Jumat, 18 November 2011

Al-Habib Abubakar bin Ali Shahab

Salah Satu Pendiri Jamiat Kheir

Ia merupakan salah satu pendiri Jamiat Kheir. Kegiatan organisasi ini menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan sosialTahun 1900 merupakan awal abad 20 yang sering dikatakan awal abad keemasan. Batavia, sebutan kota Jakarta saat itu, sedang memasuki periode kota kolonial modern.

Berkat revolusi industri berbagai teknologi dperkenalkan. Sistem transportasi dan komunikasi mulai berkembang. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa setelah dibukanya terusan Suez di Mesir.

Tapi sayangnya, yang menikmati kemajuan itu hanyalah kelompok minoritas Belanda dan orang-orang Eropa. Tidak demikain halnya dengan orang-orang pribumi, termasuk orang-orang keturunan arab. Khusus terhadap orang-orang keturunan arab, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti Islam. Apalagi semangat Pan-Islamisme yang dikobarkan di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung di Indonesia. Prof. Snouck Hurgronye terang-terangan menuduh kaum Alawiyyin yang menyebarkan paham Pan-Islamisme di Indonesia.

Begitu bencinya Belanda terhadap Islam dan orang-orang keturunan Arab, sehingga di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah waktu itu, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Hingga tidak heran, menurut Mr. Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengakibatkan mereka tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Bukan hanya orang-orang keturunan Arab, tapi juga kelompok ulama dan santri menganggap sekolah Belanda sebagai sekolah kafir.

Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras itulah, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, berbarengan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan arab.

Selain Abubakar bin Ali shahab, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yangn mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda-propaganda jahat Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.

Begitu suksesnya Jamiat Kheir hingga diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.

Habib Abubakar bin Ali Shahab, sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KHM. Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama-sama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.

Aktif Sejak Muda

Habib Abubakar dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Rajab 1287 H/ 24 Oktober 1870 M, dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahabuddin al-Alawy, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum. Said Naum adalah salah seorang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya yang luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman.

Di zaman Gubernur Ali Sadikim di tahun 70-an pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia, berikut sebuah masjid lengkap dengan madrasahnya yang memakai nama Said Naum untuk mengabadikan wakafnya. Masjid ini pernah mendapat anugerah Agha Khan karena arsitekturnya yang orisinil dan menawan selaras dengan lingkungannya.

Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. di Hadramaut, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka.

Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, ia yang masih muda itu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.

Setelah Jamiat Kheir berkembang dan semakin banyak muridnya, dalam usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926 beliau kembali berangkat ke Hadramaut untuk kedua kalinya. Kali ini disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H.

Di tempat-tempat yang dikunjunginya, beliau bersama dengan dua putranya yang masih berusia 20-an tahun selalu membahas upaya untuk meningkatkan syiar dan pendidikan Islam sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Belajarlah kamu dari sejak buaian sampai ke liang lahat”. Habib Abubakar di tempat-tempat yang disinggahi selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ini, beliau memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan beliau membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya.

Almarhum tidak pernah jemu dan lelah berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin, bahkan juga tidak segan-segan untuk mencari dan mengumpulkan biaya selama di Jawa, Palembang dan Singapura untuk membangun madarasah di Damun, Hadramaut. Sampai sekarang madrasah ini masih berdiri dengan baik. Beliau juga mendirikan yayasan Iqbal di Damun.

Pada 27 Syawwal 1354 H beliau sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan para tokoh ulama.

Pada awal Muharram 1355 H beliau kembali ke Damun, Tarim. Pada 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M beliau berangkat pulang ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, beliau disambut oleh shahabat karibnya, Habib Ali Kwitang di sekolah Unwanul Fallah yang dibangun Habib Ali. Keesokan harinya beliau disambut di sekolah Jamiat Kheir, sekolah yang didirikannya. Baik di Kwitang maupun di Tanah Abang, sejumlah tokoh habaib yang ada memberikan kata-kata sambutan dan pujian kepadanya. Ketika diterima di Jamiat Kheir, sekolah ini dipimpin oleh Muhammad bin Ahmad bin Sumaith.

Berbagai kegiatan di bidang sosial dan pendidikan tidak pernah henti-hentinya dilakukannya selama berada di Indonesia, karena bidang ini tidak lepas dari perhatiannya. Bahkan pada 14 November 1940 beliau menghadiri pembukaan madrasah/ma’had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab. Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, Surabaya dan masih banyak lagi.

Berjuang untuk Islam dan masyarakat, Habib Abubakar tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga tidak segan-segan untuk mendermakan harta bendanya. Demikianlah, beliau sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas.

Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, tokoh yang juga ikut dalam mendirikan Malja Al Shahab di tahun 1913 bersama sejumlah pemuda. Al Shahab ini, menghadap hadirat Allah SWT pada hari Sabtu 18 Maret 1944 M yang bertepatan dengan 23 Rabiul Awwal 1363 H. Beliau wafat di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan wakaf Tanah Abang, tanah wakaf kakeknya. Yang memandikan dan mengkafani almarhum adalah Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Aththas dan Syeikh Ahmad bin Umar Al-Azab.

Ketika pemakaman dipindahkan ke Jeruk Purut, tidak ada yang mengetahui dimana jasad beliau dipindahkan. Beliau meninggalkan tujuh orang putra-putri. Putra tertua Abdurrahman, disusul Abdullah, Hamid, Idrus, Zahrah, Muznah dan Ali. Putra terkecilnya, Ir. Ali A. Shahab, pernah menjabat Kepala Divisi Komunikasi dan Elektronika Direktorat PKK Pertamina. Seperti juga almarhum ayahnya, Ali Abubakar Shahab kini aktif di bidang sosial. Patah tumbuh hilang berganti.

disarikan dari Rihlatul Asfar: sebuah otobiografi Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin, yang diterjemahkan oleh Drs Ali Yahya, Spsi, tahun 2000

Al Maghfurlah Habib Hasan bin Abdullah bin Umar Asy Syathiri


Beliau adalah Syaikhuna, Murabbi Ruuhina, Al Imam, Al ‘Allaamah, Al Faqih, Al Waro’, Az Zaahid, Al Mursyid, Al ‘Arif billaah, Ad Daalu ‘alaihi, Ad Daa’i ilallah bihaalihi wa maqoolih, Al Qudwah, Shohibul Firosah Shodiqoh, Al Mukasyif bi nuurillah, Jammut Tawadhu’, Al Ab as Syafiq, Dzul Haibah fin Nufus, Shohib al ‘ain an Nadhirah salah seorang Ahlul bait nabi SAW, hal tersebut dapat dilihat dari nasab beliau yang tersambung hingga Rasulullah SAW.

Al Habib As Sayyid Hasan bin Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul islam Al Habib Al Qutub Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alawy Asy Syathiri bin Al Faqih Ali bin Al Qhodi Ahmad bin Muhammad Asadullah fi ardih bin Hasan At Turobi bin Ali bin Al Ustadz Al A’zom Al Faqih Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad shohib Mirbath bin Ali Kholi’ qosam bin Alawy bin Muhammad maula as Som’ah bin Alawy maula Sumul bin Ubaidillah bin Al Muhajir ilallah Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al ‘Uraidli bin Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Al Imam As Sajjaad Ali zainal Abidin bin Al Imam Husaein bin Al Imam Ali bin Abi Tholib Putra dari sayyidatina Fatimah Az Zahra putri Rasulullah SAW.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
لَوْ لاَ اْلمُرَبِّيْ مَا عَرَفْتُ رَبِّيْ

” Kalaulah bukan karena pendidik niscaya aku tak mengenal Tuhanku “

Al Habib Hasan dilahirkan dikota Tarim Hadromaut Yaman Selatan pada tanggal 7 Jumadi ts Tsaniah 1346 H. Beberapa saat setelah kelahirannya, ketika kakek beliau dari jalur ibunya Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Haddad hendak memberinya nama beliau berkata ” Hasan memiliki sirr (rahasia keagungan) Syekh Abu Bakar As Sakran”.

Beliau tumbuh dan dibesarkan dikota Tarim, sejak kecil telah diasuh dan dibimbing oleh ayahnya dengan didikan islami di tempat yang lingkungannya sangat baik dan dikawasan pergaulan yang suasananya sangat kental dengan nuansa keilmuan yang penuh dengan keberkahan dizaman yang tampak jelas dinaungi oleh para sholihin dan ulama besar serta terkenal yang mahir dalam bidang ilmu sehingga pada umur yang masih cukup muda yaitu 11 th beliau telah menghapal al Quran seluruhnya, dan beliau banyak mempelajari aneka bidang ilmu seperti: Tafsir Al Quran, Hadits An Nabi SAW, Fiqh Syafi’i, Nahwu (Kaidah Bahasa Arab), Tasawwuf dan lain sebagainya.

Beliau ( Al Habib Hasan ) banyak menimba ilmu dari banyak guru (masyayikh) dizamannya, baik dikota Tarim ataupun yang lainnya dan kebanyakan dari guru-guru beliau adalah para murid utama ayahanda beliau yaitu Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul islam Al Habib Al Qutub Abdullah Asy Syathiri yang merupakan salah seorang Syaikhul Ulama (gurunya para guru) dinegri Hadromaut pengasuh Rubat Tarim yang dengan keberkahan ilmunya telah mencetak lebih dari 13.000 ulama yang tersebar keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.

Dan diantara guru – guru beliau ( Al Habib Hasan ) selain ayahandanya adalah :

Al Imam Al Arif billah Al Habib Al Muhab Al Qutub Alawy bin Abdillah bin Syahab

Al Imam Al Arif billah Al habib Al Qutub Ja’far bin Ahmad Al Idrus

Asy Syaikhul ‘Allaamah Mahfudz bin Utsman Az Zabidi

As Syaikhul ‘Allaamah Salim bin Sa’id Bukaiyir Baa Ghoitsan

Al Imam Al ‘Allamah Al Muhaddits Diyar Haromain As Sayid Alawy bin ‘Abbas Al Maliki Makki Al Hasani

Al Imam Al ‘Allamah Asy Syahid Al habib Muhammad bin Salim bin Hafiidz bin Syeikh Abu bakar bin Salim

Al Habib Al ‘Allamah Umar bin ‘Alawy Al kaaf

Asy Syeikh Umar bin ‘Awad Al Haddad

Dan masih banyak lagi guru – guru beliau dan para musnid dan mujiz yang memberikan berbagai macam sanad serta ijazah kepada beliau yang tidak kami sebutkan dalam biografi ( manaqib ) singkat ini.

Dalam asuhan dan didikan ayahandanya yang sangat disiplin, beliau acapkali diajak menghadiri majlis – majlis ilmu dan di setiap penghujung malam beliau diajak ayahandanya pergi ke masjid-masjid Tarim yang berjumlah kurang lebih 360 masjid guna melaksakan qiyam lail ( Sholat sunnah dimalam hari ), dan berziarah ke Zanbal makam Auliya’ dan ‘Inat makam Syeikh Abu Bakar bin Salim. Setiap kali berziarah kemakam Syekh Abu Bakar bin Salim Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri selalu berkata : ” Wahai Syeikh Abu Bakar, sungguh aku telah mendidik dan membimbing putramu Hasan bin Ismail, karena itu kumohon didik dan bimbinglah putraku Hasan”. Tatkala ajal ayahandanya Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri telah dekat dan usia beliau ( Al Habib Hasan ) kala itu sekitar 14 tahun, ayahandanya ( Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri ) mengumpulkan seluruh anggota keluarganya seraya berwasiat “Wahai Mahdi… aku serahkan padamu tanggung jawab kepemimpinan Rubath ini. Wahai Hasan… dan aku serahkan tanggung jawab kepemimpinan Rubath ini setelah kakakmu Mahdi dan jangan pernah kau tinggalkan Al Quran”.

Ayahandanya ( Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri ) wafat tatkata Al Habib Hasan sedang mempelajari Tafsir darinya, ketika itu beliau sampai pada tafsir ayat Al Quran

Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

Demikianlah isyarat kesempurnaan ilmu beliau yang tersirat lewat ayat tersebut, sebagaimana turunnya ayat ini sebagai tanda telah sempurnanya da’wah Rasulullah SAW pada Haji Wada’.

