Minggu, 13 November 2011

SAYYID UMAR BIN AHMAD BIN SALIM AIDID (1343-1421 H )

Assayyid Assholeh Salim Al Baal Shofi Al Hal Umar bin Ahmad bin Salim Aidid tinggal di Mekah Al Mukaromah, dilahirkan di Wadi Aidid salah satu wadi dipinggiran kota Tarim tahun 1343 H. Ibunya anak dari Assayyid Alwi bin Ahmad Assegaf Asshofi. Sayyid Umar Aidid hidup atas didikan orang tuanya. Ayahnya wafat ketika beliau berumur 10 tahun, lalu diasuh oleh kakaknya yang tertua bernama Idrus, sehingga beliau hafal Al-Qur’an dan sebagian matan.

Kemudian beliau belajar ilmu dari beberapa guru, salah satunya Al Habib Muhammad bin Hasan Aidid yang mengawinkan anak perempuannya. Allah memberikan kemudahan belajar dengannya, beliau membaca dan mendapat ijazah kitab "Tuhfatul Mustafiid". Selain belajar kitab tersebut dengan Habib Muhammad bin Hasan Aidid, beliau juga belajar dengan Habib Abdullah bin Umar Syatiri, Habib Abdulbari bin Syekh Al Aydrus, dan Habib Alwi bin Abdullah bin Syahabuddin. Beliau sangat senang mempelajari dan melazimkan didalam majelisnya membaca kitab Tuhfatul Mustafiid. Hatinya selalu diliputi cinta kepada Habib Alwi, dan selalu menyebutkan kebaikannya serta sering menyebutkan keadaannya. Begitu juga beliau belajar dengan Habib Musthafa bin Ahmad Al Muhdhor, Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, dan Umar bin Abdullah Al Habsyi. Sayyid Umar Aidid juga belajar kepada Sayyidul Walid Ali bin Abubakar Al Masyhur, belajar kitab "Al-Mukhtashor Asshoghir" karya Bafadol, keduanya mempunyai ikatan yang dekat dan bersahabat, karena dua hal :

Ada unsur pernikahan pada anak Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid.

Assayyid Muhammad bin Abubakar Al Masyhur menikahi saudara perempuan Sayyid Umar Aidid, namanya Fatimah.

Guru-guru beliau yang lainnya adalah Assayyid Alwi Al Maliki Al Hasani, Assayyid Muhammad Amin Kutubi Al Hasani, Assayid Hasan Fad’aq, Assyekh Hasan Sa’id Yamani, Assayyid Muhammad Sholeh Al Muhdhor, Assayyid Abubakar Atthas Al Habsyi, Assayyid Abdul Qadir Assegaf, Assyekh Muhammad Nur Seif, Assayyid Muhammad Al Haddar, Assyekh Hasan Al Masyath, dan lainnya, semoga Allah meridhoi mereka.

Assayyid Umar Aidid mengajar dirumahnya didaerah Al Amirah di Balad Al Haram hingga wafat. Murid-murid beliau datang dari berbagai penjuru, satu diantara mereka Assyekh Muhammad Ismail Azzain.
Assayyid Umar Aidid pernah pergi ke Afrika (Assawahil) pada tahun 1364 H, untuk berdakwah dan memberi petunjuk ilmu selama satu tahun, kemudian kembali ke Tarim.

Assayyid Umar Aidid bertemu dengan pengarang kitab Assayyidul Walid Habib Ali bin Abubakar Al Masyhur di Mekah Al Mukaromah setelah Assayyid Walid keluar Yaman, keduanya berganti-ganti melakukan kunjungan. Assayyid Umar pernah tinggal di Mekah tahun 1371 H, dan bekerja di Haromain sebagai penulis. Dan tinggal di Madinah di Rubat Anas bin Malik, kemudian bekerja di Mekah. Pada waktu liburan resmi sering ziarah ke Hadhramaut, tekun menghadiri majelis-majelis di Mekah, salah satunya majelis Habib 'Athas Habsyi. Assayyid Umar Aidid mencintainya, selalu datang dan takjub dengan buah pikirannya. Assayyid Umar Aidid terkena bermacam penyakit diantaranya penyakit diabetes sampai salah satu kakinya diamputasi sehingga duduk di kursi roda selama hidupnya.

