Kamis, 08 Desember 2011

Kisah Mbah Zainal dan Tukang Becak

"Ke Nggading berapa, Kang?" Mbah Zainal Abidin Munawwir, Krapyak, menawar becak.

"Monggo mawon. Terserah panjenengan, Mbah", tukang becak pasrah karena sudah kenal.

"Nggak bisa! Sampeyan harus kasih harga!"

"Yah... seribu, Mbah". Itu harga yang cukup lazim waktu itu, walaupun sedikit agak mahal.

"Lima ratus ya!"

Tukang becak nyengir,

"Masih kurang, Mbah..."

"Enam ratus!"

Tukang becak masih nyengir.

"Ya sudah... tujuh ratus!"

Tukang becak sungkan membantah lagi dan mempersilahkan Mbah Zainal naik.

Sampai tempat tujuan, Mbah Zainal mengulurkan selembar uang ribuan tapi menolak kembaliannya. Tukang becak bengong.

"Kalau tadi kita sepakat seribu, aku cuma dapat pahala wajib", kata Mbah Zainal, "kalau begini ini 'kan yang tiga ratus jadi shodaqohku".

Sumber:http://www.facebook.com/TerongGosong?ref=ts

NABI KHIDIR DAN NABI ILYAS HIDUP SAMPAI HARI KIAMAT

Di dalam kitab “Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah” karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangkan yang artinya sebagai berikut: Telah berkata guru dari guru-guru kami,
Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-’Ala’i di dalam kitab tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat.


Nabi Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan. Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari.

Sedangkan di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya’juj wa Ma’luj (يأجوج و مأجوج) sambil mereka menjaganya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan mengucapkan kalimat:
بسم الله ما شاء الله لا يسوق الخير الا الله بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله

Maka barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan kalajengking.


Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil.

Sebagian ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir itu dari golongan malaikat. Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari kiamat apabila Al-Qur’an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian, Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan.

SYEKH MUHASIBI: BAPAK PSIKOLOGI & ETIKA SUFI

Beliau adalah Syekh Sufi dari Baghdad yang terkenal pada zamannya, yang diakui sebagai “Bapak Psikologi dan Etika Sufi” yang menyatukan ilmu syari’at dan hakikat.
 Beliau tersohor berkat teorinya tentang hakikat jiwa manusia. Julukannya, “Al-Muhasibi” mengacu pada amalan muhasaba yang dilakoninya, yakni melakukan perhitungan dan pemeriksaan atas segala tindakan, motif dan keadaan spiritual dirinya sendiri. Beliau adalah salah satu perumus teori etika Sufistik yang amat teliti. Teori jiwanya ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Riaya li-Huquq Allah wa al-Qiyam Biha.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Bashri al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashrah pada 165 H atau 781 M. Sewaktu kecil beliau pindah ke Baghdad. Beliau mendalami ilmu hadits, ilmu kalam, tafsir dan bergaul dengan ulama-ulama besar pada zaman itu. Sebagai ahli hadits beliau menyusun kitab hadits, namun tulisan beliau di bidang ini dikritik keras oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Imam Hanbal mengkritiknya karena Syekh Al-Muhasibi banyak menggunakan hadits dengan perawi yang lemah, dan karena Syekh Al-Muhasibi juga mendukung penggunaan penalaran dialektis. Parapengikut Imam Hanbal melakukan intimidasi terhadap Syekh Al-Muhasibi dan menghalangi orang menghadiri pengajiannya. Karenanya Syekh Al-Muhasibi terpaksa menyingkir sementara ke Bashrah. Belakangan salah seorang muridnya, JUNAYD AL-BAGHDADI, menulis kitab yang membela gurunya. Syekh Al-Muhasibi hidup dalam kemiskinan dan wafat di Baghdad pada tahun 243 H atau 857 M. Kitab Ri’aya li Huquq Allah sangat berpengaruh terhadap para Sufi selanjutnya. Imam ABU HAMID AL-GHAZALI bahkan secara khusus dipengaruhi oleh kitab ini sebelum memutuskan menulis kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin.
Ajaran dan Karamah
Syekh Al-Muhasibi menyebut ajarannya sebagai “ilmu tentang hati (qalb).” Syekh Al-Muhasibi mengajarkan perjuangan tak kenal lelah melawan hawa nafsu. Beliau juga menekankan pentingnya ridha. Namun beliau meletakkan ridha sebagai bagian dari ahwal (keadaan ruhani), bukan sebagai bagian dari maqam spiritual. Beliau juga banyak membicarakan soal riya’ dan bahaya-bahayanya. Saslah satu nasihat terkenal beliau adalah “Barang siapa menasihati batinnya dengan muraqabah (merasa selalu diawasi Allah) dengan ikhlas, maka Allah akan menghiasi sisi lahiriahnya dengan mujahadah (kesungguhan berjuang di jalan Allah) dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.”
Syekh Muhasibi menjelaskan bahwa pusat ruhani jiwa manusia adalah sirr (kesadaran terdalam), yang berbeda dengan nafs (jiwa-ego, nafsu). Menurut beliau, meski nafsu adalah bagian penting dari manusia, namun menuruti hawa nafsu akan melemahkan daya keruhanian manusia. Dengan menggunakan istilah Al-Qur’an, Syekh Muhasibi menyebut nafsu rendah ini sebagai nafs al-ammara (nafsu amarah, angkara-murka, yang menyeru pada tindakan jahat). Cara utama untuk menjinakkan nafsu ini, menurut Syekh Al-Muhasibi, adalah dengan muhasaba (menelaah keadaan jiwa secara kritis). Melalui muhasabah, nafsu jahat ini akan berubah menjadi nafs lawwamah (nafsu yang mencela-diri). Pada tahap ini seseorang menyadari bahaya dari hawa nafsunya. Tetapi nafsu jenis ini masih belum mantap dan kadang ego jahat muncul berkuasa. Pencelaan pada diri terkadang menimbulkan sikap “benci-diri” dan bahkan keinginan untuk bunuh diri. Karenanya dibutuhkan satu tahap lagi, yakni upaya melampaui ego dan hawa nafsu, agar tercapai tahap nafs al-muthmaina (jiwa yang tenang). Dalam tahap terakhir ini, jiwa akan damai sebab ia telah mengatasi ego manusia dan dikuasai sepenuhnya oleh Allah.
Sebagai Sufi dan Wali Allah, Syekh Al-Muhasibi terkenal hidup wara’. Bahkan sampai beliau wafat, beliau tak mengambil sesenpun warisan dari ayahnya. Beliau selalu mendapat perlindungan dari Allah sehingga bisa terhindar dari makanan yang haram atau subhat. Salah satu karamahnya yang paling terkenal adalah apabila beliau hendak mengambil makanan yang tidak jelas halal-haramnya, seketika itu pula jari-jemarinya mengejang dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Jika hal ini terjadi, beliau tahu bahwa makanan itu adalah haram. Bahkan meski kemudian beliau bisa mengambil sesuap makanan itu, namun beliau tidak bisa menelannya.

NANA ASMA’U FODIYO: Sufi Wanita

Beliau adalah Sufi wanita, anggota Tarekat Qadiriyyah, yang juga terkenal sebagai penyair, ulama, guru dan aktivis perempuan.
Beliau menjadi legenda di kalangan wanita Muslim di Afrika Barat karena perjuangannya dalam memajukan pendidikan wanita, karena kegiatannya dalam persoalan-persoalan sosial dan juga kecerdasan dan kesalehannya.

Asma’u binti Utsman Dan Fodiyo lahir pada 1793, putri dari Shehu Utsman Dan Fodiyo, pemimpin gerakan Sokoto Jihad di Afrika Barat. Sebagai anggota dari klan Fulani Fodiyo, Asma’u menganut Islam Sunni dan menjadi anggota Tarekat Qadiriyyah. Ajaran tarekat inilah yang menjadi pedoman hidupnya di sepanjang hayatnya. Saat masih anak-anak, beliau tinggal bersama dua istri lain ayahnya, Aisha dan Hauwa. Mereka mengajarinya praktik suluk tarekat dan zuhud. Sejak kecil beliau telah menyadari bahwa tugas mengurusi rumah adalah bagian dari pelatihan spiritualnya. Selain mempelajari berbagai macam ilmu agama dan umum, beliau juga belajar menghafal al-Qur’an hingga menjadi hafizah. Beliau mempelajari empat bahasa (Arab, Fulfude, Hausa dan Tamchek). Belakangan beliau menjadi penyair dan cendekiawan yang terkenal hingga ke luar wilayah maghribi.

Asma’u berperan penting dalam proses transformasi tatanan sosial Hausa-Fulani setelah terjadi pergolakan yang disebabkan oleh jihad yang dilancarkan oleh ayahnya. Beliau mengorganisir guru perempuan yang dikenal sebagai jajis untuk mengajar wanita pedesaan. Sajak-sajaknya dipakai sebagai alat untuk mengajarkan prinsip Islam kepada para pengungsi dan wanita pedesaan. Salah satu puisi panjangnya memuat beragam tema seperti pentingnya al-Qur’an, Tauhid, Wali Allah wanita, tanda-tanda kiamat, jihad, cinta kepada Rasulullah SAW, dan puji-pujian kepada para Awliya. Sebagai penganut Tarekat Qadiriyyah beliau menganjurkan kepada umat agar mencari kebenaran tertinggi (hakikat), mementingkan kehidupan akhirat dan bersikap zuhud terhadap dunia. Beliau meninggal pada 1864, dan makamnya yang berada Sokoto, Nigeria, masih menjadi tempat ziarah banyak umat Muslim.

Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi ra.

Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi, adalah salah seorang pemikir tashawuf Islam yang kreatif dan terkemuka, diusir dari kota kelahirannya, Tirmidzi. Mengungsi ke Nishapur di mana beliau memberikan ceramah-ceramah pada tahun 285 H/898 M.
Karya-karya beliau yang bersifat psikologis sangat mempengaruhi al-Ghazali, sedang teorinya yang menghebohkan mengenai Manusia Suci diambil dan dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Sebagai seorang penulis yang kreatif banyak di antara karya-karya beliau, termasuk sebuah sketsa. otobiografi masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
PENDIDIKAN DARI HAKIM AT-TIRMIDZI
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bersama dua orang pelajar lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Ketika mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai buah hati ibu”, sang ibu berkata. “Aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah, bila ananda pergi tak ada lagi seorang pun yang ibunda punyai di atas dunia ini. Selama ini anandalah tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat Tirmidzi, ia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu itu. Suatu hari Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya:
“Di sinilah aku! Tiada seorang pun yang perduli kepadaku yang bodoh ini! Sedang kedua sahabatku itu nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna”.
Tiba-tiba muncul seorang tua dengan wajah yang berseri-seri. Ia menegur Tirmidzi :
“Nak, mengapakah engkau menangis?”
Tirmidzi menceriterakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”, orang tua itu bertanya kepada Tirmidzi.
“Aku bersedia”, jawab Tirmidzi.
“Maka”, Tirmidzi mengisahkan “setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku.
Setelah tiga tahun berlalu barulah aku menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Khidir as. dan aku memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena telah berbakti kepada ibuku”.
ooo
Setiap hari Minggu (Abu Bakr al-Warraq mengisahkan) Khidir as. mengunjungi Tirmidzi dan kemudian mereka memperbincangkan berbagai persoalan. Pada suatu hari Tirmidzi berkata kepadaku:
“Hari ini engkau hendak kuajak pergi ke suatu tempat”.
”Terserah kepada guru”, jawabku.
Kami pun berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang pasir itu aku melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon yang rindang di pinggir sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang berpakaian indah.Syeikh menghampirinya, orang itu berdiri dan mempersilahkan syeikh duduk di atas singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh orang. Kemudian mereka memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan dan mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan orang itu memberi jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali tidak dapat kupahami. Beberapa lama kemudian Tirmidzi memohon diri dan meninggalkan tempat itu.
“Mari kita pergi”; ajak Hakim Tirmidzi kepadaku. “Engkau telah diberkahi”.
Sebentar saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku Bertanya kepada Syeikh Tirmidzi:
“Apakah artinya semua kejadian tadi? tempat apakah itu dan siapakah orang itu?”
itulah lembah pemukiman Bani IsraiI”, jawab Tirmidzi. Dan orang tadi adalah PauI”.
”Bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?”, tanyaku.
“Abu Bakr”, jawab Tirmidzi. “Jika Dia mengantarkan maka sampailah kita. Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan bagaimana, yang perlu engkau sampai ke tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian Tirmidzi bertutur: Betapa pun besar perjuanganku untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil Di dalam keputusasaan aku berkata: “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini untuk disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus kupelihara lagi?”, Maka aku pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang berada di situ aku minta tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah itu iapun pergi meninggalkanku seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku ingin mati terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku terlepas dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir. Dengan putus asa aku berseru:
“Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang tak pantas diterima baik di surga maupun di neraka!” Berkat seruanku di dalam keputusasaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu yang harus kulakukan. Pada saat itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsuku. Selama hayatku, aku bersyukur terhadap saat saat kebebasan itu.
Abu Bakar al-Warraq juga mengisahkan sebagai berikut ini. Pada suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepadaku untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika kuperiksa ternyata buku-buku itu penuh dengan seluk-beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak tega melaksanakan perintah Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut kusimpan di dalam kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu telah kulemparkan ke dalam sungai. Tetapi Tirmidzi bertanya kepadaku: “Apakah yang engkau saksikan setelah itu?”
“Tidak sesuatu pun”, jawabku.
“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke dalam sungai. Pergilah dan buanglah buku-buku itu”, perintah ‘Tirmidzi.
“Ada dua persoalan”, aku berkata di dalam hati. “Yang pertama, mengapa la ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kuselesaikan nanti setelah mencampakkan buku-buku ini ke dalam air?”
Aku terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan buku-buku itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan terlihatlah olehku sebuah peti yang terbuka tutupnya. buku-buku itu jatuh ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Ketika aku kembali, Tirmidzi bertanya; “Sudahkah engkau lemparkan buku itu?”.Aku menyahut: “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia di balik semua ini?”
Tirmidzi menjelaskan: “Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu sufi dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk dipahami oleh manusia-manusia biasa.
Saudaraku Khidir as. meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya”.
ANEKDOT—ANEKDOT MENGENAI TIRMIDZI
Pada waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu mengecam Tirmidzi. Padahal di atas dunia ini, kecuali sebuah pondok, tidak sesuatu pun yang dimiliki Tirmidzi. Ketika Tirmidzi pulang dari Hijaz, ternyata seekor induk anjing telah masuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu dan melahirkan anaknya di situ. Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu. Delapan puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si anjing telah pergi meninggalkan pondok itu membawa anak-anaknya.
Pada malam harinya si pertapa bermimpi bertemu dengan Nabi. Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya:
“Engkau menentang seorang manusia yang telah delapan puluh kali memberikan pertolongan kepada seekor anjing. jika engkau menginginkan kebahagiaan yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan berbaktilah kepadanya”.Si pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya.
ooo
“Apabila guru marah kepada kalian, apakah kalian tahu?”, seseorang bertanya kepada keluarga Tirmidzi.“Ya, kami tahu”, mereka menjawab, “Setiap kali ia marah kepada kami maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya.
Kemudian ia tidak mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah: “Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu sehingga engkau membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampun-Mu! Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!’ Apabila ia bersifat seperti demikian, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu”.
ooo
Telah berapa lama Tirmidzi tidak pernah bertemu dengan Khidir. Pada suatu hari seorang pembantu yang masih gadis mencuci pakaian bayi dan kotoran-kotoran bayi itu dimasukkannya ke dalam sebuah baskom. Sementara itu Syeikh Tirmidzi dengan mengenakan jubah dan sorban yang bersih berjalan ke masjid. Karena suatu hal yang sepele, tiba-tiba si gadis mengamuk dan isi baskom itu tertumpah ke atas kepala Tirmidzi. Tirmidzi tak berkata apa-apa dan menelan amarahnya. Tidak berapa lama kemudian bertemulah ia dengan Khidir.
ooo
Ketika Tirmidzi masih remaja, ada seorang wanita jelita minta dilamar olehnya, tetapi Tirmidzi menolaknya. Pada suatu hari, setelah mengetahui bahwa Tirmidzi sedang berada di dalam taman, si wanita segera berdandan dan pergi pula ke sana. Tetapi begitu melihat kedatangannya, Syeikh Tirmidzi segera mengambil langkah seribu. Si wanita mengejar dan berteriak-teriak bahwa Tirmidzi telah mencoba hendak membunuhnya. Tirmidzi tidak perduli, di panjatnya sebuah pagar yang tinggi dan melompat ke seberang.
Pada suatu hari di masa tuanya, ketika sedang mengkaji perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan apa-apa yang telah diucapkannya, teringatlah ia kepada kejadian itu. Terpikirlah oleh Tirmidzi: “Apakah salahnya jika dahulu aku penuhi kebutuhan wanita itu? Bukankah pada waktu itu aku masih remaja dan oleh karena itu masih sempat bertaubat?”. Ketika menyadari pikiran yang seperti ini Tirmidzi sangat menyesal.
“Wahai diriku yang keji dan pelawan!”, ia berkata, “Empat puluh tahun yang lalu ketika engkau masih remaja dengan semangat yang bergejolak, engkau tidak pernah berpikir seperti ini. Tetapi di masa tuamu ini, setelah sedemikian banyak perjuangan yang engkau menangkan, mengapakah engkau menyesal karena tidak jadi melakukan sebuah dosa?”
Tirmidzi sangat sedih. Tiga hari lamanya ia menyesali pikiran itu. Setelah itu di dalam mimpi ia bertemu dengan Nabi yang berkata kepadanya:
“Muhammad, janganlah engkau bersedih hati. Yang telah terjadi itu bukanlah karena kesalahanmu. Hal itu karena engkau pikirkan empat puluh tahun berlalu sejak kematianku. Waktuku untuk meninggalkan dunia ini telah tertunda sedemikian lamanya, dan aku semakin jauh. Hal itu terjadi bukanlah karena dosamu, dan bukan karena engkau kurang memperoleh kemajuan spiritual. Yang engkau alami itu adalah karena waktuku untuk meninggalkan dunia ini tertunda, bukan karena keaiban di dalam dirimu.
ooo
Kisah berikut ini diduga berasal dari Tirmidzi.
Setelah Adam dan Hawa berkumpul kembali dan taubat mereka diterima Allah, pada suatu hari Adam meninggalkan Hawa seorang diri karena sesuatu keperluan. Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa.
“Aku harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang penting”, si Iblis berkata kepada Hawa. “Tolonglah jaga anakku hingga aku kembali nanti”.
Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi.
“Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku”, jawab Hawa.
“Mengapa engkau sudi menolongnya?}”, Adam mencela Hawa.
Dengan sangat marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap cincangan itu digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam. Tidak lama kemudian Iblis datang.
“Di manakah anakku?”, ia bertanya kepada Hawa.
Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi:
“Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan tubuh anakmu itu digantungkannya pada dahan pohon”.
Si Iblis menyerukan nama anaknya. Potongan-potcongan tubuh anaknya berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudian berlari menyambut ayahnya.
“Jagalah dia”, si Iblis bermohon kepada Hawa, “karena ada urusan lain yang harus kulakukan”.
Mula-mula Hawa menolak tetapi si lblis bermohon sedemikian gigihnya sehingga akhimya ia pun(menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis meninggalkan tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Iblis itu.
”Apakah artinya semua ini?”, tanya Adam.
Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan.
“Aku tak tahu apakah rahasia di balik semua ini”, Adam menghardik, “sehingga engkau tidak mematuhi aku tetapi mematuhi seteru Allah dan terperdaya oleh bujukannya”.
Anak itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian sebagian abunya dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke udara dan diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam terhadap anaknya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat anaknya yang dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan bersimpuh di depan ayahnya.
Sekali Iagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh Hawa.
”Pastilah aku dibunuh Adam nanti”, jawabnya.
Iblis membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya Hawa sekali lagi menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya Hawa bersama anak itu Iagi.
“Allah-lah yang mengetahui apa yang bakal ‘terjadi sekarang ini”; Adam menghardik penuh amarah. “Engkau menuruti kata-katanya dan tak memperdulikan kata-kataku”.
Khannas disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh Khannas dimakannya sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa. (Orang-orang mengatakan sesudah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih dapat menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si IbIis datang pula menanyakan ‘anaknya dan Hawa menceritakan apa yang telah terjadi:
“Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan separuhnya iagi dimakan oleh Adam”.
“IniIah yang selama ini kuinginkan”, si Iblis berseru girang.
“Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini, setelah dadanya menjadi tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu”.[]
BIBLIOGRAFI
L. Massignon, Essai, haIaman 256-264.
G. Brockelmann, op.cit., Suppl I, halaman 325-327.
As-Sulami, op.cit., halaman 217-220.
Abu Nu’ai.m, op.cit., X, 233 -235.
Al-Qushairi, op.cit., halaman 26.
Hujwiri, op.cit., halaman 141-142,.210-241.
Adz-Dzahabi, 0p.cit., II, 20.
As-Subki, op.cit., II, 20.
Jami, op.cit., halaman 118-119.
CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT
“Pendidikan Hakim at-Tirmidzi”: T.A., II, 91-93. Mengenai kunjungan-kunjungan Khidir setiap Minggu lihat karya Hujwiri, halaman 141. Tentang at-Tirmidzi yang membuang buku-bukunya ke sungai Oxus dikisahkan di dalam karya Hujwiri di atas, halaman 142. Mengenai Abu Bakr al-Warraq Iihat karya Hujwiri, halaman 142-143; dan karya as-Sulami, halaman 221 beserta bibliografinya.
”Anekdot-anekdot Mengenai Diri Tirmidzi”: T.A., II, 93-96. Legenda Adam dan Hawa dikisahkan pula di daIam Ilahi-nama, haIaman 102-104 (didalam karya terjemahannya, halaman 172-175).
Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.