Kemudian beliau ( Al Habib Hasan Asy Syathiri ) berguru secara khusus kepada Al Imam Al Arif billah Al Habib Al Muhab Al Qutub Alawy bin Abdillah bin Syahab yang memiliki julukan ‘Ain Tarim ( Matanya kota Tarim) sosok berkarisma dan memiliki wibawa serta tegas dalam berkata. Sepenuh jiwa beliau serahkan dirinya kepada Al Habib Alawy guna dididik dan dibina, beliaupun menyambutnya dengan penuh perhatian dan pendidikan yang tiada henti, mengajarkannya cara melatih, mengembangkan dan mengolah jiwa serta bagaimana mematikan sisi buruk jiwa manusia, sehingga mencapai kedudukan Nafs Muthma-innah ( jiwa yang tenang ) guna menjalin keharmonisan dunia dan akhirat.

Beliau sangat menjaga adab ketika duduk dimajlis – majlis ilmu terkhusus dihadapan guru besar beliau Al Habib Alawy bin Abdillah bin Syahab, tidaklah beliau pernah mengangkat kepala beliau, seakan – akan terdapat seekor burung diatas kepalanya, bahkan tidaklah pernah terdengar hembusan nafasnya, hal tersebutlah yang membuat Al habib Alawy bin Syahab begitu sayang terhadap beliau. Pernah satu ketika Al Habib Alawy memuji Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) dengan mengatakan kepada rekan-rekannya :” Hasan bin Abdullah Asy Syathiri adalah putra ruhku”, dan ketika didepan Al Habib Alawy beliau kehabisan suara tatkala sedang membacakan qosidah, Al Habib Alawy berkata: ” Dia perlu diberi gula, tetapi gulanya harus langsung dari Al Faqih Muqoddam”.

Dan dengan perintah serta isyarat dari Al Habib Alawy lah beliau memimpin majlis- majlis ilmu yang dihadiri oleh para Mufti dan Ulama, pada ketika itu beliau masih berusia 17 tahun usia yang sangat muda untuk memimpin majlis yang dihadiri para mufti dan ulama. Dan sungguh merupakan anugrah yang Allah berikan kepada beliau, tatkala beberapa saat sebelum gurunya ( Al habib Alawy bin Abdillah bin Syahab ) wafat, Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) ketika itu dalam keadaan tertidur sedangkan Al Habib Alawy berada dirumahnya . Dalam tidurnya Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) bermimpi melihat Al Habib Alawy tengah duduk diatas pembaringannya, lalu Al Habib Alawy berkata: “Wahai Hasan…aku akan bangkit dari tempat ini, dan sekarang duduklah engkau ditempatku ini”.

Setelah itu Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) terbangun dari tidurnya dan beliau mendengar berita duka wafatnya Al Habib Alawy bin Syahab, dan dari mimpinya tersebut beliau menyadari betul bahwa beliaulah khalifah (pengganti) pelanjut Al Habib Alawy dalam menjaga amanah peradaban kota Tarim. Hal tersebut beliau buktikan dengan tegasnya beliau dalam menentang masuknya paham – paham atau tradisi – tradisi baru yang merubah apa yang telah ditetapkan dan di lestarikan oleh para leluhurnya, dengan penuh wibawa dan ketawadluan beliau mengatakan : “Ini bukan kota ku, ini kota sayyid Faqih Muqoddam, kota para leluhurku, kita tidak berhak merubahnya, jika aku merusaknya dengan merubah tradisi mereka, maka sungguh aku malu berjumpa mereka ketika aku kembali nanti”.

Akhlak, suluk, ilmu dan amal beliau merupakan cermin Ulama salaf ( terdahulu yang berpegang kuat ajaran Rasulullah SAW ) yang terdapat dalam dirinya, membuahkan suri tauladan baik untuk para manusia yang ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW. Itu semua terlukis dengan prilakunya dalam melaksanakan yang fardlu dan sunnah, beliau sangat tawadlu’ ( rendah hati ), welas asih terhadap semua makhluk, tidak senang dengan ketenaran ( popularitas ). Dalam mendidik dan mengajarpun beliau sangat berpegang teguh pada metode para salaf, memulai dengan yang dasar kemudian sedang lalu yang mendalam.

Pendidikan dan ajarannya bukan hanya lewat kata-kata yang beliau ucapkan, melainkan dengan perbuatannya yang sangat terpuji. Diantara akhlak beliau yang sangat welas asih adalah ketika di Rubath ada seorang pencuri yang tertangkap, lalu dipukuli hingga babak belur, saat beliau mendengar hal tersebut beliau pun datang ke Rubat yang saat itu para pelajar sedang menghadiri perkumpulan mingguan guna mendengar nasihat dan peraturan –peraturan yang berlaku di Rubat serta evaluasi – evaluasi pendidikan ilmiyah dan amaliyah yang telah berjalan.

Setelah bertanya siapa yang telah memukuli orang tersebut hingga babak belur dan beberapa orang mengaku mengajukan diri mereka beliaupun dengan wajah memerah, suara agak tinggi berkata :” Siapa kalian? Sehingga berhak memukuli orang ini hingga babak belur” diantara mereka ada yang menyahut ” Dia telah mencuri ya Habiib” Beliaupun berkata “Lantas apa dia patut untuk dipukul? Apa dia budak sahayamu? Bukan begitu memperlakukan yang salah wahai anak-anakku”. Beliau sangat menginginkan kebahagiaan dan kebaikan pada setiap orang terkhusus anak-anak didiknya dan sangat tidak menginginkan keburukan terjadi atau ada pada diri mereka, sehingga tak pernah bosan beliau memberikan peringatan dan semangat lewat nasehat-nasehatnya yang sangat menyentuh qalbu.

Diantaranya beliau mengatakan ” Wahai anakku, makanlah dari hasil usahamu dan jangan kau makan dengan menjual agamamu”, dan ketika salah seorang pelajar yang hendak pulang ke Indonesia meminta wasiat darinya, beliaupun berkata “Perbanyaklah engkau bersujud dan mintalah ikhlas kepada Allah SWT, dan pendamlah dirimu ditempat yang orang tak mengenalmu”. Beliaupun selalu mengatakan ” Janganlah kalian menjadi orang yang banyak disanjung namun engkau memiliki cela yang terselubung”
“Jadikanlah adabmu seperti tepung dan ilmumu laksana garam” “Cinta tak butuh dekatnya jarak namun dekat membutuhkan cinta” “Yaa Ikhwaanii..Wahai saudara-saudaraku.. cukuplah bagi kalian mengamalkan apa yang terdapat didalam kitab Bidayatul Hidayah Milik Al Imam Al Ghozali” “Janganlah kalian sedih dengan mimpi-mimpi buruk yang padahal kalian telah banyak berbuat keta’atan, karena hal tersebut merupakan pendidikan untuk jiwamu, mimpi-mimpi indah tak berarti apa-apa bila seseorang tersebut terlena oleh mimpi dan terus tenggelam dalam ma’siat” “Penuhilah hak-hak orang, dan janganlah kau menuntut hakmu dari mereka, bantulah orang yang meminta bantuan padamu semampumu” ” Kesolehan seseorang tidaklah dilihat dari imamah ( ikat kepala ) yang besaratau sorban yang lebar dan bukan pula kepandaian berbicara diatas mimbar”.

Begitu banyak mutiara nasehatnya yang diberikan secara tulus kepada para santri dan orang yang meminta wasiat ataupun nasehat kepada beliau.

Dikisahkan bahwa ketika tubuh beliau terasa sakit, murid tersayangnya pun pergi dan membawa seseorang guna memijat tubuh beliau, ketika pemuda tersebut memegang kaki beliau, beliaupun bertanya ” Siapa namamu? Dari mana asalmu? Dan sudah berapa lama engkau bekerja sebagai tukang pijat di Tarim?” Pemuda itupun menjawab bahwa ia berasal dari Indonesia dan saat ini menetap di Tarim sebagai seorang pelajar. Beliaupun terkejut lalu menegur murid beliau dengan keras seraya berkata “Menyuruh seorang penuntut ilmu yang datang dari jauh untuk memijat adalah sesuatu yang terlarang, itu merupakan pemerkosaan hak yang dosanya amat besar.. Jangan pernah engkau mengulanginya lagi”.

Tatkala beliau mendapat banyak sanjungan dan pujian beliaupun dengan penuh ketawadlu’an ( rendah hati ) berkata “Saya senang tapi saya tidak pernah terlena dengan pujian itu”, beliaupun menegaskan dalam bait-bait qasidah yang beliau buat sendiri dengan ungkapan sebagai berikut “Kalian telah memuliakanku dengan sesuatu yang tidak pernah kuperkirakan, sedang pemilik kemurahan (Allah SWT) selalu memberi melebihi apa yang diperkirakan”

“Ini adalah anugerah yang kuperoleh tanpa bersusah payah untuk mencarinya, itu semata-mata murni karuniaYang Maha Kuasa”.

“Umurku semua habis dalam kesia-siaan yang tidak berguna, begitulah keadaanku seterusnya wahai keluargaku”

“Inilah kebanggaanku, bukan dengan keagungan dan kekayaan. Adapun kekayaan dunia cukup hanya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari”.

Adapun keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau berupa karomah amatlah banyak, diantaranya adalah firasat beliau yang sangat tajam, dimana ketika beliau usai mengadakan pengajian sore dimasjid Babtinah yang terletak berdampingan dengan Rubath, seorang santri yang bersalaman dan mencium tangan beliau, beliaupun memegang tangan pemuda tersebut seraya bertanya “Engkau dari mana?” pemuda tersebut menjawab “dari tempat renang ya Habiib” Habib pun bertanya “Engkau merokok?” pemuda itupun menjawab dengan berbohong “tidak ya habiib, saya tidak merokok” dengan tersenyum beliau berkata “Jangan engkau takut kepadaku wahai saudaraku,takutlah engkau pada Allah” sambil malu malu pemuda itu hanya bisa berkata ” Iya Habib Iya”.

Inilah sekelumit keluhuran budi akhlak, pendidikan dan ajaran serta perjalanan hidup beliau.

Dan beliaupun wafat pada hari Jum’at tepat ketika adzan Jum’at berkumandang tanggal 11 Rabi’ul Awwal 1425H, bertepatan dengan dengan tanggal 30 April 2004M di kota Abu Dhobi Uni Emirat Arab, dan dikebumikan di Zanbal Tarim bersama para leluhurnya.

Demikianlah manaqib singkat ini Al Faqir buat dan bacakan pada saat ini, semoga Allah merahmati kita semua Bijahi hadza nnabi wa bibarkati hadzal wali.

Habib Hasan bin Umar Baagil Surabaya


Pengasuh Darul Mustafa Jawa Timur

Selain sering mengisi taklim di berbagai daerah pinggiran di Jawa Timur, Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda, salah satu cabang Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut.

