Sabtu, 07 Januari 2012

Desa Kedung Cangkring Lahirkan Tokoh Dan Ulama Besar

Desa Kedung Cangkring, Kecamatan Jabon, cukup populer di kalangan masyarakat Sidoarjo. Secara geografis, daerah pinggiran Sungai Porong berbatasan dengan Gempol, Pasuruan, itu menjadi saksi bisu perjalanan aulia dan ulama berdakwah melalui arus Kali Brantas.

Wilayah strategis melalui jalur transportasi Kali Brantas (Sungai Porong) menuju Surabaya, Madura, dan Pasuruan, zaman dulu dari turun temurun terus melahirkan tokoh dan kiai besar. Sebagian masyarakat menyebut Kedung Cangkring sebagai ”Kota Santri”. Beberapa kiai yang lahir di Kedung Cangkring dan terkenal pada zamannya, di antaranya adalah KH Siroj Kholil, mempunyai anak KH A. Rofiq Siroj, kini Rois Suryah PC NU Sidoarjo. Juga ada KH Arruqot, seorang ulama yang cukup terkenal pada zamannya. Mempunyai menantu KH Hayyun, ia mempunyai anak KH Charor, kini pengasuh Pondok Pesantren Arraudloh, Kedung Cangkring.

Bahkan, dulu sekitar tahun 1980-an, di Kedung Cangkring ada seorang ulama biasa, tetapi terkenal sebagai ahli istikharoh. Ia adalah Kiai Khusnan, yang akrab disapa Pak Khusnan. Dikatakan ulama biasa, karena sehari-harinya ia bekerja mbatik pada mertuanya, KH Asmuni Umar, H Jamian. KH Asmuni, adalah mantan Ketua PC NU Sidoarjo, sebelum KH Abdy Manaf. Menurut cerita KH Asmuni, sosok Pak Khusnan, selain sehari-hari bekerja sebagai pembatik, ia banyak dimintai tolong masayarakat sekitar untuk mengistikhorohkan sesuatu.

Sebelum lahir pemikiran KH Ahmad Siddiq tentang perlunya NU kembali ke Khittah 1926, kondisi NU begitu menegangkan. ”Terjadi kebuntuan komunikasi politik yang begitu hebat antara kubu KH Idham Kholid (Ketua Umum PB NU waktu itu), yang menghendaki NU menjadi partai politik dan kubu KH As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Salafiyah Syafiiyah Asembagus, Situbondo) yang menghendaki NU kembali ke khittah. Nah, di tengah-tengah kebuntuhan itulah, KH Mujib Ridwan (Surabaya), anak dari KH Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU), menemui Pak Khusnan, untuk meminta tolong istikhoroh atas persoalan NU yang tidak menentu,” cerita Kiai Asmuni.

Isyarat yang didapat dari istikharoh Pak Khusnan waktu itu, lanjut Asmuni, PB NU harus bersifat tegas dan berani dalam menentukan sikap terhadap sesuatu yang diyakini benar dan manfaatnya jelas bagi NU, meski harus berbeda pandangan dengan salah satu kelompok. ’’Isyaratnya berupa kereta yang melaju kencang. Demikian cerita KH Mujib Ridwan kepada saya. Setelah dari Pak Khusnan, Kiai Mujib Ridwan waktu itu mampir ke saya. Dan cerita panjang lebar hasil istikhorohnya Pak Khusnan, dan kondisi terkini (pada waktu itu) NU,’’ jelasnya.

Hasil istikharoh Pak Khusnan itu kemudian dibawa oleh Kiai Mujib kepada KH As’ad. ’’Itu menjadi salah satu inspirasi atau sumber keberanian PBNU kubu KH As’ad Syamsul Arifin untuk berani menentukan sikap NU kembali ke khittah, selain juga ada pemikiran brilian dari KH Ahmad Siddiq soal khittah NU,’’ terang Kiai Asmuni. KH Mujib Ridwan mengetahui bahwa Pak Khusnan mempunyai keahlian istikharoh dari mbaknya, Fatimah, yang juga tinggal di Kedung Cangkring, yang dinikahi oleh H Masduqi.

Batik Corak Mongolia

Selain banyak melahirkan tokoh dan ulama besar, ada juga yang menyebut Kedung Cangkring sebagai ”kota lama”. Dilihat dari tata letak dan bangunan rumah, sudah dapat diduga bahwa Kedung Cangkring merupakan ”Kota Tua” di Sidoarjo. Rumah-rumah di Kedung Cangkring, telah berdiri berdempet-dempetan, yang mengisaratkan, bahwa sebelum Sidoarjo, di Kedung Cangkring, peradaban telah lahir lebih dulu. Kedung Cangkring menjadi pusat ekonomi atau perdagangan karena letaknya yang dekat dengan kali porong, sebuah jalur transportasi zaman dulu.

H Muhammad Mubin, 68, seorang tokoh di Desa Kedung Cangkring membenarkan pendapat tersebut. Menurutnya, itu bisa dibuktikan dengan beberapa tiang listrik yang berdiri di Desa Kedung cangkring. ”Tiang listrik yang ada di Desa Kedung Cangkring itu berdiri sejak tahun 1800 an. Disamping itu, di depan dan sebelah timur rumah saya itu berdiri rumah sekitar tahun 1800 an. Dulu, di depan rumah saya itu bentuk rumahnya seperti bangunan China,” tuturnya.

H Mubin, bahkan berpendapat, bahwa Desa Kedung Cangkring itu lahir sebelum penjajahan Belanda Masuk di Kedung Cangkring. Pendapat H. Mubin tersebut dikuatkan melalui cerita Mbahnya, Ma’ani. Ma’ani adalah wanita ras mongolia (orang-orang Kedung Cangkring menyebut China, karena wajahnya yang mirip China) yang lahir dan besar di Kedung Cangkring, yang pada saat itu sebagai juragan Batik di Kedung Cangkring.

Mubin lahir di Kedung Cangkring, 12 April 1940 lalu. H. Mubin kini bekerja sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Ma’arif NU Kedung Cangkring, Avisena. Ibunya bernama Umi Kalsum binti Ma’ani (ras Mongolia yang lahir di Kedung Cangkring sekitar tahun 1800 an). Umi Kalsum menikah dengan H. Jami’an. Hasil pernikahan Umi Kalsum dengan H. Jamian, mempunyai anak 2. 1. H. Mubin, 2. Nadlifah (menikah dengan KH. Asmuni Umar). Mertuanya H. Mubin adalah KH. Abdul Aziz. Disamping Umi Kalsum , Ma’ani juga punya anak namanya Salma.

’’Waktu saya masih kecil, mbah saya, Ma’ani sudah berumur ratusan tahun. Tidak terlalu banyak yang saya tanyakan kepada Mbah saya dulu, karena waktu itu saya masih kecil. Saya hanya mengingat cerita Mbah Ma’ani tentang kenapa orang-orang Mongolia tinggal di Kedung Cangkring, dan beranak pinak sampai sekarang,” cerita H. Mubin mengenang.

Dulu, kata Mubin, sungai porong merupakan jalur perdagangan antar-kerajaan. Pada zaman Kerajaan Kediri (sekitar tahun 1300 an akhir) ketika dipimpin Raja Jaya Negara, Kerajaan Mongolia yang di pimpin Kaisar Kubilai Khan menyerbu kerajaan Kediri. Namun di tengah perjalanan, pasukan Mongolia dipukul tentara Singosari, yang dipimpin oleh Raja Kartanegara. ” Karena mendapat serangan mendadak dari Kerajaan Singosari itulah akhirnya pasukan Mongol kocar kacir. Di antaranya ada yang ” terdampar” di Kedung Cangkring, menetap, menikah dan beranak pinak dengan penduduk lokal sampai sekarang,” kata H. Mubin mengenang cerita Mbahnya, Ma’ani.

Ras Mongolia, yang menikah dengan orang lokal yang dimaksud H. Mubin, di antaranya ada yang dari Sidoresmo, Surabaya. Namun H. Mubin tidak bisa merinci satu-satu, siapa saja yang dimaksud orang Sidoresmo, seperti yang diceritakan Mbahnya, Ma’ani. (Pada bagian tulisan dibawah nanti akan dijelaskan ulama dari Sidoresmo yang menetap di Kedung Cangkring). Untuk melacak jejak usia Kedung Cangkring juga bisa dilihat dari batik dengan corak khasnya Mongolia.

