Senin, 23 Januari 2012

Kiai Hasyim Asy’ari dan Bung Hatta


Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat – Rektor UIN Syarif Hidayatulloh

SAMBIL menunggu jam penerbangan Yogyakarta- Jakarta, tanpa disengaja saya berjumpa teman dan guru saya, KH Dr Agil Siraj, yang pernah tinggal dan menuntut ilmu di Arab Saudi selama 13 tahun.

Saat berbincang-bincang mengamati perkembangan dakwah Islam di Indonesia belakangan, secara ringan dia mengungkapkan komentarnya yang membuat saya terhenyak. “Mestinya kita belajar dari Bung Hatta dan Kiai Hasyim Asy’ari,” katanya. “Apa maksud Ustaz?” tanya saya. Coba lihat, Bunga Hatta lama tinggal di Eropa, tetapi tetap menjadi orang Indonesia.

Menjaga dan memperjuangkan kepribadian Indonesia. Begitu pun Kiai Hasyim Asy’ari, kakeknya Gus Dur. Bertahun-tahun belajar dan tinggal di Arab Saudi, tetapi tetap menjadi orang Indonesia. Berpakaian dan berperilaku sebagai muslim Indonesia. Keduanya sangat mencintai Indonesia. Berjuang dan berkorban demi kejayaan Indonesia. Sampai di situ saya semakin dibuat merenung, ingin mendengarkan komentar lebih lanjut dari teman asal Cirebon dan meraih doktor dari Universitas Ummul Qura ini.

Meski Bung Hatta lama di Barat, mendalami ilmu dari Barat, tapi beliau berani berkonfrontasi dengan Barat ketika kekuatan Barat merugikan bangsanya sendiri. Begitu pun Kiai Hasyim. Dalam banyak hal yang sangat mendasar bahkan beliau mengkritik tradisi dan pemikiran Islam yang tumbuh di Arab Saudi, yang dikenal literalistik dan kurang menghargai tradisi.

Meski tampak sepele, ternyata Ustaz Agil juga mengamati masuknya pengaruh pakaian Arab ke Indonesia. Kiai Hasyim dan kiai-kiai lain yang lama belajar di Arab Saudi dan Timur Tengah tidak mempromosikan pakaian gamis model Arab. Beliau hanya mengenakan pakaian gamis sewaktu salat saja. Tetapi ketika ke luar rumah, semuanya berpakaian Indonesia.

“Saya sendiri yang lama tinggal di Arab Saudi kadang jadi heran, mengapa pakaian gamis model Arab semakin populer di Indonesia, dipakai di mana-mana, bahkan untuk berdemonstrasi di jalanan dan di lapangan Monas,” kata Ustaz Siraj dedengkot NU ini. Dalam hati saya bertanya, apakah pendapat semacam ini hanya dimiliki Ustaz Agil Siraj ataukah juga ulama-ulama NU yang lain?

Apakah semakin meluasnya pakaian model Arab menunjukkan naiknya semangat Islam Indonesia yang datang dari Arab? “Ada orang Indonesia yang kebarat-baratan, ada pula yang kearab-araban. Mengapa kita tidak bercermin dan belajar dari Bung Hatta dan Kiai Hasyim,” gugatnya lagi. Para kiai saya dulu, lanjutnya, kalau mengajar membaca Alquran pada santrinya sangat tegas dan keras.Kalau salah tajwidnya, yaitu cara benar membaca Alquran, beliau marah.

Bahkan ada yang sampai memukul dengan lidi, sehingga para santri harus serius belajar karena takut kena marah dan kena pukul. Tapi yang sangat mengagumkan, begitu bergaul dengan masyarakat dan menyampaikan dakwah, para kiai dulu sangat lembut dan santun. Dengan sabar mereka membimbing umat ke jalan yang benar dan tidak pernah menggunakan kekerasan.

Tak ada teriak-teriak sambil mengacung-acungkan pentungan. “Mereka belajar dari cara dakwah Wali Songo yang memang sangat cocok untuk masyarakat Indonesia,” lanjut Ustaz Agil. Karena sikapnya yang bijak, sabar dan lembut itu, maka Islam menjadi agama yang dipeluk mayoritas bangsa ini dan secara perlahan tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam diluruskan, bukan dengan jalan kekerasan dan permusuhan. Ketika asyik bincang-bincang, terdengar panggilan untuk naik pesawat.

Sepanjang perjalanan saya renungkan kembali apa yang disampaikan Ustaz Agil, termasuk kritiknya yang cukup tajam terhadap fenomena pesantren, kiai, dan politik. Menurutnya, dulu para kiai dan pesantren sangat independen secara ekonomi dan politik sehingga wibawanya disegani oleh pemerintah dan masyarakat. Pesantren dulu ibarat sumur, orang berdatangan untuk menimba air, minta berkah, dan wejangan pada kiai, termasuk para pejabat negara.

Bahkan ketika orangtua melahirkan bayi, mereka datang untuk meminta nama bagi anaknya. Ketika sebuah keluarga akan membagi harta waris, mereka minta fatwa pada kiai. Kiai dulu tidak pernah minta bantuan ke pemerintah atau siapa pun. Sebaliknya, justru bantuan yang berdatangan tanpa diminta dan diundang.

Sekarang suasana sudah berubah. Sudah muncul kekuatan baru yang namanya negara dengan jaringan birokrasinya, dari tingkat presiden sampai lurah, bahkan RT/RW. Sangat disayangkan, pemerintah dan politisi ikut merusak kultur pesantren yang semula mandiri menjadi kian melemah dan tergantung pada negara. Para politisi datang menawarkan berbagai bantuan dengan imbalan agar mereka memberikan dukungan politik setiap pemilu atau pemilihan kepala daerah.

Repotnya lagi, kalangan kiai dan pesantren juga sulit menolak karena mereka memerlukan dana, baik untuk pesantren maupun untuk diri dan keluarganya. Bahkan ada kiai yang senang meminta-minta bantuan kepada pejabat pemerintah. Mestinya, baik para politisi, pemerintah, maupun dunia pesantren saling menjaga integritas dirinya, bukan saling menjatuhkan dan menggerogoti wibawanya.

Kalau sudah saling menjatuhkan, yang rugi adalah negara, umat, dan bangsa. Negara yang maju dan kuat adalah negara yang masyarakatnya mandiri, dibentuk melalui pendidikan yang baik, dan lapangan kerja yang tersedia. Masyarakat yang bodoh dan miskin pada akhirnya akan menjadi beban negara, bahkan potensial menjadi musuh negara.

Bayangkan, bagaimana kita akan memasuki kompetisi tingkat global kalau energi negara dan masyarakat habis terkuras untuk berantem, bukannya saling mendukung untuk membangun bangsa. Itulah yang pernah terjadi di Aceh dan di beberapa tempat lain. Aset dan energi bangsa, baik berupa uang, sumber daya alam, budaya, agama maupun militer, mestinya diarahkan untuk hal-hal produktif demi memajukan bangsa. Bangsa ini tengah mengalami situasi mismanagement alias salah urus.

Para politisi lebih sibuk mengurus dirinya katimbang rakyatnya. Dua tokoh yang dikemukakan Ustaz Agil, yaitu sosok Kiai Hasyim Asy’ari dan Bung Hatta, adalah dua figur bapak bangsa yang pantas dan bahkan harus diteladani. Bertemu dalam keduanya kedalaman dan keluasan ilmu, integritas yang kokoh, patriotisme tinggi, dan sangat santun dalam berpolitik. (Diposting juga pada Okezone.com 31 Oktober 2008)

Sumber: http://gp-ansor.org/6858-31102008.html