Habib Ali bin Abubakar Al Masyhur terus berkunjung kepada Sayyid Umar Aidid di Mekah dan Jeddah. Pernah Habib Ali berkunjung kerumahnya pada bulan Jumadil Tsani 1418 H, Habib Ali dan yang hadir mendapatkan ijazah dan dibacakan Fatihah buat yang hadir. Habib Ali membaca kitab Tuhfatul Mustafiid didepannya kemudian diijazahkan oleh Sayyid Umar Aidid dengan ijazah yang telah diijazahkan oleh pengarang kitab.

Kitab yang dikarangnya adalah Al Fajru Al Jadid (dalam tulisan tangan). Beliau mempunyai beberapa catatan-catatan atas beberapa kitab yang pernah beliau ajarkan. Dan telah meninggalkan perpustakaan yang ada pada anaknya Assayyid Abdul Qadir.

Assayyid Umar Aidid wafat pada hari Senin diwaktu fajar tanggal 26/12/1421 H dalam usia 78 tahun. Di makamkan diwaktu Ashar dipekuburan Ma’la dan meninggalkan 4 orang anak perempuan, 2 diantaranya wafat sewaktu kecil, dan 3 orang anak laki-laki, yaitu:

Muhammad, menetap di Tarim

Abdul Qadir, menetap di Mekah

Ahmad (wafat terlebih dahulu).


Sumber: himpunan-aidid.org

SYEIKH AHMAD AL RIFA'I ( 500H - 578H )

Sayyidi Ahmad Al Rifa’i dilahirkan pada tahun 500 Hijriah. Pertama kali beliau belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi’i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih, akan tetapi beliau lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Beliau terkenal sebagi rujukan pimpinan ilmu thoriqoh, karena memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai wali qutub yang agung dan masyhur di zaman sesudah syeikh Abdul Qodir al Jailany ra. Beliau sangat terkenal dan memiliki pengikut yang banyak. Para pengikutnya terkenal dengan sebutan “Al-Thoifah Al-Rifa’iyah”.

Dalam kitab Tobaqot diterangkan, pada saat mengajar syeikh Ahmad Rifa’i tidak mau sambil berdiri. Orang-orang yang tinggalnya jauh bisa mendengar apa yang disampaikan beliau sama seperti orang yang dekat dengan tempat pengajian. Sehingga penduduk disekitar desa Ummi Abidah banyak yang keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh syeikh Ahmad Rifa’i ini. Bahkan orang yang tadinya tuli jika mau hadir mengaji oleh Allah, dibukakan pendengarannya sehingga bisa mendengar apa yang disabdakan oleh syeikh Ahmad Rifa’i. Para guru thoriqoh banyak yang hadir untuk mendengarkan sabda-sabda dari Syeikh Ahmad Al Rifa’i dengan menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah syeikh Ahmad selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah kedadanya masing-masing, sehingga sesampai di rumah mereka bisa menjelaskan kepada para muridnya.


Banyak hal aneh yang sering terjadi pada diri murid Syeikh Ahmad Rifa’i seperti, mereka dapat masuk ke dalam api yang sedang menyala. Mereka juga dapat menjinakkan binatang buas, seperti harimau di mana hewan ini akan menuruti apa yang mereka katakan. Sehingga harimau ini dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Banyak lagi keajaiban-keajaiban lain yang ada pada mereka.

Ketika pertama kali Sayyidi Ahmad bertemu dengan seorang Wali bernama Syeikh Abdul Malik Al-Khonubi. Syeikh ini memberinya pelajaran berupa sindiran tetapi sangat berkesan buat Syeikh Ahmad Al Rifa’i. Sindiran itu berbunyi ; Orang yang berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu tidak dapat kemenangan. Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka semua waktunya telah kurang. Setahun lamanya Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i mengulang-ulang perkataan ini.