Mubin berpendapat, corak batik yang ada di Kedung Cangkring berbeda sekali dengan batik yang ada di Jawa pada umummnya. Batik di Kedung Cangkring motifnya berwarna-warni. Ada warna hijau, kuning dan biru. Menurutnya, motif yang demikian itu dipengaruhi oleh motof-motif dari China, yang banyak dikelola oleh orang-orang Mongolia yang hidup di Kedung Cangkring, sekitar tahun 1800 an. Sedangkan motif batik solo, yang merepresentasikan batik khas jawa, namanya sugan, biasanya bergambar kayu dengan warna coklat.

Mubin menyebut, batik di Kedung Cangkring, bahkan pernah terkenal se Indonesia. ”Dulu orang Pekalongan itu belajar batiknya juga dari Kedung Cangkring. Sekitar tahun 1956 saya pernah ke Pekalongan melihat pasar Batik. Di sana saya ketemu beberapa orang tua di Pekalongan. Ia cerita perihal pengalamannya belajar Mbatik di Kedung Cangkring, Jabon Sidoarjo. Bahkan, sampai Pekalongan terkenal sebagai kota batik, sesungguhnya belajarnya di Desa Kedung Cangkring,” paparnya.

Meski banyak peristiwa penting terjadi di Kedung Cangkring, namun sampai saat ini, siapa tokoh yang Mbabat Desa Kedung Cangkring masih tersaput misteri. Itu bisa dimaklumi karena peristiwa – peristiwa penting yang terjadi di Kedung Cangkring umurnya sangat tua, diperkirakan tahun 1300 an akhir. H. Mubin hanya menyebut asal kata Kedung Cangkring berdasarkan makna bahasa.

Menurutnya, Kedung Cangkring berasal dari kata Kedung dan Cangkring. Kedung artinya sungai yang punya kedalaman lebih. Sedangkan Cangkring artinya pohon cangkring, pohon yang banyak durinya, biasanya tumbuh di pinggir-pinggir sungai. ”Jadi dulu, sebelum jadi Desa, Kedung Cangkring itu adalah kedung yang sangat dalam dan banyak buayanya, serta banyak ditumbuhi pohon cangkring dan rawa-rawa. Kemudian ketika Belanda masuk, Kedung tersebut diurug. Itu yang saya tahu, dari sejarah berdirinya Surabaya yang pernah saya baca,” tutur H. Mubin.

KH Mas Muhyiddin

Beberapa orang yang bisa dikategorikan sesepuh yang menempati Desa Kedung Cangkring, selain dari Mongolia, beberapa juga dari Sidoresmo Surabaya. Itu bisa buktikan dengan munculnya nama seorang ulama yang lahir di Kedung Cangkring, yang terkenal pada zamannya. Ia adalah KH. Mas Muhyiddin, anak dari KH. Mas Adnan, dari Sidoresmo. Namun demikian, di Desa Kedung Cangkring, tidak banyak masyarakat sekarang yang mengetahui siapa KH. Mas Muhyiddin. Padahal, dari KH. Mas Muhyiddin inilah yang kelak di kemudian hari banyak melahirkan tokoh maupun Kiai besar.

Siapa sebenarnya KH Mas Muhyiddin? Beberapa sumber yang dihimpun al ikhtibar menyebutkan bahwa KH. Mas Muhyiddin adalah seorang ulama disamping juga seorang pejabat. Ia lebih dikenal sebagai Wedono Kuranten. Disebut Kuranten karena mengikuti nama istrinya, Kurrotin. KH. Mas Muhyiddin adalah anak dari KH. Mas Adnan. Kini makam KH. Mas Muhyiddin bersama istrinya, berada di belakang Masjid Annur, Desa Kedung Cangkring.

Menurut cerita Saifuddin, 53, KH Mas Muhyiddin adalah seorang ulama yang ahli puasa dan tidak banyak bicara. Saifuddin adalah anak dari Mad Amin, anak nomor 6 nya H. Mahmud bin KH. Mas Muhyiddin. Ahli puasanya KH. Mas Muhyiddin itulah yang kemudian dicontoh oleh Saifuddin. Ia gemar berpuasa sejak kelas 5 SD sampai sekarang, meski menjadi anggota Marinir (kini pensiun dini).

’’KH Mas Muhyiddin adalah seorang ulama yang ahli puasa. Hampir setiap hari ia tidak pernah berhenti puasa. KH Mas Muhyiddin orangnya juga tidak banyak bicara. Yang saya tahu tentang KH Mas Muhyiddin dari orang tua saya, Mad Amin dan Pak De saya, Kiai Mas Mahmud, adalah soal ahli puasanya itu. Dan perjuangannya dalam berdakwa bahkan dari Mojokerto sampai Probolinggo. Dari daerah tersebut, kalau menikahkan anaknya, sering di bawah ke Kedung Cangkring, karena menganggap KH. Mas Muhyiddin sebagai pemuka agama yang paling tinggi. Sedang tahun berapa KH. Mas Muhyiddin lahir, serta menjabat sebagi Wedono pada zamannya Bupati siapa di Sidoarjo, saya tidak mengetahuinya,” kata Saifuddin.

Dari perkawinananya dengan Kurrotin, KH Mas Muhyiddin mempunyai anak lima. 1. H. Mahmud, 2. Mas Muntamah, 3. Masyrifah, 4. Mas Fatmah dan ke 5. Mas Muzammil. Nah dari Mas Fatmah anak ke 4 nya KH. Mas Muhyiddin inilah, yang kemudian melahirkan seorang aulia yang terkenal, Ali Mas’ud, terkenal dengan sebuta Mbah Ud, yang makamnya kini di Desa Pagerwojo Buduran Sidoarjo. Fatmah menikah dengan KH. Said, Pondok Sono Sidoarjo. Dari perkawinannya dengan KH. Said, Mas Fatmah mempunyai 3 anak. 1.Masyrifah, 2. Ali Mas’ud (Mbah Ud) dan 3. Mahfudz.

Mbah Ud menikah dengan Mas Ning Qomariah binti H. Mahmud (anak pertama KH. Mas Muhyiddin). Mbah Ud bahkan tinggal cukup lama di Kedung Cangkring. Namun karena Mas Ning Qomariah meninggal, akhirnya Mbah Ud menikah lagi dengan Nyai Dewi. ”Ketika Mbah Ud meninggal, keluarga Kedung Cangkring meminta supaya Mbah Ud dimakamkan di Kedung Cangkring. Namun dari keluarga Nyai Dewi tidak setuju. Akhirnya keluarga Kedung Cangkring meminta saran kepada Kiai Hamid Pasuruan. Kiai Hamid menyarankan agar Mbah Ud dimakamkan di Pagerwojo, di dekat makam Ibunya, Mas Fatmah,” cerita Saifuddin.

Adapun silsilah Mbah Ud dari jalur Kiai Said adalah sebagai berikut. Ali Mas’ud bin Kiai Said bin Kiai Zarkasi (pendiri Pondok Sono, yang terkenal dengan ilmu sorofnya se Indonesia) bin Mbah Muhyi bin Mbah Mursidi (makamnya di Tambak Sumur Waru) bin Abdurrahman Baqo’. Abdurrahman Baqo’ adalah saudaranya Mbah Syamsuddin, yang makamnya kini di Desa Daleman. (baca al ikhtibar edisi XXII tahun III Februari 2008 : Rubrik Sejarah Sidoarjo)

Sedangkan dari Mas Muntama melahirkan anak yang bernama Khaina menikah dengan KH. Kholil, dan mempunyai putra bernama KH. Siroj Kholil, seorang ulama besar di Sidoarjo pada zamannya. KH. Rofiq Siroj (kini Rois Surya PCNU Sidoarjo), menuturkan, bahwa abahnya, KH. Siroj Kholil, dengan Mbah Ud itu memanggilnya paman. Gus Rofiq, panggilan akrab KH. Rofiq Siroj membenarkan kalau Mbahnya adalah Khaina, sedang buyutnya, KH. Mas Muhyiddin, ia tidak mengetahuinya. ” Waduh, saya kok tidak mengetahui nama buyut saya. Saya dengar nama KH. Mas Muhyiddin itu kok baru dari sampean,” terang Gus Rofiq.

KH Siroj Kholil mempunyai 14 anak, namun yang hidup sekarang tinggal 7. Gus Rofiq adalah anak tertuah. Diantara saudara Gus Rofiq adalah Khodijah, Maimun Siroj dan Abdul Wahab Siroj. Dari Khodijah, adiknya Gus Rofiq, mempunyai anak bernama Shobib, yang menikah dengan Imam Nahrowi, Mantan Ketua DPW PKB yang dibekukan Gus Dur. Kini, Imam Nahrowi, bersama istrinya, Shobib tinggal di Kedung Cangkring, Jabon.

