Rabu, 30 November 2011

K.H. Zubair Muntashor: Kasihnya tak Pernah Putus

Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.

Di kala begitu banyak orang menyebut diri seorang pendidik dan pembela hak-hak anak, termasuk hak pendidikan, seorang kiai justru berkarya dalam diam. Ia memberikan kepada santri-santrinya tidak hanya ilmu, waktu, dan tenaga, melainkan juga cinta yang begitu besar.

Di kala begitu banyak orang yang mengaku dirinya pejuang hak-hak anak, mendiskusikan, membicarakan, dan melakukan pelatihan tentang hak anak, sang kiai telah memberikan pemenuhan semua hak tersebut kepada santri-santrinya.

Di kala begitu banyak orang yang mengaku diri pejuang pendidikan anak, berlomba-lomba mengejar begitu banyak penghargaan, melalui tulisan, melalui kata-kata, sang kiai dengan rendah hati menyatakan dirinya hanya seorang hamba Allah yang tidak mempunyai kelebihan dan bukan dia yang pintar tetapi yang pintar adalah santri-santrinya.

Bagi seorang pengasuh santri, penghargaan yang sebenarnya adalah keberhasilan anak-anak didiknya. Bahkan cintanya tidak hanya kepada santri yang masih jadi anak asuhnya, melainkan juga alumninya. Inilah yang terekam saat alKisah berjumpa kiai khos Madura yang mempunyai ribuan santri dan ratusan alumnus, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, K.H. Zubair Muntashor.

Dulu Agak Mbeling

Kiai Zubair adalah putra pasangan K.H. Muntashor, pendiri Pesantren Nurul Kholil, dan Nyai Nazhifah binti K.H. Imron bin K.H. Muhammad Cholil – yang lebih akrab dengan panggilan Kiai Cholil Bangkalan atau Syaichona Cholil Bangkalan. Jadi, Kiai Zubair adalah cicit Syaichona Cholil.

Menurut cerita salah seorang santrinya, dulu Ibu Nyai Nazhifah lama tidak mempunyai keturunan. Maka, suatu ketika, Kiai Muntashor bermunajat di Makkah. Ketika itulah, Kiai Muntashor mendapat sebutir gabah, yang kemudian diberikan kepada Ibu Nyai.

Alhamdulillah, tak berapa lama, munajat Kiai Muntashor diijabah Allah. Ibu Nyai mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Anak itu pun diberi nama Zubair.

Zubair kecil diasuh dan dididik langsung oleh ayahnya, yang juga salah seorang kiai terpandang di kawasan Bangkalan, dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Hingga saat berusia belasan, ia dikirim untuk belajar di Pondok Pesantren Sidogiri.

Di pesantren tua ini, ia menghabiskan masa belajar selama tujuh tahun. “Saya mondok selama tujuh tahun. Tapi dulu saya agak mbeling, nakal,” kata Kiai Zubair suatu ketika. Semangat belajarnya saat itu memang tidak menggebu-gebu.

Namun ketika ayahandanya wafat, Kiai Zubair tersentak, dan menyadari bahwa dialah generasi penerus satu-satu ayahnya, karena ia anak semata wayang, yang harus melanjutkan estafet dakwah sang ayah, yang juga harus mengasuh ratusan santri di pesantren peninggalan ayahnya, Pondok Pesantren Nurul Cholil.

Ia bingung, karena belum siap, terutama dari sisi ilmu. Maka, dengan semangat membara, yang dilandasi keikhlasan karena Allah, ia pun berusaha keras belajar dengan cara sorogan kepada beberapa kiai di Madura.
“Saya berusaha dengan ikhlas untuk belajar. Saya tidak ingin pondok peninggalan ayah mati begitu saja,” katanya.

Menurut salah seorang santrinya, setelah sang ayah wafat sekitar tahun 1978, ia berusaha keras untuk belajar mendalami ilmu agama. Namun, di samping usaha yang keras itu, ia juga mendapat anugerah berupa ilmu laduni. Karena itu, tak mengherankan bila di usia yang terhitung muda, sekitar 30 tahun, Kiai Zubair sudah bisa merangkul jama’ah majelis ta’lim peninggalan ayahnya, yang di antara mereka ada kiai sepuh dan ustadz.

Sementara Pesantren Nurul Kholil dalam asuhannya pun berkembang sangat pesat. Tidak saja dari segi infrastruktur pesantren dan jumlah santri, tapi juga kualitas keilmuan santrinya, yang tak kalah dibanding dengan pesantren lainnya.

“Alhamdulillah bisa berjalan lancar, berkat doa mbah-mbah saya dan pertolongan Allah Ta’ala,” kata Kiai Zubair saat ditanya mengenai keberhasilannya dalam mengelola pesantren. Perhatiannya terhadap santri juga sangat besar. Walau para pengurus dan guru telah senantiasa mengontrol santri-santri, Kiai Zubair secara rutin berkeliling melihat keadaan ribuan santrinya itu secara langsung.