Usianya baru 30 tahun, tapi reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui oleh kaum muslimin di Surabaya. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajar, karena ia adalah salah satu alumnus Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut. Wajah ulama muda yang shaleh ini, selain ganteng, juga bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya yang enak didengar. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, yang dibiarkannya terjurai. Kalau sedang memakai iqamah, ulama muda ini mirip Habib Munzhir Al-Musawa, pengasuh Majelis Taklim Rasulullah di Jakarta.
Dialah Habib Hasan bin Umar Baagil, putra Habib Umar Baagil, salah seorang ulama yang terkenal di Surabaya. Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Ponpes Al-Huda, di Jln. K.H. Mas Mansyur 220 Surabaya. Ponpes Al-Huda bisa dikatakan satu-satunya cabang Pondok Darul Mustafa di Jawa Timur.
Lahir di Surabaya, pada 28 Desember 1976, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. “Sejak kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di Surabaya. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa kiai dan habib yang termasyhur,” kenang Habib Hasan.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu juga yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. “Ketika masih kecil, saya pernah dititipkan ke Ponpes Darut Tauhid di Malang untuk belajar agama. Di Malang, sehari-hari saya tekun belajar agama. Pengalaman yang sungguh mengesankan,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Di Ponpes Darut Tauhid ini ia menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA. Sepulangnya dari Malang, ia memperdalam agama pada Ustadz Ahmad Baraja Surabaya. Selama di majelis taklim Ustadz Ahmad Baraja, ia juga sempat belajar pada ayahanda, sang Ustadz Umar bin Ahmad Baraja. ”Beliau adalah salah seorang ulama di kota ini. Cara mengajarnya mengesankan.”
Kemudian, pada 1995 ia berangkat ke Hadramaut dan belajar di Ribath Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar bin Hasan sangat bersyukur bisa belajar di pesantren yang mencetak ribuan santri muda terkemuka di seluruh dunia ini serta menjadi benteng Madzhab Syafi’i di Yaman. Muridnya berdatangan dari mana-mana, termasuk Indonesia. “Alhamdulillah, selama di Hadramaut, kami dididik ilmu zhahir dan batin. Gemblengan ilmu agama, seperti fiqih dan tasawuf, sangat ditekankan,” tuturnya.
Selama di Hadramaut, Habib Umar bin Hasan mendapat bimbingan dari Habib Umar bin Hafidz, Habib Abdullah As-Shahab, Habib Salim Asy-Syathiry, dan Habib Hasan Syathiry. Namun guru yang paling berkesan baginya selama di sana adalah Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar, menurutnya, bukan sekadar guru biasa, tapi juga sumber inspirasi. “Kalau beliau sedang memberikan wejangan, sangat menyentuh hati, terutama saat berbicara di majelis Maulid,” kata Habib Hasan.
Dan yang paling mengesankan dari sang guru adalah semangatnya dalam berdakwah. “Hampir setiap Senin malam membuat pengajian terbuka yang dinamakan Jalsatul Isnain. Pengajian ini unik, sebab dilaksanakan di jalan raya, yang dihadiri masyarakat kota Tarim,” tambahnya.
Santri-santri dari Indonesia yang ada di Ribath Tarim, di antaranya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Munzhir Al-Musawa, Habib Ahmad bin Novel, Habib Soleh Al-Jufry (Surakarta).

Kiblat Pelajaran
Selepas lulus dari Darul Mustafa tahun 2003, ia menetap di Surabaya. Ia langsung mengajar di Pesantren Al-Huda, yang saat itu masih diasuh oleh sang ayah. “Dan, karena Ponpes Al-Huda merupakan cabang Ponpes Darul Mustafa Tarim Hadramaut yang ada di Jawa Timur, arah dan kiblat pelajaran Al-Huda sama persis seperti Pondok Darul Mustafa Hadramaut,” ujar bapak satu putra ini.
Untuk menjadi santri Al-Huda, ada beberapa syarat utama. Selain punya kemauan kuat untuk belajar menuntut ilmu bidang fiqih, nahwu, dan hadits, calon santri juga harus sudah bisa memahami berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. “Syarat utama menjadi santri di Pondok Al-Huda ini adalah umur santri di atas empat belas tahun, laki-laki, bisa membaca Al-Quran, dan mendapat izin dari orangtua atau wali santri,” katanya.
Di Pesantren Al-Huda, para santri mempelajari kitab secara berjenjang, dari yang yang mudah hingga yang paling puncak. Misalnya, dalam ilmu fiqih, para santri mempelajari kitab Risalatul Jami`ah, Safinatun Naja, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, Matan Abi Suja’, Az-Zubad, Yaqutun Nafis, `Umdatus Salik, hingga Minhajuth Thalibin, sering disebut salah satu puncak kitab ilmu fiqih Madzhab Syafi’i.
Dalam program bahasa Arab, mereka mempelajari kitab Al-Ajurumiyyah, Mutammimatul Ajurumiyyah, dan Alfiyyah Ibni Malik. Sementara untuk tauhid, para santri mengkaji kitab Aqidatul `Awam, Al-Aqidah, karya Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dan, dalam bidang hadis, mereka membedah kitab Mukhtarul Ahadis, karya Habib Umar bin Hafidz, dan Arba`in An-Nawawiyyah (empat puluh hadits himpunan Imam Nawawi). Khusus untuk tasawuf, para santri menelaah kitab Risalatul Mu`awanah dan karya-karya lain Habib Abdullah Al-Haddad, serta Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumiddin, karya Imam Ghazali.
Pada perkembangan terakhir, para santri juga mendapat pendidikan keterampilan menggunakan komputer dan latihan pidato. “Ini semua untuk meningkatkan keterampilan santri dalam mengembangkan dakwah,” tambah Habib Hasan.
Selain disibukkan sebagai pengajar Pondok Al-Huda, Habib muda ini juga berdakwah ke masyarakat. Ia dikenal sebagai dai yang banyak disukai kalangan muda, karena materi dakwahnya sering menyentuh persoalan remaja, seperti narkoba, kenakalan remaja, dan lain-lain. Pada setiap hari Senin, Habib Hasan pagi membuka taklim di rumahnya yang diikuti masyarakat sekitar kawasan Kapasan (Jln. K.H. Mas Mansyur), dan tentu saja para santri dari Ponpes Al-Huda.

Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi Solo


Dai Yang Pandai Berkisah

Dai alumni dari Darul Musthafa yang satu ini dalam berdakwah banyak menyanmpaikan kisah-kisah teladan dari kaum salafus shalih. Menurutnya metode ceramah demikian lebih banyak menyentuh dan berkesan pada jamaah

Dai ini dalam berdakwah lebih banyak berkisah dan menitikberatkan penataan akhlaq dan contoh-contoh tauladan dari kaum salafus salihin. Tak heran dengan cara dakwah yang demikian banyak jemaah yang lebih cepat menyerap kalam dan nasehat yang disampaikannya.
Dai yang satu ini bernama lengkap Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali Al-Habsyi adalah putra tertua dari Habib Ali Al-Habsyi. Pria yang sedari kecil mengenyam pendiidkan dasar di Kota Surakarta ini dilahirkan pada 31 Maret 1970.
Ketika masih sekolah dasar, teman-teman dan guru-gurunya sampai bingung menyebut nama Habib Alwi dan Ali karena kadang menyebutnya juga sampai terbalik-balik. Akhirnya salah seorang gurunya memanggilnya Habib “Alwi Kuadrat”.
Ayah dari Habib Alwi, Habib Ali Al-Habsyi tentu punya alasan tersendiri untuk menamai sang putra sulungnya itu dengan harapan Habib Alwi paling tidak maqam dan kecakapan ilmu pengetahuannya mewarisi seperti kakek buyutnya yakni Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Untuk mencapai makam dan kedukan mulia seperti datuk-datuknya itulah, Habib Alwi sejak usia kanak-kanak telah ditanamkan pendidikan agama secara intensif oleh kedua orang tuanya dan beberapa Habaib dan alim ulama yang ada di kota bengawan itu.
Sejak usia muda ia telah belajar pada Habib Abubakar Assegaff yang tidak lain adalah putra tertua dari Habib Muhammad bin Abubakar Assegaf (Gresik). Kebetulan saat itu Habib Abubakar tinggal bersama sang ibundanya berdekatan dengan kediamannya yang terletak di Jl Kaliwidas.
Kira-kira sampai umur remaja ia menyerap berbagai ilmu agama, terutama tentang Sirah (riwayat para salafus shalihin). Selain itu ia berguru pada Habib Anis Al-Habsyi yang tidak lain adalah sang paman yang banyak berdakwah. Setelah sang gurunya wafat, ia juga masih berguru secara tabarrukan pada Habib Ahmad bin Ali Alattas (Pekalongan), Husein bin Abubakar Assegaf (Bangil), Habib Anis Al-Habsyi, Ustadz Abubakar Al-Habsyi (Solo), Habib Ali bin Idrus Al-Habsyi, Syeikh Ahmad Salmin Daoman, dan lain-lain.
Selepas menempuh pendidikan sampai tingkat Aliyah di Madrasah Aliyah I Ronggowongso, Surakarta. Ia sebenarnya ingin melanjutkan ke Hadramaut, namun nasib belum mentaqdirkannya berangkat. Saat itu Habib Umar Al-Hafidz datang ke Surakarta pada 1993 menjemput para santri dari Indonesia untuk belajar di Darul Musthafa. Ketika pertama kali bertemu dengan Habib Umar Al-Hafidz, ada perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Kau harus jadi murid saya di Hadramaut,” kata Habib Umar Al-Hafidz kala itu.
“Saya belum ditakdirkan Allah SWT untuk berangkat ke sana. Padahal saya mendambakan betul. Namun ketidakberangkatan itu justeru membuat semangat berkobar-kobar saat itu untuk belajar lebih giat lagi,” kata Habib Alwi.
Ia kemudian melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta pada jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab dan lulus 1997. Selama menempuh kuliah di IAIN, Habib Alwi bergabung dalam organisasi Al-Amin yang mayoritas diikuti oleh mahasiswa dari kalangan habaib yang menempuh pendidikan di kota pelajar, saat itu Jamaah Al-Amin diketuai Habib Syekh Bagir bin Smith.Setelah menggondol gelar sarjana 1997, ia masih sempat bertabarukan dengan beberapa habaib yang ada di Pulau Jawa.
Semangatnya belajar ke Darul Musthafa itu ternyata masih berkobar, hingga suatu waktu ia bersama menunaikan umrah ke Mekkah dengan sang Ayah, Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi dan dan misannya yakni Ali bin Idrus Al-Habsyi pada 1998. Mereka selepas umrah, menyempatkan berkunjung ke Pesantren yang terkenal menjadi benteng Ahlussunnah Waljamaah itu. Dan ketika singgah di Darul Musthafa, mengantarkannya diterima sebagai pelajar di Pondok Darul Musthafa, Tarim pimpinan Habib Umar bin Hafidz.
Ia beruntung saat di Hadramaut bisa bertemu sekaligus belajar dengan dengan para alim ulama yang ada di hadramaut, seperti Habib Mashur, Syekh Ali Al-Khatib, Syekh Muhammad Ba’audan, Syekh Abdurrahman Bafadal, Habib Hasan As-Syatiry, Habib Salim As-Syatiry dan lain-lain,”Saya bertemu dengan mereka, saya seakan-akan bukan di dunia. Namun di dalam surga Allah SWT. Kok tidak ada orang seperti mereka, yang begitu alim dan tawadhu,”kata Habib Alwi.
Pendidikan pesantren Darul Musthafa ia tempuh dalam 2,5 tahun sebab sebagian kitab-kitab yang diajarkan di sana sudah ia pelajari di tanah air. Kebetulan kitab semacam Alfiah (nahwu) dan Minhaj (fikih) sudah ia pelajari di Indonesia. Kitab-kitab yang disenangi saat itu adalah Jurumiah, Mutmamimmah (nahwu) serta Risayatul Jami’ah, Zubat, Aliyah Kutu Nafis (fikih). Ia juga menggemari membaca kitab-kitab kalam dan nasehat dari salafus shalih serta tidak ketinggalan sirah Nabawiyah karangan Ibnu Hisyam.
Sekalipun di Hadramaut dalam waktu yang relatif singkat, ia mengaku mepunyai pengalaman yang berkesan saat Habib Umar mengutusnya untuk berdakwah ke Dauan, sebuah kota yang letaknya dekat dengan kuburan Hadun, anak Nabi Hud AS November 1999. Selama 50 hari Habib Alwi hanya ditemani Abdullah Sathuf. Padahal medan dakwah yang mereka hadapi adalah daerah yang tidak mengenal agama sama sekali dan penduduknya berkomunikasi dengan bahasa yang ‘logat’ nya berbeda dengan bahasa arab pada umumya.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah daerahnya sangat panas, keadaan kering dan tidak ada air. Sekalipun ada sumber air, mereka harus menempuh jarak sampai 5 kilometer jalan kaki. Namun, ia menemukan tantangan dalam berdakwah, ketika itu ia mendekati anak-anak muda.Sampai akhirnya masa dakwahnya itu digantikan oleh Habib Husein bin Nadjib Al-Haddad (Surabaya).
Dai yang lebih suka berkisah selama berdakwah ini ternyata mengagumi Habib Munzir Al-Musawa, pengasuh majelis Rasulullah SAW.“Beliau dalam menyampaikan sesuatu itu tidak bertele-tele namun menyentuh pada jamaah. Dari cara berpakaian dan bicara saja sudah mengundang orang untuk berbuat baik,” kata Habib Alwi.
Selepas dari Hadramaut, ia kemudian membuka Majelis Taklim Al-Hidayah. Ada dua progam yang telah dibuka, yakni program mukim (menginap) dan khorijin (reguler). Ada pun pelajaran kitab yang diajarkan Risatul Jami’ah, Dhahiratul Musyarofah, Syafinatul Najah, Mukhtasar Shahir. Setiap santri pemula diwajibkan menghafal kitab Jurmiyah (Nahwu) sementara untuk mematangkannya disarankan menghafal kitab Imriti dan Alfiyah.
Ia juga masih mengelola sekitar 5 majelis taklim yang rutin di kota Solo. Seperti di Masjid Assegaf pada tiap hari Senin ba’da Maghrib dengan materi hadits dari kitab Nurul Imam karangan Habib Umar bin Hafidz, Majelis An-Nisa setiap hari Sabtu di Darud Da’wah yang berisi fikih wanita, Majelis Habib Syeikh bin Abdul Qadir Assegaf tiap Rabu malam ba’da Isya, Majelis Baitu Syakur tiap dua minggu sekalidengan mauidhah hasanah tentang tasawuf dan di Studio dengan materi kitab hadits Arbain Al-Nawawiyah.
Selain berdakwah lewat berbagai taklim Habib Alwi ternyata pernah menulis Kitab Asyabilul Wadih Finugbathin Mina Tartib Al-Khutub Al-Fatih karangan Habib Syekh Abubakar bin Muhammad Assegaf dan sekarnag telah dicetak ulang. Yang kedua ia juga menulis kumpulan dzikir dan wirid-wirid ba’da shalat. Ada keinginan besarnya yang sampai saat ini belum dituntaskan yakni menulis kitab Ihya Ulimiddin dengan tangan nya sendiri dan saat ini baru sampai pada jilid pertama.
Untuk menempanya menjadi pendakwah yang mumpuni, ia banyak mendengarkan kaset-kaset dari ulama dan nasehat-nasehat Habib Abdul Qadir bin Abdullah Assegaf, Jeddah. Selain itu ia banyak membaca kitab fikih dan nahwu secara ototidak. Ia juga tak segan-segan bertanya pada orang-orang yang lebih alim. Sementara kitab lain yang sering dibacanya adalah kitab tasawuf seperti Ihya Ulimiddin, Bidayatul Hidayah dan kalamul Habaib.
”Kalam (nasehat) habib Ali Al-Habsyi yang berjudul Ankunuzus Sa’adah al Abadiyah fi Anfasil Habsyiah. Biasanya saya baca saat menjelang tidur malam dan tujuannya lebih untuk menasehati diri pribadi, karena sifatnya duduk santai,” kata Habib Alwi.
Nesehat yang paling berkesan dari Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi adalah tentang permasalahan qalbu(hati) dan khusnudhan(prasangka baik). “Ini juga mendidik pribadi karena banyak menitikberatkan pada i’tibba Nabi pada khususn, kedua tentang khusnudhan (prasangka baik) dan birrul walidain (berbakti pada orang tua).