Bahkan, Eman Hermawan, mantan Ketua Umum DKN (Dewan Koordinasi Nasional) Garda Bangsa yang juga dibekukan Gus Dur, sebenarnya juga bagian dari keluarga besar bani KH. Mas Muhyiddin Kedung Cangkring, Jabon. Eman, panggilan akrab Eman Hermawan, yang juga mantan aktivis LKIS itu menikah dengan Siti Maghfiroh binti Qomariah binti Mahfudz bin Mas fatma binti KH. Mas Muhyiddin.

Bani KH Mas Muhyiddin juga melahirkan tokoh PKB Jawa Timur. Ia adalah Misbahul Munir, Pasuruan, kini Sekretaris Dewan Syuro DPW PKB Jatim hasil Muswilub. Misbachul Munir adalah anak dari Nur Izzah binti Masyrifah binti Mas fatma binti KH. Mas Muhyiddin. Disamping itu juga lahir tokoh Toriqoh Jawa Timur. Ia adalah KH. Muhammad Ali Bahruddin (Pasuruan), kini sebagai Ketua Toriqoh Qodiriah Wan Naqsambadiah Jawa Timur. KH. Muhamamad Ali Bahruddin adalah anak dari H. Bahruddin bin Masyrifah binti Mas fatma binti KH. Mas Muhyiddin. n misbachul munir

Sumber : http://babad2010.wordpress.com/2010/02/01/desa-kedung-cangkring-lahirkan-tokoh-dan-ulama-besar/

Bagaimana Kiai Mahrus Menghadang Golkarisasi?

Mesin politik Orde Baru untuk mengokohkan kekuasaannya adalah Golkar. Dan NU adalah partai terbesar (1971) yang diangap sebagai penghalang utamanaya. Apapun caranya, Golkar harus menjadi partai besar, tiada tandingan. Dan oleh karena itu, NU harus dikerdilkan, apapun caranya. Seluruh aparat pemerintah baik sipil maupun militer berusaha menggolkarkan apa saja, utamanya NU.

Adalah Kiai Mahrus Ali, Rais Syuriah NU Jawa Timur dan pimpinan pesantren Lirboyo Kediri, yang diincar Golkar. Para pejabat tinggi negara berdatangan ke pesantren itu. Laksamana Sudomo termasuk pejabat yang awal-awal dating, dan tidak baen-baen, dia ke Lirboyo membawa mobilbaru, untuk dihadiapkan Kiai Mahrus.

Sang kiai mau menerima mobil itu, asal tanpa syarat. Mobil diberikan tanpa syarat apapun.
Tapi suatu ketika pejabat setempat mulai neko-neko ngajak sang kiai masuk Golkar. Maka kiai Lirboyo asal Cirebon itu mengancam akan mengembalikan mobil pemberian Sudomo. Akhirnya Kiai Mahrus tak dipaksa masuk Golkar.

Golkar ngotot. Dicari cara lain dan kasar. Suatu ketika pemerintah memberikan sumbangan aliran listrik untuk penerangan pesantren dan jalan ke Lirboyo. Tapi, menjelang peresmian instalasi listrik itu dipasanglah bendera Golkar sepanjang jalan menuju pesantren. Tentu saja Kiai Mahrus protes mendatangi Kamtib setempat dengan mengatakan:

“Pemasangan listrik ini merupakan sumbangan dari pemerintah bukan Golkar, karena itu bendera Golkar harus dicopot. Kalau pimpinan Golkar tidak mau mencopot, biar para santri yang mencabuti.”

Pihak Kamtib menjawab, “Kalau begitu ya sudah Kiai, bisa-bisa nanti listriknya tidak jadi disambung.”
“Kalau listriknya tidak jadi dipasang, silahkan pohon-pohon yang sudah ditebang sepanjang jalan itu dihidupkan kembali,” blas Kiai Mahrus.

“Wah! Susah bagaimana bisa menghidupkan pohon. Ya kiai, listrik akan tetap disambung dan tetap akan diresmikan oleh para pejabat,“ jawab Kamtib.

Penolakan para kiai terhadap Golkar bukan sikap yang apriori, tapi berdasarkan pengalaman banyak kiai dan warga NU yang diintimidasi, disiksa, dimasukkan penjara bahkan ada yang dibunuh. Ketika Golkar makin agresif dalam menggolkarkan kiai, beberapa Kiai NU seperti Kiai Mustain Ramli Jombang sudah masuk Golkar, juga ada beberapa Kiai NU di jawa Tengah sudah masuk Golkar.

Di Indramayu, Jawa Barat, tokoh NU disiksa, beberapa rumah dan masjid dirusak Angkatan Muda Siliwangi. Intimidasi terjadi merata di kantong-kantong santri, dari Brebes Jawa Tengah hingga Situbondo, Jawa Timur, dari Bekasi hingga Banten.

Untuk menghadapi agresivitas Golkar itu, Kiai Mahrus saat itu berpesan, “Ojo sampek anak turunku mlebu Golkar sampe pitung turunan, nek sampek ning Golkar maka tidak akan panjang umur (jangan sampai keturunanku masuk Golkar sampai tujuh turunan, kalau sampai masuk Golkar maka tidak akan panjang umur).”

Kemudian kiai Lirboyo yang lain juga berpesan, “Poro santriku tak pesen ojo melu-melu Golkar” (para santriku jangan ikut-ikutan Golkar). Peringatan diberikan karena saat itu sedang galak-galaknya Golkar mengintimidasi para tokoh dan warga NU.

Namun demikian Kiai Mahrus menasehatkan pada para santrinya agar tetap mengetahui arah politik sebagaimana dikatakan dalam sebuah kaidah campuran Jawa Arab, “Man lam ya’rif politik akalaahul politik (barang siapa tidak mengetahui politik, maka akan dimakan politik).”

Memang kebanyakan para kiai menjadi politisi NU. Dengan prinsip yang ditanamkan kiai seperti itu maka pesantren pada umumnya menjadi benteng NU dan benteng ajaran ahlussunnah yang sangat kokoh. (Abdul Mun’im DZ, disadur dari buku Biografi Para Kiai Lirboyo, dan beberapa sumber lainnya)

Sumber : http://mbakdloh.wordpress.com/2011/04/18/bagaimana-kiai-mahrus-menghadang-golkarisasi/

KISAH ROSULULLAH dan PENGEMIS BUTA YAHUDI

♥ ♥ KISAH ROSULULLAH dengan PENGEMIS BUTA YAHUDI. ♥ ♥


Disudat pasar Madinah Al-Munawarah , seorang pengemis yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya , Ia selalu berkata : ” Wahai saudaraku , jangan engkau dekati ‘Muhammad’ , dia itu orang gila , dia itu pembohong , dia itu tukang sihir , apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.” Padahal Setiap pagi ‘Rosulullah’ mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata sepatah kata pun.

Bahkan Rosulullah menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis yahudi tersebut , walaupun pengemis tersebut selalu berpesan kepada orang – orang agar jangan mendekati orang yang bernama ‘Muhammad Rosulullah SAW’ dan melakukanya hingga menjelang wafatnya ‘Rosulullah’. Dan setelah wafatnya ‘Rosulullah’ Tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi tersebut.

Suatu hari Abubakar r.a , berkunjung kerumah anaknya , Aisyah…Beliau bertanya kepada Aisyah : ” Anakku , adakah sunnah kekasihku (Rosulullah) yang belum aku kerjakan ?” Aisyah menjawab : ” Wahai ayah , engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum Ayah lakukan kecuali satu sunnah saja.” Apakah itu..? Tanya Abu Bakar r.a. Setiap pagi ‘Rosulullah selalu pergi ke ujung pasar , dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi Buta yang berada disana..” Kata Aisyah.

Keesokan harinya Abu bakar r.a. pergi kepasar dengan membawakan makanan untuk pengemis itu. Abu bakar mendatangi dan membrikan makanan kepada pengemis itu , ketika Abu bakar mulai menyuapinya , si pengemis marah sambil berteriak ” Siapakah kamu…?” Abu Bakar r.a. menjawab : ” Aku orang yang Biasa “
” Bukan !! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku.” Jawab si pengemis buta itu. Apabila Ia datang kepadaku , tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah , orang yang biasa mendatangiku itu , selalu menyuapiku tapi terlebih dahulu menghaluskan makanan terseebut dengan menggunakan mulutnya , setelah itu barulah di memberikanya kepadaku. ” Pengemis itu melanjutkan perkataanya.