Pendiri Tarekat Burhaniyyah/Dasukiyyah

Wali Allah yang masyhur pada zamannya, tokoh tarekat yang berpengaruh besar sampai sekarang
— beliau adalah pendiri Tarekat Dasukiyyah atau Burhaniyyah, dengan ciri pengikutnya biasa memakai surban berwarna hijau.
Syekh Ibrahim Dasuki lahir di Mesir sekitar tahun 623 H di desa Dasuk, sebuah wilayah yang cukup ramai. Ibunda dari Syekh Ibrahim Dasuki adalah Fathiman binti Abdullah ibn Abd al-Jabar, yang merupakan saudara kandu ng Wali Allah terkenal, Sulthan al-Awliya Syekh Abu Hasan as-Syadzili. Selain itu Syekh Ibrahim Dasuki juga memiliki silsilah satu nasab dengan Wali Qutub Syekh Ahmad Badawi dari Tanta.
Syekh Ibrahim Dasuki pertama mempelajari bahasa Arab dan agama sejak kecil. Sejak usia muda beliau sudah hafal al-Qur’an, menguasai tafsir Qur’an dan hadits serta fiqh mazhab Syafi’i. Menurut satu riwayat beliau bahkan sudah mulai berkhalwat sejak usia sekitar 5 tahun. Beliau sejak muda sudah menjadi pengikut Tarekat Syadziliyyah. Sejak usia lima tahun itulah beliau hampir tiada lelah melakukan khalwat. Bahkan pada usia remaja beliau sudah dikunjungi oleh banyak orang dan sebagian besar dari mereka menjadi muridnya. Beliau baru muncul secara penuh di depan publik setelah ayahnya meninggal. Saat itu usia Syekh Dasuki baru 23 tahun. Beliau keluar dari khalwatnya atas desakan murid-muridnya, agar beliau berkonsentrasi mengajar mereka. Karena itu di dekat tempat khalwatnya didirikan zawiyah (pesantren tarekat), di mana dia mengajarkan tarekat yang kelak dikenal sebagai Tarekat Dasukiyyah atau Burhaniyyah.
Setelah Sultan Dzahir mendengar kapasitas keilmuan Syekh Ibrahim Dasuki serta mengetahui murid-muridnya sangat banyak, maka beliau diundang oleh sultan untuk menjadi Syekh Islam di negeri itu. Beliau menerima kedudukan ini, namun gajinya dibagi-bagikan kepada para fakir miskin. Hingga akhir hayatnya, Syekh Dasuki mencurahkan semua waktunya untuk tasawuf, ibadah dan meditasi zikir.
Karya-karyanya
Syekh Dasuki di samping menguasai bahasa arab juga menguasai bahasa asing lain seperti bahasa Suryaniyah dan Ibriyah. Karenanya beliau menulis sejumlah buku dan risalah dalam bahasa Suryaniyah. Syekh Dasuki meninggalkan banyak kitab dalam bidang fiqih, tauhid, dan tafsir, dan bebrapa qasidah. Karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Al-Jawahir atau Al-Haqaiq. Beliau wafat kurang lebih tahun 676 H dalam umur 43 di kota Dasuk, dan dimakamkan di zawiyahnya, persisnya di kamar tempat beliau selalu beribadah di dalamnya. Beliau dikenal sebagai Wali yang memiliki karamah besar. Salah satu karamahnya yang terkenal adalah ketika beliau meramalkan kemenangan Sultan Asyraf Khalin ibn Qalawun dalam peperangan melawan tentara salib – dan ramalan itu terbukti tepat.

Syekh Sa’di Asy-Syirazi

Barangsiapa mengikuti jalan itu (pencarian kebenaran), ia akan kehilangan topi (kebanggaan) dan kepalanya (rasionalitas). (Nizhami, Treasury of Mysteries)

Gulistan (Kebun Mawar) dan Bustan (Kebun Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika serta banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan dan Asia Tengah. Pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang Darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syahabuddin Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.
Pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa diakui sangat besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra jerman. Penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”
Sebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Namun di antara para pengulas sastra Barat, hanya Profesor Codrington yang memahaminya lebih dalam:
“Alegori dalam Gulistan memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan khusus atau alegori digunakan.”
Bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.
Ketika ia mengadakan perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Syekh Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”[1]
Ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tidak hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan guru. Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan din. Bentuk pelatihan ini sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”
Demikian pula tentang ketekunan dalam menjalankan hidup bertapa secara berlebih-lebihan. Pertama kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa, yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.
Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.
Prinsip ini, yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang tipikal. Hikayat ketiga puluh enam yang mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan aturan moral dan tata krama (etika). Namun bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru.
Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan.
Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.”
Bait ini tidak hanya mempunyai maksud bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara; bait ini juga mengandung maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang sebenarnya.
Kemudian, kisah berlanjut, si tuan pada saat itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”
Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian. Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika mempunyai kemampuan membeli.”2
Pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi; maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:
Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya sandiri.” Ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”
Kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Karya Sa’di dibaca dan digemari, karena berisi pemikiran dan puisi-puisi yang bersifat menghibur. Beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar (pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam kebudayaan lain.
Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya — akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:
Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”
Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.
Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana. Ia menyatakan, “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.
Dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:
Sang singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.
Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya.
Sufi sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan orang-orang yang kurang beruntung.
Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat yang sejati:
Seorang raja sedang berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.
Catatan kaki:
1 Kutipan ini dan lainnya adalah terjemahan Aga Omar Ali Shah (MS).
2 “Banyak orang terpelajar dirusak ketidaktahuan dan mempelajari apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadhrat Ahmed ibnu Mahsud, seorang Sufi).

Mengenal Wali Allah yg Tertutupi

Kisah Hikmah Penyejuk jiwa :Almarhum KH. Ahmad Asrory RA ; diceritakan oleh ustaz imam subekti.

SEPUTAR KEMATIAN KYAI MAHMUD

Awal 1998. Masa itu berjalan kebiaasaan rutin, setiap hari Minggu pagi, YAI RA menyempatkan diri menghormat menemui para tetamu, atau diistilahkan dengan sebutan “Majlis Sowanan”. Tempatnya di Ndalem Sepuh – Ponpes RM Jatipurwo Surabaya. Isi majlis itu : satu demi satu tamu “matur” (bertanya/melapor/mengeluhkan) kepada YAI RA. Berbagai hal yang dimaturkan para tamu, untuk memohon Dawuh jawaban tuntunan dari Beliau RA ; mulai dari masalah pribadi/rumah tangga, masalah pekerjaan, sampai masalah jamaah atau ummat. Tapi ada satu hal yang hampir selalu muncul dimaturkan ke Beliau RA, yakni konfirmasi tentang kesiapan Panitya/Pengurus Jamaah dari tempat/daerah yang bakal ketempatan acara Majlis Mubaya’ah/Haul/Manaqiban dsb, sesuai jadwal tahunan yang telah tersusun.


Alkisah, pada suatu hari Minggu, Pengurus Jamaah Lamongan mematurkan tentang kesiapan Majlis Mubaya’ah untuk jadwal hari Selasa pagi pada pekan berikutnya. Jadi dari hari Minggu itu, ada Selasa depan – lalu Selasa berikutnya lagi. Setelah dimaturkan, YAI RA lantas Dawuh (dalam bahasa Jawa kromo, yang terjemah lebih kurang dalam bhs Indonesianya sbb) :

“Ooh, Iya. Kebetulan. Saya mau memberitahu kalau pada Selasa itu, saya tidak bisa untuk hadir. Bagaimana kalau diundurkan dua hari, jadi hari Kamis?“

Spontan salah satu Pengurus Lamongan menjawab : “Yaa, Yai. Insya Allah Kamis, siap”.

Tapi kemudian YAI RA menimpali :

“Jangan diputusi sendiri dulu. Jangan mentang-mentang karena Pengurus, karena berbesar hati di depan saya, terus mutusi sendiri. Jangan. Sekarang Sampean pulang. Rembug dulu dengan yang ketempatan, juga dengan semua yang terkait di sana. Duduk jadi Pengurus itu begitu. Yang “sumeleh”. Semakin dibutuhkan orang, justru semakin bisa jadi wadah. Begitu.”

Kemudian YAI RA meneruskan Dawuhnya :

“Yaa? Begitu saja yaa ..? Ya sudah. Minggu depan, saya minta Sampean datang ke sini lagi. Saya tunggu laporannya, bagaimana hasil musyawarahnya.”

Pada hari Minggu berikutnya, benar, Pengurus datang, sowan dan melaporkan bahwa hasil musyawarahnya menyetujui jika diundur menjadi hari Kamis. Kemudian YAI RA Dawuh :

“Itu tempatnya di mana?”

“Di Lamongan Selatan, Yai” jawab Pengurus

“Seingat saya, saya koq sering mendatangi jadwal Lamongan yang Selatan itu. Malah, yang Lamongan Utara, ingat saya sih, jarang. Sudah lama sekali saya tidak ke Lamongan Utara. Sampai kangen, saya. Yaapa? Apa bisa, khusus untuk jadwal yang ini, saya yang minta, dipindah ditempatkan di daerah Lamongan Utara?”

Pengurus tampak sejenak bingung. Mereka saling menoleh dan berbisik, lantas salah satu memberanikan diri matur : “Inggih Yai. Akan kami pindah, ganti yang Lamongan Utara”

Lantas YAI RA malah balik bertanya :

“Lha, terus … ? Apa siap tempat baru di Utara itu, ketempatan acara? Waktunya kan sudah dekat, tinggal 3-4 hari? Apa tidak “keteteran” bagi yang mau ketempatan?”

3 Orang Pengurus yang datang itu benar-benar diam “klekep”, gak bisa jawab. Mereka jadi seperti “matikutu” dengan pola didikan YAI RA yang sarat maneuver seperti itu. Tapi akhirnya Beliau RA memberikan solusi, dengan Dawuh :

“Begini saja, sudah. Sekarang saya yang memutuskan. Tolong rembug lagi, untuk memilih salah satu tempat di Lamongan Utara. Pelaksanaanya saya tunda pada Kamisnya lagi. Jadi, kamis depan ini – Kamisnya lagi. Sudah. Itu keputusan saya.”

Dalam sowanan pada hari Minggu berikutnya, Si 3 orang pengurus itu datang lagi. Kepada mereka, YAI RA bertanya :

“Sudah dirembug? Jadi di mana tempat di Utara yang dipilih?”

Jawab mereka : “Sampun, Yai. Jadi di Masjid sebelah Zawiyahnya Kyai Mahmud”.

Karena dilihat di Majlis sowanan itu juga tampak hadir Kyai Mahmud yang disebut-sebut mau ketempatan itu, Beliau RA sambil setengah bercanda memecah ketegangan, Dawuh :

“Lha itu kan, ada Mahmud. Yaa, Mud … Marmuuud … He..he..he.. Siap ta kamu, Mud?

Spontan Kyai Kyai Mahmud menjawab : “Ngih, Yai. Alhamdulillah. Nyuwun berkah Yai. Insya Allah siap.”

Beliau RA lalu menegaskan :

“Ya begitu. Bagus. Untuk Ke Allah itu, “ kudu kendel” (harus berbesar hati). Siap Yai, begitu”

Tibalah saatnya hari Kamis yang dinanti-nantikan. Seperti biasanya, YAI RA berangkat pagi ba’da Shubuh dari Ndalem Kedinding Surabaya, menuju Gresik untuk sejenak transit, sekaligus mengajak dari teman “Orong-Orong” (sebelum dijuluki “Al-Khidmah”) yang memang sudah siap untuk diajak ikut serta “Nderek” Yai.

Waktu itu, tempat transitnya di salah satu ruko di Multi Sarana Plaza – Gresik, tempat yang sudah biasa dijadikan jujugan. Oleh pemiliknya, di ruko tersebut memang dikondisikan untuk lantai 2-nya disiapkan khusus buat istirahat YAI RA. Sedangkan pendereknya siap menunggu di bawah.

