Senin, 09 Januari 2012

Semaan Qur’an Gagasan KH Abdullah Umar Semarang

Sema’an Quran di Masjid Kauman Berusia 30 Tahun

Puluhan tahun yang lalu, KH Abdullah Umar, salah satu ulama besar Semarang, yang masih keturunan dari Sunan Kudus, menggagas kegiatan sema’an Quran di Masjid Kauman. Dari tahun ke tahun, jemaah yang mengikutinya semakin bertambah.

Suhu udara di Kota Semarang siang kemarin (2/9) cukup menyengat. Panas terik tentu menjadi salah satu godaan bagi umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Kondisi tubuh cukup terkuras, meski beduk Magrib masih beberapa jam lagi. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan niat ratusan warga Semarang dan sekitarnya untuk mendatangi Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman.

Setiap bulan Ramadan, mereka seperti ingin melepas kerinduan mendengar sema’an tafsir-tafsir Alquran yang disampaikan dalam bahasa Jawa di masjid Kauman. Abdul Wahid, sekretaris takmir Masjid Kauman menjelaskan, sema’an tafsir dalam bahasa Jawa tersebut kini dipimpin oleh KH Akhmad Naqib, penerus gagasan KH Abdullah Umar. Tak terasa, 30 tahun sudah usia kegiatan yang digelar di sela umat sedang menjalankan puasa itu.

“Kami rutin setiap tahun menyelenggarakannya. Dan jemaah yang mengikuti kini juga berasal dari luar kota,” tutur Wahid. Dalam sehari, biasanya Akhmad Naqib membaca sema’an sebanyak satu juz lebih. Sehingga seluruh isi Alquran bisa selesai ditafsirkan kurang dari sebulan atau sebelum Ramadan berlalu. Wahid tak merasa takjub dengan kehadiran umat muslim yang berbondong-bondong mendatangi Masjid Kauman setiap bulan Ramadhan untuk mendengarkan tafsir yang disampaikan Akhmad Naqib tersebut. Ia mendengar pengakuan para jemaah yang rata-rata merasakan cocok dengan tafsir yang disampaikan dalam bahasa Jawa serta mengadopsi contoh-contoh sikap ‘lelakon’ keseharian masyarakat ini. “Mereka mengaku mendapatkan pencerahan baik batin maupun pikir di tengah himpitan kondisi yang ada,” tuturnya.

Setiap ayat, jelasnya, mampu dikupas dan dijabarkan maksud dan tujuannya dengan bahasa yang lugas dan enak. Sehingga menjadikan segalanya mudah dipahami, meski untuk konteks kehidupan umat manusia terkini. Tak heran bilan jemaah sema’an Alquran di Masjid Kauman ini berasal dari golonga atau strata di masyarakat. Ada di antaranya masyarakat strata ekonomi bawah, kelompok berpendidikan, dan mereka yang ingin mendalami tafsir. “Apa yang dituturkan dalam sema’an ayat demi ayat ini?sangat luwes dan mudah diterima,” ungkapnya, Tak heran jika pengunjung tidak hanya berasal dari Kota Semarang. Tapi mereka juga datang dari daerah di sekitar Kota Semarang. Namun juga datang dari Kendal, Ungaran, Demak, Salatiga dan Grobogan.

“Mereka umumnya mengetahui kegiatan ini secara turun temurun. Ada yang dulu diajak kakek dan neneknya, atau kerabat lainnya,” imbuh Wahid. Sementara menurut pengasuh sema’an Alquran Masjid Besar Kauman,_KH Akhmad Naqib, asal mula sema’an ini merupakan kiat para ulama Semarang, yang dulu menginginkan agar kitab suci agama Islam ini tak hanya sekedar dibaca dan dihafalkan. Namun juga dipahami, dimengerti maksudnya dan diamalkan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga tuntunan Allah SWT ini menjadi satu-satunya pedoman dalam bersikap. Sema’an, jelasnya, berasal dari kata semak atau menyimak. Maksudnya, peserta pengajian mendengarkan bacaan Alquran beserta tafsirnya. Dengan bantuan penutur yang bisa menerjemahkan tafsir dalam bahasa Jawa, maka maksud dan isi surat yang dibacakan tersebut akan mudah dipahami para jemaah peserta. Setiap hari, lanjut Naqib, kegiatan sema’an di masjid Besar Kauman dilaksanakan usai salat Duhur hingga menjelang salat Ashar. Yang lebih khas lagi, adalah suasana yang dibangun selama hampir tiga jam sema’an ini berlangsung.