KH. Mukhtar Syafaat


Ulama Panutan Umat

Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi

Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.

Sumber http://ajisetiawan.blogspot.com/2007/01/kh-mukhtar-syafaat.html

Syekh Akbar Abdul Fatah

“Si Linggis” dari Desa Cidahu

Ia adalah salah seorang wali besar di Tanah Jawa. Sejak muda ia sudah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya yang sangat tajam setiap kali mengkaji ilmu-ilmu agama dengan pendekatan tasawuf.

Di Desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1884, lahirlah seorang jabang bayi yang kelak menjadi ulama besar. Orangtuanya memberinya nama Abdul Fatah. Sejak muda ia sudah tertarik pada kehidupan rohaniah dengan menimba ilmu tarekat pada K.H. Sudja’i, guru mursyid Tarekat Tijaniyah, selama tujuh tahun sejak 1903.
Selama menjadi santri, Abdul Fatah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya terhadap berbagai ilmu agama yang sangat tajam. Terutama ketika ia menganalisis dengan menggunakan ilmu nahu dan saraf dengan pendekatan tasawuf. Ia suka belajar dengan membaca berbagai kitab, sehingga beberapa pelajaran yang belum sempat disampaikan oleh gurunya sudah ia kuasai.
Suatu hari, ia membaca ayat 17 surah Al-Kahfi, “Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, dia termasuk orang yang diberi petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, dia sekali-sekali tidak akan mendapatkan seorang wali yang mursyid.” Ia lalu bertanya kepada Kiai Sudja’i, “Siapakah wali mursyid yang dimaksud dalam ayat ini?” Kiai Sudja’i menjelaskan perihal wali mursyid sebagai guru tarekat, sementara mencari wali mursyid merupakan keharusan. Tapi, karena Kiai Sudja’i mengaku bukan wali mursyid, Abdul Fatah disarankan untuk mencari wali mursyidnya.
Maka berangkatlah Abdul Fatah mencari wali mursyid dengan mengunjungi para ulama di Jawa dan Sumatra. Karena belum menemukan, ia lalu mencarinya ke Timur Tengah, khususnya Mekah. Maka pada 1922 ia pun berangkatlah, dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Sampai di Singapura, kapal yang mereka tumpangi rusak. Terpaksalah ia bermukim di Negeri Singa itu. Ia tinggal di Kampung Watu Lima, kemudian di Kampung Gelang Serai, selama lima tahun. Di sanalah ia, suatu hari, bertemu Syekh Abdul Alim Ash-Shiddiqy dan Syekh Abdullah Dagistani, yang mengajarkan Tarekat Sanusiyah.
Pada 1928, setelah memulangkan keluarganya ke Tasikmalaya, ia berangkat ke Mekah bersama beberapa jemaah haji Indonesia, seperti K.H. Toha dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, dan K.H. Sanusi dari Pesantren Syamsul Ulum, Gunungpuyuh, Sukabumi (lihat Alkisah edisi 17/III/2005, Khazanah). Selama di Mekah, Abdul Fatah bergabung dengan Zawiyah Sanusiyyah di Jabal Qubais, mengaji kepada Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi selama lima tahun.
Karena sangat alim, belakangan Abdul Fatah mendapat kepercayaan membaiat atau menalkin murid tarekat yang baru masuk. Selama belajar tarekat kepada Syekh Ahmad Syarif, ia sempat mengalami berbagai ujian. Suatu hari, ketika tengah mengajar, Syekh Ahmad Syarif mengamuk dalam majelisnya. Apa saja yang ada di dekatnya dilempar ke arah murid-muridnya. Semua muridnya lari berhamburan karena takut. Namun, ada seorang murid yang bergeming, tetap diam di tempat. Dialah Abdul Fatah.

Kursi Istimewa
Sebagai guru mursyid tarekat, Syekh Ahmad Syarif biasa duduk di kursi istimewa, dan tak seorang pun berani mendudukinya. Mengapa? Sebab, siapa yang berani mendudukinya, badannya akan hangus. Suatu hari Syekh Ahmad memerintahkan Abdul Fatah untuk menggantikannya mengajar. Maka dengan tenang Abdul Fatah duduk di kursi istimewa itu, tanpa ada kejadian apa pun yang mencelakakannya.
Akhirnya, pada suatu hari, Syekh Ahmad Syarif memanggilnya. Ia menceritakan, semalam Rasulullah SAW memerintahkan untuk melimpahkan kekhalifahan Tarekat Sanusiyah kepada Abdul Fatah Al-Jawi untuk dikembangkan di negerinya. Sejak itu Abdul Fatah mendapat gelar Syekh Akbar Abdul Fatah. Setelah itu, lebih kurang dua tahun kemudian, Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi pun wafat.
Pada 1930, Syekh Akbar Abdul Fatah pulang kampung dengan membawa ajaran Tarekat Sanusiyah, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tarekat Idrisiyah karena tiga alasan. Pertama, untuk berlindung dari tekanan politik kaum kolonialis Belanda. Kedua, kandungan ajaran kedua aliran itu sama, karena Idrisiyah juga merupakan anak Tarekat Sanusiyah, yang sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad bin Idris. Ketiga, untuk mendapatkan berkah Syekh Ahmad bin Idris atas keistimewaan lafaz zikirnya yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan Nabi Khidlir, yaitu Fi kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma wasi’ahu ‘ilmullah (.................)
Di Cidahu, Syekh Akbar Abdul Fatah menghadapi berbagai tantangan, baik dari penjajah Belanda maupun para jawara. Namun semua itu ia hadapi tanpa takut sedikit pun. Tiga tahun kemudian ia mulai mendirikan beberapa zawiah di beberapa tempat, terutama di Jawa Barat, masing-masing dilengkapi dengan sebuah masjid, Al-Fatah. Pada 1930, ia sempat berdakwah sampai ke Batavia, singgah di Masjid Kebon Jeruk, kini di kawasan Jakarta Kota. Ia juga sempat mengembangkan tarekat di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Suatu hari ia mengembangkan tarekat di Masjid Al-Falah di Batutulis, kini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Di sana ia juga harus menaklukkan para jawara. Dan sejak itu syiar dakwah Islam terus berkembang. Banyak muridnya yang kemudian mewakafkan tanah untuk digunakan sebagai zawiah. Ia juga membangun sebuah asrama untuk tempat tinggal para santri dari jauh. Di tengah kesibukannya mengajar di Batavia, dua minggu sekali ia menyempatkan diri mengajar di kampung halamannya.
Pada 1940, karena pesantrennya di Cidahu sudah tidak bisa menampung jemaah, ia lalu memindahkannya ke Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya.
Sebagai wali, Syekh Akbar Abdul Fatah memiliki banyak karamah. Suatu hari, dalam perang kemerdekaan, pasukan Hizbullah, yang terdiri dari para santri pimpinan Syekh Akbar Abdul Fatah, dibombardir oleh pesawat Belanda. Namun, bom-bom itu tidak meledak. Apa pasal? Karena Syekh Akbar Abdul Fatah telah membekali para santrinya dengan air yang telah didoainya. “Air doa” sang wali inilah yang, atas izin Allah SWT, menangkal bom-bom penjajah kafir tersebut.

Perampok Arab
Suatu hari seorang nelayan terdampar sampai ke pantai Australia. Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau asingkan aku yang lemah ini di sini? Padahal, aku hanya bermaksud mencari nafkah buat anak-istriku. Ya Allah, datangkanlah penolong.” Ketika itulah ia melihat seorang ulama bertubuh tinggi besar berpakaian serba putih. Tiba-tiba ia memindahkan perahu nelayan itu ke tempat asalnya. Setelah selamat, nelayan itu menawarkan ikan besar yang baru saja ditangkapnya kepada ulama penolongnya itu.
Dengan tersenyum, ulama tersebut berkata, “Aku tidak membutuhkan ikan itu. Jika engkau ingin menjumpaiku dan menjadi muridku, datanglah ke Pagendingan, Tasikmalaya.” Setelah itu ulama tinggi bear itu pun lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa minggu kemudian, nelayan itu datang ke Pesantren Pagendingan. Di sana ia bertemu seorang ulama yang fisik dan gerak-geriknya persis seperti yang ia lihat di pantai Australia. Ia tiada lain adalah Syekh Akbar Abdul Fatah.
Karamah yang lain terjadi ketika Syekh Akbar Abdul Fatah berada di Mekah. Suatu hari ia ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Membawa bekal secukupnya, bersama beberapa kiai dari Jawa, ia berjalan kaki menuju Medinah. Di tengah perjalanan, rombongan itu diadang perampok bersenjata lengkap. Rombongan peziarah itu terkepung oleh perampok yang mengendarai kuda dengan menghunus pedang. Syekh Akbar lalu memerintahkan rombongannya melepaskan apa saja yang ada di tangannya ke kanan dan kiri, sebagai kepasrahan seorang hamba yang lemah tak berdaya.
Sambil melepaskan apa yang dimiliki, Syekh Akbar berteriak dengan suara lantang, ”Ash-shalatu was salamu ‘alaika ya Rasulallah! Qad Dhaqat hilati, adrikni ya Rasulallah!” (Selawat dan salam serajahtera atas Tuan, wahai Rasulullah! Mohon lenyapkan rintangan jalan kami menuju engkau, wahai Rasulullah!). Ajaib! Kontan para perampok itu berteriak-teriak kesakitan sambil memegang leher mereka, “Ampun ya Syekh Jawa, ampun ya Syekh Jawa! Panas, panas!”
Pemimpin perampok itu lalu minta maaf, mohon dibebaskan dari siksaan. Maka Syekh Akbar pun mendekati dan menepuk pundak para perampok itu satu per satu. Barulah rasa sakit karena panas tak terkirakan di tenggorokan itu reda. Seketika itu pemimpin perampok menyatakan bertobat, dan bersedia mengantarkan rombongan ke mana saja. “Kalian adalah bangsa Arab yang berdekatan dengan kampung Rasulullah SAW, sedangkan kami datang dari negeri yang sangat jauh – tapi demi berziarah kepada Rasulullah SAW. Tidakkah kalian malu melakukan hal yang tidak terpuji ini? Sudah sepantasnya kalian lebih berbangga daripada kami, karena negeri kalian dikunjungi banyak orang dari seluruh pelosok negeri.”
Syekh Akbar Abdul Fatah wafat pada 1947 dalam usia 63 tahun, dimakamkan dalam kompleks Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Jalan Raya Ciawi Km 8, Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sejak itu pemimpin Tarekat Idrisiyah diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Dahlan. Pada 11 September 2001 Syekh Dahlan wafat, dan tongkat kepemimpinan tarekat diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan.
AST
Caption Foto:
Syekh Abdul Fatah. Berjalan kaki ke Medinah
Makam Syekh Abdul Fatah. Selalu ramai diziarahi
Masjid Al-Fatah di Jalan Batu Tulis, Jakarta Pusat. Markas Tarekat Idrisiyah
Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Tasikmalaya. Meneruskan tradisi salaf

