Sabtu, 28 Januari 2012

SUHRAWARDI AL-MAQTUL: SANG GURU CAHAYA

Wali Allah yang sekaligus filsuf besar, dikenal dengan julukan Syaikh al-Isyraq atau “Guru Cahaya,” yang mengharmonisasikan spiritualitas dengan filsafat. Beliau menciptakan sintesis filosofis yang bersumber dari berbagai sumber, khususnya pemikiran Islam dan mistisisme Islam enam abad sebelum dirinya. Beliau sendiri memandang dirinya adalah penerus tradisi kuno Iran dan Mesir. Konon beliau mendapat pencerahan dan ilmu langsung dari Hermes atau Nabi Idris. Karya besarnya adalah Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), yang sangat mempengaruhi mistisisme , terutama di kawasan Persia (Iran). Beliau mendapat julukan al-maqtul (yang dibunuh) karena dihukum mati.

Syaikh al-Isyraq Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi lahir di kota kecil bernama Suhrawardi, Persia Barat sekitar tahun 1153 M (549 H). Sejak kecil beliau sudah tertarik dengan ilmu pengetahuan dan laku spiritual. Pada masa remaja beliau berkelana untuk mendalami ilmu pengetahuan dan hikmah ke Maraghah, berguru kepada Majd al-Din al-Jili, dan kemudian ke Isfahan. Beliau mendalami kitab Bashair al-Nashiriyyah, karya Ibn Sahlan as-Sawi, yang berisi pelajaran logika. Selain itu beliau menguasai pula ajaran fiqh mazhab Syafi’i. Pada periode yang hampir sama beliau juga mulai bergabung dengan kelompok sufi, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, beruzlah dan melakukan riyadhah dam mujahadah spiritual yang keras, berpuasa sepanjang hari, serta banyak bertafakur dan merenungkan persoalan-persoalan filsafat. Beliau menyukai sama’ atau musik spiritual. Pada usia yang relatif muda beliau telah mencapai maqam spiritual yang tinggi, dan menunjukkan banyak karamah. Beliau juga melakukan perjalanan ke Anatolia dan kemudiantinggal di Aleppo.

Syekh Suhrawardi al-Maqtul selain dikenal cerdas dalam berdebat juga amat pemberani dan cenderung tak peduli pada dunia dan suka berterus-terang. Karena keberaniannya inilah beliau mendapat banyak masalah, terutama dari para ahli hukum (faqih) yang tidak suka kepadanya lantaran merasa tersaingi dan sering kalah dalam perdebatan melawannya. Keberaniannya inilah yang membuatnya dihukum mati. Kisah sebab-musabab kematiannya ada beberapa versi. Salah satunya yang terkenal adalah sebagai berikut. Saat di Aleppo Syekh Suhrawardi biasa berceramah di hadapan banyak ulama dan ahli fiqh. Dalam ceramah-ceramahnya beliau secara blak-blakan mengecam keyakinan beberapa filsuf dan ulama, dan menunjukkan kesalahan mereka. Bahkan beliau tak segan-segan beradu mulut dengan sengit dan menunjukkan kesalahan mereka di muka umum. Selain itu kadang-kadang Syekh Suhrawardi menunjukkan kekuatan spiritualnya kepada mereka. Karena tak mampu menandingi kecerdasan dan keluasan ilmunya, akhirnya para ulama bersatu untuk menyingkirkannya. Mereka menuduh beliau sebagai ahli sihir dan punya pandangan filsafat yang menyesatkan dan membahayakan umat Islam. Mereka bahkan menuduh Syekh Suhrawardi mengaku-aku sebagai nabi. Mereka kemudian mendesak sultan, yakni Malik al-Zhahir, putra Shalahuddin al-Ayyubi, untuk menghukum mati Syekh Suhrawardi. Sultan Malik al-Zhahir kemudian mengundang para ulama dan Syekh Suhrawardi untuk berdebat di istana. Tetapi dalam perdebatan ini Syekh Suhrawardi muncul sebagai pemenangnya, sehingga Sultan Malik menjadi sahabatnya.

Akhirnya para ulama dan fuqaha mengirim surat kepada Shalahuddin al-Ayyubi yang isinya memfitnah Syekh Suhrawardi. Dalam surat itu, secara garis besar, dikatakan bahwa Syekh Suhrawardi menipu Sultan Malik al-Zhahir, dan jika dibiarkan hidup akan merusak iman Sultan Malik, dan jika beliau diusir akan merusak setiap tempat yang didatanginya. Akhirnya Sultan Shalahuddin menyurati putranya (Sultan Malik) agar Syekh Suhrawardi dihukum mati dalam usia 38 tahun. Hukuman matinya dijatuhkan pada tahun 1191 atau 586 H. Versi kematiannya berbeda-beda; sebagian mengatakan beliau mogok makan di tahanan sampai meninggal; sebagian mengatakan beliau digantung; dan sebagian mengatakan beliau dipancung dengan pedang. Tubuhnya konon dibakar dan dijatuhkan dari atas benteng. Belakangan Sultan Malik al-Zhahir, yang sesungguhnya tidak ingin membunuh Syekh Suhrawardi, membalas dendam kepada para pemfitnah – mereka dimasukkan ke penjara dan semua hartanya disita.