Sebagai penutur yang Al-hafid atau hafal Alquran, KH Akhmad Naqib tidak perlu berada di atas mimbar atau tempat khusus. Namun cukup menyampaikan sambil bersila di tengah dan dikelilingi para jamaah peserta sema’an. Sehingga kegiatan ini lebih mirip suasan pendongeng yang dikelilingi ratusan pendengar. Berdasarkan catatan Masjid Kauman, kegiatan sema’an ini, telah berlangsung turun temurun sejak tahun 70 lalu. KH Akhmad Naqib yang kini menjadi pengasuh, merupakan generasi kedua, setelah KH Abdullah Umar, ulama besar Semarang penggagas kegiatan ini wafat beberapa tahun yang lalu. [Partono,JP]

Tafsir Al Ibriz Di Ralat Pengarangnya Sesaat Setelah Wafat

KH. Bisri Mustofa dikenal sebagai seorang kiai pengarang yang menulis beberapa buah kitab, khususnya dalam Bahasa Jawa, di antaranya (yang cukup terkenal) adalah Tafsîr al-Ibrîz. Selain dikenal sebagai seorang kiai penulis, pengasuh Pondok Pesantren Leteh Rembang ini juga dikenal sebagai seorang orator dan politikus.

Sepeninggal KH. Bisri, KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus (puteranya) mengaku mengalami suatu kejadian menarik yang sulit diterima akal pada umumnya.[1] Diceritakan, Gus Mus kedatangan seorang tamu dari Cirebon (nama tidak dicatat) yang menyampaikan pesan KH. Bisri kepada dirinya.

“Anda Gus Mus?” tanya tamu dari Cirebon itu.

“Ya, saya Mustofa,” jawab Gus Mus.

Orang itu kemudian menyampaikan pesan yang baru saja diterimanya dari KH. Bisri Mustofa menyangkut karya besar dia, Tafsîr al-Ibrîz.

“Kiai Bisri berpesan agar Anda mengoreksi surat al-Fath karena di situ ada sedikit kesalahan.”

“Kapan Anda ketemu dia?”

“Kemarin, di Cirebon.”

Ketika Gus Mus memberi tahu bahwa KH. Bisri telah meninggal hampir empat puluh hari yang lalu, orang itu amat terkejut dan lunglai.

Sesudah itu, Gus Mus segera datang ke Kudus, menemui KH. Abu Amar dan KH. Arwani[2] yang dipercaya Penerbit Menara Kudus sebagai pen-tashhîh (korektor). Informasi yang disampaikan orang dari Cirebon itu benar: ternyata, dalam surat al-Fath terdapat satu kesalahan (kecil) yang lolos dalam beberapa kali (koreksi). Dalam ayat ke-18 yang seharusnya berbunyi laqad radhiyallâhu ‘anil mu’minîna …, tertulis laqad radhiyallâhu ‘alal mu’minîna …

Pengalaman yang sama juga dialami Gus Mus. Bedanya, yang kedua ini—yang juga dari Cirebon—datang untuk menyampaikan pesan KH. Bisri agar dirinya melanjutkan karya dia yang belum sempat diselesaikan.

“Anda ketemu sendiri?” tanya Gus Mus.

“Ya, saya ketemu sendiri di Cirebon,” tutur orang itu kepada Gus Mus. Keterkejutan yang sama juga dialami orang itu manakala diberi penjelasan bahwa KH. Bisri Mustofa sudah wafat.

Pengalaman aneh di atas seakan mempertegas kebenaran firman Allah: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan, mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169) “Di jalan Allah” bukan berarti harus berperang. Sebaliknya, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam juga masuk dalam kategori itu.