Setelah setahun dia datang kembali menemui Syeikh Abdul Malik Al-Khonubi. Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i minta wasiat lagi, maka berkata Syeikh Abdul Malik; Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal; Sangatlah keji penyakit pada sisi semua doktor; Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wusul (sampai kepada Allah). Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i mengulang-ulang pula perkatan itu selama setahun dan beliau banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.

Salah satu dari sekian budi pekerti Syeikh Ahmad Al Rifa’i yang mulia ialah beliau seringkali membawa serta membersihkan pakaian orang-orang yang berpenyakit kusta dan beberapa penyakit yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum. Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu; diantarkan makanan untuk mereka dan beliau juga turut makan bersama-sama dengan orang-orang sakit itu tanpa ada rasa jijik.

Kalau Syeikh Ahmad Al Rifa’i datang dari perjalanan, apabila telah dekat dengan kampung halamannya maka dipungutnya kayu bakar, setelah itu dibagi-bagikan kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang jompo atau orang tua yang membutuhkan pertolongan. Syeikh Ahmad berkata : “Mendatangi orang-orang yang semacam itu bagi kita wajib bukan hanya sunah. Bahkan Nabi bersabda : “Barang siapa yang memuliakan orang tua yang Islam, maka Allah akan meluluhkan orang untuk memuliakannya apabila ia sudah tua”.

Beliau setiap dijalan selalu menanti datangnya orang buta, kalau ada orang buta datang lalu dipegang dan dituntun sampai tujuan. Beliau mempunyai kasih sayang bukan hanya kepada manusia saja, tetapi juga kepada binatang, sehingga kalau bertemu dengan siapa saja selalu mendahului memberi salam, bahkan juga kepada hewan. Diriwayatkan bahwa ada seekor anjing yang menderita sakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia akan diusir. Anjing tersebut diambil oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i lalu dimandikan dengan air panas, diberikan obat dan makan secukupnya, sampai anjing tersebut sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya tentang apa yang diperbuatnya beliau berkata : “Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik. Syeikh Ahmad ini kalau dihinggapi nyamuk beliau membiarkannya dan tidak boleh ada orang lain yang mengusirnya. Beliau berkata, “Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya. Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu sholat telah masuk, lalu digunting lengan bajunya itu karena tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai sholat lengan bajunya diambil dan dijait lagi.

Budi pekerti mulia yang lain ialah beliau tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila beliau dimaki oleh orang, beliau terus menundukkan kepalanya mencium bumi dan menangis serta meminta maaf kepada yang memakinya. Beliau pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrohim al Basity yang isi suratnya merendahkan martabat beliau, lalu beliau berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu : “Coba bacalah surat itu, dan ternyata isinya adalah : “Hai orang yang buta sebelah, hai dajjal, hai orang yang bikin bid’ah dan berbagai macam perkataan yang menyakitkan hati. Setelah selesai membaca surat kemudian surat itu diterima oleh syeikh Ahmad, dibaca kemudian berkata : “Ini semua betul, smoga Allah membalas kebaikan kepadanya. Beliau terus berkata dengan syiir, “Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan. Kemudian syeikh berkata : “Tulislah sekarang jawaban balasanku yang berbunyi “Dari orang rendahan kepada tuanku syeikh Ibrohim. Mengenai tulisanmu seperti yang tertera dalam surat, memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku dengan mendo’akan dan memaafkanku. Setelah surat balasan ini sampai pada syeikh Ibrohim dan dibaca isinya, kemudian syeikh Ibrohim pergi entah kemana tidak ada orang yang tahu.

Jika ada orang minta dituliskan azimat kepadanya, maka Syeikh Ahmad mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata ; “Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub”. Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Qutubiyah”. Kata murid: “Tuan Guru adalah Ghauts!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada Ghautsiyah”. Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i telah melampaui “Maqaamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang maklum (diketahui umum).

Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, “Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab, “Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah.