Karya dan ajaran dan karamah

Syekh Suhrawardi al-Maqtul meyakini bahwa pengetahuan (filsafat) sejati, atau pengetahuan tertinggi, tidak bisa dicapai hanya dengan olah intelektual semata, tetapi juga harus diiringi dengan laku spiritual untuk mensucikan hati (Tasawuf). Hanya dengan cara itulah pengetahuan hakikat akan bisa diperoleh dengan lebih sempurna. Menurut beliau, di dalam diri manusia sesungguhnya telah tersimpan kebijaksanaan kekal, yang bersumber dari sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak dapat diciptakan. Itu berarti bahwa seseorang mesti melangkah melampaui tataran empiris-intelektual rasional dan material menuju ke alam yang lebih tinggi dan sublim. Proses pelepasan dari sifat-sifat material ini adalah semacam ziarah, bukan ke dunia eksternal, bukan ke belantara akal dan perdebatan intelektual yang berdasarkan definisinya sendiri adalah terbatas, tetapi perjalanan menjelajahi dunia batin, ke dalam diri. Secara paradoks, perjalanan ke “dalam” diri ini pada akhirnya akan membawa seseorang “keluar” dari dirinya sendiri dan “ke luar” dari dunia material, masuk ke dunia spiritual dan pengetahuan abadi yang tak ada batasnya. Dalam perjalanan ke “dalam” diri ini seseorang mesti membersihkan daya-daya yang bersifat “gelap” atau mengaburkan visi yang sejati: sifat-sifat kebinatangan, nafsu dan syahwat, ego, bahkan imajinasi “keakuan” sebagai sesuatu yang eksis tersendiri, harus dienyahkan. Jika ini sudah tercapai, maka akan terbukalah daya-daya ruhaniah, yang bisa melihat, mendengar, merasakan, mencium segala sesuatu tanpa bantuan indera dan memahami segala sesuatu yang ada di luar dunia material dan indera. Ini adalah pengetahuan dari Cahaya tentang Cahaya, dan inilah hikmah al-siyraq, pengetahuan dan filsafat cahaya. Pada titik tertentu dalam perjuangan ruhani ini, seseorang akan dipenuhi dengan cahaya pengetahuan ilahiah ini hingga mencapai batas yang mampu ditanggungnya.

Pada tahap ini orang akan melihat dirinya sendiri (esensinya) dan ia akan senang karena menyaksikan cahaya yang memancar dari dirinya sendiri. Ia akan menyadari bahwa pada dasarnya seluruh semesta adalah cahaya yang bersumber dari satu Cahaya abadi. Dari sumber ini muncul hirarki cahaya vertikal yang memuat tingkatan-tingkatan eksistensi universal. Kata isyraqi itu sendiri juga berarti iluminasi, pancaran yang menerangi, seperti cahaya pertama di pagi hari yang memancar dari Timur (syarq). Dalam pengertian filosofis dalam ajaran Syekh Suhrawardi, ini bukanlah sekedar “Timur” geografis, tetapi “Timur” asal realitas (eksistensi).

Pada saat inilah cahaya itu seakan-akan tak mau pergi lagi, tetapi hendak menetap dalam dirinya, dan pada momen ini seseorang akan merasakan sakinah atau cahaya ketenangan: “Allah lalu menganugerahkan sakinah-Nya kepadanya” (Q. S. 9:40). Para pemilik sakinah adalah “orang-orang yang beriman (mukmin), yang hatinya menjadi tenteram dengan berzikir kepada Allah” (Q.S. 13: 28). Orang mukmin ini bukan mukmin nominal atau awam, namun mukmin yang sesungguhnya (Para Nabi/Rasul dan Wali Allah) yang memiliki ketajaman hati dan pikiran (firasat) dan kasyaf. Rasulullah bersabda “hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, sebab dia melihat dengan Cahaya Tuhannya.” Dengan kata lain, karena Cahaya pengetahuan Ilahiah sudah “menetap” di dalam dirinya, maka seseorang akan melihat segala sesuatu dengan cahaya-Nya, dan karena Allah adalah “Cahaya Langit dan Bumi” (Q. S. 24: 35) maka tak ada sesuatupun yang tersembunyi di bawah Cahaya-Nya – sebab kegelapan tabir telah enyah. Karenanya, menurut Syekh Suhrawardi, para pemilik sakinah, para Wali Allah, dapat membaca pikiran orang lain, mengetahui dan memahami hal-hal ghaib, dan kecerdasannya akan disempurnakan melalui karunia firasat dan kasyaf ini. Mereka bisa melihat dan mendengar langsung isyarat dan panggilan yang lembut dari Allah Yang Maha Suci. Tetapi ini belumlah sempurna.