===================

Diambil dari: Samsul Munir AMin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2009

Sumber : http://warkopmbahlalar.com/tafsir-al-ibriz-di-ralat-pengarangnya-sesaat-setelah-wafat/

Syeikh “Al-Muammar” Kyai Ghozali As-Sarony

K. Ghozaly dilahirkan di desa Sarang pada tahun 1184 H. Beliau tumbuh besar dalam bimbingan ayah beliau bernama K. Lanah yang masih keturunan asli Madura dari desa Kelampis Bangkalan, yang kemudian hijrah ke Sarang. Beliau belajar dasar-dasar ilmu agama dari para masyayikh yang ada di desanya, kemudian beliau pergi ke Tuban untuk menambah pengetahuan agama di pondok pesantren Maqom Agung Tuban. Beliau menimba ilmu dari Syeikh Ma’ruf selama dua tahun sampai usia 42 tahun, lantas atas perintah Syeikh Ma’ruf beliau menikah dengan putri K. Muhdlor Sidoarjo yang masih saudari dari istri Syeikh Ma’ruf sendiri.
Setelah cukup lama menimba ilmu dari Syeikh Ma’ruf, beliau kembali ke Sarang dan mendirikan sebuah pondok pesantren. Salah satu dari hasil perjuangan beliau adalah perkembangan Islam di Sarang yang mulai meningkat sedikit demi sedikit berkat ajaran pengetahuan islam dari seseorang yang berguna bagi warga dan tanah airnya. Manusia terbaik adalah orang yang berguna bagi sesama, maka tampaklah di Sarang generasi-generasi baru yang beraqidah kuat dan terkemuka hasil ajaran dan bimbingan dari Syeikh Ghozali. Diantara mereka adalah K. Umar bin Harun, K. Syu’aib bin Abdur Razaq keduanya merupakan menantu dari Syeikh Ghozali sendiri, dan juga K. Muhsin bin H. Saman, K. Murtadlo bin Muntaha, K. Syamsuri. K. Thoyyib dan ulama-ulama terkemuka lainnya.
Pada pertengahan abad XIII H, Syeikh Ghozali pergi ke tanah haram untuk menunaikan ibadah haji dengan jalan naik kapal laut. Beliau menempuh perjalanan jauh dengan mengarungi samudera serta menerjang ombak dan badai selama lebih dari 7 bulan. Akibat perjalanan kapal yang lambat, beliau sampai di Jeddah setelah para jama’ah haji melaksanakan wuquf di Arofah dan siap meninggalkan Arofah. Kondisi seperti ini memaksa beliau untuk muqim di Makkah selama satu tahun, agar dapat melaksanakan ibadah haji pada tahun berikutnya. Selama itu beliau belajar ilmu agama dari ulama-ulama di sana. Dalam kesempatan singkat tersebut, beliau mampu menghatamkan Tafsir Jalalain mulai awal sampai akhir, dan naskah tafsir Jalalain beliau yang orisinil masih tersimpan baik sampai sekarang.
Syeikh Ghozali mempunyai 4 putri yaitu Istri K. Syu’aib, Istri K. Umar, Istri K. Thoyyib, Istri K. Syamsuri. Dan 2 putra yaitu K. Abdur Rouf yang tidak meninggalkan keturunan dan K. Fathur Rahman yang merupakan anak terakhir beliau.
Dari keterangan yang telah lewat dapat diketahui bahwa Syeikh Ghozali adalah perintis pondok pesantren di Sarang, beliau adalah seseorang yang gigih dan ikhlas dalam setiap tindakan beliau, hal itu bisa terlihat jelas dari jejak-jejak abadi abadi beliau yang semata berisi segala fadhilah (anugerah). Beliau adalah orang yang pertama kali membangun pondok pesantren di Sarang. Sedangkan orang yang berkenan menyediakan tanahnya untuk diwaqafkan sebagai pondok adalah seorang dermawan kaya yang bernama H. Saman ayah dari K. Muhsin.
Pada tahun 1324 H, KH. Ghozali berpulang ke Rahmatullah dengan meninggalkan jasa-jasa yang besar. Semoga Allah selalu melimpahkan Rahmat-Nya dan menempatkan beliau di surga Firdaus. Amin..!
*****