AL HABIB SYEKH BIN SALIM AL ATHAS ( SUKABUMI )

Habib Syekh bin Salim Al-Athas lahir di Huraidhah, Hadramaut, Yaman, pada hari jum'at bulan Safar, 1311 H, tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga Ba 'Alawi yang sangat religius. Masa pendidikannya dimulai dari ayahandanya sendiri, habib salim bin Umar bin Syekh Al-Athas ( wafat 1956 ). Sewaktu menginjak usia tujuh tahun, beliau berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi Al-Athas, ulama yang lahir di Cirebon, kemudian menetap di huraidhah, dan mendirikan Masjid Ba 'Alawi, beberapa waktu setelah kembali dari Haidrabad, India.

Habib Syekh bin Salim Al-Athas berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi Al-Athas sepanjang siang dan malam, kecuali pada hari Jum'at di masjid Ba 'Alawi. Di masjid itu pulalah beliau tinggal. Beliau juga memperoleh bimbingan dalam berbagai hal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kemuliaan pribadi. Beliau juga mempelajari beberapa ilmu Qiraat, seni membaca Al-Qur'an, di bawah bimbingan Syekh Sa'id bin Sabbah, yang sangat piawai dalam Qira'at Al-Qur'an. Pada usia 12 tahun beliau telah hafal Al-Qur'an secara sempurna.
Ada kisah menarik tentang kepiawaiannya membaca Al-Qur'an, sebagaimana pernah beliau tunjukkan dalam suatu perayaan khatam Al-Qur'an yang dihadiri berbagai tokoh Alawiyin an para ulama besar. Di antara mereka terdapat Al-'Allamah Al-'Arifbillah Ahmad bin Hasan Al-Athas, ulama yang menguasai 10 jenis qira'at, yang kemudian menjadi guru utamanya.

Sebagai orang yang haus ilmu, beliau berguru kepada beberapa ulama di berbagai tempat. Hampir semua cabang pengetahuan agama dipelajarinya dengan tekun. Beliau banyak menimba berbagai ilmu ushul dan furu' ( pokok-pokok dan cabang pengetahuan islam ) kepada Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas. Selain itu, beliau juga menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan agama di Mekkah dibawah bimbingan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang Mufti Mazhab Syafi'I.

Bukan hanya belajar, Habib Syekh bin Salim juga gemar berdiskusi. Beliau sering menghadiri berbagai majelis bimbingan dan pengajaran agama di bawah pimpinan Habib Ahmad bin Hasan Al-Athas. Ulama yang sangat terkenal dengan suara dan lagunya ketika membaca Al-Qur'an.

Adapun Ulama – ulama yang mengajar agama dan tasawuf kepada Habib Syekh bin Salim, antara lain :

• Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan Al-Aththas ( penyusun kitab Sabilul Muhtadin )

• Habib Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas.

Ulama-ulama inilah yang bertindak sebagai Syekh Fathu ( pembimbing ilmu fiqih dan tarekat ) bagi Habib syekh bin Salim yang sekaligus juga mengkaji beberapa kitab, seperti Al-Bahjah, Al-Irsyad dan Al- Minhaj.

Beberapa guru Habib Syekh bin Salim yang lain :

• Habib Muhammad bin Alwi bin Syekh Al-Aththas.

• Habib Ahmad bin Abdurrahman As-Saqqaf.

• Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiri.

• Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab.

• Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki ( Mufti Al-Haramain Makkah )

• Habib Muhammad bin Hadi Assaqqaf dari Seiyun, Hadramaut.

Sebagai ulama tulen, beliau bertekad untuk berdakwah ke berbagai penjuru dunia. Pada tahun 1338 H / 1920 M, ketika usianya 27 tahun, Habib Syekh bin Salim berkunjung ke Indonesia, langsung menuju Tegal, Jawa tengah. Disana beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama, sesepuh dan pembesar setempat. Ketika itu di Indonesia sudah banyak tokoh Alawiyyin yang sudah bermukim.

Beberapa diantaranya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas ( Pekalongan ), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Bogor ), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar ( Bondowoso ), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assaqqaf ( Gresik ), Habib Alwi bin muhammad bin Thahir Al-Haddad ( Bogor ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ) dan Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid ( Tanggul, Jember ).