Jika orang itu melangkah lebih jauh, dia akan sampai pada tahap di mana dia mengira bahwa esensi dan kesadaran dirinya akan terhapus. Ini dinamakan fana i-akbar (fana besar). Tetapi jika dia kemudian lupa pada kelupaaannya itu, maka ini dinamakan fana dalam fana. Ketika totalitas kesadarannya lenyap dalam obyek kesadaran barulah dia akan mencapai kesempurnaan; sebab, jika seseorang masih menyadari tindak kesadaran dan juga menyadari obyek kesadaran, ini berarti dia memiliki dua obyek. Karenanya untuk mencapai kesempurnaan seseorang mesti “meninggalkan dirinya” demi obyek kesadarannya, hingga yang tersisa hanyalah obyek kesadarannya. Ini adalah keadaan penghapusan sepenuhnya: “Segala yang ada di bumi ini akan lenyap musnah. Yang kekap hanyalah Wajah Tuhanmulah yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan” (Q. S. 55: 26-27). Ini adalah persatuan, realisasi sejati dari doktrin Keesaan Allah, Tauhid.

Menurut Syekh Suhrawardi al-Maqtul, Tauhid itu sendiri terbagi menjadi lima tingkatan: (1) “La ilaha illa Allah,” tiada tuhan selain Allah, Tauhidnya orang awam; (2) “La ilaha illa hu,” Tauhidnya golongan yang terpilih di antara yang awam. Tingkatan ini lebih tinggi dibanding yang pertama, sebab yang pertama menyangkal tuhan selain Allah, sedangkan golongan kedua ini tidak hanya berhenti pada pengakuan bahwa selain Allah itu bukan tuhan, tetapi juga menyangkal semua identitas obyektif dalam kaitannya dengan identitas Tuhan; (3) “La ilaha illa anta,” tiada tuhan selain Engkau, Tauhidnya golongan ketiga, yang mengacu kepada kehadiran Tuhan (“engkau” adalah pihak kedua yang hadir); (4) “La ilaha illa ana,” tiada tuhan selain Aku, Tauhid orang-orang yang telah menghapus diri mereka sendiri; dan (5) yang tertinggi adalah Tauhid yang tak terungkapkan dalam kata-kata. “Ke-Engkau-an,” “Ke-Aku-an,” dan “Ke-Dia-an” semuanya adalah representasi istilah, yang dari sudut pandang Tuhan tetap tidak bisa mewakili Eksistensi-Nya. Golongan orang ini telah menenggelamkan ketiga cara pembicaraan itu dalam samudera penghapusan. Mereka menghancurkan ungkapan-ungkapan, meninggalkan semua acuan yang masih menunjukkan “arah” dan “representasi.” Karena semuanya sudah musnah, “Dan segala sesuatu akan musnah kecuali Dia” (Q. S. 28:88), maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diucapkan, lantaran kata-kata tak lagi bermakna. Seperti dikatakan dalam salah satu keterangan tentang Tasawuf, “Tasawuf pada awalnya adalah Tuhan, dan pada akhirnya adalah tanpa batas, tanpa isyarat, tanpa arah, tanpa pembicaraan.”

Karamah Syekh Suhrawardi ada banyak, namun tidak banyak diungkapkan secara detail. Menurut salah seorang sahabatnya, Syekh Suhrawardi telah sampai pada maqam di mana beliau, selain punya firasat yang amat tajam, juga bisa mewujudkan setiap bentuk yang dikehendakinya, seperti mengubah batu menjadi emas.


Sumber : http://rumahcahaya.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00-08:00&max-results=50

AYN AL-QUDAT AL-HAMADZANI

Beliau adalah cendekiawan dan wali Allah yang syahid karena dihukum mati oleh Sultan Saljuk, Mahmud. Meski meninggal dalam usia yang muda (33 tahun) namun kemasyhurannya sebagai wali Allah menarik banyak pengikut dari banyak tempat. Beliau kadang menampakkan karamah-karamahnya, termasuk menghidupkan kembali orang mati. Syekh Ayn al-Qudat al-Hamadzani dihukum mati karena dituduh mengajarkan ajaran panteisme atau menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Menurut seorang sarjana, Syekh Ayn al-Qudat tergolong dalam tradisi teo-erotisisme dalam tasawuf, yakni “mazhab” tasawuf yang menekankan pada cinta (mahabbah), rindu (syawq), cahaya (nur), api (nar), dan kesatuan (wahdah) – yang berpuncak pada “kesatuan” antara pecinta dan yang dicintai, antara Tuhan dan makhluknya. Sebagian besar ajaran Syekh Ayn al-Qudat didasarkan pada sistem penafsiran ganda, yakni “wilayah akal” (thawr al-aql) dan “di luar akal” (thawr wara’ al-aql).