Pada kebiasaan sebelum-sebelumnya, kalau lokasi acaranya di Lamongan, YAI RA turun dari lantai 2 itu sekitar pukul 06.00 atau paling lambat 06.30. Namun syahdan, tidak biasanya, Kamis itu, hingga pukul 07.30 YAI RA belum juga tampak turun. Dua orang penderek yang menunggu di bawah, gelisah. “Tidak biasanya Yai begini”. Tapi juga tidak berani “ngapa-ngapain”. Tetap menunggu saja.

Pada sekitar jam 08.00, YAI RA turun dan langsung mengajak berangkat. Sambil berjalan menuju mobil, sempat Beliau berbasa-basi dengan salah satu pendereknya : “Saya telat, yaa Fulan? Gak apa-apa wis. Enggak, koq, Insya Allah”. Si penderek cuma senyum, gak berani jawab apa-apa, dan merasa bahwa toh tidak paham apa maksudnya dan kenapanya.

YAI RA sampai di lokasi acara pada sekitar pukul 09.15. Apa yang kemudian kita saksikan, atas apa yang terjadi di lokasi, saat Beliau RA rawuh? Seluruh jamaah yang hadir, yang jumlahnya ribuan itu, menangis histeris, sambil melihat dan membukakan jalan bagi YAI RA, yang terus berjalan dengan langkah cepat menuju Peimaman Masjid.

Kenapa jamaah pada menangis histeris? Sub-haanallaaHh Wa Inna LillaaaHh. Ternyata, Kamis pagi jam 08.00 hari itu, di tempat acara itu, Sang Shahibul-Bait, KYAI MAHMUD, WAFAT, DIPANGGIL OLEH ALLAH, SECARA MENDADAK. Saat Beliau RA berjalan, dari turun mobil menuju ke dalam Masjid, beberapa Panitya sempat berusaha mengejar untuk maksud mau matur menceritakan yang tengah terjadi. Tapi, antara tidak berani dan memang tidak ada kesempatan karena begitu cepatnya langkah YAI RA.

Lagi-lagi Sub-haanallaaHh, saat YAI RA melihat bahwa di peimaman ada peti jenazah, wajah Beliau sedikit pun tidak menampakkan perasaan kaget samasekali. Beliau RA langsung Dawuh :
“Ayo, sudah. Kita sholati … !!” Dan Beliau RA sendiri yang mengimami, kemudian memimpin tahlil serta doa, dengan diikuti dan diamini oleh sekian ribu jamaah itu.

Selesai sholat jenazah, tanpa kata-kata lagi, YAI RA mengajak jamaah untuk langsung ber-Mubaaya’ah. Dan seusai prosesi Mubaya’ah, YAI RA meminta agar jenazah langsung dibawa ke makam. Tempat makam yang telah disiapkan ternyata tidak jauh, yakni di belakang Masjid. Beliau RA juga ikut berjalan mengiring jenazah ke pemakaman. Setelah selesai semuanya, maka Beliau RA sendiri yang memimpin melakukan Talqin untuk Almarhum, juga memimpin tahlil sampai lengkap dengan doanya.

Pengakuan dari salah satu penderek Beliau sewaktu perjalanan pulang seusai itu : “Seumur-umur, baru ini saya menyaksikan jenazah, yang sejak sholat jenazah, proses pemakaman, sampai talqin hingga selesai, Yai sendiri yang memimpin.”

Secara tampak dlohir, Almarhum Kyai Mahmud ini orang “biasa-biasa saja”. Beliau salah satu Imam Khususi, tapi tampilan dan “gawan” dirinya tidak tampak sebagai seorang Kyai. Kesana-kemari seringkali jalan kaki dengan memakai “gamparan” (sandal japit dari kayu). Dalam pergaulan juga biasa. Seringkali tampak mengajak atau diajak bercanda teman muda-muda penderek Yai, dan mereka tanpa ada beban rasa sungkan atau kecanggungan. Tapi yang pasti, dari statement yang sering diucapkannya, tampak bahwa keyakinannya kepada Gurunya luar biasa.

Barangkali memang Kyai Mahmud ini bukan “orang sembarangan” di mata Allah. Dan bukankah kisah tentang kematiannya ini bukti yang sudah bukan isyarat lagi (?). Maka benarlah apa yang pernah di-Dawuhkan YAI RA, ketika menirukan Dawuh dari Ibnu Atho’illah RA : “Mahasuci Allah, Dzat Yang Menutupi atau Menyembunyikan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada hamba-Nya yang dipilih-Nya, melalui cara, justru, menampakkan sifat-sifat manusiawi (basyariyah)-nya.”

Terakhir, yang mencengangkan lagi, ialah jika kita runtut kisah di atas dari awal. Kenapa YAI RA waktu dimaturi awal itu terus meminta untuk ditunda dari Selasa ke Kamis? lantas ditunda lagi ke Kamis berikutnya? Juga meminta untuk dipindahkan lokasinya dari Lamongan Selatan ke Utara? Dan orang-orang Panitya dan Pengurus diminta musyawarah untuk menentukan lokasinya sendiri, tapi kemudian, Sub-haanallah, keputusan mereka akhirnya memilih tempat di Kyai Mahmud, sehingga itu seolah memang bukan pilihan atau keputusan dari YAI RA? Dan, ini hanya copy-paste dari Dawuh YAI RA yang telah tertulis pada bagian cerita di atas, tapi mungkin makna yang kita tangkap jadi sudah beda, setelah semuanya terjadi :

“Ya begitu. Bagus. Untuk Ke Allah itu, “ kudu kendel” (harus berbesar hati)”.

