soeharto sedang sakit mata, beliau mengirim satu pesawat khusus untuk menjemput Syekh Yasin. Ahirnya pak Soehartopun sembuh berkat do’a beliau. Kisah ini selanjutnya didengar sendiri oleh ayah saya dari Syekh Yasin.
Semoga Allah swt. merahmati beliau, amin ya Rabbal-Alamin….
________________________________________________________
(*)Ayahanda Ustaz Sukarnawadi H.Husnuddu’at dan buku “Riwayat Singkat” karangan H.M.Abrar Dahlan adalah rujukan utama saya dalam penulisan ini…
(*)Penulis pernah sekolah selama satu tahun di kelas 1 Madrasah Ibtida’iyyah Darul-Ulum Makkah, kemudian pindah ke Madrasah Syua’ul-Ma’rifah Aziziyyah Makkah…

Habib Lutfi: Gus Dur Orang Saleh

Ketua Umum Jamiyyah Ahlut Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah Habib Lutfi bin Yahya mengaku tidak bisa menyimpulkan apakah Gus Dur wali atau bukan, tetapi ia yakin Gus Dur orang yang sholeh.

“Yang tahu wali hanya wali dan saya husnudhon billah beliau orang yang sholeh,” katanya seusai memberi tausiyah Maulid Nabi yang diselenggarakan Ansor NU Kamis (17/2) malam lalu.

Ia menjelaskan, kesalehan atau kewalian seseorang tidak bisa diukur atau dibandingkan layaknya emas berapa karat.

“Sholeh ya sholeh, kesalehan seseorang tidak bisa kita ukur, apalagi keauliaan. Tinggal prasangka baik kita, apalagi Gus Dur yang sudah berbuat untuk umat ini, untuk bangsa ini,” tandasnya.

Bagi banyak orang, Habib Lutfi sendiri dianggap sebagai wali, entah benar atau salah, tetapi dalam setiap pengajian yang dihadirinya, massa selalu berusaha memberi hormat kepadanya dengan mencium tangannya.

Dalam Munas Jatman yang dihadiri oleh Presiden SBY, yang berlangsung Juni, 2008 lalu di Asrama Haji Pondok Gede, para tukang foto mengeluh jualannya tidak laku untuk pose-pose yang berdampingan dengan Presiden sebagaimana biasanya. Para peserta ternyata lebih memilih berfoto bersama Habib Lutfi. Ia lebih dihormati daripada pejabat tertinggi negara. (mkf)

Tuan Guru Turmudzi Uji Kewalian Gus Dur

Ulama terkemuka dari Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Turmudzi Badruddin merupakan sahabat Gus Dur, dan orang yang sangat mempercayai kewalian Gus Dur, bahkan, ia sempat menguji, apakah Gus Dur termasuk wali atau bukan.

Bagaimana ia menguji kewalian Gus Dur? Kisahnya bermula ketika Gus Dur meninggal dunia. Berita meninggalnya Gus Dur sekitar pukul 7 malam 30 Desember 2011 itu dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan seluruh masyarakat pun terkejut akan kejadian tersebut.

Ia bersama dengan rombongan malam itu pun langsung mencari tiket untuk penerbangan esok hari ke Surabaya untuk mengikuti pemakaman Gus Dur di Jombang. Kebetulan sekali, tibanya pesawat jenazah Gus Dur dari Jakarta dan penerbangan dari NTB hampir berbarengan.

Dengan pengawalan, jenazah Gus Dur bisa melaju cepat dari Surabaya ke Jombang, sementara ia mengikuti dari belakang rombongan tersebut.

Sayangnya, begitu memasuki Jombang mobil rombongan yang ditumpangi ketinggalan jauh dari mobil jenazah Gus Dur karena tumpah ruahnya para peziarah yang memasuki Jombang.

Kemacetan pun sangat parah, mobil-mobil semuanya menuju pesantren Tebuireng, untuk mengikuti prosesi pemakaman. Karena sudah tidak bisa berbuat apa-apa, ia pun mengajak teman-temannya berdoa.

“Mari kita baca surat Alfatihah, jika Gus Dur benar-benar wali, maka kita akan diberi kemudahan,” katanya ketika berbincang dengan NU Online disela-sela rapat pleno PBNU di kompleks pesantren Krapyak Yogyakarta.

Tiba-tiba saja, terdapat motor pengawalan (forider), yang memintanya untuk cepat-cepat bergerak sehingga ia dengan lancar dapat memasuki kompleks pesantren dengan gampang dan setelah itu, motor pengawal tersebut pun menghilang. (mkf)

Sumber : NU Online