Tiada wujud selain wujud al-Haqq [Allah]. Maka wujud segala yang ada bukan diluar wujud al-Haqq, tetapi ia [yakni wujud segala sesuai itu] adalah dia [yakni wujud al-Haqq] juga.
[Zubdat al-Haqaiq]

Nama lengkapnya adalah Syekh Abu al-Ma’ali Abdullah ibn Abi Bakr Muhammad ibn Ali ibn al-Hassan ibn Ali Al-Hamadzani, dilahirkan di Hamadzan pada 1098 (492 H) dari keluarga terpelajar. Kakeknya adalah qadhi Hamadzan yang mati syahid saat terjadi serangan tentara Saljuk. Ayah Ayn al-Qudat, seorang sufi, juga meninggal karena kekerasan. Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecilnya, namun yang jelas Syekh ini dikaruniai kecerdasan luar biasa. Bahkan dalam usia 20 tahun beliau sudah menulis banyak kitab, sebagian diantaranya, menurut keterangannya sendiri, adalah “kitab yang bahkan sulit dipahami oleh orang seumur 50 atau 60 tahun, apalagi menyusunnya.” Syekh Ayn al-Qudat menguasai tata bahasa Arab, filologi, sastra Arab, tafsir al-Qur’an, hadits, teologi (kalam), fiqh mazhab Syafi’i (dan telah memenuhi syarat menjadi qadhi) – ringkasnya semua cabang ilmu pengetahuan telah dikuasainya dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari 10 tahun saja. Bahkan risalah-risalah yang memicu kontroversi telah ditulisnya saat beliau berusia 14 tahun.

Syekh Ayn al-Qudat mengatakan bahwa beliau meninggalkan studi sekular pada usia akil baligh dan “dengan tekun menelaah ilmu keagamaan” serta menyibukkan diri di jalan sufi. Sejak usia 21 tahun, setelah menulis risalah tentang sifat kenabian, selama tiga tahun berikutnya beliau dikaruniai segala macam pengetahuan ruhaniah dan ilham-ilham yang tak mungkin terlukiskan. Beliau mengatakan bahwa dirinya “nyaris di pinggir neraka seandainya Allah tidak menolongku dengan rahmat dan kemurahan-Nya.” Telaahnya terhadap ilmu kalam justru menambah kekacauan dan kebingungan. Pertolongan Allah datang setelah beliau menelaah kitab karya Hujjatul Islam, Imam ABU HAMID AL-GHAZALI, terutama karya besarnya, Ihya Ulum al-Din. Sedemikian berpengaruhnya kitab ini hingga Syekh Ayn al-Qudat menulis, “mata batinku mulai terbuka (kasyaf).” Selama setahun beliau terus dikuasai olehh pengetahuan ruhaniah lantaran berkah mengaji kitab Ihya ini. Kemudian datanglah adik Imam al-Ghazali, yakni Syekh Abu al-Futuh AHMAD AL-GHAZALI, ke Hamadzan. Kehadirannya yang hanya kurang dari 20 hari telah menyempurnakan pengetahuan ruhaniah Syekh Ayn al-Qudat. Hingga Syekh Ahmad al-Ghazali meninggal, beliau terus berhubungan dengannya melalui surat-surat dan beberapa pertemuan. Melalui bimbingan Syekh Ahmad al-Ghazali Syekh Ayn al-Qudat mencapai kemajuan spiritual yang melampaui batas-batas penalaran rasional dan membawanya ke alam ilahiah. Guru lainnya yang mendidiknya adalah Syekh Abu Abdullah Muhammad ibn Hamawaih al-Juwaini (w. 1220), penulis kitab Salwat at-Thalibin. Menurut Syekh Ayn al-Qudat, kehadiran guru yang hidup, bukan hanya kitab-kitab sufi, adalah syarat utama bagi kehidupan di jalan Sufi.

Prestasi dan kecemerlangan intelektual, serta pandangan-pandangan sufinya yang kontroversial, menyebabkan banyak kalangan iri dan memusuhinya. Syekh Ayn al-Qudat secara resmi diadukan kepada menteri Saljuk dari Irak, Abu al-Qasim Qiwamuddin Nashir ibn Ali al-Daragazini yang terkenal zalim dan haus darah. Menteri inilah yang menjebloskan Syekh Ayn al-Qudat ke dalam penjara. Selama di penjara ini Syekh Ayn al-Qudat menulis kitab pembelaan atas pandangan-pandangannya. Setelah beberapa bulan ditahan, beliau dkirim kembali ke Hamadzan dan dihukum mati secara biadab pada 1131.