“Sehubungan dengan masalah ilmu, ada empat macam manusia yang memperoleh pahala: orang yang bertanya, orang yang mengajarkan, orang yang mendengarkan, dan orang yang mencintai ketiga-tiganya.” (HR Abu Nu’aim dari Sayidina Ali)

Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (17/3/1710 – 13/10/1812)

Syeikh Muhammad Arsyad al‑Banjari dilahirkan pada 15 Safar 1122 Hijrah bersarnaan 17 Mac 1710 Masihi di Kampung Lok Gabang, Martapura, Banjarmasin. Bapanya Abdullah merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700‑1734M). Bapanya bukan asal orang Banjar, tetapi datang dari India, mengembara untuk menyebarkan dakwah. Beliau seorang ahli seni ukiran kayu.


Semasa ibunya hamil, kedua ibu bapanya sering berdoa agar dapat melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir, ibu bapanya mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yang dinanti‑nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul‑husna, di samping berdoa kepada Allah. Setelah itu diberi pendidikan Al‑Quran kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya iaitu 'Abidin, Zainal Abidin, Nurmein, dan Nurul Amien.


Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Semasa Kecil

Sejak kecil, Syeikh Muhammad Arsyad al‑Banjari kelihatan cergas dan cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni lukis dan seni tulis, sehingga sesiapa sahaja yang melihat karyanya akan berasa kagum dan terpukau.


Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan ke kampung‑kampung. Apabila baginda sultan sampai ke kampung Lok Gabang, baginda berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah lagi memukau hati itu. Justeru, sultan berhajat untuk memelihara dan mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.


Syeikh Muhammad Arsyad al‑Banjari mendapat pendidikan penuh di istana sehingga usianya mencapai 30 tahun. Kemudian, beliau dikahwinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama Tuan Bajut. Hasil perkahwinan, beliau memperoleh seorang puteri yang diberi nama Syarifah.


Syeikh Muhammad Arsyad telah meneruskan pengembaraan ilmunya di Makkah dan Madinah. Segala perbelanjaannya ditanggung oleh Sultan Tamjidillah (1745‑1778M) dan pengganti baginda Sultan Tahmidillah (1778‑1808M). Selama belajar di Makkah, Syeikh Muhammad Arsyad tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar yang terletak di kampung Samiyyah iaitu dikenali sebagai Barhat Banjar.


Syeikh Muhammad Arsyad AI‑Banjari Semasa Di Makkah Dan Madinah

Semasa di Makkah, Syeikh Muhammad Arsyad belajar dengan tekun di Masjidil Haram dalam pelbagai bidang ilmu. Beliau berguru dengan ulama'‑ulama' terkenal pada masa itu seperti Syeikh Ataillah Bin Ahmad al‑Misriy, Syeikh Muhammad Bin Sulaiman al‑Kurdiy, Syeikh Muhammad Bin Abd Karim al‑Qadiri, Syeikh Ahmad Bin Abd Mun'im al‑Damanhuri, Syeikh Hasan Bin Ahmad 'Akisy al‑Yamani, Sheikh Salim Bin Abdullah alBasri, dan banyak lagi.


Sahabat‑sahabat Syeikh Muhammad Arsyad merupakan golongan pencinta kepada ilmu pengetahuan sehingga setiap perternuan yang merupakan majlis ilmu, mereka saling ber­muzakarah bersama‑sama. Antara sahabat beliau ialah: Syeikh Abdul Samad al‑Falimbani, Syeikh Abdul Rahman Mesri, Syeikh Daud bin Abdullah al‑Fatani, Syeikh Abdul Wahab Sadengreng (Bugis), dan Syeikh Muhammad Salih bin Umar al‑Samarani atau 'Semarang'.


Untuk menambah ilmu, Syeikh Muhammad Arsyad bersama sahabatnya ingin merantau pula ke Mesir. Namun, setelah bersiap untuk berangkat, mereka mendapat khabar bahawa ulama' besar Mesir iaitu Syeikh Muhammad Bin Sulaiman al-Kurdie datang ke Madinah. Lantas beliau bersama sahabat pergi ke Madinah untuk berguru dengan syeikh tersebut.


Pulang Ke Tanah Air

Setelah berada selama 30 tahun di Makkah dan lima tahun di Madinah, Syeikh Muhammad Arsyad al‑Banjari pulang ke tanah air untuk menyebarkan Islam. Setibanya beliau ke kampung halaman, beliau membuka pusat‑pusat pengajian untuk memudahkan masyarakat Islam menimba ilmu pengetahuan. Selain itu, Syeikh Muhammad Arsyad

turut membiasakan diri bersama orang kampong berkebun, bersawah, dan bertani.


Di samping aktif mengajar dan mendidik masyarakat Islam yang datang dari pelbagai pelosok daerah, beliau turut turun berdakwah ke segenap lapisan masyarakat yang terdiri daripada rakyat biasa hinggalah kepada golongan pembesar dan bangsawan.


Dalam menyampaikan dakwah, Syeikh Muhammad Arsyad menggunakan pelbagai kaedah pendekatan iaitu Dakwah bil Hal (dakwah yang menggunakan pendekatan contoh dan akhlak yang dipamerkan oleh beliau), Dakwah bil Lisan (dakwah dengan menggunakan pendekatan lidah iaitu mengajak dan menyeru) dan Dakwah bil Kitabah (dakwah dengan menggunakan pendekatan penulisan buku dan risalah).


Karya‑karya Syeikh Muhammad Arsyad AI‑Banjari

1. Kitab Usuluddin ‑ Ditulis pada 1188H (1774 M), ditulis dalam bahasa Melayu, yang memuatkan masalah tauhid dan keimanan. Risalah ini belum pernah dicetak.
Luqthatul 'AjIan fi Bayan Haid wa istihadhati wa nifas al‑Niswan ‑ Iaitu kitab yang mengupas mengenai masalah haid, istihadhah, dan nifas. Isi kitab ini terdiri daripada muqaddimah, 15 fasal, dan penutup. Dicetak pada tahun 1992 di Indonesia. Dalam kitab ini dinyatakan bahawa wajib hukumnya bagi perempuan belajar masalah haid, istihadhah, dan nifas. Jika suami orang berilmu, dia wajib mengajar isterinya; jika sebaliknya, dia wajib memberi keizinan kepada isterinya untuk belajar mengenainya.

Kitab Tuhfat al‑Raghibin ‑ Ditulis pada 1188H (1774M). Pernah diterbitkan di Mesir pada 1353H. Kitab ini membincangkan masalah tauhid iaitu penjelasan tentang hakikat iman, perkara-perkara yang boleh merosakkan iman, tanda seseorang menjadi murtad, dan sebagainya. Kitab ini terdiri daripada muqaddimah, tiga fasal, dan penutup.

Kitab al‑Qawl al‑Mukhtasar fi 'Alamat alMahdi al‑Muntazar ‑ Kitab ini mula dikarang pada tahun 1196H. Mengandungi perbahasan tentang tanda‑tanda kiamat seperti Imam Mahdi, Dajjal, turunnya Nabi Isa, terbit matahari sebelah barat. Ditulis dalarn tulisan jawi dan pernah dicetak di Singapura tahun 1356H (1937M).

Kitab Ilmu Falak ‑ Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab. Penulisannya mernuatkan kaedah bila terjadinya gerhana matahari dan bulan. Walau bagaimanapun kitab ini belum sempat dicetak.

Kitab al‑Nikah ‑ Kitab ini menerangkan tentang pengertian wali dan kaedah melaksanakan akad nikah berdasarkan apa yang telah diajar oleh Rasulullah s.a.w. Kitab ini pernah diterbitkan di Istanbul pada 1304H.

Kitab Kanzul Ma'rifah ‑ Kitab ini berkaitan dengan ilmu tasawuf serta penjelasan mengenai hakikat mengenal diri untuk mencapai makrifat kepada Allah. Isi kandungannya ditulis dalam bahasa Melayu dan belum dicetak.

Kitab Sabil al‑Muhtadin ‑ Inilah kitab beliau yang paling masyhur. Kemasyhuran kitab ini akhirnya menjadi khazanah di beberapa perpustakaan besar iaitu di Makkah, Mesir, Turki, dan Beirut. Kitab ini amat popular di Nusantara yang merangkumi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Kemboja, dan Brunei.


Karya Syeikh Muhammad Arsyad al‑Banjari yang paling terkenal ini merupakan kitab fiqh Melayu yang tersebar luas di seluruh alam Melayu. Terdapat di dalam dua jilid, jilid pertama mempunyai 252 halaman dan jilid kedua 272 halaman. Perbincangan dalam kitab ini meliputi persoalan ibadah yang menyentuh thaharah, solat, puasa, zakat, haji, akikah, korban, makanan yang halal dan haram serta sembelihan.


Kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Tahmidillah Bin Sultan Tamjidillah. Penulisannya mengambil masa selama dua tahun iaitu dimulai pada 1193H/1779M dan selesai pada 27 Rabiul Akhir 1195H. Kitab ini pertama kali dicetak di Istanbul pada tahun 1300H/1882M kemudian diulang cetak di Kaherah dan Makkah.


Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Meninggal Dunia

Beliau meninggal dunia pada malam Selasa iaitu di antara waktu Maghrib dan Isyak, pada 6 Syawal 1227 Hijrah bersamaan 13 Oktober 1812 Masihi. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat Islam di Nusantara.


Bagi mengenang jasa dan sumbangan beliau, beberapa tempat di Indonesia telah mengabadikan nama dan karya beliau. Antaranya ialah Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad al‑Banjari dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.

Takziah Nabi Khidhir

Kisah takziah yang disampaikan oleh Nabi Khidhir AS kepada ahli keluarga dan sahabat-sahabat Junjungan Nabi SAW, bukanlah satu cerita rekaan semata-mata. Kisah tersebut mempunyai sumber asalnya daripada khazanah ilmu Islam, walaupun kesahihannya dipertikaikan. Imam al-Baihaqi rahimahUllah menyebutkan 2 hadits mursal yang membawa kisah takziah tersebut, dan beliau menyatakan:- "Kedua-dua sanad ini walaupun dho`if tetapi saling kuat menguatkan satu sama lain dan menjadi bukti bahawa kisah tersebut mempunyai asal (sumber) daripada hadits Ja'far". Perkataan Imam al-Baihaqi ini ese petik dari notakaki Syaikhul Azhar al-Imam ad-Duktur asy-Syaikh Abdul Halim Mahmud rahimahUllah pada tahqiq beliau bagi kitab "Lathaaiful Minan" halaman 97. Tuan-tuan juga bolehlah rujuk pada karya Imam al-Baihaqi yang masyhur "ad-Dalaailun Nubuwwah", nescaya akan berjumpa dengan riwayat kisah tersebut. Oleh itu, janganlah dihairankan sangat atau terus dikarutkan akan kisah takziah tersebut. Mungkin kita tidak pernah mendengarnya, tetapi apa yang kita tidak tahu tidak semestinya salah atau karut. Ilmu itu amat luas dan tiadalah ilmu itu terbatas kepada 4 orang sahaja, iaitu Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah, Bin Wahab dan Ibnul Qayyim pegangan segelintir puak. Jangan miskinkan umat ini daripada ilmu dan ulama.