Hadirnya Nabi Khidir AS pada wafatnya Nabi Muhammad SAW

Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah,
 kemudian beliau memperhatikan kami sekalian sehingga berderrailah air matanya dan bersabda: “Selamat datang bagi kamu sekalian dan mudah-mudahan kamu sekalian dibelas kasihani oleh Allah, saya berwasiat agar kamu sekalian bertaqwa kepada Allah sertamentaatiNya. Sungguh telah dekat hari perpisahan kita dan telah dekat pula saat hamba yang dikembalikan pulang kepada Allah ta’ala dan menemui surgaNya. Kalau sudah datang saat ajalku, hendaklah Aly yang memandikan, Fadhal bin Abas yang menuangkan air, dan Usamah bin Zaid yang menolong keduanya, kemudian kafanilah aku dengan pakaianku sendiri, bila kamu sekalian menghendaki, atau dengan kain Yaman yang putih; Kalau kamu sekalian memandikan aku, maka taruhlah aku diatas balai tempat tidurku dirumahku ini, dekat dengan lobang lahatku. Sesudah itu keluarlah kamu sekalian barang sesaat meninggalkan aku. Pertama-tama yang mensholati aku ialah Allah Aza wajalla, kemudian malaikat Jibril, kemudian malaikat Isrofil, malaikat Mikail, kemudian malaikat Izroil dan beserta para pembantunya, selanjutnya semua para malaikat. Sesudah itu masuklah kamu sekalian dengan berkelompok-kelompok dan lakukan sholat untukku.”
Setelah mereka mendengarkan ucapan perpisahan Nabi Muhammad saw, mereka para sahabat menjerit dan menangis seraya berkata, “Wahai Rosullullah, Engkau adalah seorang Utusan untuk Kami sekalian , menjadi kekuatan dalam pertemuan Kami dan sebagai penguasa yang mengurus perkara Kami, bila mana Engkau telah pergi dari Kami, kepada siapakah Kami kembali dalam segala persoalan?”
Rosullullah bersabda,”Telah kutinggalkan kamu sekalian pada jalan yang benar dan diatas jalan yang terang dan telah kutinggalkan pula untuk kamu sekalian dua penasehat yang satu pandai bicara yang satunya diam saja, yang pandai bicara adalah al-Qur’an dan yang diam adalah ajal atau kematian. Apabila ada persoalan yang sulit bagimu, maka kembalilah kamu sekalian kepada Al-Qur’an dan kepada sunnah. Dan kalau hati kamu keras membatu maka lunakkan dia dengan mengambil tamsil ibarat dari hal ihwal mati.
Sesudah itu maka Rosullullah saw menderita sakit mulai akhir bulan Shafar selama delapan belas hari. Para sahabat pun menengok silih berganti. Sedang penyakit yang diderita mulai hari pertama sehingga akhir hayatnya ialah pusing kepala.
Rosullullah mulai menjadi Rosullullah pada hari senin dan wafat juga pada hari senin. Tatkala pada hari senin, penyakit beliau bertambah berat. Maka setelah Bilal selesai adzan subuh, dia pergi menghampiri pintu rumah Rosullullah saw sambil mengucapkan salam, “Assalamu alaika ya Rosullullah!” Siti Fatimah menjawab, “ Rosullullah masih sibuk dengan dirinya sendiri” Bilal terus kembali masuk ke Masjid, dia tidak memahami kata-kata Fatimah. Ketika waktu subuh makin terang, Bilal datang lagi menghampiri pintu rumah Rosullullah saw dan salam seperti semula. Rosullullah mendengar suara Bilal itu, maka beliau bersabda: ‘’ Masuklah hai Bilal, aku masih sibuk terhadap diriku sendiri dan penyakitku rasanya bertambah berat. Maka suruhlah Abu Bakar agar sholat berjamaah dengan orang-orang yang hadir. Bilalpun keluar sambil menangis dan meletakkan tangannya diatas kepala, sambil mengeluh, “Aduh musibah, susah, terputus harapan, telah habis hilang tempat tujuan, andaikata ibuku tidak melahirkan aku.”
Bilal terus masuk masjid dan berkata,”Hai sahabat Abu Bakar, sungguh Rosullullah menyuruh engkau agar sholat bersama-sama dengan orang yang hadir, karena Beliau sibuk mengurusi dirinya yang sedang sakit. Ketika Abu Bakar melihat mihrab (tempat sholat imam) kosong dan Rosullullah tidak hadir, maka Abu Bakar menjerit keras sekali dan jatuh tersungkur karena pingsan. Maka ributlah kaum muslimin, sehingga Rosullullah mendengar keributan mereka, dan bertanya kepada Fatimah, “Hai Fatimah mengapa pagi ini, dan apakah keributan di sana itu?” Siti Fatimah menjawab, “Keributan di sana itu ialah kaum muslimin sendiri , karena engkau tidak hadir”. Maka Rosullullah saw memanggil Ali dan Fadhan bin Abbas, lalu beliau bersandar kepada keduanya dan keluar rumah menuju masjid lalu sholat bersama-sama dengan mereka dua rekaat. Selesai sholat beliau berpaling ke belakang dan bersabda, ”Hai kaum muslimin, Kamu semua dalam pemeliharaan dan pertolongan Allah, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah serta mentaatinya, maka sesungguhnya saya akan meninggalkan dunia ini. Dan di hari ini hari pertamaku di akhirat dan hari terakhir bagiku di dunia”.
Lalu Rosullullah saw berdiri dan pulang ke rumahnya. Kemudian Allah ta’ala memberi perintah kepada malaikat kematian, ”Turunlah Engkau kepada KekasihKu dengan sebaik-baiknya bentuk, dan lakukan dengan halus dalam mencabut ruhnya, kalau dia mengijinkan kamu masuk, masuklah dan kalau tidak mengijinkan maka janganlah masuk dan kembalilah”.
Maka malaikat kematian pun turun dengan bentuk seperti orang Arab Baduwi desa, seraya mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum ya ahlal baiti nubuwwati wa ma’danir risalati adkhulu?(mudah-mudahan keselamatan tetap untuk kamu sekalian, wahai penghuni rumah kenabian dan sumber risalah, apakah saya boleh masuk?) ”
Maka Rosullullah saw mendengarkan suara malaikat kematian itu dan bersabda, “Hai Fatimah, siapa yang berada di pintu?” Siti Fatimah menjawab, “Seorang Arab Baduwi yang memanggi dantelah aku katakan bahwa Rosullullah sedang sibuk menderita sakitnya, kemudian memanggil lagi yang ketiga kali seperti itu juga, makadia memandang tajam kepadaku, sehingga menggigil gemetar badanku, terasa takut hatiku dan bergeraklah sendi-sendi tulangku seakan-akan hampir berpisah satu sama lainnya serta berubah menjadi pucat warnaku, Rosullullah saw bersabda, “Tahukah engkau wahai Fatimah, siapa dia” Siti Fatimah menjawab, “Tidak” Rosullullah bersabda, “Dia adalah Malaikat yang mencabut segala kelezatan, yang memutus segala macam nafsu syahwat, yang memisahkan perkumpulan-perkumpulan dan yang memusnahkan semua rumah serta meramaikan keadaan kuburan.”
Maka menangislah Siti Fatimah, dengan tangisan yang keras sekali sambil berkata, “ Aduhai celaka nantinya, sebab kematiannya Nabi yang terakhir, sungguh merupakan bencana besar dengan wafatnya orang yang paling taqwa, terputusnya dari pimpinannya para orang-orang yang suci serta penyesalan bagi kami sekalian karena terputusnya wahyu dari langit, maka sungguh saya terhalang mendengarkan perkataan engkau, dan tidak lagi bisa mendengarkan salam engkau sesudah hari ini” Kata Rosullullah, “Jangan Engkau menangis Fatimah, karena sesungguhnya, engkaulah dari antara keluargaku yang pertama berjumpa dengan aku” Selanjutnya Rosullullah saw bersabda, “Masuklah Engkau Malaikat Kematian, Maka Malaikat Kematianpun masuk sambil mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaika yaa Rosullullah” Rosullullah menjawab, “Wa laika salam, hai malaikat kematian, engkau datang untuk berkunjung atau untuk mencabut nyawaku?” Kata malaikat Kematian, “Saya datang untuk berkunjung dan untuk mencabut nyawa, sekiranya Engkau mengijinkan. Kalau tidak maka saya akan kembali”.
Kata Rosullullah, “ Hai Malaikat Kematian, dimana Jibril Engkau tinggalkan?” Kata malaikat Kematian, ”Dia saya tinggalkan di langit duniadan para malaikat sedang menghormat memuliakan dia”. Tidak selang sesaat Malaikat Jibril as pun turun dan duduk diarah kepala Rosullullah saw. Kata Rosullullah saw, “Tahukah Engkau kalau ajalku telah dekat?” Jawab malaikat Jibril, “Ya Tahu, Yaa Rosullullah” Kata Rosullullah, “Beritahukanlah kepadaku kemuliaan yang menggembirakanku di sisi Allah”.
Kata Jibril, “Sungguh pintu-pintu langit telah dibuka, para malaikat telah berbaris rapi, menanti ruh engkau di langit, pintu-pintu surga telah telah dibuka dan para bidadari telah berhias menanti kehadiran ruh Engkau”.
Kata Rosullullah, “Alhamdulillah, Hai Jibril, berilah berita gembira tentang umatku di hari kiamat”. Jibril berkata, “Saya beritahukan, bahwa sesungguhnya bahwa Allah ta’ala berfirman, Sungguh telah Aku larang para nabi masuk ke dalam Surga, sehingga engkau masuk lebih dulu, dan Aku larang juga semua umat sehingga umat engkau masuk lebih dahulu.” Kata Rosullullah, “Sekarang telah puas hatiku dan hilanglah rasa susahku. Hai malaikat Kematian mendekatlah kepadaku.”
Malaikat Kematian mendekat dan melaksanakan tugasnya mencabut ruh Beliau, dan ketika ruh sampai di pusat (perut), Rosullullah berkata, “Hai Jibril, alangkah dahsyatnya rasa mati itu” maka malaikat Jibril memalingkan wajahnya dari Rosullullah saw, “Hai Jibril apakah Engkau tidak suka melihat wajahku?” Kata Jibril, “Wahai kekasih Allah, siapakah orangnya yang sampai hati melihat wajah Engkau, sedang Engkau di dalam sakaratul maut”.
Annas bin Malik ra berkata, “ketika ruh nabi Muhammad saw sampai di dada beliau bersabda, Aku wasiatkan agar kamu sekalan menjaga sholat dan apa-apa yang menjadi tanggungannmu maka, masih saja beliau berwasiat dengan keduanya itu sampai putuslah perkataannya.”
Kata Ali ra, ´Sungguh Rosullullah saw ketika menjelang akhir hanyatnya telah menggerakkan dua bbibirnya dua kali, dan ketika saya mendekatkan telinga, saya mendengarkan beliau mengucapkan dengan pelan-pelan, umatku… umatku…”
Maka ruh Rosulullah saw dicabut pada hari senin bulan Rabi’ul awwal. Seandainya dunia ini akan kekal bagi seseorang, Niscaya Rosulullah saw di dunia ini akan kekal.
Diriwayatkan, bahwa Ali telah membaringkan jenazah Rosullullah saw untuk dimandikan tiba-tiba ada suara dari sudut rumah yang mengatakan dengan keras sekali, “Muhammad jangan engkau mandikan karena dia sudah suci dan disucikan” maka timbullah keragu-raguan pada diri Ali terhadap suara itu. Kata Ali, “Siapa Engkau sebenarnya, karena sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah memerintahkan untuk memandikan.”
Tiba-tiba ada suara lain yang mengatakan, “Wahai Ali, mandikanlah dia,karena sesungguhnya suara yang pertama tadi adalah suara Iblis terkutuk, sebab dengki terhadap Muhammad saw maka dia bermaksud agar beliau dimasukkan ke dalam kubur tanpa dimandikan”.
Kata Ali, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, sebab Engkau telah memberitahukan bahwa tadi itu suara iblis terkutuk, maka siapakah Engkau?” Suara itu menjawab, “Saya adalah Nabi Khidir, menghadiri jenazah Nabi Muhammad saw.”
Selanjutnya Ali ra, memandikan Jasad Nabi Muhammad saw, Fadhal bin Abbas dan Usamah bin Zahid ra yang menuangkan air dan malaikat Jibril telah datang dengan membawa obat penahan kehancuran jasad dari surga. Kemudian mereka mengkafani beliau serta menguburnya di kamar Siti Aisyah ra, di tengah malam Rabu, sedang Siti Aisyah ra berdiri di atas kubur Nabi Muhammad saw sambil berkata, “Hai orang yang belum pernah mengenakan pakaian dari sutra, dan belum pernah tidur di atas ranjang yang empuk, hai orang yang keluar dari dunia sedang perutnya belum pernah kenyang meskipun dengan roti,dengan gandum kasar; hai orang yang memilih tidur di atas tikar daripada balai/ranjang; hai orang yang tidak tidur sepanjang malam karena takut siksa neraka Sa’ir” (Duratun Nasihin, Pengajian ke 16)

Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy

Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan.

Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”

Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.

Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.

Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.

Cinta Ilahiah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.

Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”

Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”

Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.

Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”

Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”

Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.

“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.

Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”

“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.

Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.

# # # #

Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.

Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”

Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”

Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Kisah Sufi Abu Hafs Al-Haddad

Abu Hafs Amr ibnu Salamah al-Haddad adalah seorang tukang pandai besi di Nisyabur.
Ia pergi ke Baghdad dan bertemu dengan Junaid yang mengagumi ketaatannya. Ia juga bertemu dengan As-Syibli dan para sufi mazhab Baghdad lainnya.

Kemudian ia kembali lagi ke Nisyabur, melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang Pande Besi, dan meninggal dunia di sana pada 265 H / 879 M.

Sebagai seorang lelaki muda Abu Hafs pernah jatuh cinta pada seorang gadis pelayan. Begitu tergila-gilanya Abu Hafs pada gadis itu, sampai-sampai setiap hari ia selalu gelisah.

Teman-temannya berkata padanya, “Ada seorang dukun Yahudi tinggal di pinggiran Kota Nisyabur. Ia akan bisa membantumu.”

Abu Hafs pergi menemui dukun Yahudi yang dimaksud dan menjelaskan masalahnya.

Si dukun Yahudi itu menasihati, “Selama 40 hari, engkau tidak boleh shalat, atau mematuhi semua perintah Tuhan dengan cara apapun, atau melakukan perbuatan baik, sekecil apapun. Janganlah pernah menyebut nama Tuhan, atau berniat baik, apapun niat itu, setelah itu aku akan membantumu dengan sihir untuk mewujudkan keinginanmu.”

Selama 40 hari Abu Hafs melakukan apa yang diperintahkan oleh si dukun, kemudian si dukun memberikan jimat, tapi tak membawa hasil seperti yang diharapkan.

“Pastilah sesuatu yang baik telah terwujud melaluimu,” kata si dukun Yahudi, “Kalau tidak, aku yakin keinginanmu pasti terwujud.”

“Aku tidak melakukan apa-apa,” kata Abu Hafs berusaha meyakinkan. “Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah ketika aku menuju ke sini, aku menendang sebongkah batu keluar dari jalan agar tidak ada orang yang tersandung olehnya.”

“Jangan plin-plan di hadapan Tuhan,” kata si Yahudi, “Yang perintah-Nya telah kau abaikan selama 40 hari dan yang dengan kemahapemurahan-Nya tidak menyia-nyiakan bahkan perbuatan baik sekecil apapun yang engkau lakukan.”

Kata-kata ini serasa membakar hati Abu Hafs. Begitu kuatnya pengaruh kata-kata si Yahudi itu, sehingga ia meninggalkan gaya hidupnya yang telah ia jalani selama ini.

Abu Hafs tetap menjalankan profesinya sebagai pandai besi, menyembunyikan keajaiban yang telah ia alami. Setiap hari ia mendapat satu dinar. Malam harinya ia menyedekahkan seluruh penghasilannya kepada fakir miskin, dan meletakkan uang itu di depan pintu rumah para janda secara sembunyi-sembunyi. Lalu pada saat malam tiba, ia mengemis, dan berbuka puasa dengan hasil mengemisnya. Terkadang ia mengumpulkan sisa-sisa bawang perai di tempat cuci umum, dimana orang-orang biasa mencuci bahan makanan mereka, dan membuat makanan dari sisa-sisa ini.

Dengan tangan telanjang ia mengambil besi panas dari dalam tungku. Ia menempatkan besi itu di tempat penempaan. Anak buahnya bersiap untuk menempanya. Mereka kemudian melihat Abu Hafs menempa besi panas itu dengan tangannya.

“Tuan, apa-apaan ini?” pekik mereka.

“Ayo tempa! Perintahnya pada para pekerjanya.

“Tuan, apa yang harus kami tempa?” Tanya mereka. “Besi ini telah jadi.”

Abu Hafs baru sadar, ia melihat besi panas di tangannya dan mendengar suara anak buahnya, “Besinya telah rapi, apa yang harus kami tempa?”

Abu Hafs segera melepaskan besi panas itu dari genggamannya, kemudian ia meninggalkan tempat usahanya.