Delapan Jam Madura-Jakarta

Banyak kisah unik mengenai dirinya dengan santri-santrinya. Pernah suatu ketika, tahun 1998, salah seorang santrinya diperintahkan untuk ke Jakarta, tepatnya ke Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, menggunakan mobil carry, dalam waktu 10 jam. Si santri tentu heran. Mana mungkin Madura-Jakarta ditempuh dalam waktu 10 jam?

Tetapi Kiai Zubair memaksa, bahkan memarahi si santri. Maka, dengan membaca bimillah, akhirnya si santri berangkat juga. Ajaib, waktu yang ditempuh hanya delapan jam.

Setelah kembali ke Madura, si santri diberi tahu oleh kakak sepupu Kiai Zubair, (almarhum) K.H. Abdullah Schall. “Jangan heran, itu adalah ilmu orangtua Kiai Zubair yang diberikan kepada Kiai Zubair,” katanya. Dalam menguji santrinya, Kiai Zubair juga terkenal unik. Ia sering meminta sesuatu kepada santrinya padahal si santrai masih tidak mampu secara materi. Secara nalar, permintaan itu tidak akan bisa dipenuhi. Tapi justru sebaliknya. Malah, kehidupan si santri menjadi berkah berlipat-lipat. Ini banyak dialami santri-santri Kiai Zubair.

Kedekatan dan kasih sayang Kiai Zubair terhadap santri memang luar biasa. Hal ini sangat dirasakan oleh santri-santrinya, baik yang masih belajar maupun yang sudah menjadi alumni. Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya ini terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.

“Saya senantiasa memperhatikan mereka semua, walaupun mereka telah selesai nyantri. Semua itu saya lakukan karena saya ingin santri-santri saya menjadi manusia yang baik. Tidak harus menjadi ulama atau ustadz semua. Jika menjadi pedagang, jadilah pedangan yang baik. Tidak menipu orang. Jika menjadi tukang becak pun, jadilah tukang becak yang baik. Kalau waktu shalat, ya shalat. Pokoknya saya berharap semua santri saya bertaqwa kepada Allah SWT,” kata Kiai Zubair.


Sumber : http://majalah-alkisah.com/

“Sang Macan Putih dari Pulau Jawa” (edisi 1)