Syekh Ayn al-Qudhat menulis banyak risalah, dan sebagian besar telah hilang. Tetapi kitabnya yang amat terkenal adalah Tamhidat. Kitab ini, yang dipengaruhi oleh kitab Sawanih karya gurunya, Syekh Ahmad al-Ghazali, banyak dibaca di dunia Muslim. Tamhidat adalah kitab yang disukai para sufi Chistiyyah di Delhi pada akhir abad ketiga belas. Seorang wali Allah dari tarekat Chistiyyah, yakni Gisudaraz, menulis ulasan tentang buku ini, dan kemudian seorang wali Allah bernama Miran Husain Shah dari Bijapur menerjemahkannya ke bahasa Urdu. Syekh Jami’ mengatakan tentang Ayn al-Qudhat, “hanya sedikit orang yang dapat menyingkap hakikat kenyataan dan penjelasan tentang hal-hal yang pelik seperti Syekh Ayn al-Qudhat.” Kitab lainnya adalah Syakwa al-Gharib, pembelaan atas ajarannya yang ditulis saat di penjara, yang dipuji keindahan bahasanya, sehingga dikatakan secara metaforis, “jika kitab ini dibacakan kepada bebatuan, maka bebatuan itu akan bergetar [oleh keindahan ungkapannya],” dan kitab Nama-ha, yang berisi koleksi ratusan surat Syekh Ayn al-Qudhat kepada beberapa muridnya.

wa Allahu a'lam
Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut al-Jawi
Ikhwan TQN Suryalaya
Arsip Manaqib Ringkas lainnya ::
http://www.facebook.com/note.php?note_id=126331078339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=123371558339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=123235338339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=121816338339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=121403668339
Sumber :  http://rumahcahaya.blogspot.com/search?updated-min=2009-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2010-01-01T00:00:00-08:00&max-results=22

SEJARAH SHALAWAT BADAR

Shalatullah salamullah ala toha rasulillah
Shalatullah salamullah ala yasin habibillah…
Hampir bisa dipastikan semua orang Nahdlatul Ulama kenal dengan shalawat ini – Shalawat Badar. Shalawat ini adalah shalawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa shalawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim.

Saat itu sekitar tahun 1960-an. Kyai Mansur gelisah karena memikirkan pergolakan politik yang makin kacau; orang-orang PKI makin kuat di daerah pedesaan, sedangkan warga NU terdesak. Pada suatu malam beliau bermimpi didatangi sekelompok Habaib berpakaian putih-hijau, dan pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau menanyakan mimpi ini kepada seorang Habib ahli kasyaf, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Oleh Habib dijawab bahwa itu adalah para pahlawan perang Badar.

Dua mimpi istimewa suami-istri ini menjadikan dirinya memperoleh ilham untuk menulis syair dan shalawat. Yang lebih aneh, esok harinya tetangga berdatangan membawa banyak bahan makanan, seolah-olah akan ada acara besar. Para tetangga ini bercerita bahwa pagi-pagi buta rumah mereka diketuk oleh orang-orang berjubah putih yang memberi tahu bahwa Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Kyai Ali Mansur bingung karena tak punya hajatan besar apapun; namun para tetangga bergotong royong memasak di dapur sampai malam, siap-siap menyambut kedatangan tamu esok pagi.

Pagi hari, Kyai Ali Mansur duduk di rumahnya sambil bertanya-tanya siapa tamunya.. Lalu menjelang matahari muncul datanglah serombongan habaib dipimpin oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta.

Setelah mereka berbincang, Habib Ali Kwitang bertanya kepada Kyai Mansur “mana syair yang ente buat kemarin? Mohon bacakan dan lagukan di depan kami semua.” Kyai Ali Mansur kaget karena Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya kemarin malam, padahal beliau belum bercerita kepada siapapun dan lagipula baru kali ini Habib Ali Kwitang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Banyuwangi.

Kyai Ali Mansur kemudian membacakan syair itu sambil dilagukan. Dan memang Kyai yang satu ini suaranya sangat bagus. Para habaib mendengarkan, dan tak lama kemudian mereka menangis. Selesai dibaca, Habib Ali Kwitang berdiri dan berkata, “Ya Akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Shalawat Badar!” Kemudian Kyai Ali Mansur diundang ke Kwitang untuk mempopulerkan Shalawat Badar di sana.

Karena itulah bacaan Shalawat Badar ini sering dipakai dalam istigotsah dan sering diamalkan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan. Meski sebagian kalangan non-NU menganggap shalawat ini bid’ah, namun dalam kenyataannya, para Wali Allah tak menganggapnya bid’ah dan bahkan mengakui dan mengamalkannya, seperti dicontohkan oleh ulama besar Habib Ali Kwitang.

Mudah2an kita diberi kelapangan dan kemampuan oleh Allah untuk mengamalkannya, membebaskan segala duka cita kita lantaran berkah Rasul dan para pahlawan badar…

Ilahi sallimil ummah minal aafati wan niqmah
wa min hamin wamin ghummah, bi ahlil badri yaa Allah….