Sumber : http://sahabalit.blogspot.com/search/label/Profil

KH. Syu’aib bin Abdurrazaq

Kelahiran, Pertumbuhan, Dan Sumber-Sumber Memperoleh Pengetahuan Agama
Beliau dilahirkan pada tahun 1263 H. beliau diasuh oleh kedua orang tua beliau dan belajar pada KH. Ghozaly as-Sarony. Ketika berumur 20 tahun, beliau pergi ke Kajen dan menetap pada seorang kyai sufi yang sudah terkenal ilmu teologinya, yaitu Syeikh Murtadlo, Mursyid Thoriqoh sufi yang menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat. Kyai Syu’aib belajar ilmu Tauhid, Fiqh dan lain-lain pada beliau. Kyai Syu’aib pun mengaji Al-Qur'an secara langsung pada gurunya tersebut semenjak permulaan sampai akhir terutama talqin dzikir dan metode-metode thoriqoh kewalian sampai beliau mencapai usia dewasa dan tampak menonjol dibanding kawan-kawan seusianya, khususnya dalam metode thoriqoh yang mampu mengantarkan untuk ma’rifat kepada Allah SWT. Lalu beliau kembali ke kampung halaman. Dan senantiasa menjernijkan hati demi mencapai tujuan tersebut dalam setiap kesempatan, menghadap ke arah akherat dan berpaling dari dunia. Hingga ketika jiwanya dipenuhi cinta dan rindu pada Allah, beliau berkata : ”saya ceraikan (thalak) dunia dengan tiga thalaqan”, perkataan tersebut beliau ucapkan setelah beliau hampir berusia 60 tahun, lalu beliau menyibukkan diri dengan beribadah dan berdzikir sepanjang waktunya.
Beliau sangat mencintai ulama’ dan orang-orang sholih, sampai pada usia senja beliau mengajak para masyayikh Sarang yaitu K. Syamsuri, K. As’ad, K. Syahid dan lain-lain untuk selalu belajar sebagaimana mereka mengajar, maka beliau memohon kepada KH. Murtadho bin Muntaha agar mau membacakan kitab Ihya Ulum Al-Din karya Imam Ghozali, dan beliau dengan teman-teman pun hadir demi mendengar pengajian KH. Murtadho sampai KH. Murtadho wafat. Kecintaan beliau kepada para ulama dan orang-orang sholeh itu mampu membawa dampak baik pada keturunan beliau yang tumbuh menjadi insan-insan yang kompeten dalam ilmu agama dan memiliki kemampuan lebih dalam memajukan pondok ini seperti yang kita saksikan.

Istri-istri, Putra-Putra dan Hari Wafat
Beliau menikah dengan putri tertua KH. Ghozali dan menjadi menantu pertama KH. Ghozali. Beliau dikaruniai banyak putra dan putri, tapi yang hidup hanya empat yaitu:
Hasanah ibu dari KH Zubair Dahlan
Hj. Zubaidah istri dari K. Abdullah
KH. Ahmad Syuaib ayahanda KH. Abdurrohim
KH. Imam Kholil
Beliau wafat pada bulan Sya'ban tahun 1358 H.


Sumber :http://sahabalit.blogspot.com/search/label/Profil

Syeikh Umar Bin Harun Sarang

Beliau lahir di Sarang pada tahun 1855 M bertepatan dengan tahun 1270 H. Beliau tumbuh dalam bimbingan Syeikh Ghozali. Berkat didikan yang baik, beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlaq mulia. Masa mudanya dihabiskan untuk mencari berbagai macam ilmu dari para ulama’ pada masa itu. Beliau selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain, seakan tak rela kalau ada sedikit saja masalah agama yang beliau lewatkan. Oleh karena itu, beliau selalu bekerja keras dan giat belajar demi mendapatkan pengetahuan-pengetahuan agama.
Beliau juga merupakan murid dari salah satu masyayikh di desa Blitung. Lalu pergi ke Sedan untuk belajar kepada seorang kyai yang sangat alim dan terkenal yaitu Syeikh Sirbini dari Karang Asem, Sedan, Rembang. Waktu itu beliau belajar ilmu fiqh, ilmu kalam, nahwu, shorof dan lain-lain sambil melakukan Riyadlot an-Nafsy, mengamalkan wirid-wirid dan asma-asma yang memiliki khasiat tertentu yang mengagumkan. Maka tak mengherankan jika disamping memperdalam ilmu-ilmu agama, beliau adalah orang yang sangat berwibawa, dimana semua kepala tertunduk di hadapannya. Beliau juga disegani oleh semua orang, sehingga tidak ada seorang pun yang sanggup memandang wajah beliau karena wibawa besar yang beliau miliki. Mengenai hal ini banyak kisah menakjubkan tentang karomah beliau.
Setelah itu beliau pergi ke Merak Urak, Tuban untuk lebih memperdalam ilmu agama kepada Syeikh Kafrawi, ayahanda K. Fathurrahman, Menteri Agama pada waktu itu. Beliau belajar disana dalam tempo yang cukup lama. Sebelum K. Kafrawi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama, beliau adalah orang yang diberi kepercayaan dalam segala bidang ilmu agama.