“Sudah sejak lama aku ingin dengan sengaja berhenti dari pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai kejadian ini menimpaku dan merenggutku secara paksa dari diriku sendiri. Dulu, walaupun aku terus berusaha untuk meninggalkan pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai pekerjaan ini meninggalkanku.

Setelah kejadian itu, ia menjalankan disiplin diri yang sangat keras, dan melakukan meditasi dalam kehidupan terasing.

Suatu saat ia berniat haji. Tapi ia seorang yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa arab. Saat ia tiba di Baghdad, murid-murid Junaid berbisik-bisik satu sama lain, “Sungguh memalukan, syekhnya para syekh Khurasan buta huruf dan membutuhkan penerjemah bahasa Arab.”

Junaid mengutus murid-muridnya untuk menyambut kedatangan Abu hafs. Abu Hafs tahu apa yang dipikirkan oleh murid-murid Junaid. Tiba-tiba ia mulai berbicara dalam bahasa Arab, begitu fasih, sampai-sampai orang-orang takjub mendengarnya.

***

Sejumlah ulama berkumpul untuk bermusyawarah dan bertanya kepada Abu hafs tentang cinta yang penuh dengan pengorbanan diri.

“Kalian mampun mengekspresikan diri kalian sendiri. Kalian saja yang menjawab,” tukas Abu hafs.

Junaid berkata, “Menurutku, pengorbanan diri sejati berarti engkau tidak menganggap dirimu dirimu berkorban, dan engkau tidak menganggap dirimu berjasa atas apa pun yang telah engkau lakukan.”

“Bagus sekali,” komentar Abu Hafs. “Tapi menurutku, pengorbanan diri berarti berlaku adil terhadap orang lain, dan tidak mencari-cari keadilan bagi diri sendiri.”

“Wahai murid-muridku, berlakulah seperti itu,” kata Junaid.

“Berlaku benar tidak cukup dengan kata-kata,” Ujar Abu hafs.

“Bangkitlah wahai murid-muridku,” perintah Junaid setelah mendengar kata-kata Abu Hafs. “Pengorbanan diri Abu Hafs tiada tandingannya.”

***

Abu Hafs melatih murid-muridnya dengan disiplin yang sangat keras dan sopan santun. Tidak ada muridnya yang berani duduk di dekatnya atau menatapnya langsung. Mereka selalu berdiri kala berada di dekatnya, dan tidak akan duduk tanpa perintahnya. Abu Hafs sendiri duduk ditengah-tengah para muridnya seperti seorang sultan.

Junaid berkata, “Engkau mengajari murid-muridmu tata karma terhadap sultan.”

“Engkau hanya melihat kulit luarnya saja,” tukas Abu Hafs. “Namun dari alamat , kita dapat memperkirakan isi suratnya.”

Kemudian Abu Hafs berkata kepada Junaid, “Perintahkan muridku untuk membuat kadu dan Halwa.”

Junaid menyuruh salah seorang murid Abu Hafs untuk membuat Kaldu dan Halwa. Ketika kedua jenis makanan itu di bawa kehadapannya, Abu Hafs melanjutkan, “Panggillah seorang kurir dan letakkan makanan ini di atas kepalanya. Suruh ia berjalan membawa makanan ini di kepalanya sampai ia merasa lelah. Lalu, di rumah manapun ia sampai, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapapun yang membukakan pintu, suruh si kurir untuk memberikan makanan ini padanya.”

Si kurir itu mengikuti semua instruksi yang diberikan Abu Hafs. Ia terus berjalan sampai ia sangat lelah dan tidak bisa terus berjalan. Ia meletakkan makanan yang dibawanya di depan pintu sebuah rumah, lalu memberi salam. Sang pemilik rumah seorang lelaki tua, menjawab, “Jika engkau membawa Kaldu dan Halwa, aku akan membawakan pintu.”

“Ya, aku membawa Kaldu dan Halwa,” jawab si kurir.

“Bawa makanan itu masuk,” kata si empunya rumah sambil membukakan pintu.

Si Kurir mengisahkan, “Aku begitu takjub. Aku bertanya pada lelaki tua itu, “Apa yang terjadi? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku datang dengan membawa Kaldu dan Halwa?” lelaki tua itu menjawab, “semalam, saat aku sedang berdoa, aku teringat sesuaatu, bahwa anak-anakku telah lama menginginkan Kaldu dan Halwa, aku percaya bahwa doaku tidaklah sia-sia.”

***

Ada seorang murid Abu Hafs yang menunggu dengan sikap dan kesopanan yang luar biasa. Junaid berkali-kali memandangnya, karena ia sangat terkesan dengan sikap murid Abu Hafs itu.

Junaid bertanya kepada Abu Hafs, “Sudah berapa lama ia menjadi muridmu?”

“Sepuluh tahun,” jawab Abu Hafs.

“Tata kramanya sempurna, ia benar-benar bermartabat, anak muda yang sungguh mengagumkan.” Kata Junaid.

“Ya,” ujar Abu Hafs, “Ia telah menghabiskan 17 ribu dinar uangnya untuk keperluan kami, dan telah meminjam 17 ribu dinar lagi untuk keperluan kami. Namun setelah semua itu, ia masih saja belum berani mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami.”

***

Ketika Abu Hafs berada di Mekkah, ia melihat sekelompok jemaah haji yang miskin dan papa di sana. Ia ingin memberikan sesuatu kepada mereka, dan merasa sangat terguncang melihat keadaan mereka.

Dengan perasaan terguncang seperti itu, ia memungut sebuah batu dan memekik, “Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberiku sesuatu, maka aku akan memecahkan seluruh lampu yang ada di masjidil Haram ini.”

Kemudian ia melakukan tawaf, mengelilingi ka’bah. Tiba-tiba seorang lelaki mendatanginya dan memberinya sekantong emas. Abu Hafs kemudian membagi-bagikan emas itu kepada kaum miskin tadi.

Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali ke Baghdad. Di sana murid-murid Junaid keluar menyambutnya dengan segala kehormatan.

“Apa oleh-oleh yang engkau bawa dari perjalananmu?” Tanya Junaid.

“Yang akan kukatakan ini adalah oleh-oleh dariku,” jawab Abu Hafs. Mungkin salah seorang saudara kita tidak mampu hidup (berlaku) sebagaimana seharusnya. Jika engkau mendapati saudaramu berkelakuan buruk, carilah alsan baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu tidak juga hilang dengan alasan itu, maka carilah alasan yang lebih baik lagi baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu masih juga belum hilang, carilah alasan lain, teruslah begitu, bahkan sampai empat puluh kali. Jika debu kesalahpahaman itu lagi-lagi belum juga hilang, sementara engkau berada di pihak yang benar, dan empat puluh alasan tadi tidak juga mampu menutupi kesalahan saudaramu itu matamu, maka duduklah, dan katakana pada dirimu sendiri, “Engkau benar-benar jiwa yang keras kepala dan bebal, engkau benar-benar kepala batu, kurang ajar, dan tak tahu diri, saudaramu mengemukakan empat puluh alasan bagi kesalahannya, namun engkau tidak menerima semua alasan itu dan berkeras dengan sikapmu, aku berlepas diri darimu. Engkau tahu apa yang engkau enginkan, lakukanlah sesukamu!”

Junaid bernar-benar kagum dengan kata-kata ini. “Siapa yang dapat memiliki kekuatan seperti itu?” tanyanya dalam hati.

***

Sebagai tuan rumah, Syibli menerima dan melayani Abu Hafs di rumahnya selama empat bulan. Syibli menyuguhkan makanan serta beberapa jenis manisan yang berbeda setiap harinya.

Setelah empat bulan berlalu, Abu Hafs berpamitan kepada Syibli. “Syibli, jika engkau datang Nisyabur, aku akan menunjukkan padamu keramah tamahan dan dan kedermawanan yang sesungguhnya.”

“Ada apa, apa yang telah aku lakukan, wahai Abu Hafs?” Tanya Syibli.

“Engkau telah banyak berkorban selama aku di sini. Namun pemborosan tidaklah sama dengan kedermawanan,” kata Abu Hafs. “Seseorang harus memperlakukan tamunya tepat sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Dengan begitu, tamunya itu tidak akan membebaninya, dan saat kepergian tamunya itu tidak akan menjadi saat yang membahagiakannya. Jika engkau berlebih-lebihan dalam melayani tamumu, maka kehadirannya akan membebanimu dan kepergiannya akan melegakanmu. Seseorang yang merasa seperti itu bukanlah seorang dermawan sejati.”

Ketika Syibli berkunjung ke Nisyabur, ia tinggal di rumah Abu Hafs. Si tuan rumah mengadakan jamuan makan untuk empat puluh orang tamunya. Pada malam hari, Abu Hafs menyalakan 41 buah lampu.

“Bukankah engkau telah mengatakan bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan,” Tanya Syibli.

“Bangkitlah, dan matikanlah lampu-lampu itu,” tukas Abu Hafs.

Syibli pun bangkit mematikan lampu, namun ia hanya berhasil memadamkan satu buah lampu.

“Wahai Syekh, mengapa bisa begini?” tanyan Syibli.

Abu Hafs menjelaskan, “Kalian ada 40 orang, wahai para utusan Tuhan. Tamu adalah utusan Tuhan. Aku menyalakan 40 buah lampu itu dengan nama masing-masing kalian, karena Allah. Sedangkan yang satunya aku nyalakan bagi diriku sendiri. 40 lampu yang kunyalakan karena Allah, tidak dapat engkau padamkan, tapi satu lampu yang kunyalakan untuk diriku sendiri, bisa engkau padamkan. Semua yang telah engkau lakukan di Baghdad, engkau lakukan karena aku, sedangkan yang kulakukan ini, aku lakukan karena Allah. Jadi, yang engkau lakukan adalah pemborosan, sedangkan yang kulakukan bukan pemborosan, tapi kedermawanan.