Abu Bakar r.a. Tidak dapat menahan air matanya waktu itu. Ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu , ” Aku memang bukan orang yang bisa mendatangimu , aku adalah salah seorang dari sahabatnya , orang yang Mulia itu telah tiada , Beliau adalah ‘ Muhammad Rosulullah saw.’ Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar r.a. Ia pun menangis dan kemudian berkata , Benarkah demikian…?
Selama ini Aku selalu menghinanya , menfitnah nya , Tapi Ia (Rosulullah) tidak pernah memarahiku sedikitpun , bahkan Ia lah yang selalu membawakan dan menyuapi makanan untuku tiap pagi…Ia begitu Mulia…..
Pengemis buta tersebut akhirnya Bersyahadat dihadapan Abu Bakar r.a.

Sekilas tentang Pemikiran Ibrahim Abu Rabi

Oleh Irwan Masduqi

M. Ibrahim Abu Rabi ' adalah pemikir Muslim kontemporer yang cukup terkemuka kelahiran Nazaret, Palestina. Ia meninggal di Amman pada tanggal 2 Juli 2011. Karir akademisnya adalah sebagai Profesor Studi Islam dan co-Direktur Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Islam di Hartford Theological Seminary, Canada. Nama Ibrahim Abu-Rabi mulai melambung pada pertengahan 1990-an sebagai spesialis dalam sejarah pemikiran Islam.

Jenjang s1-nya diperoleh dari Universitas Bir Zeit di Tepi Barat. Gelar MA-nya dari Universitas Cincinnati dan Temple University. Prof. Abu Rabi‘ memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang Studi Islam, dengan konsentrasi tentang pemikiran Islam modern dan perbandingan budaya Islam, dari Temple University Department of Religion pada tahun 1987. Disertasinya berjudul “Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd al-Halim Mahmud”.

Ibrahim Abu Rabi merupakan pemikir yang cukup prolifik. Diantara karya-karyanya: 1) Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History; 2) Theodicy and Justice in Modern Islamic Thought: the Case of Said Nursi; 3) The Contemporary Arab Reader on Political Islam; 4) Islam at the Crossroads: On the Life and Thought of Bediuzzaman Said Nursi (Suny Series in Near Eastern Studies); 5) Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (Suny Series in Near Eastern Studies); 6) Spiritual Dimensions of Bediuzzaman Said Nursi's: Risale-i-Nur; 7) co-author September 11: Religious Perspectives on the Causes and Consequences; 8) Contemporary Islamic Conversations: M. Fethullah Gulen on Turkey, Islam, and the West, dan lain-lain.

Catatan ini akan mengulas pemikiran Ibrahim Abu Rabi dalam II September: Religious Perspective on the Cause and Consequences yang merupakan respon terhadap wacana Islam pasca tragedi 11 September. Sejak terjadinya serangan teroris tersebut, muncul gejala Islamophobia dimana banyak kalangan Barat yang mengklaim Islam sebagai agama kekerasan. Kekerasan dianggap oleh sejumlah kalangan Barat sebagai fenomena yang inheren dengan ajaran Islam itu sendiri dan berakar dari teks-teks keagamaannya. Kalangan Barat pun bertanya-tanya tentang hubungan antara kekerasan dan sakralitas dalam Islam. Ibrahim tertantang untuk menguraikan masalah ini hingga ke akar teologis yang memicu kekerasan (theology of violence).

Baginya, masalah kekerasan dan agama merupakan fenomena yang sangat kompleks, sehingga menuntut pembacaan terhadap dinamika agama, politik, dan ekonomi di dunia Islam, dimana kompleksitas faktor kolonialisme, modernisme, dan nasionalisme ikut ambil peran dalam memicu terjadinya kekerasan atas nama agama. Mengkaji terorisme 11 September juga tidak bisa dilepaskan dari ekses modernisasi Barat terhadap dunia Muslim, dimana Amerikanisasi telah menjadi fenomena yang mungkin memicu respon-respon negatif dari kelompok Islam tertentu.

Untuk memberikan jawaban atas problematika tersebut, Ibrahim memfokuskan kajiannya pada masalah peran modernisasi, nasionalisme, revivalisme religius di dunia Muslim modern dan kontemporer. Ibrahim juga menaruh perhatian pada masalah dinamika pendidikan dan sosial di negara-negara Muslim, khususnya Arab Saudi yang merupakan kota suci Islam dan tempat kelahiran Osama bin Laden.

Perkembangan Sejarah Dunia Modern
Sejarah Barat sejak abad ke-14 tidak bisa dilepaskan dari dunia Muslim, sebab rekonstitusi di Eropa pada awal era modern merupakan perlawanan terhadap hegemoni internasional dunia Muslim di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa Selatan. Modernisasi Barat dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Keberhasilan Dinasti Ottoman menaklukkan Constantinopel, pengusiran kaum Muslim dari Spanyol, dan penemuan dunia baru oleh Columbus merupakan faktor eksternal modernisasi Barat. Sementara faktor internal modernisasi Barat adalah dinamika reformasi Gereja, revolusi industri, pencerahan, kapitalisme ekonomi, even-even religius, dan perkembangan filsafat. Semua hal itu mendorong akselarasi modernisasi Barat hingga akhirnya mampu menguasai skala global ekonomi, aktivitas politik, dan militer.

Modernisasi dan kapitalisme yang menggeliat pada abad ke-17 dan 18 berpengaruh besar terhadap tatanan ekonomi dan politik di dunia. Kemajuan-kemajuan Barat kemudian mendorong mereka melakukan proyek kolonialisme dan imperialisme ke belahan negara-negara ketiga untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam. Kemajuan Eropa ini juga merefleksikan kemunduran yang terjadi di dunia Muslim pada abad ke-19 dimana stagnansi pemikiran dan kemerosotan ekonomi tak terhindarkan lagi. Realitas sosial ini mengundang respon dari para intelektual Muslim yang terrefleksikan dalam karya-karya, pidato-pidato, dan perjuangan politik mereka. Respon dunia Muslim terhadap tantangan-tantangan kolonialisme mengambil bentuk yang beragam, namun semuanya bertujuan menghidupkan kembali dan merekonstruksi institusi agama, sosial, politik, dan ekonomi. Respon-respon tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga: modernisasi, nasionalisme, dan revivalisme Islam.

Tantangan-tantangan modernisasi Barat mendorong dinasti Ottaman untuk melakukan modernisasi pada awal abad ke-19 yang disebut dengan istilah tanzimat. Namun modernisasi ini tidak seutuhnya berhasil karena tidak dapat mencegah runtuhnya otoritas politik dinasti Ottoman. Sebelum situasinya semakin kacau maka para intelektual Turki mengadopsi Westernisasi dan sekularisasi sebagai solusi.

Ibrahim Abu Rabi menilai bahwa nasionalisme merupakan respon dunia Muslim terhadap tantangan-tantangan yang datang dari dunia Barat. Gerakan-gerakan nasionalis di dunia Muslim diprakarsai untuk melawan kolonialisme. Para pemimpin gerakan nasionalis di dunia Muslim biasanya tidak menggunakan slogan-slogan religius dalam pidato-pidato mereka. Tren ini diwakili oleh Soekarno di Indonesia, Kemal Ataturk di Turki, dan Muhammad Ali Jinnah di Pakistan.

Bentuk respon lain atas tantangan-tantangan kolonialisme adalah revivalisme Islam. Revivalisme di dunia Islam dapat dibagi menjadi empat periode: 1) pra-kolonial; 2) kolonial; 3) post-kolonial; 4) post-nation-state. Wahabiyah adalah representasi gerakan revivalisme pra-kolonial. Wahabiyah muncul dari sebuah reaksi terhadap dekandensi internal kaum muslim yang dinilai telah mengalami deviasi dari ajaran-ajaran otentik. Sedangkan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama merupakan organisasi kebangkitan pada era kolonial. Revivalisme era kolonial juga dapat diwakili oleh Ikhwan al-Muslimun di Mesir dan Jamaah Islamiyah di India. Organisasi-organisasi revivalis era kolonial ini bergerak dalam kemajuan bidang pendidikan dan memiliki ambisi mengontrol kekuasaan untuk melawan penjajah. Revivalisme post-kolonial diwakili oleh munculnya gerakan jihad di Mesir pada tahun 1970-1980. Sedangkan revivalisme post-nation-state diwakili oleh gerakan Taliban dan Al-Qaeda.

Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden muncul sebagai reaksi atas konspirasi Arab Saudi dengan Amerika Serikat. Amerika sangat kencanduan minyak Saudi. Saudi pun kaya raya dan memiliki modal finansial yang kuat untuk melakukan pembangunan dan modernisasi. Namun modernisasi Saudi ini terlihat absurd karena tidak dibarengi dengan demokratisasi institusi. Dan naifnya para ulama Saudi tidak kritis menyikapi kebijakan penguasa yang pro-Barat karena mereka telah menikmati fasilitas yang diberikan oleh penguasa. Hal ini berbeda dengan ulama muda ortodoks yang menentang modernisasi dan konspirasi dengan Barat; mereka akhirnya memilih jalur teror.

Al-Qaeda dapat dipahami sebagai produk pertentangan antara modernisasi dengan nilai-nilai tradisi. Sebagai fenomena politik dan militer, gerakan ini merupakan gerakan yang memiliki background pendidikan tradisional. Kemunculan kelompok radikal ini juga disebabkan oleh lingkungan dan institusi yang tidak demokratis. Ibrahim menegaskan bahwa selama ketidakadilan dan kurangnya kebebasan demokratis terjadi di sebuah negara, maka interpretasi ekstrem atas Islam akan senantiasa muncul. Dari sini dapat diambil benang merah bahwa upaya mewujudkan keadilan dan demokratisasi merupakan solusi meminimalisir radikalisme religius.

Pendidikan di Dunia Muslim: Antara Modern dan Tradisional?
Ibrahim melihat bahwa telah banyak negara Muslim yang menerima modernisasi setelah era kemerdekaan. Indonesia, Pakistan, dan Mesir telah mendorong modernisasi di bidang pendidikan dan institusinya dengan menciptakan pendidikan terbuka bagi semua warganya. Namun di negara Muslim lainnya masih terdapat sejumlah kebijakan yang menolak modernisasi pendidikan dengan tujuan tersembunyi agar dapat terus mempertahankan status quo. Melihat realitas itu maka negara-negara Muslim membutuhkan lingkungan pendidikan yang pluralistik dan inklusif, dimana lembaga pendidikan menerima pembaharuan-pembaharuan kurikulum.

Lembaga pendidikan Islam sangat membutuhkan modernisasi. Ibrahim sepakat dengan Abd al-Majid al-Charfi, pemikir Tunisia, yang mengusulkan modernisasi Islam dengan menawarkan pemahaman yang membedakan antara “Islam” dan “Islamic thought” (al-fikr al-Islami). Islam merupakan agama yang sakral, sedangkan Islamic thought adalah pemikiran Islam yang tak sakral seperti tafsir, ilmu hadits, kalam, fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Islam adalah produk Tuhan, sementara pemikiran Islam adalah produk manusia. Islam itu tunggal, tetapi pemikiran Islam pastilah beragam. Namun kaum Muslim tradisional sering mengatasnamakan pemahaman Islam mereka sebagai Islam itu sendiri, sehingga terjadilah pengkultusan terhadap pemahaman Islam. Pembedaan antara Islam dan pemikiran Islam ini penting dalam proses modernisasi di lembaga pendidikan Islam, sebab dengan pembedaan dua hal itu akan dimungkinkan munculnya inovasi dan pembaharuan yang dinamis. Penulis melihat bahwa pemikiran ini banyak disuarakan oleh para pemikir Arab modern dan kontemporer, namun hingga kini masih banyak kaum Muslim yang tak henti-hentinya mengkultuskan pemahaman Islam ulama klasik yang notabene merupakan produk manusia masa lalu.

Abd al-Majid al-Charfi juga menawarkan pemikiran yang senada dengan gagasan Nurcholis Madjid, yakni terkait pemaknaan Islam. Islam dapat didefinisikan secara simple sebagai penyerahan diri kepada Tuhan yang Esa, tetapi, pada waktu bersamaan, Islam dapat diartikan sebagai kepercayaan monoteis yang berhubungan dengan agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Dengan demikian seseorang dapat melihat Islam secara inklusif dari perspektif Abrahamic religion.

Ibrahim Abu Rabi juga sepakat dengan Nashr Hamid Abu Zaid yang mengusulkan pentingnya modernisasi pemikiran melalui rekonseptualisasi tekstualitas al-Quran. Ibrahim dan Abu Zaid menilai bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Teks (al-nash) menjadi sentral dalam kebudayaan Muslim. Teks-teks keagamaan tidak turun dalam ruang hampa, tetapi senantiasa turun berdialektika dengan realitas sejarah kebudayaan manusia. Dengan demikian harus dipahami hubungan dialektis (dialectical relationship) antara teks dan realitas sosio-historis serta antara teks dan penafsiran manusia. Sejarah Islam pun merupakan produk hubungan yang kompleks antara aspek kemanusiaan dan wahyu, atau antara teks agama dan faktor sosio-ekonomi-politik. Oleh sebab itu, Islam harus dipahami secara sosiologis.

Ibrahim Abu Rabi juga mengapresiasi pemikiran Rochdy Alili, dalam bukunya Qu’est-ce que l’islam? (Apa itu Islam?), yang membedakan antara Islam sebagai nilai normatif dan Islam sebagai fenomena historis. Islam merupakan agama yang bersumber dari wahyu, namun—dalam sejarah evolutifnya—Islam telah menciptakan tradisi politik, filsafat, khazanah keilmuan, sosial, dan budaya yang sangat kompleks. Islam pun ditarik-tarik ke dalam isu-isu sosial-politik, sehingga para intelektual dan politisi akan memiliki penafsiran yang berbeda tentang Islam. Dalam konteks ini, Islam dapat dipahami sebagai kekuatan pasif maupun revolusioner. Pada masa kolonial, Islam sering dipahami sebagai kekuatan revolusioner untuk mengusir penjajah, sebagaimana yang dilakukan oleh Abd al-Qadir al-Jazairi dan Syaikh Sanusi di Afrika Utara. Islam akhirnya menjadi wilayah yang problematik; Islam dapat diartikan sebagai teks dan teologi; Islam sebagai pemikiran keislaman; Islam sebagai sejarah; dan Islam sebagai sebuah atau sejumlah institusi agama.

Pendidikan Islam tradisional diharapkan sudi menerima terobosan-terobosan pemikiran di atas agar terjadi pergeseran paradigmatik. Namun, diakui atau tidak, lembaga pendidikan tradisional masih tertutup untuk menerima pemikiran-pemikiran baru yang menggandeng disiplin ilmu umum akibat trauma kolonialisme. Pada era kolonial terjadi dikotomi antara ilmu agama dan umum. Lembaga pendidikan Islam tradisional menaruh curiga kepada kurikulum pendidikan umum yang dinilai tidak Islami dan berbau Barat. Mengadopsi pengetahuan umum sama saja dengan westernisasi. Eksklusivitas inilah yang mengakibatkan semakin jauhnya lembaga pendidikan tradisional dari modernitas. Lembaga pendidikan kian terasing dari perkembangan ilmu-ilmu empirik dan rasional. Di Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, Yaman, dan lain-lain, tradisionalisme sangat kuat dimana kurikulum abad pertengahan tidak mengalami perubahan berarti dan telaah kritis sangat dihindari.

Pendidikan tradisional masih belum menerima analisis kritis yang berbasis pada ilmu-ilmu sosial dan filsafat kritis. Pendidikan tradisional terlalu terpaku pada sistem menghafal dan mengulang-ulang produk pemikiran klasik tanpa ada inovasi. Ibrahim setuju dengan statemen Rifaat Said, pemikir Mesir, bahwa pendidikan tradisional sangat literalistik. Kajian-kajian tradisional secara ideologis lebih dikonstruksikan untuk membela, bukan mempertanyakan, status quo. Dengan demikian, diperlukan pembacaan modern dan kontemporer terhadap turats agar terjadi transformasi paradigmatik dari tradisionalisme ke post-tradisonalisme/modernisme, sebagaimana yang usung oleh Muhammed Abed al-Jabri dalam proyek Naqd al-Aql al-Arabinya.

Intelektual Elit Arab Modern
Para penguasa diktator di dunia Muslim tidak pernah menghendaki demokrasi yang dinilai dapat mengancam kekuasaan mereka. Wacana demokratisasi dan modernisasi Arab telah lama digulirkan oleh para pemikir, namun para rezim diktator Arab baru tumbang satu persatu pada saat ini. Wacana demokratisasi dan modernisasi sebenarnya telah bergulir di dunia Arab pasca kekalahaan negara-negara Arab dari Israel pada tahun 1967. Di tengah-tengah proses demokratisasi yang jauh dari komplit, modernisasi yang dibangun oleh penguasa diktator pun mengalami kegagalan. Sebagai respon atas kegagalan itu muncullah kelompok-kelompok Islamis yang menawarkan penerapan syariat Islam. Di sisi lain, kelompok sekularis menilai bahwa tradisi pemikiran Islam yang diusung oleh kelompok Islamis justru akan menghambat laju kemajuan dan demoktarisasi.