Kedatangan Habib syekh bin Salim Al-Athas menambah semarak perjuangan dan dakwah islam di Indonesia. Beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama tanah air, seperti Prof.Dr. Buya Hamka ( Jakarta ), KH.Hasyim Asy'ari ( Jombang ), KH.Ahmad Sanusi ( Sukabumi ) KH.Bisri Syamsuri ( Jombang ), KH.Ahmad Dahlan ( Jogja ), Prof. Syafi'i Abdul Karim ( Surabaya ), Prof. Hasbie Ash-Shiddiqy ( Jogjakarta ), Dr.Shaleh Su'aedi ( Jakarta ), Sayyid Abu Bakar bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Jakarta ), Sayyid Abdullah bin Salim Al-Aththas ( Jakarta ), Sayyid Alwi bin Abu Bakar bin Yahya ( Solo ), sayyid Idrus bin Umar Al-Masyhur ( Surabaya ), Sayyid Umar Asseqqaf ( Semarang ) dan Sayyid Ahmad bin Ghalib Abu Bakar ( Surabaya ).

Mencermati perjuangan kaum muslimin Indonesia saat itu tak bisa lain bagi Habib Syekh bin Salim kecuali ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Tak ayal, gerak-geriknya pun selalu diincar oleh kaum kafir kolonialis itu. Untuk menghindari intel Belanda, beliau menempuh taktik cukup jitu, yaitu berdakwah ambil berniaga. Maka mulailah beliau berjalan kaki keluar masuk kampung menyelusuri Tegal dan sekitarnya. Di kota Bahari inilah beliau menikah dengan seorang putri dari keluarga bangsawan Tegal, Raden Ali. Dan sejak itu di Tegal beliau sangat disegani oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dalam kapasitasnya sebagai ulama dan pemimpin masyarakat, Habib Syekh bin salim berusaha mendorong dan menggalang kebersamaan dan kerukunan di antara kaum muslimin dalam bingkai roh kemanusiaan. Beliau juga mengajarkan kitab-kitab klasik yang memuat pokok-pokok dan cabang pengetahuan agama, baik ubudiah ( peribadatan ) maupun muamalah ( kemasyarakatan ). Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu menjalin pergaulan dan persahabatan dengan para ulama dan sesepuh di pelbagai daerah.

Beliau bahkan sempat pula berpartisipasi dalam kancah politik meski dalam waktu yang singkat. Dalam setiap diskusi diskusi, beliau tidak pernah menangkis wacana kaum moderat yang mencuat di tengah masyarakat multi etnik dan kultur- tanpa argumentasi kuat. Beliau senantiasa mencetuskan pemikiran-pemikiran konstruktif, mengonsolidasi segala aspirasi dan perbedaan antar golongan dengan konsep jalan tengah penuh hikmat demi kemaslahatan bersama.

Acapkali beliau menjawab berbagai persoalan dengan kalimat bijak dan sederhana, selaras dengan firman Allah swt, seperti, "Serulah mereka ke jalan tuhanmu dengan hikmah dan anjuran baik". Juga pesan Rasulullah saw, seperti, "Gembirakanlah dan janganlah buat mereka lari. Permudahlah urusan mereka dan janganlah dipersulit".

Habib Syekh bin Salim dikenal piawai terutama dalam bidang Fiqih, Sastra dan Tarikh. Kitab-kitab yang diajarkannya, antara lain :

• Al-Umm ( Imam Syafi'i )

• Ar-Risalah ( Imam Syafi'i )

• Al-Muhadzab ( Syekh Abu Ishaq As-Syairazy )

• Tuhfatul Muhtaj dan Fathul Jawwad ( Syekh Ibnu Hajar Al-Haitamy )

• Nihayatul Muhtaj ( Imam Ramli )

• Fathul Wahhab ( Syekh Zakariya Al-Anshary )

• Fathul Mu'in ( Syekh Zainudin Al-Maibari )

• Tafsir Sirajul Munir ( Imam Khatib As-Syabainy )