Kita lihat kisah takziah tersebut yang dikisahkan oleh seorang ulama besar yang antara gurunya ialah Imam Ibnu Daqiqil 'Eid rahimahUllah. Beliau yang kumaksudkan adalah asy-Syaikh al-Imam al-`Allaamah al-Muhaqqiq al-Mutqin al-Hafiz al-Faqih al-Adib an-Nahwi Fathuddin Abul Fathi Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ya'muri ar-Rab`i al-Andalusi al-Mishri rahimahUllah. Beliau masyhur dengan gelaran Ibnu Sayyidin Naas, nisbah kepada datuknya yang ke-12 iaitu Imam Sayyidin Naas bin Abul Walid. Beliau ini dilahirkan pada bulan Dzul Qa`idah tahun 671H di Kaherah, Mesir dan dibesarkan dalam keluarga ulama. Ayahanda beliau adalah salah seorang ulama besar ketika itu. Selain belajar daripada ayahandanya, pada usia 4 tahun lagi, beliau dibawa ayahanda menghadiri pengajian-pengajian ilmu dan majlis-majlis dzikir. Sikap mencintai ilmu ini yang disemai sedari kecil menyebabkan beliau amat bersungguh-sungguh menuntut ilmu pengetahuan walaupun hadir sendirian walaupun usianya masih kecil. Keghairahannya menuntut ilmu menyebabkan beliau sanggup berpergian ke berbagai tempat demi mencari ilmu sehingga jumlah guru-gurunya hampir 1,000 orang ... Allahu ... Allah. Ibnu Sayyidin Naas menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti fiqh, hadits, sejarah dan bahasa.

Selain meninggalkan anak-anak murid yang ramai, Imam Ibnu Sayyidin Naas, turut meninggalkan berbagai karya, antaranya:-
`Uyuun al-Atsar fi funuun al-maghaazi wasy-syamaail was-siyar;
Nurul 'Uyuun fi Talkhish Siratil Amiinil Ma`muun SAW;
Tahshilul Ishaabah fi Tafdhiil ash-Shahaabah;
Busyral Labiib bi dzikril Habiib;
Minahul Midah
al-Maqaamaatul 'Aliyyah fil Karaamaatil Jaliyyah;
an-Nafhusy Syadzi fi Syarhi Jaami`it Tirmidzi.
Imam al-Hafiz Ibnu Sayyidin Naas rahimahUllah kembali ke rahmatUllah pada pagi Sabtu 11 Sya'baan 734H. Telah melayati jenazah beliau oleh ramai manusia dan beliau dikebumikan di al-Qurafah di sebelah al-Hafiz Ibnu Abi Jamrah rahimahUllah. Moga Allah merahmati beliau, guru-guru beliau serta sekalian ulama dan sekalian umat Junjungan Nabi SAW.... al-Fatihah.

Maka kemudian daripada itu, tercatatlah dalam karya ulama ini yang berjodol "Nurul 'Uyuun fi Talkhish Siratil Amiinil Ma`muun SAW" halaman 133 sebagai berikut:-

.... Kemudian para sahabat mendengar satu suara dari arah pintu rumah Junjungan SAW berkata: "Jangan kamu mandikan dia, sesungguhnya dia suci dan disucikan. Kemudian mendengar pula mereka satu suara lain yang menyatakan: "Kamu mandikanlah baginda, sesungguhnya suara tadi adalah Iblis dan aku adalah al-Khidhir," dan dia memberikan ucapan takziah kepada mereka dengan katanya:- "Sesungguhnya pada Allahlah ketenangan atas setiap musibah (yakni carilah ketenangan/kesabaran tatkala menghadapi musibah dengan kembali kepada Allah), penggantian segala apa yang punah, pemerolehan segala apa yang luput, maka berpeganglah kamu dengan Allah dan hendaklah kamu berharap kepadaNya. Sesungguhnya yang mendapat musibah yang sebenar adalah orang yang ditegah daripada memperolehi pahala (yakni dia tidak mendapat pahala daripada musibahnya kerana dia tidak sabar atau redha tatkala mendapat musibah).
Allahu Allah, moga Allah jadikan kita insan bertaqwa yang sabar dan redha atas segala ujian, dugaan dan musibah. Moga dakwaan kita sebagai hamba Allah itu benar, bukan hamba yang berlagak tuan yang bebas merdeka mendurhakai tuannya.

Habib `Abdur Rahman al-Masyhur

mengaji fiqh mazhab Syafi`i, pasti kenal dengan sebuah kitab himpunan fatwa yang dinamakan"Bughyatul Mustarsyidin". Kitab ini adalah antara karya al-Habib `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar al-Masyhur rahimahumullah ulama yang diberi jolokan sebagai `Allaamah Hadhramaut, Faqih Hadhramaut, Rais Hadhramaut, Abu Tarim dan beragam lain laqab kemuliaan dan penghormatan.Beliau dilahirkan di Kota Tarim pada 29 Sya'ban 1250H. Ayahanda beliau, Habib Muhammad al-Masyhur adalah seorang `alim yang khumul, manakala bonda beliau adalah Syarifah Syaikhah binti `Abdur Rahman bin `Ali al-Haddad, seorang wanita yang sholehah lagi berilmu tinggi. Dalam keluarga yang penuh keshalihan dan ilmu inilah al-Habib `Abdur Rahman dibesarkan. Selain kepada kedua orang tuanya, beliau menuntut ilmu dengan para ulama lain di Tarim, antaranya dengan al-Habib `Umar bin Hasan al-Haddad, Habib Muhammad bin Ibrahim BilFaqih, Habib Muhsin bin `Alwi as-Saqqaf, Syaikh Muhammad bin `Abdullah BaSaudan dan Habib `Abdullah bin Husain bin Thahir rahimahumullah. Di tangan Habib `Umar bin Hasan al-Haddad, sempat beliau mengaji kitab-kitab sebesar Minhaj Imam an-Nawawi, Tuhfah Imam Ibnu Hajar dan Shahih Imam al-Bukhari. Beliau turut mendalami pengajian tasawwufnya dengan Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr, Habib Abu Bakar bin `Abdullah al-Aththas dan Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar rahimahumullah.

Habib `Abdur Rahman termasuk penuntut yang tinggi kesungguhan dalam mencari pengetahuan. Selama di Tarim, beliau mengikuti 12 mata pelajaran daripada guru-gurunya dengan berpandukan 12 syarah kitab dan 7 hasyiahnya. Sering juga beliau berulang alik ke Seiwun dengan berjalan kaki semata-mata untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru-gurunya di sana. Tidak hanya Tarim dan Seiwun, Habib `Abdur Rahman telah menjelajah berbagai pelosok Hadhramaut dan al-Haramain demi mencari ilmu sehingga beliau menjadi seorang yang benar-benar alim dalam berbagai cabang ilmu seperti tawhid, fiqh, tasawwuf, hadits, tafsir, falak dan ilmu-ilmu alat, sekalipun usia beliau masih tergolong muda belia.

Ketika guru beliau, Habib Ahmad bin `Ali al-Junaid, wafat, beliau dilantik untuk menggantikan posisi gurunya. Pengajian-pengajiannya dilaksanakan di berbagai tempat di Tarim. Di kediamannya sendiri turut diadakan majlis-majlis taklim umum dan khusus. Juga beliau diamanahkan untuk menjadi mudir pertama bagi Rubath Tarim yang masyhur itu. Beliau menghabiskan sebahagian besar waktunya untuk berkhidmat kepada umat. Kalau tidak berdakwah dan mengajar, beliau sentiasa menyibukkan dirinya dengan menulis, merumuskan fatwa atau mentelaah segala kitab. Beliau juga menulis jadwal shalat untuk kegunaan masyarakat.

Ibadah beliau juga luar biasa. Sejak kecil lagi beliau sudah bangun malam untuk beribadah kepada Yang Maha Esa. Amalan -amalan sunnat, baik berupa shalat maupun puasa, sentiasa menjadi wiridnya selain bacaan al-Quran, zikir dan shalawat. Shalat fardhunya sentiasa berjemaah, bahkan beliau telah menjalankan tugas menjadi imam di Masjid Syaikh `Ali bin Abu Bakar as-Sakran selama 40 tahun. Di masjid tersebut jualah tempat beliau sering beruzlah dan berkhalwat untuk beberapa waktu. Kitab Bughyatul Mustarsyidin itu ditulisnya ketika sedang menjalani khalwat di masjid tersebut. Selain Bughyah, beliau mempunyai beberapa karya lain, antaranya, Ikhtisar Fatawi Ibnu Ziyad dan Syamsudz Dzahirah.

Habib `Abdur Rahman al-Masyhur juga berjaya mencetak murid-murid yang menjadi ulama besar seperti Habib Muhammad bin Hadi as-Saqqaf, Habib Muhammad bin Hasan `Aidid, Habib `Abdullah bin `Alwi al-Habsyi, Habib `Abdullah bin `Umar asy-Syathiri, Habib `Abdul Bari bin Syaikh al-`Adyrus, Habib Ahmad bin `Abdur Rahman as-Saqqaf, Habib `Alwi bin `Abdullah bin Syihab, Habib `Ali bin `Abdur Rahman al-Masyhur dan Habib `Alwi bin Abdur Rahman al-Masyhur.

Habib `Abdur Rahman al-Masyhur tutup usia pada hari Jumaat, 15 Shafar 1320H dan dimakamkan pada kesokan harinya. Beliau dimakamkan di permakaman Zanbal setelah shalat jenazahnya diimamkan oleh anakanda beliau, Habib `Ali bin `Abdur Rahman al-Masyhur. Semoga beliau dirahmati sentiasa oleh Yang Maha Esa dan diberi sebaik-baik balasan di sana ....aaamiiin....al-Fatihah.

Qadhi Abu Syuja`

Syaikh al-'Alim al-'Allaamah al-Imam Syihabud Dunya wad Din, Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Ashfahani asy-Syafi`i rahimahullah yang lebih dikenali sebagai Qadhi Abu Syuja` @ Qadhi Abu Thayyib adalah seorang ulama besar dalam mazhab asy-Syafi`i. Tarikh lahir dan wafatnya tidak diketahui dengan pasti. Ada yang menyatakan beliau lahir dalam tahun 328H dan wafat pada tahun 488H, manakala pendapat lain menyatakan bahawa beliau lahir tahun 433H dan wafat tahun 593H.

Ketokohan beliau amat terserlah sehingga dilantik menjadi qadhi dan akhirnya menduduki jawatan wazir. Namun kedudukan dan pangkat sedikit pun tidak mempengaruhi keshalehan, sikap warak dan zuhud beliau. Bahkan beliau dikenali di segenap ceruk rantau sebagai seorang imam yang shaleh lagi alim. Sewaktu menduduki jawatan wazir, beliau menugaskan 10 orang pembantu bertugas membahagi dan mengagih-agihkan sedekah dan hadiah, di mana setiap seorang diberi 120,000 dinar untuk dibahagi kepada orang - orang miskin, penuntut dan ahli ilmu serta sesiapa sahaja yang memerlukannya. Beliau sendiri tetap hidup dengan penuh kezuhudan terhadap dunia yang fana ini.

Qadhi Abu Syuja` dianugerahkan dengan umur yang cukup panjang, iaitu 160 tahun, sebagaimana disebut oleh Imam al-Bujairimi dan Imam al-Bajuri dalam kitab - kitab mereka. Setelah bersara dari jawatan wazir, Qadhi Abu Syuja` berhijrah ke Kota Madinah al-Munawwarah untuk menjadi khadam kepada Junjungan Nabi SAW yang berkhidmat menjaga dan melayan segala keperluan makam dan masjid baginda yang mulia. Meskipun seorang ulama besar dan mantan wazir, Qadhi Abu Suja` tidak segan dan malu untuk membersih sendiri makam dan masjid yang mulia serta menyalakan lampu - lampunya.