Syeikh Muhammad Al-Hasyimi

Syeikh Muhammad Al-Hasyimi dilahirkan dari kedua orangtua yang soleh, keduanya termasuk ahli bait Nabi s.a.w., nasabnya kembali pada Hasan bin Ali r.a,
 beliau dilahirkan pada hari sabtu 22 Syawal 1298 H di kota Sabtah sebuah kota di Tilmisan, yang merupakan kota termasyhur di Algeria. Ayahnya adalah salah seorang ulama dan hakim di kota tersebut. Ketika wafat ayahnya meninggalkan anak-anak yang masih kecil dan beliau adalah anak yang paling tua di antara mereka.
Selanjutnya untuk beberapa lama beliau tetap menyertai para ulama dan masuk dalam barisan mereka dengan tekun demi menambah ilmu. Kemudian beliau hijrah bersama gurunya Muhammad bin Yallas ke negri Syam melarikan diri dari kezaliman penjajah Perancis, yang melarang masyarakat Algeria untuk menghadiri halaqoh-halaqoh para ulama serta taujihat-taujihat mereka. Hijrah mereka tersebut pada tanggal 20 Ramadhan 1329 H melalui jalur Tonjah dan Marsilia, menuju ke negeri Syam. Kemudian menetap di Damsyik untuk beberapa hari, dan pada waktu itu pemerintah Turki berupaya memisahkan para pendatang Algeria dan beliau bernasib pergi ke negara Turki dan tinggal di Adhnah, sedangkan guru beliau Ibnu Yallas tetap tinggal di Damaskus. Dua tahun kemudian Syeikh Al Hasyimi kembali ke Damsyik; dan beliau bertemu kembali dengan gurunya Ibnu Yallas lalu menemani dan selalu menyertai beliau.
Di negeri Syria beliau terus menuntut ilmu dari para ulama besar, di antara yang paling terkenal adalah Ahli Hadis Besar, Syeikh Badaruddin Al-Hasani, Syeikh Amin Suwaid, Syeikh Ja’far Al-Kattani, Syeikh Najib Kiiwani, Syeikh Taufik Al-Ayyubi, Syeikh Mahmud Al-’Attar dari beliau syekh Al-Hasyimi mempelajari Usul Fiqh, dan Syeikh Muhammad bin Yusuf yang terkenal dengan sebutan Al-Kaafi dan darinya beliau belajar fiqih Maliki, dan para guru beliau telah mengijazahkannya ilmu-ilmu aqli dan naqli.
Adapun di bidang Tassawuf beliau diberikan izin oleh Syeikh Muhammad bin Yallas dengan wirid umum dikarenakan keunggulan beliau atas murid-murid lainnya dalam bidang ilmu dan pengetahuan serta karena keikhlasan dan pengabdiannya.
Setelah mursyid besar Syeikh Ahmad bin Mustofa Al-’Alawi datang dari Algeria untuk melaksanakan ibadah haji; beliau singgah di Damsyik setelah wafatnya Syeikh Muhammad bin Yallas dan mengijazahkan Syeikh Al-Hasyimi wirid khusus { Talqin Al-ism Al-A’dhom dan Al-Irsyad Al-’Am }.
Akhlak dan Perilaku
Syeikh Al-Hasyimi adalah seorang yang berakhlak seperti akhlak Nabi SAW, di mana beliau mengikutinya dalam seluruh ungkapan, perangai, akhlak, dan perbuatannya, dan beliau juga telah mendapat warisan sempurna dari Rasul SAW. Beliau adalah seorang yang rendah hati sehingga beliau terkenal dengan ketawadhuan tersebut, bahkan pada zamannya tak ada seorang pun yang menyamai ketawadhuan hatinya.
Beliau memperlakukan orang seperti halnya beliau suka diperlakukan demikian. Pernah seorang lelaki menemui dan mencium tangan almarhum syekh, kemudian syekh ingin mencium tangan lelaki tersebut, tapi lelaki itu menghindar dan berkata: “Astaghfirullah, tuan saya tidak berhak diperlakukan seperti ini, justru saya yang harus mencium kaki tuan. Lalu almarhum syekh berkata: Jika anda mencium kaki kami, kami akan mencium kaki anda. Dan beliau adalah orang yang senang melayani sendiri kawan-kawannya. Sehingga ketika ada yang berziarah atau murid yang menginap, beliau menghidangkan sendiri makanan dan membawaka kasur padahal beliau dalam kondisi yang lemah.
Seringkali kami mengunjunginya pada tengah malam, dan kami mengetuk pintu rumahnya, kemudian beliau membukakan pintu tersebut dan pada saat itu beliau mengenakan pakaian yang selalu beliau pakai disaat menemui khalayak ramai, seperti seorang prajurit yang selalu siap siaga. Sama sekali kami tidak pernah melihatnya mengenakan pakaian tidur. Beliau adalah seorang yang sabar dan murah hati, tidak marah kecuali karena Allah. Pernah terjadi seorang lelaki dari Damaskus datang ke rumah beliau lalu menyerangnya serta mengejek dan mengolok-oloknya dan mengeluarkan kata-kata yang membuat kulit seorang muslim merinding, akan tetapi syekh r.a hanya berkata kepadanya: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sesungguhnya anda telah menampakkan aib-aib kami, kami akan meninggalkannya dan berusaha untuk berakhlak baik, tak lama kemudian lelaki tersebut menghampiri syekh dan mencium kaki dan tangannya dan meminta maaf kepadanya.
Beliau adalah seorang dermawan yang tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya. Seringkali kami melihat orang-orang mendatanginya dan beliaupun memberikan dan menghormati mereka. Terlebih lagi pada musim-musim kebaikan; dimana orang-orang mendatangi rumah beliau, dan terlihat meja-meja makanan penuh dengan hidangan yang disantap oleh banyak orang, bahkan senyumnya selalu menghiasi wajahnya, sehingga saking pemurahnya beliau membangun rumahnya yang di kawasan Hay Al-Muhajirin di Damaskus dan membaginya menjadi dua: sebagian untuk keluarganya dan sebagian untuk para muridnya.
Diantara sifat r.a adalah lapang dada dan tahan terhadap segala kesusahan dan kesulitan, sangat penyabar disertai wajah yang selalu ceria dan berseri-seri, Sampai-sampai suatu ketika saya tercengang dengan kesabaran beliau, beliau berkata kepada saya: “Wahai tuan! Adab kami adalah keindahan kami. suatu ketika datang kepadanya seseorang yang telah berbuat maksiat dan orang itu tidak melihat kecuali wajah yang berseri dan kelapangan dadanya. Berapa banyak orang-orang yang berbuat maksiat dan menyimpang bertaubat ditangannya dan berkat bersuhbah pada beliau mereka menjadi mu’minin yang mengenal Allah.
Pernah terjadi ketika beliau berjalan di tengah jalan seusai menyampaikan pelajaran, maka lewatlah seorang pemabuk di hadapan beliau; dan syekh tidak berbuat apa-apa kecuali membersihkan debu-debu kemaksiatan dari wajahnya, kemudian mendoakan dan menasehatinya, dan keesokan harinya pemabuk tersebut adalah orang yang pertama datang pada pelajaran syekh, dan setelah itu ia benar-benar bertaubat dengan baik.
Almarhum sangat peduli terhadap keadaan orang-orang muslim dan ikut merasakan musibah yang telah menimpa mereka. Beliau menghadiri perkumpulan ulama yang berada di al Jami’ al Umawi, membahas tentang perkara-perkara umat islam dan mewanti-wanti akan perpecahan di antara mereka. Dan beliau telah mencetak sebuah tulisan yang menerangkan tentang sebab perpecahan dan bahayanya, dan faedah bersatu atas nama Allah serta berpegang teguh dengan tali Allah, tulisan itu berjudul :
Al-qoul Al-fashl AL-qowim fi Bayan Al-Murod min Wasiat Al-Hakim
Almarhum adalah seorang yang sangat membenci penjajahan dengan segala bentuknya, mencari sejauh mana hubungan antara kejadian-kejadian yang ada dengan penjajahan serta bagaimana jalan keluarnya. Ketika pemerintah menganjurkan masyarakat untuk berlatih perang dan membentuk perlawanan rakyat, beliau segera mendaftar namanya dalam gerakan perlawanan tersebut, maka beliau pun berlatih menggunakan segala jenis senjata meski dalam kondisi badan yang lemah dan kurus serta usia yang sudah lanjut. Dengan demikian beliau telah memberikan contoh yang ideal bagi kekuatan iman, akidah dan jihad di jalan Allah, beliau mengingatkan kita akan orang-orang terdahulu dari para mursyidin sempurna yang melawan dan memerangi kolonialisme; semisal Umar Al-Mukhtar, Al-Sanusi dan Abdul Qodir Al-Jazairi. Dan tidak ada seorang mujahid pun di Maroko yang berupaya mengusir kolonialisme serta antek-anteknya kecuali orang-orang sufi.
Almarhum adalah seorang yang berperangai dan berperilaku baik, yang menjadikan orang-orang berdatangan kepadanya dan mengambil tasawwuf hakiki darinya, bahkan dikatakan: Al Hasyimi tidak terkenal dengan ilmunya walaupun beliau adalah seorang yang alim, dan juga tidak terkenal karena karomahnya walaupun beliau mempunyai banyak karomah, akan tetapi beliau terkenal karena akhlak dan kerendahan hatinya, serta ma’rifatnya kepada Allah.
Jika anda berada di dalam majlis beliau maka anda akan merasakan seakan-akan anda berada dalam sebuah taman surga; karena majlis beliau tidak tercampur oleh kekeruhan dan kemungkaran. Dan almarhum tidak menyukai jika ada orang muslim disebut dan direndahkan di hadapannya. beliau juga tidak menyukai jika di dalam majlisnya disebut orang-orang fasik dan semisalnya, beliau berkata: jika menyebut orang-orang sholeh maka rahmat akan turun.
Beliau tetap tekun serta komitmen dalam berjuang untuk mengarahkan orang-orang islam dan mengeluarkan mereka dari kesesatan dan penyelewengan. Hal ini terlihat dari halaqoh-halaqoh ilmu beliau yang berkesinambungan dari pagi sampe sore, terlebih lagi ilmu tauhid yang merupakan pokok-pokok dasar agama dimana beliau menjelaskan akidah-akidah yang membelot dan atheisme serta menerangkan akidah ahli sunnah wal jama’ah dan kembali kepada Allah SWT serta bergantung hanya kepada-Nya.
Aktifitas beliau dalam dakwah dan bimbingan
Sungguh rumah beliau adalah kiblat bagi para ulama, pelajar dan pendatang, beliau sama sekali tidak pernah bosan menemui mereka, meski dalam kondisi tubuh yang lemah, beliau tetap mengadakan halaqoh-halaqoh ilmu dan zikir secara rutin di masjid-masjid dan rumah-rumah, dan berkeliling ke masjid-masjid di Damaskus, mengumpulkan orang-orang untuk belajar, zikir dan bersolawat kepada Rasulullah SAW. Dan beliau tetap konsisten dalam semangat, aktifitas dan dakwahnya sampai akhir hayatnya.
Banyak dari para ulama dan pelajar pilihan dan handal yang belajar kepada beliau, dan dari berbagai lapisan masyarakat banyak pula yang mendapat petunjuk berkat bimbingan beliau, mereka menimba ilmu-ilmu beliau, mengutip keimanan dan ma’rifat-ma’rifat dzauqiyah beliau, dan kembali kepada beliau dalam segala urusan mereka.
Beliau telah mengizinkan banyak dari para murid untuk berdakwah dan memberikan bimbingan, maka mulailah kekuatan spritual terbesar ini menyebar luas di Damaskus, Halab dan di berbagai kota-kota Syria dan negara-negara Islam lainnya.
Karya Tulis beliau
1. Miftahul Jannah Syarah Aqidah Ahlis Sunnah
2. Ar-Risalah Al-Mausumah bi aqidah ahlis sunnuh Wal
3. Al-Bahsu Al-Jami’ wa Al-Baqru Al-Lami’ wa Al-Ghaisu Al-Hami’
4. Ar-Risalah Al-Mausumah bi sabil As-Sa’adah
5. Ad-Durrah Al-Bahiyyah
6. Al-Hil As-Sadid
7. Dan banyak lagi.
Banyak para ulama dan kalangan lainnya yang hampir tidak diketahui jumlahnya mengambil tasawwuf dari Syeikh Al-Hasyimi.
Demikianlah Syeikh Al-Hasyimi telah menghabiskan hidupnya untuk berjuang dan mengajar, mentarbiyah jiwa-jiwa, dan mensucikan hati-hati yang ingin mengenal Tuhannya, tanpa malas dan mengenal lelah. Keistiqomahan beliau dalam menjalankan syariat Rasulullah SAW, baik itu ungkapan, perbuatan dan perilaku serta wasiat Rasul di akhir hayatnya yang mengatakan: “Kalian harus berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah”, hal ini menjadi saksi atas kesempurnaan warisan beliau dari Rasulullah SAW.
Akhirnya beliau pun berpulang ke ridhwanullah pada hari Selasa, 12 Rejab 1381 H, bertepatan dengan 19 Disember 1961 M, dan beliau disolatkan di masjid Al-Umawi, kemudian jenazah beliau diantar ke pemakaman Dahdah, dan di sanalah beliau disemayamkan, yang mana tempat tersebut sampai sekarang terkenal dan sering diziarahi banyak orang.
Sungguh, walaupun jasad suci beliau tertutup oleh kubur, namun ilmu, keistimewaan, kebajikan dan apa-apa yang telah belaiu berikan kepada orang berupa kebaikan tidak pernah tertutup, maka hendaklah orang-orang melakukan seperti yang telah beliau lakukan.
Inilah sebahagian dari catatan perjalanan mulia beliau, dan apa yang kami sampaikan hanyalah sedikit dari limpahan, setitik dari lautan, sebab prilaku para ‘arifin tersimpan dalam murid-murid mereka, dan bagaimanakah orang bisa mengetahui apa yang disembunyikan oleh dada dan hati mereka? Dan pada orang seperti beliaulah dikatakan: “Jika kamu bertanya dimana kuburan orang-orang agung, maka ada dalam mulut-mulut atau dalam jiwa-jiwa”.
Maka figur seperti inilah yang harus kita contoh dan kita tiru: “Maka tirulah mereka, jika kalian tidak bisa menjadi seperti mereka, sebab meniru orang-orang mulia adalah sebuah kemenangan”, bahkan dikatakan: “Kematian seorang yang bertakwa adalah kehidupan yang tak terputus, telah banyak orang yang mati, tapi mereka masih hidup dalam jiwa manusia”.