• Tafsir Al-Jalalain ( Imam Mahali dan Imam Suyuthi )

• Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

• Ihya Ulumuddin ( Imam Ghazali )

• Al-Hikam ( Syekh Ibnu 'Atha'aillah )

• Ar-Risalah ( Syekh AlQusyairy )

• Al-Alfiyyah ( Syekh Ibnu Malik )

• Jauhar Maknun ( Syekh Abdurrahman Al-Ahdhary )

• 'Uqudul Juman ( Syekh Jalaludin As-Suyuthy )

Gaya Habib Syekh bin Salim berdakwah cukup unik. Beliau selalu memberi hadiah para santri yang hadir pada hari selasa hinggan sabtu berupa uang jalan. Mereka juga mendapat hadiah beberapa kitab. Belum lagi jamuan makan dan minum. Selesai shalat Asar, terutama di bulan Ramadhan, beliau selalu menggelar majlis Rauhah dengan menelaah dan mengkaji ulang pelbagai kitab karangan salafus shalih. Tak mengherankan jika para santrinya sangat banyak. Tidak sedikit anak didiknya yang dibelakang hari menjadi tokoh masyarakat atau mubaligh, terutama di Jawa barat.

Ulama-ulama yang pernah menjadi santrinya, antara lain :

• K.H. Abdullah bin Husein ( Pabuaran, guru para Kiai di Sukabumi )

• K.H. Ajengan Juragan Nuh ( Ulama tertua di Cianjur )

• K.H. Ajengan Abdullah bin Nuh, putra K.H. Juragan Nuh ( pendiri pondok pesantre Al-Ihya, Bogor )

• K.H. Ajengan Muhammad Syuza'i ( Ciharashas, Cianjur )

• K.H. Ajengan Idris Zainudin ( Cipetir, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Munawar ( Cilaku, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Muhammad Masthuro ( Tipar, Sukabumi ) pendiri Pondok Pesantren
Al-Masturiyah, yang dimakamkan disamping makam Habib Syekh bin Salim Al-Aththas.

• K.H. Ajengan Abdullah Sanusi ( Sukamantri, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Abdullah Mahfudz ( Babakan Tipar, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Shalahuddin ( Pasir ayam, Cianjur )

• K.H. Ajengan Ahmad Nadziri ( Cijurai, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Zubaidi ( Dangdeur, Cijurai )

• K.H. Ajengan Ahmad Zarkasyi Sanusi ( Gunung Puyuh, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Badri Sanusi ( Gunung Puyuh, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Syafi'i ( Nyalindung, Sukalarang, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Ilyas dan para putranya ( Bogor )

• K.H. Ustadz Sholeh ( Ranca, Bali, Cianjur )

• K.H. Ajengan Endang Muhyiddin ( Jambu Dwipa, Cianjur )

• K.H. Ajengan Muhammad Suja'i ( Pakuan, Parung kuda, Sukabumi )

• K.H. Ajengan Aang Syadzili ( cibereum, Sukabumi ).

Habib Syekh bin salim Al-Aththas memang sempat tinggal di Sukabumi. Beliau bahkan dikenal sebagai Mujahid ( Pejuang ) kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak 1942, bersama K.H. Ahmad Sanusi ( Sukabumi ) dan para tokoh pejuang lainnya, beliau berjuang melawaqn kolonialis Belanda. Keberadaan beliau di Sukabumi sempat membuat tatanan masyarakat di kota itu jadi lain. Beliau menjadi sandaran bagi umat yang tengah menghadapi berbagai problem hidup. Beliau juga sempat duduk sebagai Rais Mustasyar ( Ketua dewan Pertimbangan ), disamping membantu pembangunan dan kemajuan beberapa Pondok Pesantren di berbagai daerah Sukabumi.sebagai panutan masyarakat, Habib Syekh bin Salim memiliki Ahlak yang luhur dan dermawan, terutama terhadap masyarakat lemah dan miskin. Beliau juga sangat menghormati dan memuliakan ulama dan orang-orang saleh, hingga rumah beliau menjadi ma'wa ( tempat tujuan ) dan persinggahan para tamu dari berbagai lapisan, dari dalam dan luar negeri, khususnya dari Timur tengah, lebih khusus lagi dari Yaman.