wa Allahu a’lam


Sumber: http://rumahcahaya.blogspot.com/2009/07/sejarah-shalawat-badar.html

ABAH KI QOMARUZZAMAN

Sempu, Klapa Endep, Serang, sekitar tahun 1920-an/1930-an, lahir bayi prematur putra pasangan Nyi Ratu Lam’ah dan Tubagus Muhammad As’ad. Kelahirannya diiringi oleh beberapa kyai sepuh yang sederhana, dipimpin oleh almarhum Kyai Tubagus Halimi, Pamindangan – Allahuyarham. Kepada beliaulah bayi itu dimintakan nama. Kyai Halimi menggendong sang bayi, namun entah mengapa beliau hanya diam saja. Beliau mengaku tak berani memberikan nama kepadanya – maka ditanyakanlah kepada para kyai yang lain. Tetapi jawaban mereka sama. Pada saat semua diam dan kebingungan, mendadak di antara hadirin, bernama Nyi Ratu Fatmah mendapat bisikan ruhani dari kakeknya, yang juga sekaligus kakek dari sang bayi, Kyai Asnawi Caringin, Banten. Pesannya jelas. Berilah nama bayi itu: ”Qamaruzzaman al-Husaini.” Berdasar silsilah keluarga, bayi ini adalah keturunan ke 26 dari Kanjeng Rasulullah.

Tak lama sesudah Kyai Qamaruzzaman lahir, kedua orang tuanya meninggal. Karena itu beliau diasuh oleh neneknya, Nyi Ratu Alfiyah, seorang wanita saleh, yang mendidiknya membaca al-Qur’an. Kyai Qamarruzzaman kecil tidak diperkenankan bermain seenaknya, tetapi ”dikurung” dalam kamar, hanya berteman al-Qur’an. Pada usia 13 tahun beliau telah hafal 30 juz al-Qur’an. Selanjutnya beliau belajarqira’at sab’ah kepada Kyai Tubagus Sayuti (murid dari Kyai Muhammad Sholeh Ma’mun, putra dari Kyai Haji Tubagus Ma’mun, seorang qira’at masyhur pada zamannya). Belakangan, pada masa remajanya beliau kerap diundang menjadi pembaca al-Qur’an bersama Kyai Tubagus Ma’mun Kasunyatan dan Tubagus Kuncung Banten (seorang sesepuh di Banten lama). Suara Kyai Qamaruzzaman yang indah menjadikannya terkenal - dan mereka bertiga berkeliling ke berbagai kota, dari Padang sampai Brebes.

Selain belajar mengaji sejak kecil, beliau juga belajar banyak ilmu agama kepada para kyai sepuh: Kyai Tohir di Pelamunan, Kyai Halimi Pamindangan, Kyai Mahfudz, Tipar, Sukabumi, Ajengan Kholil Ciapus, Bogor, Kyai Suja’i, Kyai Suhaimi Kampung Sawah, dan sebagainya. Kyai Tubagus Halimi secara khusus memperhatikan Qamaruzzaman muda, dan sering melarang santri-santri lainnya bertingkah sembarangan di hadapan Qamaruzzaman muda – dengan alasan yang sulit dikisahkan di sini. Yang jelas, Kyai Halimi sering mengeluarkan pernyataan ’khawariq” mengenai kyai Qamaruzzaman. Dalam mendalami qiroat dan tafsir pun kyai Qamaruzzaman sangat serius: Menurut keterangan, sebelum mendalami ilmu membaca dan tafsir Qur’an, Kyai Qamaruzzaman menyilet lidahnya untuk mengeluarkan darah kotor. Beliau juga mampu mengkhatamkan al-Qur’an dalam waktu semalam.

Salah satu keunikan lain dari cara belajar Kyai Qamaruzzaman tampak ketika beliau mengaji KitabFathul Mu’in kepada K.H. Suhaimi. Dengan telaten Abah Qamaruzzaman merekam semua pelajaran dalam kaset tape. Secara keseluruhan Abah Qamaruzzaman menghabiskan sekitar 600 buah kaset tape recorder. Selain itu, beliau juga merekam pelajaran Kitab al-Fiyah dari K.H. Sanja, dan menghabiskan sekitar 40 buah kaset (sebagian dari 640-an kaset itu sekarang masih tersimpan di almarinya). Proses perekaman berlangsung lebih dari satu tahun. Harga satu kaset pada saat itu sekitar Rp. 350,-. Santri yang ada di pesantren pada waktu itu berjumlah sekitar 370 orang. Salah satu pesan yang kelak sering disampaikan oleh Kyai Qamaruzzaman kepada santri dan tamu-tamunya adalah agar kita belajar dan berkhidmat kepada guru dengan totalitas yang paripurna. Terkadang beliau dawuh yang kira-kira artinya seperti ini: ”Seberapa besar perhatian dan kasih sayangmu pada guru, sebesar itu pula ilmu dan berkah yang kau dapatkan.” Jalan ruhani Kyai Qamaruzzaman adalah jalan khidmat dan cinta, yang dilandasi pengetahuan syariah. Seperti dikatakannya: ”Syariat dulu yang betul, nanti hakikat akan menyusul,” atau ”Cinta murid kepada guru mesti dibuktikan, sebagaimana cinta Wali Allah kepada Allah juga mesti dibuktikan”, yakni dengan kesabaran menanggung banyak ujian dan cobaan.