Sungguh pun menjangkau usia lanjut, namun tubuh badannya tetap seperti orang muda, segala anggota-anggotanya tetap seperti dahulu tidak dimamah usia. Apabila ditanya mengenainya, beliau menjawab:- "Kami telah menjaganya sejak kecil, maka Allah menjaganya ketika kami tua (yakni sejak kecil lagi beliau telah menjaga dan memelihara segala anggotanya daripada berbuat maksiat kepada Allah, maka Allah pun menjaga dan memelihara segala anggota beliau agar tetap cergas dan berfungsi walaupun usia beliau sudah lanjut. Inilah sebahagian akhlak dan sifat para ulama kita, jadi bagaimana mungkin kita meninggalkan jalan mereka untuk menuruti jalan orang yang "konon"nya lebih faham akan ajaran Islam daripada mereka, namun ilmu dan amal juga akhlak sebesar kuku pun tidak seperti dengan mereka.

Qadhi Abu Syuja` wafat di Kota Madinah dan di sanalah beliau dimakamkan. Antara peninggalan beliau yang masyhur adalah karya fiqh mazhab Syafi`i yang banyak disyarahkan oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Karya tersebut adalah "al-Ghayah wa at-Taqrib" atau "Ghayatul Ikhtishar" atau "Mukhtashar Abi Syuja`" atau sering disebut sebagai "Matan Abi Syuja`". Karya ini telah disyarah dan diberi penjelasan oleh ramai ulama kemudian, antaranya, oleh:-
1.Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hishni - "Kifayatul Akhyar"
2.Imam Ahmad al-Akhshashi - "Syarh Mukhtashar Abi Syuja`";
3.Imam Muhammad bin Qasim al-Ghazzi - "Fathul Qarib al-Mujib";
4.Imam Waliyuddin al-Basyir - "an-Nihayah fi Syarhil Ghayah";
5.Imam Muhammad asy-Syarbini al-Khatib - "al-Iqna`";
6.Imam Ahmad bin al-Qasim al-`Ubbadi - "Kasyful Ghaffar"
Maka berpanjanganlah ilmu beliau sehingga dimanfaati kita di zaman ini. Mudah-mudahan Allah mencucurkan rahmatNya kepada Qadhi Abu Syuja` dan sekalian para ulama yang shalihin juga sekalian umat ini..... al-Fatihah.

Syaikh Rahmatullah bin Khalilurrahman al-Kiranawi al-Hindi, Pengarang kitab اظهار الحق dan Pengasas Madrasah Shaulatiyah di Mekah

Nasabnya

Beliau adalah berketurunan dari Sayyidina Utsman رضي الله عنه . Nasabnya seperti berikut: Muhammad Rahmatullah bin Khalilurrahman al-Kiranawi bin Khalilullah [ma’ruf dengan nama Khalilurrahman] bin Hakim Najibullah bin Hakim Habibullah bin Hakim Abdurrahim bin Hakim Quthbuddin bin Shaikh Fudhil bin Hakim Diwan Khan Abdurrahim bin Hakim Abdul Karim @ Hakim Beena bin Hakim Hasan bin Abdus Shamad bin bin Abi ‘Ali bin Muhammad Yusuf bin Abdul Qadir bin Syaikh Jalaluddin bin Mahmud bin Ya’kub bin ‘Isa bin Ismail bin Muhammad Taqi bin Abi Bakar bin ‘Ali Naqi bin Utsman bin ‘Abdullah bin Shihabuddin bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdul ‘Aziz as-Sarqasi bin Khalid bin al-Walid bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdurrahman al-Kabir al-Madani bin ‘Abdullah as-Tsani bin ‘Abdul ‘Aziz al-Kabir bin ‘Abdullah al-Kabir bin ‘Umar bin Utsman bin Affan رضي الله عنه. Dilahirkan di kampung yang bernama Keranah yang terletak tidak jauh dari kota Delhi, India pada tahun 1226H/1811M. Dan menurut riwayat lain beliau dilahirkan Jumadil Awwal 1233/Mac 1818M.

Pendidikan

Keluarga beliau sangat taat dalam agama. Mendapat pendidikan awal di madrasah di kampungnya. Setelah menghafal al-Quran dan mengetahui dasar-dasar bahasa ‘Arab, beliau kemudiannya melanjutkan pelajaran di pusat ilmu ketika itu iaitu di kota Delhi. Beliau berguru dengan murid dari Syah Abdul Aziz bin Syah Waliyullah ad-Dahlawi. Sebahagian dari guru-gurunya adalah Maulana Muhammad Hayat, Maulana Mufti Sa’adullah, Maulana ahmad ‘Ali, al-Arifbillah Maulana ‘Abdurrahaman Chishti, Molvi Iman Baksh Shahba’i, Hakim Faiz Muhammad dan ramai lagi. Setelah tamat pengajian, beliau pulang kekampungnya dan membuka madrasah sendiri.

Berdebat dengan paderi kristian

Ketika itu India dibawah cengkaman penjajah Inggeris. Syaikh Rahmatullah sangat sedih melihat keadaan umat Islam India yang ditindas penjajah bahkan mereka juga berusaha merosak dan menghapuskan aqidah dan keyakinan umat Islam India. Beliau sedih apabila melihat paderi-paderi kristian secara terang-terangan mengajak umat Islam menganut kristian. Keadaan ini mendorong beliau untuk tampil menentang mereka terutamanya paderi yang bernama Dr. Fonder yang bongkak dan terang-terangan menghina Islam dan kaum Muslimin. Maka beliau pun mempersiapkan dirinya untuk menghadapi mereka. Setelah bersedia, Syaikh Rahmatullah mengajak paderi Fonder untuk berdebat dikhalayak ramai untuk membuktikan kebenaran Islam dan kepalsuan kristian. Maka pada 11 Rejab 1270H (10 April 1855M) bertempat di Akbarabad Abdul Masih, Agra (yakni sebuah kampung yang dijadikan kampung contoh yang diusahakan oleh para paderi), berlakulah perdebatan antara Syaikh Rahmatullah dengan Paderi Dr. Fonder. Syaikh Rahmatullah bersama seorang pembantu yang juga merupakan juru bicaranya bernama Dr Muhammad Wazir Khan, manakala paderi Fonder bersama rakannya seorang paderi. Pokok perdebatan mereka adalah:
Adanya penyelewengan dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Adanya perubahan pada dua buah kitab tersebut
Pembatalan konsep triniti
Kebenaran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
Kebenaran al-Quran


Diantara syarat perdebatan, siapa yang kalah maka dia mestilah meninggalkan agamanya dan menganut agama yang menang. Selain dari orangramai, perdebatan ini juga dihadiri oleh Smith, District Revenue Officer; Christians Chairman of the Provincial Board; William, magistrate tempatan, William Gilben, jurucakap kerajaan British. Juga dihadiri oleh Mufti Riazuddin, Molvi Faiz Ahmad, Molvi Hazur Ahmed, Molvi Amirullah, Molvi Qamrul Islam, Imam Masjid Jamik Agra dan ramai lagi.

Dipendekkan cerita, berlaku perdebatan ini selama 3 hari, yang mana pada hari ketiga paderi Fonder tidak datang kerana tidak dapat menjawab hujjah-hujjah Syaikh Rahmatullah. Bahkan pada hari pertama lagi paderi Dr Fonder mengakui tentang terdapatnya lapan penyelewengan besar di dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Akibat dari kekalahan ini paderi Fonder melarikan diri ke Jerman. Manakala maruah umat Islam telah ditebus kembali. Ekoran dari semangat ini, dua tahun selepas itu, berlaku pemberontakan besar di India. Ramai umat Islam yang gugur dalam penentangan ini. Inggeris telah menghantar perisiknya untuk menangkap Syaikh Rahmatullah. Allah Maha Berkuasa untuk melindungi ulama’ yang membela agamaNYA. Beliau dapat menyelamatkan diri ke kota surat di Gujerat dan seterusnya berangkat ke Mekah. Beliau sampai ke kota Mekah pada tahun 1862M iaitu setelah 5 tahun terjadinya pemberontakan besar di India.

Berpindah ke Mekah

Setibanya di Mekah beliau mendapat penghormatan dan layanan yang baik dari Mufti Syafi’iyyah di Mekah ketika itu iaitu Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (lahir 1232 H/1816 M, wafat 1304H/1886M). Syaikh Ahmad Zaini Dahlan telah memperkenalkan Syaikh Rahmatullah kepada gabenor Mekah ketika itu iaitu Syarif Abdullah [Syarif Abdullah bin Muhammad al-Aun, dilahirkan pada tahun 1823M dan dilantik oleh Sultan dari Kerajaan Islam Utsmaniah yang berpusat di Turki untuk menjadi amir Mekah menggantikan bapanya 1 Mei 1858M. Beliau wafat di Taif pada 26 Jun 1877M] yang mewakili Khalifah Sultan Abdul Aziz al-Utsmani di Turki [kerajaan Utsmaniah]. Bahkan Syaikh Zaini Dahlan mengizinkan Syaikh Rahmatullah mengajar di Masjidilharam.

Adapun mengenai paderi Fonder [yang pengecut] itu setelah melarikan diri [pasai malu … kalah debat] ke Jerman dan Swizerland , kembali ke London dan kemudiannya di kirim oleh “Church Mission Society of London” ke Turki [kononnya orang sana tak kenai dialah … ]. Di Turki, paderi Fonder ni pergi mengadap Sultan Abdul Aziz, dan dia kelentong habis tentang perdebatan yang berlaku di India. Kununnya dialah yang champion nya. Namun Sultan yang cerdik itu tak telan bulat-bulat, baginda hantar surat pada Gabenor di Mekah untuk mendapat keshahihan berita. Maka Gabenor Mekah pun memberitahu kisah yang sebenar dan seterusnya Sultan Abdul Aziz pun mengundang Syaikh Rahmatullah ke Istanbul, Turki. Maka berangkatlah Syaikh Rahmatullah ke Turki pada tahun 1864M. Maka bila mendengar akan berita kedatangan Syaikh Rahmatullah ke Turki, paderi Fonder yang pengecut teramat itupun bawa diri lari dari Turki, kerana takut berhadapan dengan Syaikh Rahmatullah. [apa tidaknya …. sebelum tu di kelentongnya Sultan … kununnya dialah champion …. ]

Dipendekkan lagi cerita, maka bertitahlah Sultan Abdul Aziz kepada Syaikh Rahmatullah agar beliau menulis hasil perdebatan tersebut ke dalam bahasa Arab untuk dijadikan panduan bagi kaum Muslimin menghadapi dakyah kristian. Beliau pun menulis kitabnya dan diselesaikan dalam tempoh 6 bulan, dan tulisan tersebut beliau namakan Izhharul Haq (اظهار الحق) yang ertinya Menangnya Kebenaran. Seterusnya Sultan telah memerintahkan supaya kitab itu dicetak dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, Jerman, Perancis dan juga Turki. Dan kitab ini lah yang menjadi rujukan utama Syaikh Ahmad Deedat apabila beliau berdebat dengan paderi kristian.

Membangunkan Madrasah Shaulatiyah

Setelah seselai mengarang kitab Izhharulhaq, Syaikh Rahmatullah kembali ke Mekah dan terus mengajar di Masjidilharam dan juga di rumahnya. Dan seterusnya pada bulan Rabiul Awwal 1285H, beliau membangunkan sebuah madrasah yang lebih sistematik di kampung Syamiyah diatas sebidang tanah. Kemudian seorang perempuan dermawan dari India bernama Shaulatun Nisaa’ Begum telah membeli dan mewakafkan sebidang tanah di kampung Khandarisah , Mekah. Dan pada 15 Sya’ban 1290H, Syaikh Rahmatullah batu meletakkan batu asas untuk membina madrasah yang lebih besar. Syaikh Rahmatullah telah menamakan al-Madrasatus Shaulatiyah sempena mengambil nama Shaulatun Nisaa’, wanita dermawan dari India yang bermurah hari mewakafkan tanah pembangunan madrasah tersebut. Madrasah ini telah melahirkan ramai ulama yang berwibawa.