Habib Syekh bin Salim Al-Aththas wafat pada hari sabtu, 25 Rajab 1398 H / 1 Juli 1978 M, dalam usia 86 tahun, dikebumikan di Masjid Jami' Tipar, Sukabumi. Tokoh dan Ulama yang melakukan Takziah ( melayat ). Antara lain : Habib Abdullah bin Husein Asy-Syami Al-Aththas dan Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syatiry-yang bertindak sebagai Imam dalam shalat jenazah.

AL HABIB SYEKH BIN AHMAD BAFAQIH ( BOTO PUTIH SURABAYA )


Habib Syekh dilahirkan di kota Syihr pada tahun 1212 H anak dari Habib Ahmad Bafaqih dan silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad Rasululloh SAW

Dakwah

Setelah beberapa lama memperdalam pengetahuannya disana-sini, pada tahun 1250 H, Habib Syekh mulai berani mengambil langkah dakwah menyebarkan ilmunya. Ia sempat menjelajahi beberapa kota di Nusantara, sebelum akhirnya memutuskan berlabuh dikota Surabaya.

Di Surabaya inilah, mulai memancarkan cahaya pengetahuannya. Ia mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para penuntut ilmu sekitar. Mulai dari Fiqih, Tauhid, Tasawuf dan lainnya. Hingga akhirnya, ditengah hingar bingar dakwahnya itu, ia diangkat oleh Allah SWT menjadi salah satu walinya. Semenjak itu pula, ia sering terhanyut alam Rabbaniyah, dan karamah-karamah ynag luar biasa senantiasa mengisi kesehariannya.

Sebagaimana seorang sufi, Habib Syekh Bafaqih memiliki kepekaan yang tinggi akan syair-syair sufistik. Ia begitu mudah terbawa terbang oleh syair-syair gubahan para tokoh sufi. Apalagi bila menyenandungkan syair itu adalah adiknya sendiri, Sayid Muhammad Bafaqih yang bersuara emas, bisa-bisa ia mabuk kepayang semalaman.

Dakwah Habib Syekh ditanah jawa amatlah sukses. Ia berhasil mengislamkan banyak orang. Selain itu, ia juga berhasil mencetak beberapa ulama. Walhasil, ilmunya benar-benar menyinari belantara jawa yang masih awan kala itu.

Karomah dan Keutamaan

Pada suatu ketika tibalah Habib Syekh di kediaman salah satu pecintanya. Ini bukan kunjungan biasa, akan tetapi kunjungan sarat hikmah. Pasalnya, begitu ketemu shahibul bait, Sang Wali menggelontorkan permintaan yang agak ganjil.”Aku menginginkan dua lembar permadani ini.” titahnya.
Sang pecinta terkesiap. Bagaimana tidak, yang diminta junjungannya itu adalah permadani buatan Eropa yang super mahal. Barang itu baru saja dibelinya. Ia amat menyayangi permadani itu hingga ditempatkannya di tempat khusus.
“Bagini saja. Anda boleh minta apa saja, asal jangan permadani ini.” Pinta si pecinta. “Tidak. Aku tidak menginginkan lainnya.” Sang Wali bergeming. Negosiasi alot. Dan akhirnya hati pecinta setengah mencair. ”Baiklah, kalau begitu Anda boleh mengambil satu lembar saja.”
Setelah mendapatkan permintaannya itu, Sang Wali segera beranjak. Sang pecinta adalah seorang saudagar kaya raya. Sewaktu disambangi Sang Wali, Dua armada kapal dagangannya tengah berlayar di lautan dengan membawa muatan yang banyak. Sayang nahas mendera, dua armadanya itu koyak akibat terjangan gelombang. Salah satunya terhempas lalu tenggelam. Sementara satunya lagi selamat dan berhasil mendarat.
Hati saudagar sedikit lega. Syukur, tidak kedua-duanya tenggelam. Ia memeriksa kapalnya yang selamat itu dengan seksama. Dan, terpampanglah pemandangan ajaib dihadapannya. Ya, selembar permadani yang dihadiahkan kepada Sang Wali telah menambal rapat-rapat bagian yang koyak pada perahunya. Ia terpekur, menyesali perlakuannya pada Sang Wali. “Mengapa tidak kuberikan kedua-duanya saja waktu itu.” gerutu hatinya.