Ada kisah menarik tentang ajaran khidmat ini. Saat belajar kepada Ajengan Kholil Ciapus pada paruh pertama abad 20, suatu saat Ajengan berkenan berkunjung ke kediaman Kyai Qamaruzzaman di Serang. Saat hendak pulang, Kyai Qamaruzzaman ingin memberinya oleh-oleh, namun belum sempat menyiapkan. Maka ditawarkanlah semua ambal (karpet) yang ada di rumahnya kepada sang ajengan. Namun Ajengan Kholil menunjuk ke mobil milik Kyai Qamaruzzaman. Maka Abah Qamaruzzaman mempersilahkan Ajengan Kholil untuk memilih sendiri mobil mana yang hendak dibawa pulang. Saat mondok di tempat Ajengan, Kyai Qamaruzzaman setiap hari menyisihkan uang sakunya. Pada suatu saat Ajengan Kholil akan hajatan tetapi tak punya uang. Maka pada saat itulah Abah Qamaruzzaman menyerahkan semua simpanannya kepada sang guru. Karena khidmatnya ini, maka Ajengan Kholil (yang merupakan murid dari wali Allah masyhur Mama Bakri/ Ajengan Plered) mengijazahkan semua ilmunya kepada Kyai Qamaruzzaman.

Sebagaimana lazimnya kyai yang menekuni dunia tarekat dan tasawuf, Kyai Qamaruzzaman juga menjalankan khalwat, yakni di daerah Guha, sebuah kawasan hutan di kaki Gunung Karang, Banten, selama dua tahun. Ada masa-masa ketika beliau mengalami kesulitan secara sosial lantaran mengalami jadzab atau menampakkan khawariq al-adah. Tentu saja tak semua kisah karamah ini bisa dikabarkan, karenanya disini terpaksa kami sengaja membatasi diri untuk tidak banyak mengisahkan sejarah hidupnya yang berkaitan dengan kisah khawariq al-adah ini. Ada banyak cerita lisan dari saksi yang masih hidup, namun ada satu yang terkenal:

Kyai Qamaruzzaman terkenal karena saat membaca al-Qur’an, orang-orang yang mendengarnya sering ”terhipnotis” dan memasuki keadaan, yang dalam istilah psikologis disebut ”ekstase.” Pernah suatu ketika beliau membaca ayat-ayat al-Qur’an di masjid, dan akibatnya penduduk yang ada di sekitar masjid, dan semua orang yang mendengar bacaannya, semuanya keluar rumah dan duduk diam di pinggir jalan, seperti terbengong-bengong. Ketika menjadi imam shalat Jum’at di sebuah masjid di Bogor, shalat Jumatnya bubar, lantaran makmumnya seperti tersirap dan tak membaca al-Fatihah, bahkan sebagian besar menangis tersedu-sedu. Mungkin berikut ini kisah yang paling berkesan dan tak terlupakan bagi Abah Qamaruzzaman sendiri. Bertempat di desa Manggu Padarincang Serang. Abah Qamaruzzaman diundang oleh Kepala Desa Padarincang (Sawiri namanya, Alm.) untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu putri Lurah Sawiri. Dia meminta Abah Qamaruzzaman untuk menyumbangkan suaranya dan membacakan ayat suci al-Qur'an (surat ar-Rahman) sebagai tamu kehormatan. Pesta itu dihadiri banyak ulama, termasuk KH. Suhaimi Kampung Sawah Padarincang). Awalnya beliau enggan sebab takut terjadi sesuatu yang mengundang fitnah. Tetapi tuan rumah bersikeras. Dan setelah Abah Qamaruzzaman membaca, baru tiga ayat (yakni Surat ar-Rahman), terjadilah apa yang menjadi sebab kekhawatiran. Para pendengar sudah hiruk pikuk dengan suara tangisan. Lurah Sawiri sendiri saling berangkulan dengan istrinya, suasana tidak terkontrol. Orang-orang dari dalam rumah berhamburan keluar menangis bersama hadirin yang ada di luar. Dalam kegemparan ini terselip kejadian yang lucu – yakni Ibu Junah, seorang pimpinan juru masak, membawa pasukan dapurnya ikut berhamburan keluar, sementara di tangannya membawa kayu bakar yang sedang membara tanpa disadarinya. Akhirnya Ki Suhaimi sendirilah yang menghentikan lantunan suara Abah. Berawal dari peristiwa tersebut K.H.Suhaimi sebagai ulama ahli Fiqh mengeluaran fatwa unik khusus untuk Kyai Qamaruzzaman: Mengharamkan Abah untuk menjadi imam dan ma'mum dalam shalat berjamaah. Sebagai murid, beliau patuh, namun tentu saja masih ada orang yang nekat mengundang beliau menjadi imam atau membaca Qur’an di suatu acara. Agar punya alasan kuat untuk menolak mereka, maka Kyai Qamaruzzaman memutuskan untuk mencabut semua giginya yang masih utuh, sampai ompong, sehingga bacaannya tak fasih lagi. Selain itu, sebagian ulama ahl-kasyaf melarang Kyai Qamaruzzaman untuk meludah sembarangan. Pada masa dulu, adalah lazim seorang kyai memiliki “pangidon,” yakni tempat khusus untuk meludah. Namun Kyai Qamaruzzaman tak memilikinya, sebab sudah puluhan tahun beliau tidak pernah lagi meludah.