Kelompok sekular ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga: 1) Arab nasionalis seperti Qustantine Zurayk. Pemikiran-pemikirannya dapat dijumpai dalam buku al-Mualafat al-Kamilah li Doktor Qustantine Zurayk; 2) para pemikir Marxis yang diwakili oleh Adonis, Ghali Shukri, Abdallah Laroui, al-Afif al-Akhdar, Sadiq Jalal al-Azim, Tayyib Tizine, Halim Barakat, Husain Muruwah, dan lain-lain. Gagasan-gagasan para pemikir Marxis ini, menurut penulis, sangat layak diapresiasi oleh kalangan Muslim tradisional. Pemikiran mereka dapat memberi kontribusi besar bagi perkembangan dinamika pemikiran Islam tradisional. Sebagai contoh, misalnya, Husein Muruwah, dalam bukunya al-Naz’ah al-Madiyah fi al-Falsafah al-Islamiyah (Kecenderungan Materialis dalam Filsafat Islam), menenjelaskan perkembangan pemikiran Islam dari era awal dengan pendekatan dialektika-meterialis-historis (jadaliyah madiyah tarikhiyah). Pendekatan ini setidaknya dapat membuka cakrawala kalangan tradisional bahwa khazanah keilmuan Islam merupakan produk pemikiran yang terikat dengan kondisi sosio-ekonomi, kultur, dan politik sepanjang sejarah Islam. Pertentangan kelas antara borjuis dan proletar ikut mewarnai corak wacana Islam. Pemikiran kelas borjuis dan penguasa akan menciptakan khazanah Islam pro status quo, sementara wacana Islam yang muncul dari kalangan proletar akan membentuk wacana kiri Islam yang marginal. Khazanah pemikiran Islam dibaca dengan pendekatan sosiologis kemudian dipilah-pilah antara wacana yang pasif dan revolusioner; 3) kelompok sekular-liberal yang diwakili oleh Zaki Najib Mahmud, Jabir Asfur, Fuad Zakaria, Faraj Fauda, dan lain-lain. Mereka menyuarakan pentingnya keluar dari kungkungan tradisi dan menolak upaya politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok Islamis. Faraj Fauda dan sejumlah pemikir Al-Jazair dan Tunisia bahkan secara ekstrem mengasosiasikan bahwa semua tradisi Islam dapat menghambat kemajuan dan merusak civil society. Para pemikir sekular ini tentu memiliki pemikiran yang beragam, namun secara garis besar mereka disatukan oleh sebuah gagasan utama bahwa kekalahan Arab dari Israel adalah karena ketertinggalan dunia Islam dari modernitas Zionis.

Kesimpulan
Dunia Muslim menghadapi tantangan-tantangan yang kompleks dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya, kemudian menimbulkan respon yang beragam dari kelompok-kelompok modernis, nasionalis, dan Islamis revivalistik. Tantangan-tantangan itu harus dihadapi dengan gerakan modernisasi dan demokratisasi dalam segala bidang; institusi pendidikan maupun politik. Hal ini penting untuk menyikapi politik otoritarianisme yang berkembang di dunia Arab. Munculnya respon dari kelompok modernis, nasionalis, dan Islamis merupakan fenomena yang tak dapat dipungkiri sebab pemerintah di beberapa negara Muslim gagal menciptakan percepatan proses demokrasi. Dunia Arab juga mengalami kekacauan politik akibat menguatnya cengkraman militer dalam mengendalikan kekuasaan. Hal ini diperparah oleh dukungan kekuatan Barat terhadap rezim-rezim otoriter. Ibrahim Abu Rabi menyayangkan munculnya respon-respon negatif dari kelompok Islamis revivalistik, namun, di sisi lain, ia juga mengkritik kuatnya intervensi Barat atas kebijakan-kebijakan dunia Muslim yang dapat memicu gerakan radikalisme. Dengan demikian, upaya menanggulangi kekerasan atas nama agama adalah melalui proses modernisasi, demokratisasi, dan minimalisasi intervensi Barat terhadap kebijakan ekonomi dan politik di dunia Muslim.

Sumber : http://as-salafiyyah.blogspot.com/search/label/Biografi%20Ulama

Kyai Nur Iman : Pesona Ulama' Kultural

Oleh : M. Anis Mashduqi

Tidak ada yang tahu secara persis kapan Kyai Nur Iman dilahirkan. Belum ada sumber tertulis yang bisa diakses – minimal oleh penulis – untuk menentukan secara persis kelahirannya. Beberapa sumber penceritaan (orale) hanya menyebutkan bahwa Kyai Nur Iman adalah cucu dari Pangeran Puger yang tak lain adalah raja Mataram yang diangkat pada tahun 1704. Dengan begitu, Kyai Nur Iman adalah generasi ulama Islam Nuisantara yang hidup tepatnya pada awal abad ke 18.

Sejarah banyak bercerita bahwa ayahanda Kyai Nur Iman yang bernama RM. Suryo Putro adalah raja Mataram yang berkuasa sampai tahun 1726 setelah meninggalnya ayahanda, Pangeran Puger, pada tahun 1719. RM. Sejarah juga menelusur bahwa Suryo Putro, sebelum menjadi Raja, ternyata adalah seorang santri di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Hasan. Di pesantren ini, Suryo Putro dikenal dengan nama Muhammad Ihsan.

Ketika harus meninggalkan pesantren dan menjadi raja Mataram, RM. Suryo Putro, menitipkan seorang istri yang sedang hamil kepada Sang Kyai. Bayi yang masih dalam kandungan RA. Retno Susilowati, seorang putri Adipati, inilah yang pada akhirnya dikenal dengan RM. Sandeyo atau M. Nur Iman. Ketika RM. Suryo Putro memangku kerajaan Mataram, M. Nur Iman terus tumbuh dewasa di bawah bimbingan Kyai Abdullah Hasan.

Sebelum meninggal dunia, RM. Suryo Putro mengirim utusan untuk menjemput M. Nur Iman untuk pulang ke Mataram. M. Nur Iman bersedia pulang, akan tetapi tidak bersama dengan utusan tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Sang Kyai dan mendengarkan semua nasihatnya, maka M. Nur Iman berangkat ke Mataram. Sepanjang perjalanan, M. Nur Iman berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan pondok pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Hasan mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman menjadi ulama besar.

Pada saat terjadinya perang saudara antara adik-adik Kyai Nur Iman, yakni Pangeran Sambernyowo/RM. Said dan Pangeran Mangkubumi/RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan Geger Pecinan, M. Nur Iman memilih meninggalkan istana dan keluar dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Selain berdakwah, M. Nur Iman juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada rakyat yang ditemui sepanjang perjalanannya ke arah barat sampai pada daerah yang bernama Kulon Progo.

Perselisihan antar kedua saudara M. Nur Iman akhirnya berakhir dengan perjanjian di Desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang membelah mataram menjadi dua; Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta. Sementara itu, M. Nur Iman sekeluarga pindah ke utara, di sebelah timur Kali Progo tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah ia bertemu dengan Sultan Hamengku Buwana I (yang tidak lain adalah adiknya). Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan, yang kemudian lebih umum disebut Hamengku Buwana I, M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah Perdikan (tanah bebas pajak). Tanah tersebut kemudian dijadikan dusun dan digunakan untuk pengembangan agama Islam. Didirikan pula pondok pesantren untuk mulangi atau mengajar agama. Atas dasar kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi sampai sekarang.

Dari Dusun Mlangi, dakwah Kyai Nur Iman menyebar bahkan sampai ke Malaysia melalui keturunan dan santri-santrinya. Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I merupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yang bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. Hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umara pada saat itu.

Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun empat masjid besar untuk mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu di kampung Kauman. Masjid yang akan dibangun tersebut disarankan oleh Kyai Nur Iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah: di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi, di sebelah Timur terletak di desa Babadan, di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning, di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.