Sheikh Al-Habib Yusuf Al-Hasani

Siapakah Beliau ?

Sheikh As-Syarif al Imam Yusuf Muhyiddin Riq El-Bakhur Al-Hasani. Beliau berketurunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein r.a., kedua-dua cucu kesayangan Rasulullah s.a.w.

KELAHIRAN DAN KEHIDUPAN BELIAU:
Beliau dilahirkan di Aka, Lubnan. Kini, beliau tinggal di Lubnan dan Kanada.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN BELIAU:
Pada awalnya, beliau menuntut di Lubnan. Seterusnya, beliau melanjutkan pengajiannya di Institut Fiqh (Islamic Study) pada tahun 1974 dalam bidang Ijazah Sarjana Muda. Beliau juga turut mengambil pengajian Sarjana Muda di Al-Azhar dan tamat pada tahun yang sama, dalam bidang Al-Syariah wa Al-Qonun. Beliau melanjutkan Ijazah Sarjana di Al-Azhar dalam bidang Al-Syariah wa Al-Qonun dan tamat pada tahun 1989. Seterusnya, beliau dianugerahkan ijazah Kedoktoran (Ph.D) Kerhormat daripada Universiti Islam Lubnan pada tahun 1991.

ANTARA GURU-GURU BELIAU:
Beliau mengambil tarbiah sufiyah secara khusus dari As-Sheikh Al-Mursyid Sidi Abdul Qadir Isa r.a. yang merupakan mursyid bagi Tarikat As-Syazuliyah Ad-Darqowiyah. Setelah dilihat kelayakan Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani, dalam memikul tugas sebagai mursyid, maka Sidi Sheikh Abdul Qadir Isa r.a. memberi izin wirid 'am dan khas tarikat As-Syazuliyah dan izin irsyad dan tarbiah kepada beliau. Sheikh Yusuf merupakan khalifah Sheikh Abdul Qadir Isa r.a. yang termuda dari kalangan keempat-empat khalifah beliau. Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani pernah dibawa oleh Sheikh Abdul Qadir Isa r.a. untuk bertemu dengan guru beliau sendiri iaitu Sheikh Muhammad Al-Hasyimi. Sheikh Muhammad Al-Hasyimi turut memberi izin wirid am dan khas tarikat As-Syazuliyah kepada Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani r.a.. Sheikhuna Yusuf Al-Hasani bersahabat dengan Sheikh Abdul Qadir Isa sehinggalah ke hujung hayat Sheikh Abdul Qadir Isa r.a.. Setelah kewafatan Sheikh Abdul Qadir Isa r.a., Sheikhuna Yusuf juga turut mencari mursyid lain sebagai tabarruk dan merasakan diri masih lagi memerlukan tarbiah dari seorang mursyid, walaupun pada ketika itu, beliau sudahpun mendapat izin sebagai seorang mursyid. Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani mengambil bai'ah tabarruk dari Sheikh Sa'duddin Murod, yang merupakan khalifah utama Sheikh Abdul Qadir Isa r.a.. Sheikh Sa'duddin Murod turut memberikan kepada Shiekh Yusuf Al-Hasani izin tarbiah khalwah dan izin wirid am dan khas tarikat As-Syazuliyah. Bukan sekadar itu sahaja, malah Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani turut menemui Sheikh Al-Habib Abdul Qadir As-Saggaf untuk mengambil bai'ah tarikat daripada beliau seterusnya menjadi murid beliau. Sheikh Abdul Qadir As-Saggaf lantas memberi kepada Sheikhuna Yusuf Al-Hasani, izin irsyad tarikat As-Syazuliyah, kerana melihat keahlian yang dimiliki oleh Sheikhuna Yusuf. Di samping itu juga, Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani mengambil bai'ah tarikat daripada beberapa mursyid tarikat berlainan lantaran itu, turut menerima izin irsyad dari mursyid-mursyid tarikat tersebut. Antara mursyid-mursyd tersebut adalah:

1. Sheikh Soleh Farfur ( thariqat As-Syadziliyah juga )
2. Sheikh Sayyid Muhammad bin Sayyid 'Alawi Al-Maliki ( thariqat Alawiyah )
3. Sheikh Uthman Sirajuddin An-Naqsyabandi ( thariqat An-Naqsyabandiyah )
4. Sheikh Muhammad Na'im Al-Jailani Al-Asyarafi ( thariqat Al-Qadiriyah )
5. Sheikh Muhammad Zaki Ad-Din Ibrahim (thariqat Asyirah Muhammadyah)
6. Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani juga meriwayatkan hadis-hadis musalsal dan sanad-sanad hadis dan ilmu agama secara umum dari Sheikh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki r.a. dan Sheikh Muhammad Zaki Ibrahim.

AKTIVITI-AKTIVITI BELIAU:
*Pengarah Yayasan Islam Kanada, di Hamilton, Kanada pada tahun 1981 sehingga hari ini.
*Pensyarah di Universiti Islam Lubnan.
*Ahli Jawatan Kuasa Majlis Fatwa Lubnan.
*Anggota Majlis Ulama' di Syria.
*Seorang pendakwah peringkat antara bangsa (Syam, Kanada, Mesir, Jepun dan AsiaTenggara).
*Mursyid atau Sheikh Tarikat Al-Asyirah Al-Muhammadiyah di Hamiton, Kanada.
*Murobbi Tasauf khususnya dalam Tarikat Syadziliyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Darqowiyah, Alawiyah dan sebagainya.
*Pengasas Dar El-Hasani Center, iaitu tempat perhimpunan anak-anak murid beliau di Mesir.
*Penasihat Kehormat Institut Pengajian Ar-Razi, Pulau Pinang, Malaysia

Kewargaan: Libanon
T. Tgl Lahir: Libanon pada Tahun 1948.

Pendidikan:
*Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Atas di Libanon 1967 M
*Menyelesaikan Pendidikan pada Institut Hukum Islam di Fakulti Syariah Islam di Universiti Islam Syria 1974 M
*Menyelesaikan Pendidikan Hukum Islam dan Hukum Sivil internasional pada Fakulti Syari'ah Islam dan Hukum Universiti Al-Azhar 1989 M

Jabatan :*Terpilih sebagai Guru Besar sekaligus wakil Mufti pada Lembaga Fatwa di Libanon 1975 - 1982 M
*Imam Masjid di Hamilton Canada Amerika Utara 1982 -1986 M
*Pembimbing Spiritual (Murobi) pada 2 Masjid Bosnia & Hamilton di Toronto, di samping pada berbagai Komuniti Muslim di Amerika Utara 1992 M

Jabatan lainnya :*Terpilih sebagai da'i kehormatan dan Penasihat umum dalam bidang hukum agama dan moral Islam di seluruh komuniti muslim di Amerika Utara.
*Diangkat sebagai khotib Besar di Masjid Agung di Beirut Libanon.
*Pensyarah Fikih Ushul Fikih di Universiti Al-Azhar.
*Penasihat dan Pembimbing spiritual Tasawwuf dan Studi Islam di Universiti Al Razi Malaysia.
*Da'i kehormatan negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei, Japan dan lain-lain.
*Pimpinan Umum Persatuan Da'i Tasawuf internasional.

Lain-lain:
*Pakar bidang studi perbandingan antara fikih Hanafiah dan madzhab-mdzhab lain, serta pemikiran Islam.



Antara mutiara kata beliau:
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "مَن استَسلم في البداية, أكرمه الله في النهاية".

Sesiapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah s.w.t. (tawakkal) pada permulaan suluknya, maka Allah s.w.t. akan memuliakannya di penghujung suluknya.
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "من كانت بدايته مخرقة, كانت نهايته مشرقة".
Sesiapa yang mana permulaannya membakar-bakar atau menyala-nyala, maka penghujungnya akan terang benderang.
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله :"البدايات تدل على النهايات".

Permulaan menunjukkan penghujungnya.
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "الصدق مع الله أقرب الطريق الى الله".

Kejujuran kepada Allah s.w.t. merupakan jalan yang paling hampir untuk menuju Allah s.w.t..
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "الغفلة باب كل خطيئة والنفس باب كل ذلة".

Kelalaian itu pintu bagi segala kesalahan dan nafsu itu pintu bagi segala kehinaan.
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "المريد ليس من انتسب الى شيخه ولكن المريد من انتسب شيخه اليه".

Seseorang murid yang hakiki itu bukanlah yang menisbahkan kepada gurunya, tetapi murid yang hakiki itu ialah, orang yang dinisbahkan akan gurunya kepadanya.
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "لأن أموت صادقا خير من أن أعيش كاذبا".

ٍSesungguhnya, kalau saya mati dalam keadaan jujur (kerana mempertahankan kebenaran) itu lebih baik daripada saya hidup dalam keadaan penuh tipu daya.
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "لا تتعلق بالعبادة لأن التعلق لا يكون إلا بالله".

Janganlah bergantung kepada ibadah, kerana ketergantungan tidak boleh kecuali hanya kepada Allah s.w.t..
قال شيخنا سيدي يوسف الحسني - حفظه الله : "كم من منة أورثتك الندامة وكم من بكاء أورثتك السرور".

Berapa banyak kenikmatan yang membawa kepada penyesalan dan berapa banyak pula tangisan yang membawa kepada kegembiraan di penghujungnya.
Semoga Allah s.w.t. terus menjaga, menaungi dan membantu dakwah Sheikhna Yusuf Al-Hasani dan semoga Allah s.w.t. membalas jasa Sheikhna Yusuf di atas pengorbanan, jasa dan tarbiah beliau
Aaaaaamiiiin.