Sejak tahun paruh pertama 1960-an Kyai Qamaruzzaman mulai menampakkan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam, dan karenanya sempat terkena fitnah, yang menyebabkan pihak pemerintah, dalam hal ini jajaran Muspika, turun tangan menyelesaikannya, karena kegemparannya sudah berpotensi menimbulkan kekisruhan.

Pada pertengahan 1970-an beliau mendirikan pesantren Bahrul Ulum di Padarincang. Pada masa-masa awal di pesantren ini Kyai Qamaruzzaman harus menghadapi banyak gangguan dari beberapa jawara yang tidak senang dengan kehadiran Kyai Qamaruzzaman. Setelah nama Kyai Qamaruzzaman makin terkenal, dan santrinya bertambah banyak, gangguan juga bertambah. Karena sering diganggu, akhirnya Kyai Qamaruzzaman mengundang tokoh jawara yang paling sakti dan disegani di seluruh Padarincang, dan berhasil menundukkannya. Sejak itu gangguan tak pernah lagi datang. Sejak 1972 dan seterusnya kehidupan Kyai Qamaruzzaman relatif tenang. Beliau selalu mengajarkan penekanan pada syariah, dan kesabaran, dalam perjalanan menuju Tuhan. Sering beliau mewanti-wanti agar orang tidak mengamalkan suatu wirid sembarangan, karena akibatnya bisa fatal. Beberapa santrinya pernah merasakan hal ini. Misalnya, santri bernama Ki Samhudi, pernah”heng” otaknya karena tak kuat lantaran terlalu banyak mewirid yang aneh-aneh. Tak jarang orang datang membawa suatu ijazah amalan/wirid dan diserahkan kepada Kyai Qamaruzzaman untuk diverifikasi. Tak jarang beliau melarang orang yang ingin mengamalkan sesuatu – bahkan pernah ada orang membawa catatan amalan untuk diverifikasi kepada beliau. Setelah membacanya, beliau langsung merobek-robek catatan itu karena menurut beliau sangat berbahaya bagi orang yang bersangkutan lantaran orang itu belum memiliki kesiapan mental, ruhani dan dasar syariatnya lemah. Beliau selalu menekankan kesabaran dalam perjalanan di jalan Tuhan. Tak boleh melompat-lompat atau terburu nafsu ingin cepat makrifat.

Pada 1982 santri-santrinya mulai berkurang. Namun pada periode ini beliau banyak menjalin persahabatan dengan beberapa kyai masyhur, termasuk kyai besar Abuya Dimyati Cidahu. Dua kyai ini bersahabat akrab dan biasa saling memuji – dalam beberapa kesempatan Kyai Qamaruzzaman menyebut Abuya Dimyati sebagai Qutb. Sebaliknya, almarhum Abuya Dimyati berpesan kepada santrinya bahwa ada ”mustika” yang terpendam di Padarincang. Sahabat lainnya adalah Habib Muhammad al-Atthas, yang memberi Kyai Qamaruzzaman julukan ”Syaikh as-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawarat al-Hukuma.”

Pada tahun ini pula Kyai Qamaruzzaman mulai terkena sakit mag. Belakangan kegiatan Kyai Qamaruzzaman sehari-hari sudah banyak berkurang lantaran sudah sepuh dan kesehatan makin menurun. Selain menderita mag, beliau juga lemah paru-parunya, sehingga tidak bisa berjalan kaki jauh-jauh. Beliau hanya menerima tamu-tamu yang datang dengan berbagai keperluan, baik itu keperluan lahiriah maupun batiniah. Sejak awal tahun 2000 kondisi kesehatan Abah Qamaruzzaman semakin lemah, dan sehari-hari lebih banyak di kamar dan madrasah di sebelah kamarnya. Namun boleh dikatakan hampir lebih dari 10 tahun beliau sudah tak lagi pernah tidur sebagaimana orang tidur. Penampilannya kini sangat sederhana. Bajunya sederhana. Tangannya yang putih, kecil, begitu lembut, selembut kapas, seolah-olah tulangnya juga telah melunak. Lebih banyak dikamar atau duduk di tempat yang itu-itu saja selama lebih dari satu dasawarsa, meminum kopi, merokok, dan sesekali mengaji atau memberi pelajaran. Di tempat itu juga beliau menerima sedikit tamu dengan berbagai keperluan. Pengajaran santri-santrinya kini lebih banyak dilakukan oleh salah seorang putranya, Tubagus Habibillah.


Sumber : http://rumahcahaya.blogspot.com/2011/09/syaikhuna.html