Beliau adalah Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie bin Sulaiman Al-Lasimy, lahir pada sekitar tahun 1908 M. di desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang dari pasangan KH. Sulaiman dengan Hj. Nyai Khodijah (Qolmini). Dari jalur ayah nasab beliau bersambung ke Asy-Syaikh As-Sayyid Mutamakkin Kajen Pati yang bersambung ke Asy-Syaikh As-Sayyid Achmad Rohmatulloh (Sunan Ampel) sampai ke Baginda Rosululloh SAW.
Sejak usia dini Asy-Syaikh KH. Mashduqie dididik oleh Ayahandanya sendiri, kemudian ketika menginjak remaja atas petunjuk KH. Sulaiman (Ayah Beliau) dan pamannya KH. Thoyyib, Beliau melanjutkan jenjang pendidikannya di Ponpes Termas yang diasuh oleh Asy Syaikh KH. Dimyati bin Abdullah yang merupakan adik dari
Asy Syaikh KH. Mahfudz bin Abdullah (Murid dari Pengarang Kitab I’anatuth Tholibin) yang disemayamkan di Makkah, sedangkan Asy Syaikh KH. Dimyati bin Abdullah disemayamkan di Termas. Beliau menimba ilmu disitu selama 11 tahun dengan rincian 3 tahun belajar dan 8 tahun mengajar, salah satu dari sekian banyak murid beliau ditermas adalah KH. Hamid Pasuruan. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya pada
Asy-Syaikh KH. Masyhud (Pacitan).
Setelah keluar dari Pondok Termas Beliau kembali melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah Al-Mukarromah selama 6 tahun. Disana beliau belajar kepada Asy Syaikh Umar Hamdan Al-Maghrobi dan Asy Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki Al-Hasani Al-Maghrobi, sampai-sampai Beliau dipercaya menjadi Pengajar di Haromain. Di sana murid-murid Beliau banyak yang dari Tanah Air Indonesia, diantaranya adalah KH. Bisyri Musthofa dari Rembang, KH. Masyhuri dari Rejoso Jombang, dan lain-lain.
Beliau mendapat gelar Asy-Syaikh dikarenakan termasuk salah satu Ulama’ Indonesia yang mengajar di Masjidil Harom, pada waktu itu sebutan Syaikh dimiliki oleh 3 orang Ulama’, yaitu Syaikh Mashduqi Al-Lasimy, Syaikh Mahfudz Termas (Kakak kandung Syaikh Dimyati) dan Syaikh Yasin Al-Fadany.
Setelah pulang dari Mekkah beliau bertemu dengan Asy Syaikh KH. Sayyid Dahlan, Beliau adalah salah satu Masyayikh di Pekalongan. Beliau menikahkan Putrinya (Nyai Hj. Ma’rifah) dengan Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie dan mendirikan Pondok Pesantren di Pekalongan, murid-murid beliau yang ada di Termas banyak yang pindah ke Pekalongan dengan harapan dapat melanjutkan belajarnya pada Beliau.
Beliau sangat terkenal akan kealimannya, banyak beberapa hasil karya tulis beliau dari beberapa Fann Ilmu, setiap beliau mengaji suatu kitab, beliau pasti menerangkan panjang lebar seakan mensyarahi kitab tersebut.
Setelah beberapa tahun tinggal di Pekalongan, beliau kembali lagi ke Lasem Atas permintaan warga Lasem, dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Ishlah pada Tahun 1950 M. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba Ilmu pada beliau, diantaranya dari Pulau Jawa dan juga Luar Jawa, seperti Madura, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.
Sebelum adanya bangunan Ponpes Al-Ishlah, tanah yang akan dijadikan Pesantren tersebut merupakan tempat Judi, Pelacuran dan tempat pembantaian PKI. Jauh-jauh hari sebelum Syaikh Mashduqi dilahirkan, pejabat desa setempat mengeluh kepada Sayyid Abdurrohman (Mbah Sareman) --seorang Ulama’ dari Tuban yang bertempat di Lasem yang terkenal ke waliaannya-- dengan mengatakan “Mbah gimana tempat itu kok dibuat sarang ma’shiyat?” lalu Mbah Sareman mengatakan bahwa “akan ada Harimau Putih dari barat melewati sungai yang akan menempati tempat itu, dan tanah itu akan menjadi tempat (produksi) Ulama di Tanah Jawa”.
Yang dimaksud dengan “Harimau Putih” adalah Asy-Syaikh KH. Mashduqi dan yang dimaksud “Sungai” adalah sungai Bagan yang terletak ± 700 M sebelah barat tanah Ponpes Al-Ishlah.
Diantara murid-murid beliau adalah KH. Ishomuddin (Pati), KH. Salim (Madura), KH. Mahrus Ali (Liriboyo, Kediri), KH. Zayadi (Probolinggo), KH. Abdullah Faqih (Langitan), KH. Miftahul Akhyar (Surabaya) Rois Suryah PWNU Jawa Timur, KH. Jazim Nur (Pasuruan), KH. Nur Rohmat (Pati), KH. Zuhdi Hariri (Pekalongan), KH. Taufiq (Pekalongan) Penasehat Thoriqoh An-Naqsyabandi Al-Haqqani, KH. Abdul Ghoni (Cirebon), KH. Nur Rohmat (Pati), KH. Abdul Mu’thi (Magelang) KH. Abdulloh Schal (Bangkalan, Madura), KH. Mashduqi (Cirebon) KH. Maktum (Cirebon), KH. Syaerozi (Cirebon) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie Al-Lasimy termasuk runtutan pewaris Tanah Jawa setelah kurun Asy-Syaikh Asnawi Banten yang dikenal sebagai simbol Tombak Mangku Mulyo (Quthbul Jawi), simbol tersebut merupakan warisan dari Asy-Syaikh Subakir, orang pertama Pembabat Tanah Jawa.
Pada tahun 1975 M. beliau kembali ke Rohmatullah, tepatnya tanggal 17 Jumadil Akhir Tahun 1396 H. dan disemayamkan di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Dan pada tahun itu pula Ponpes Al-Ishlah diteruskan oleh putranya, yaitu Asy-Syaikh KH. Chakim Mashduqie.

Biografi Singkat Asy-Syaikh KH. Chakim Mashduqie.
Asy-Syaikh KH. Chakim Mashduqie dilahirkan pada sekitar tahun 1942 M. Beliau merupakan salah seorang putra dari Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie bin Sulaiman Al-Lasimy.
Pendidikan beliau diperoleh dari ayahanda beliau sendiri Hadlorotusy Syaikh
KH. Mashduqie bin Sulaiman Al-Lasimy. Pada usia 12 tahun beliau sudah mengajarkan kitab Jam’ul Jawami’. Beliau mencurahkan Fikirannya pada beberapa Fann Ilmu Khususnya Ilmu Tauhid, sehingga beliau mampu mencetuskan sebuah karya tulis berlatar keUluhiyaan (Tauhid) yang berbentuk Sya’ir pada saat usia yang relatif muda yaitu 17 Tahun, karya tulis yang berbentuk Syair itu dinamai “Nadzom Ibnu Lasimy”. Kemudian Beliau mensyarahi kitab tersebut pada usia 40 tahun dan diberi nama
“Adz Dzakhoirul Mufidah” yang sampai saat ini sudah tersebar di Bangladesh, Mekkah, Yaman, dan lain-lain. Tidak berhenti disitu, beliau juga mencurahkan Fikirannya pada Ilmu-ilmu yang bersifat Religi lainnya, diantaranya Karya tulis beliau yang berhubungan dengan Hadits-hadits Rosululloh SAW. yang dinamai dengan “Ghoyatul Marom Fi Ahaditsil Ahkam”.

Sumber:http://macan-lasem.blogspot.com/