Secara keilmuan, Kyai Nur Iman adalah seorang santri yang waktu itu tidak hanya menguasai akan tetapi juga menuliskan karya yang mencerminkan penguasaan tradisi multidisipliner Islam klasik. Ia membangun otoritas dan menulis tidak hanya dalam satu bidang keilmuan akan tetapi tiga bidang keilmuan sekaligus yaitu gramatikal, morfologi dan tasawuf (mistisisme). Al-Taqwim adalah karyanya dalam bidang gramatika Arab, Shorf Mlangi/Al-Risalah dalam bidang morfologi dan Asna Al-Mathalib dalam bidang Nahwu-Tasawuf. Tasawuf fikri, oleh Kyai Nur Iman, dikombinasikan dengan tasawuf amali dalam penerapan laku riyadhah, mujahadah dan perlawanan terhadap potensi-potensi buruk duniawi termasuk politik-kekuasaan. Kyai Nur Iman juga melestarikan watak kosmopolitanisme Islam klasik dalam sejarah pengelanaannya. Pada kenyataannya, Kyai Nur Iman nyantri di beberapa wilayah di Nusantara terutama Jawa Timur. Ia pun, dalam sejarahnya, mendirikan pesantren-pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan.

Generasi-generasi Kyai Nur Iman pun sampai saat ini seakan mewarisi tradisi itu, terbukti mereka cukup gandrung melakukan pengelanaan intelektual. meski di Mlangi sendiri berserakan pesantren yang menjadi rujuan belajar santri yang datang dari berbagai wilayah Nusantara, baik Jawa maupun luar Jawa. Lusinan generasi-generasi baru itu berkelana di pesantren-pesantren Nusantara terutama pulau Jawa seperti Lirboyo, Tegalrejo, Paiton dan Krapyak yang di antara mereka mempunyai kompetensi ilmiah akademik cukup baik dan berpengaruh di masyarakat. Bahkan di antara mereka menekuni studi lebih lanjut di luar negeri.

Walhasil, dari kampung yang sebenar-benarnya kampung ini, lahir pesantren-pesantren besar di luar wilayahnya, di antaranya adalah PP. Watu Congol Muntilan (KH. Ahmad Abdul Haq), PP. Tegalrejo Magelang (KH. Abdurrahman Khudlori), PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo (KH. Muntaha), PP. Bambu runcing Parakan Temanggung (KH. Muhaiminan), PP. Secang Sempu Magelang (KH. Ismail Ali) dan banyak sekali pesantren generasi berikutnya yang mengakar secara nasab dan akademik-intelektual ke pesantren-pesantren besar ini. Di Mlangi sendiri, saat ini telah berdiri puluhan pesantren kecil dengan kesetiaan terhadap tradisi yang kuat meski di sisi lain juga mempunyai beberapa kandidat doktor, dan beberapa sarjana strata I dan II dalam dan luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu.

(Diakses dari beberapa sumber tulis dan lisan)

Perjalanan Hidup Para Salaf dari Bani Alawi Keturunan Sayyidina Husein bin Ali RA

Judul sebuah ceramah yang disampaikan oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah pemuda, di rumah Al Faqih Al Muqaddam, di kota Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M.)
بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.

Dengan nama Allah kami mohon pertolongan. Shalawat dan salam sejahtera atas junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat.

Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan hidup para salaf pendahulu kita keturunan Alawiyin dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa yang mengikuti jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat atas semua.


Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak pengetahuan tentang sejarah kita – ia merupakan bidang perselisihan dalam pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul, disebabkan tidak adanya, di antara kita dewasa ini, orang-orang yang melakukan penyelidikan secara teliti dengan cara penulisan yang memuaskan, sampaipun mereka yang merasa dirinya sangat antusias terhadap sejarah perjalanan hidup para salaf tersebut.
Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali hal-hal yang benar-benar jelas dan terang laksana matahari di waktu siang, tersurat di dalam kitab-kitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru sehingga dapat dimengerti secara jernih dan mudah dicerna.
Memang, kesalahpahaman dalam memahami perjalanan hidup salaf tidak ditimbulkan karena samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan karena keengganan kita dan tidak adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban itu.
Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana menyatakan pendapat atau membahas, persoalan-persoalan semacam ini, atau fakta-fakta historis yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di mana orang sangat mendambakan untuk memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan yang lurus.
• Siapa Salaf ?
Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan. Penggunaan secara umum, yaitu sebagai istilah yang dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai sebutan khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad pertama, kedua, dan ketiga Hijrah, atau dengan kata lain sebagai sebutan bagi para sahahat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin) menggunakan sebutan itu selain bagi mereka yang tersebut di atas juga bagi pendahulu-pendahulu mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah Al-Haddad [1] membatasi penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran [2] ke atas “Mereka,” kata Al-Haddad, “adalah orang-orang di mana kita tunduk sepenuhnya (dalam segala hal) yang mereka lakukan. Adapun yang datang kemudian, mereka ’laki-laki’ dan kita ‘laki-laki’ (yakni kita herhak mengikuti atau menolak sesuai dengan dalil).”
Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak menghalangi mereka yang datang sesudah Syekh Ali Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri dan murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf. Sebab telah menjadi istilah ulama Hadramaut terdahulu – sampaipun mereka yang akhir-akhir ini masih bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi pendahulu mereka yang saleh. di mana kemudian akan kami jelaskan tahap-tahapnya
• Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin
Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan, khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara (fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa timbul dan telah membuat seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum yang telah goyah selama bertahun-tahun.
Semua itu membuat banyak orang – terutama tokoh-tokoh yang menonjol – berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman.
Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokoh-tokoh ahlul bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana musuh-musuh Alawiyin rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya dan membantai mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di dalam suasana kacau itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban mereka adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait, keturunan Nabi pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya.
Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya untuk tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaran-pelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik – menurut pandangan mereka – akan selalu berakhir dengan kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah di tengah medan pertempuran.
Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya.
Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huru-hara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati.
Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bahwa Al Muhajir hanya bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya.
Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4] yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dau’an yang bersimpati kepada Ahlulbait.
Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran ) diterima kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka, yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah, sebagai akan dituturkan kemudian.
• Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin
Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin, mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah. bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya, yaitu berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH (ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur yang padu dan utuh secara Islam.
Adapun sejarah perkembangan Alawiyin — menurut pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut :
Tahap —- Abad (Hijriah) —- Zaman
Pertama — Ke-3 s/d Ke-7 —- Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih Al-Muqaddam
Kedua —- Ke-7 s/d Ke-11 — M. Al-Faqih Al-Muqaddam s/d Abdullah Al-Haddad
Ketiga ——- Abad ke 11 s/d ke 13.
Keempat — Ke-14 s/d Kini
Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh tokoh Alawinyin, maka sebutan atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut :
Tahap —————- Gelar
Pertama ————– Al-Imam
Kedua —————- As-Syech
Ketiga —————- Al-Habib
Keempat ————– As-Sayid
Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap.
Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sebutan-sebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja – seperti diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer penggunaannya bagi mereka.
TAHAP PERTAMA
Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran dengan masyarakat baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Alawiyin telah berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam kehidupan sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi di kurun Islam pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah.
Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut. Al Muhajir dihadapkan dengan suasana jihad yang tak terelakkan. Al Muhajir ketika itu harus melawan golongan ibadhiah”, baik dengan lisan maupun dengan senjata, sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas ajaran” Ahlus sunnah seperti jelas di uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian, putra-putranya dan keturunannya meneruskan langkah itu, memimpin masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam bidang politik yang bersifat mengawasi dan membimbing (para penguasa) demi tercapainya kepentingan umum, tanpa berambisi memegang tampuk kekuasaan secara praktis.
Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-Imam mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab) seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh terkenal dengan gelar “Imam” seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain.
Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam Assyafi’i dalam bagian terbesar madzhabnya Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari negeri asal, yaitu Bashrah (Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun, bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu.
Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat karnpung halaman dan sesekali timbul kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri Irak, sehingga mereka rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman, kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu.
Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi yang mulia dengan beberapa keistimewaan berupa ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga keluarga ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri kemuliaan itu.
• Ilmu Tokoh-Tokoh Alawiyin
Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini meliputi: Tafsir Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan lain, yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada tokoh-tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini memperhatikan tasawuf sebagai amalan praktis dan buhan sebagai teori ilmiah semata.
• Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin
Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah: kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum keturunan bani Hasyim). Sifat ini diimbangi dengan tawadhu’ rendah hati), di samping tegas dan tidak kenal kompromi dalam mempertahankan kebenaran. memperhatikan bidang keperwiraan, menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh Alawiyin generasi berikutnya, yang dalam menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan sopan santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin mengikuti “Terakat Tasawwuf “ pada abad ketujuh ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima “Khirqah” (Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) . Sejak itu Al Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana damai.
• Hubungan Alawiyin dengan Dunia Luar
Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi, tidak pernah merasa tentram di satu daerah tertentu, untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup bebas dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah baru merupakan watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi kepuasan untuk mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya.
Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan memaksa penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke hidupan. di samping terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang selalu berkecamuk. akibat tidak adanya pemerintahan yang kuat dan stabil.
OIeh karena itu, seorang Alawi – seperti halnya penduduk Hadramaut pada umumnya – mengadakan perjalanan ke negeri-negeri tetangga, seperti: Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi, maupun agama.
Pada mulanya, Alawiyin seringkali hilir mudik mengunjungi Irak — negeri asal mereka – untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga. memeriksa harta kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di negeri ini.
Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa tokoh tokoh Alawiyin yang menonjol pada tahap perkembangan, ini terdiri dari keturunan Imam Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari keturunan mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.)
Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian, silsilah keturunan Alawiyin seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad bin Alawi ( bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir).
Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi ( terkenal dengan gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang putranya, yakni Imam Alawi, paman ( saudara ayah ) Al Faqih Al Muqaddam, dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang inilah tercakup seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab seluruh Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya Muhammad Al Bagir.
Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Asshadiq bin Muharnmad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Siti Fatimah Azzahra’ putri Rasul Allah saw.
TAHAP KEDUA ( a )
Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah – dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh – tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus[8] , Zain Al-A’bidin Al-A’idarus [9] dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair. Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini – di samping pertanian – telah juga berinvestasi di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-negara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. – penerj.). Dengan cara demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja.
Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa, mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan oleh syari’at.
Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan – tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ).
Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya.
Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas. Ia tidak menginginkan pengikutnya mengenakan gimbal bertambal (muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’) yang melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan latihan-latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah.
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah “Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran
Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i, namun mereka tidak bertaklid kepada Imam Syafi’i dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam Syafi’i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya” [10].
TAHAP KEDUA ( b )
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu – seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Almasyra’ Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara).
Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Abdullah Al-A’idarus ( yang makamnya cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam Abu Bakar Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Imam Abu Bakar Al-A’dani wafat 914 H.
Demikian pula halnya dengan keturunan Habib Abdullah bin Syekh Al-A’idarus ( keponakan al-A’dani ), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12]
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacam itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacam ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai “karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham “wahdatul wujud” (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur.
Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.
• Organisasi Alawiyin “Annagabah”
Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka. Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga.
Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah menjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan ” Nagabah”.
Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan “Nagabah” ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam’iyah, nornor 8, tahun 1357 H.
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib Annagabah” [atau Naqib para Naqib] yang kemudian dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”. Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh Alawiyin.
Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. ‘Tindakan Naqib akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang benar.
Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang.
Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Habib Abdullah Al-A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Habib Umar Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Habib Abdullah Al-A’idarus sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda, tetapi telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya – setelah pertamanya menolak juga – Habib Abdullah Al-A’idarus menerima. Pengganti A1-A’idarus adalah Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A’idarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041 H.).
Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik kharisma dan kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib.
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem “Manshabah”, yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi kemudian.
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang mengungguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal .
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui..
Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir hilang.
TAHAP KETIGA
Tahap ini bermula dari abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H. Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar ” Habib “, seperti Habib Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain.
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini – secara umum – berada di bawah tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas tokoh-tokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) – sebagai tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.).
• Hijrah Kaum Alawiyin
Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah – melebihi masa-masa sebelumnya – ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang kemudian berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad berikutnya.
Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di negeri mereka Hadramaut – kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi kepuasan bagi perwujudan cita-cita mereka.
Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula apabila mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan luar biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang kendali perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini. Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka yang berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia dan Pilipina.
Hijrah kaum Alawiyin – dan saudara-saudara mereka lainnya dari Hadramaut – ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur Tengah), tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di negara-negara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia), negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini jumlah mereka tidak banyak.
Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam tersebut di atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni rnembawa isteri-isteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan oleh kaum Muslimin.
Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah yang amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri asal berkurang, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup, untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya, walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara.
Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal, mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia), dan daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas pada awal abad ketigabelas H.
Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad terakhir ini – namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi laju arus hijrah ini. Yaitu dengan menyebar luaskan kesadaran, menggalakkan pertanian, membuat mereka merasa puas untuk hidup sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat 1293 H.)
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut – baik bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan – memanglah merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri sejak dahulu kala.
• Para Munshib
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ” Munshib”. Jabatan itu sendiri dikenal sebagai “Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan ini – yang menerimanya secara turun temurun – selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa – khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjata – menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M), sesuai dengan tujuan “Manshabah” yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan, maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.
• Golongan Alawiyin dan Politik
Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini hanya tinggal bidang politik.
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin, mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan dan maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka, dan hanya pada batas-batas tertentu.
Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-A’idarus. Al-A’dani, Zain Al-A’bidin Al-A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka bergaul dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat rnenyurat dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar melakukan kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan umum.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah; mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak.
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi, atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya, seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin AI-A’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.”[13]
Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata?
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha, apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik baik untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh saudara-saudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman.
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah berhasil mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh Alawiyin. Kadang-kadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap. Suasana demikian itulah yang membuat sementara Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk menghindar dari jabatan.
TAHAP KEEMPAT
Tahap ini bermula dari abad keEmpat Belas H. hingga kini. Yakni, di dalam pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar dapat membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan sejarah salaf kita yang terdahulu.
Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini – dibanding dengan tahap-tahap sebelumnya – merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di hampir semua bidang kehidupan. Bahkan kemunduran dan kemerosotan ini merupakan gejala umum yang menimpa seluruh dunia Islam.
Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap pertama dengan tahap-tahap berikutnya memang benar-benar terasa. Makin jauh kereta sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan itu terasa, makin surut sinar keagungan Alawiyin dan makin tenggelam ke dasar.
Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang ‘hidup’, yang makin lama makin maju (14)
• Diagnosa dan Pengobatan
Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang amat ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka mengarahkan putra-putra mereka sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki, untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan fakultas kaum Alawiyin adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri.
Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa lingkungan kita, sekolah-sekolah kita, majlis-majlis ta’lim kita sekarang merupakan sarana pendidikan yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti yang dahulu diajarkan oleh salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah kebalikan dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para salaf itu.
Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai derajat terendah, demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping tersebarnya penyakit-penyakit sosial.
Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan, padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga semua tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah masyarakat. Demikian pula halnya dengan kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebab, “akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya “, demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul Allah saw.
Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang membela dan menegakkan ajaran-Nya.
*************

CATATAN KAKI / FOOTNOTE
01. Abdullah bin Alwi Al -Haddad. Allah telah menganugerahkan kepada Abdullah Al Haddad daya hafal yang luar bisa, sehingga telah hafal Al-Qur’an seluruhnya dalam usia kecil. Kendati telah mengalami penyakit sehingga menyebabkannya menjadi seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan kecerdasan fikirannya melebihi mereka yang berpenglihatan sempurna. Al-Haddad telah mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kepadanya, lalu muncul sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru untuk mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa buku yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain : Annasha’ih Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan (kumpulan syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H.
02. Habib Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu, khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang. Wafat 895 H.
03. Imam Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H.
04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan mereka dibawah pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan Hadramaut.
05. Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.
06. Habib Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : “Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada tahun 819 H.
07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu, tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan duniawi – Menjamin nafkah beberapa keluarga yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar terkenal dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H
08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar A1-A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun. Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam kitab Almasyra’ dinyatakan: “Dalam kedermawanan bagaikan seorang amir, namun dalam tawadhu’ bagaikan seorang fakir”. Sangat senang menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H.
09. Habib Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya. Zain Al-Abidin sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam ini, bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan yang tinggi ini, Zain Al-Abidin menghadapi banyak lawan, namun selalu menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H
10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Imam Al-Ghazzali dan Annawawi sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab-kitab itu.
11. Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada ulama-ulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua kota suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis sepucuk surat ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai da’i dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya. Berpuluh murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di Tarim, pada tahun 731 H
12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini .
13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya
14. Kendati suasana umum amat suram — pada tahap ini – namun ada juga tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan sosial seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi – Shohibul Maulid Simtud Dhuror(wafat 1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas – (wafat 1334 H.), Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.), Habib Muhammad bin Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al Muhdhar (wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain. Kendati demikian hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya dan tersebar di berbagai penjuru.



Wallahu A`lam…


sumber : wasiatnasehat.blogspot.com