Kemudian Syeikh Umar pergi ke Langitan, Tuban dan menimba ilmu dari Syeikh Sholih selama satu tahun, setelah itu beliau berangkat ke Makkah Al-Mukarromah dan bermukim disana selama beberapa tahun yaitu pada akhir abad XIII H atau sekitar tahun 1279 H. Beliau belajar kitab-kitab agama dari para masyayikh dan ulama’ disana. Diantara guru-guru beliau adalah Syeikh Nawawi bin Umar Banten dan Syeikh Abu Bakar Syatho yang terkenal dengan sebutan “Sayyid Al-Bakry”, lalu pada tahun 1310 H beliau kembali ke tanah air dengan membawa bendera kemenangan dan keberhasilan.

Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
Setelah Syeikh Umar bin Harun pulang ke tanah air, beliau beringinan menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu beliau di pondok pesantren. Maka beliau berjuang dengan sangat gigih dan bekerja keras untuk mengangkat citra pondok pesantren menuju puncak kejayaannya sehingga bisa terkenal ke segala penjuru. Pesantren Sarang pun semakin bersinar, maju dan berkembang pesat dan menjadi tujuan para santri dari berbagai penjuru. Beliaulah satu-satunya yang terbaik dan tiada yang setara dan menandinginya pada waktu itu. Beliau pun menciptakan sebuah syair :قد تم ما رمنـــــــا من الربـــــاط * وفيه كــــــــــــــل فائز قباط
سنة الف مـــــــــــع ثلاثــــــمائة * عشرين مع أربعة من هجرة
نبينا محمد الرســــــــــــــــــــول * أدمــــــــــــــــه يا ألله بالقبول
وقفــــــه الفقير وهـــــــو النووي * ناظره عمـــــر وهو مستوي

Syekh Umar bin Harun merupakan pengasuh Ponpes Sarang pada periode kedua setelah penyerahan mandat dari guru beliau, Syekh Ghozali sebagai pendiri perdana pesantren ini, yang taat beribadah dan penuh rasa ikhlas, yang tak lain adalah mertua Syeikh Umar sendiri. Syekh Harun menikah dua kali, namun tidak dikarunai seorang anakpun.

Murid-Murid Beliau
Diantara murid-murid beliau yang terkenal adalah saudara–saudaranya sendiri yaitu K. Kholil bin Harun pengasuh ponpes Kasingan, Rembang, K. Fadhil bin Harun pengasuh ponpes Sutang, K. Sodiq bin Harun, Sarang, K. Mahfudz bin Harun Sarang, K. Abdul Mukhid bin K. Shodiq dari Adi Pura, K. Baidlowibin Abdul azis Lasem, K. Ma'sum, Lasem, K. Munawwir, Semarang, K. Masyhud Solo, K. Munawwar Senori, K. Muhaimin yang wafat di Makkah, K. Zuhdi dari Pekalongan, K. Suyuti dari Rembang, K. Bajuri Rembang, K. Hasbullah bin Sholeh Langitan, K. Abdul Rohim Demak, K. Ma'ruf dari Sukiyan, Tuban, K. Abdul Syukur, K. Abdul Hadi, dan Kyai-kyai besar lainnya yang merupakan para pengasuh pondok pesantren yang dimuliakan Allah.

Wafat
Beliau wafat pada tahun 1910 M atau tahun 1328 H setelah menderita penyakit yang tidak ada seorangpun menyangka kalau itu adalah sebab kematian beliau. Pada waktu itu usia beliau baru 55 tahun dan dimakamkan di maqbaroh para Masyayih Sarang. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya dan memberikan tempat kepada beliau dalam surga firdaus. Amin..


Sumber : http://sahabalit.blogspot.com/2011/12/syeikh-umar-bin-harun-as-sarony.html