Murid-murid beliau

Beliau mempunyai murid yang ramai, antaranya adalah: asy-Syarif Hussin bin ‘Ali al-Hasyimi, Qadhi al-Qudhah asy-Syaikh ‘Abdullah Siraj, al-‘Allamah asy-Syaikh Ahmad Abu al-Khair, Amin Muhammad ‘Ali – pengajar, imam dan khatib di Masjidil Haram, al-‘allamah asy-Syaikh As’ad Ahmad ad-Dihan, al-‘Allamah asy-Syaikh Ahmad ‘Ali Hussin an-Najar – Qadhi Thaif, al-‘Allamah asy-Syaikh Ahmad Abul Khair, al-‘Allamah asy-Syaikh Badrul Islam al-Kiranawi, al-‘Allamah asy-Syaikh Hasan ‘Abdul Qadir, al-‘Allamah asy-Syaikh Hasan Kadzim, al-‘Allamah asy-Syaikh Darwish, al-‘Allamah asy-Syaikh Syaraful Haq Shadiqi, al-‘Allamah asy-Syaikh Syihabuddin al-Utsmani al-Kiranawi, al-‘Allamah asy-Syaikh Dhiya-uddin, al-‘Allamah asy-Syaikh Abdurrahman Ahmad Dihan, al-‘Allamah asy-Syaikh Abdurrahman asy-Syibi, al-‘Allamah asy-Syaikh as-Sayyid ‘Abdullah Muhammad Sholeh az-Zawawi – Mufti Syafi’iyyah di Mekah, al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abid Hussin Maliki – Mufti Mazhab Maliki di Mekah, al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah Ahmad Abul Khair – Mufti Mazhab Hanafi, al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul Hamid Baksh al-Falaki, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhmmad al-Ghazi, al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdus Sattar ad-Dahlawi al-Kutbi, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Said Ba Bashil, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Hussin al-Khiyath, al-‘Allamah asy-Syaikh Mulla Muhammad Ismail an-Nawab, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad ‘ali Sulaiman – Imam dan khatib di Masjidilharam, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Sholeh al-Maimuni, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Hashim Asy’ari al-Indonisi, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Sulaiman Hasbullah, al-‘Allamah asy-Syaikh Abul Khair al-Faruqi al-Hind.

Antara ulama-ulama yang pernah mengajar di Shaulatiyah adalah: Syaikh Salim Rahmatullah (anak beliau), Syaikh Mahmud Arif al-Bukhari, Syaikh Abdul Lathif al-Qari, Syaikh Hasan bin Muhammad al-Masyath, Syaikh Mukhtar Makhdum, Syeikh Abdullah al-Bukhari, Syeikh Daud Dihan, Syaikh Abdullah bin al-Hasan al-Kuhaji, Syaikh Hasbullah as-Sanqithi dan Syeikh Tengku Mahmud Zuhdi bin Abdur Rahman al-Fathani (sebelum jadi Syaikhul Islam Selangor), Sayyid Abdullah az-Zawawi, Mufti Syafi`i Makkah zamannya, Sayyid Muhsin al-Musawa dan ramai lagi. Adapun bekas pelajar Shaulatiyah ini tersangatlah ramainya.

Kitab karangannya

Selain dari Izhharulhaq, Syaikh Rahmatullah juga mengarang beberapa buah kitab lain, antaranya:
• Al-Buruqul Lami’ah (Arab)
• Taqlibul Matha’in (Arab)
• Ahsanul – Ahaditsi fi Ibthalit Tastlist (Arab)
• Izaalatusy syukuk (Urdu)
• I’jaz Isawi (Urdu)
• Mu’addilu Wijajil Mizan (Urdu)
• Mi’yarul-haq (Urdu)
• Izatul Awham (Parsi)

Kembali kealam baqa

Ulama yang banyak menaburkan jasa ini wafat pada malam Jum’at, 22 Ramadhan 1308H/2 Mei 1891M dan dimakamkan di perkuburan Ma’ala. Kuburnya terletak berdekatan dengan makam Ummul Mu’minin, Sayyidatina Khadijah al-Kubra رضي الله عنها[gambaq sebelah - makam Sayyidatina Khadijah al-Kubra رضي الله عنها]. Semoga Allah merahmati ulama yang sangat berjasa ini. Al-Faatihah ……..
Kisah ulama ini boleh dibaca dari tulisan guru kami, Shaikh Fahmi Zamzam di dalam bukunya bertajuk Sejarah Perkembangan Islam di India.

Sumber: http://al-fanshuri.blogspot.com

Al-Habib Zain bin Abdullah Al-Aidrus


Beliau adalah Al-Habib Al-Allamah Zain bin Abdullah bin Alwi bin Umar Al-Aidrus Ash-Sholaibiyyah. Nasab beliau bersandar pada silsilah dzahabiyyah, bersambung dari ayah ke kakek, sampai akhirnya bertemu dengan kakek beliau yang termulia Rasulullah SAW. Beliau dilahirkan di daerah As-Suweiry (dekat kota Tarim), Hadramaut, pada tahun 1289 H. Ayah beliau Al-Habib Abdullah, berasal dari kota Tarim, dan kemudian berhijrah ke kota As-Suweiry dengan beberapa teman beliau atas perintah Al-Imam Al-Habib Thahir bin Husin Bin Thahir Ba’alawy untuk mengawasi gencatan senjata antar kabilah yang terjadi di kota tersebut.

Beliau, Al-Habib Zain, tumbuh dalam suatu keluarga yang penuh keutamaan, ilmu dan akhlak, mencontoh keluarga datuk beliau Rasulullah SAW. Al-Habib Abdullah, ayah beliau, mencurahkan perhatian yang lebih kepada beliau diantara saudara-saudaranya, karena selain beliau adalah anak yang terakhir, juga beliau adalah anak yang berperilaku yang mulia dan berhati bersih. Dan sungguh Al-Habib Abdullah melihat dengan firasat tajamnya bahwa putra beliau yang satu ini akan menjadi seorang yang mempunyai hal (keadaan) yang tinggi di suatu masa mendatang.

Beliau Al-Habib Zain tumbuh dewasa dan dicintai oleh keluarganya dan masyarakat As-Suweiry. Beliau habiskan masa kecil beliau dengan penuh kezuhudan dan ibadah. Beliau semenjak kecilnya gemar sekali menjaga kewajiban shalat dan menunaikan shalat-shalat sunnah. Suatu kegemaran yang jarang sekali dipunyai oleh anak-anak sebaya beliau.

Perjalanan hijrah beliau

Pada tahun 1301 H, beliau melakukan perjalanan hijrah ke Indonesia, disertai saudara-saudaranya Alwi, Ahmad dan Ali. Pada saat itu beliau masih berusia 12 tahun. Di Indonesia beliau bertemu dengan pamannya Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Aidrus yang sudah terlebih dahulu menetap disana.

Masa belajar beliau

Sebelum beliau berhijrah ke Indonesia, beliau banyak mengambil ilmu dari keluarganya, dan juga dari para ulama di tempat asalnya Hadramaut, yang memang terkenal pada saat itu dengan negeri yang penuh dengan ulama-ulama besar. Dari daerah tersebut, beliau banyak mengambil berbagai macam ilmu-ilmu agama.

Setelah berada di Indonesia, beliau menuntut ilmu kepada pamannya Al-Habib Muhammad. Setelah dirasakan cukup, beliau Al-Habib Zain dikirim oleh pamannya untuk menuntut ilmu kepada salah seorang mufti terkenal di Indonesia saat itu, yaitu Al-Habib Al-Faqih Al-Allamah Utsman bin Abdullah Bin Yahya. Guru beliau Al-Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah seorang tokoh agama yang cukup mumpuni di bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Banyak diantara para murid Al-Habib Utsman yang menjadi ulama-ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Alhabsyi, Kwitang.

Hiduplah beliau, Al-Habib Zain, dibawa didikan gurunya Al-Habib Utsman Bin Yahya. Sebagaimana masa kecilnya, semangat beliau seakan tak pupus untuk belajar dengan giat dan tekun. Banyak ilmu yang diambil beliau dari gurunya, diantaranya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, Fiqih, Fara’idh (ilmu waris), Ushul, Falak, dan sebagainya. Beliau mengambil dari gurunya ilmu dan amal dan beliau banyak mendapatkan ijazah dari gurunya tersebut.

Masa dakwah beliau

Pada tahun 1322 H, berdirilah sebuah sekolah agama di kota Jakarta yang dinamakan Jamiat Khair. Beberapa pengurus dari sekolah itu kemudian datang kepada beliau untuk memintanya mengajar disana. Akhirnya mengajarlah beliau disana dengan kesungguhan, tanpa lelah dan bosan. Pada saat itu beliau merupakan salah seorang staf pengajar kurun waktu pertama sekolah Jamiat Khair, suatu sekolah yang banyak menghasilkan tokoh-tokoh agama dan pergerakan.

Selang beberapa tahun kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah kecil di jalan Gajah Mada, Jakarta. Keberadaan sekolah itu disambut dengan gembira oleh masyarakat, yang sangat butuh akan ilmu-ilmu agama. Akan tetapi sayangnya, tak selang berapa lama, dengan kedatangan Jepang, sekolah tersebut ditutup oleh penjajah Jepang.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1326 H, beliau mendirikan majlis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta. Majlis taklim tersebut diadakan siang dan malam, dan banyak dihadiri pria dan wanita. Sepeninggal pamannya Al-Habib Muhammad, beliaulah yang menjadi khalifah-nya. Termasuk juga beliau menjadi imam di Masjid tersebut, menggantikan posisi pamannya. Di masjid itu, beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantaranya ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah yang lurus, dan ilmu-ilmu lainnya, dengan cara yang mudah dan sederhana. Begitulah seterusnya beliau menjalankan aktivitasnya dalam berdakwah, tanpa lelah dan bosan, selama 70 tahun.

Suluk beliau

Sebagaimana thariqah yang dipegang oleh para Datuk beliau, beliau bermadzhabkan kepada Al-Imam Asy-Sy-Syafi’i dan bersandarkan pada aqidah Asy’ariyyah, salah satu aqidah didalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah yang beliau bawa sebagai pegangan hidup, meneruskan dari apa-apa yang telah digariskan oleh datuk-datuk beliau para Salaf Bani Alawy.

Sifat-sifat mulia beliau

Sedangkan mengenai sifat-sifat beliau, beliau adalah seorang memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah, zuhud terhadap dunia, qana’ah dalam menerima sesuatu, banyak membaca Al-Qur’an dan dzikir. Sebagaimana di masa kecilnya, beliau selalu tekun melakukan shalat di Masjid Al-Mubarak dan disana beliau selalu bertindak sebagai imam. Salah satu kebiasaan yang sering beliau lakukan adalah beliau tidak keluar dari masjid setelah menunaikan shalat Subuh, kecuali setelah datangnya waktu isyraq (terbitnya matahari). Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang selalu beliau kerjakan. Hal ini berlangsung terus meskipun beliau sudah memasuki masa tuanya.

Wafat beliau

Di akhir hayatnya, majlis beliau adalah sebuah majlis ilmu yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan, majlis yang penuh akhlak dan adab, majlis yang penuh anwar dan asrar, taman ilmu dan hikmah, penuh dengan dzikir dan doa. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, dalam usianya 110 tahun. Beliau wafat pada hari Sabtu, tanggal 24 Rabi’ul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 3 sore. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Condet (depan Al-Hawi), Jakarta.

Derai tangis mengiringi kepergian beliau menuju Hadratillah. Al-Habib Husin bin Abdur Rahman Assegaf melantunkan syair perpisahan dengan beliau, yang diantara baitnya berbunyi :

Keindahan ufuk itu telah hilang
dan pancaran cahaya bintang itu telah pergi.
Ia menerangi kami beberapa saat
dan setelah habisnya malam, ia pun berlalu dan pergi.
Itulah Al-Faqid Zain yang pernah menerangi zaman
dan penunjuk hidayah.
Sungguh beliau adalah pelita bagi ilmu agama dan Al-Qur’an,
serta seorang imam, jarang ada yang menyamainya.
Khalifah (penerus) bagi para pendahulunya,
beliau berjalan pada atsar dan jejak langkah mereka.

Seorang ulama min ahlillah telah berpulang, akan tetapi ilmu dan akhlaknya akan tetap terus terkenang, menjadi ibrah bagi orang-orang yang mempunyai bashirah.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…


Referensi :
Jauharah An-Nufus As-Sayyid Al-Allamah Zain bin Abdullah Ash-Shalaibiyyah Al-Aidrus, As-Sayid Hasan bin Husin Assaggaf.
Tahqiq Syams Adh-Dhahirah, Al-Habib Muhammad Dhia Bin Syahab, juz. 2.
Harian Pos Kota, Senin, 26 Maret 1979.
Harian Sinar Harapan, Senin, 26 Maret 1979.