Kisah masyhur diatas dihikayatkan oleh Habib Abdul Bari bin Syekh Al-Aydrus,dan dicantumkan dalam manuskrip Tajul A’ras, torehan pena Habib Ali bin Husein Al-Attas.

Suatu malam, Habib Abdullah Al-Haddad, seoarang wali yang dulu dikenal royal menjamu tamu, menyuruh seorang sayid bernama Abdullah bin Umar Al-Hinduan berziarah kepusara Habib Syekh Bafaqih. “Hai Abdullah, pergilah kamu kepusara Habib Syekh sekarang, dan katakan pada beliau,” Abdullah Al-Haddad saat ini butuh uang dua ribu rupiah. Tolong, Berilah ia uang besok !” perintahnya.

Sayid Abdullah segera berangkat. Sesampainya dipusara Habib Syekh, ia membaca ayat-ayat suci dan doa-doa. Kemudian ia membisikkan ke makam kalimat yang dipesankan Habib Abdullah.

Selang dua hari kemudian, Sayid Abdullah berjumpa lagi dengan Habib Abdullah. Wali yang sangat dermawan itu nampak berbunga-bunga. ”Lihat uang ini. Aku terima dari Habib Syekh .” Selorohnya sembari menunjukkan segepok uang pada Abdullah Al Haddad Maklum, dua ribu rupiah uang dulu, sama nilainya dengan dua belas juta ripiah uang sekarang.

Sang Wali yang berkaromah luar biasa itu, tidak lain tidak bukan, adalah Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, ulama besar yang pusarannya ada didaerah Boto Putih, Surabaya. Dekat masjid Sunan Ampel. Karena itu, masyarakat lebih mengenal beliau sebagai Habib Syekh Boto Putih.

Di masanya, keulamaaan Habib Syekh sulit tertandingi. Pengetahuannya dalam Fiqih, Lughah, Tauhid dan lainnya sangat dalam. Sehingga sewaktu tinggal di Surabaya, beliau menjadi oase yang mengobati dahaga orang-orang yang haus ilmu di ranah Jawa.

Pencapaian luar biasa itu tidaklah didapatkan Habib Syekh dengan mudah dan gampang. Sebab ilmu takkan pernah ditumpahkan dari langit begitu saja. Sejak usia belia, beliau sudah bekerja keras menggali ilmu. Mula-mula ia mempelajari Al-Qur’an dan beberapa bidang pengetahuan syari’at dan tasawuf kepada ayahandanya sendiri, Habib Ahmad bin Abdullah Bafaqih. Kebetulan, Sang Ayah sendiri adalah ulama yang sudah kesohor ketinggian ilmunya.

Ia kemudian mengembangkan diri dengan belajar pada ulama-ulama yang ada di kotanya, Syihr. Pada fase ini, jiwa ilmuannya sedang mekar-mekarnya. Semakin lama hatinya semakin merasakan kehausan tak terkira untuk meneguk pengetahuan sehingga beliau dengan seizin ayahnya memutuskan berangkat ke Haramain unntuk menyelami telaga pengetahuan disana.

Selama di Mekah dan Madinah, beliau belajar kepada beberapa ulama besar, diantaranya adalah Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdul Rasul At-‘Attar, Syaikh Muhammad Sholeh Ar-Rais Al-Zamzami, dan Al-Allamah Sayid Ahmad bin Alawi Jamalullail. Tak hanya sampai di situ. Ia pun menyempatkan diri tinggal di Mesir beberapa lama, untuk menimba pengetahuan dari guru-guru besar Universitas al-Azhar kala itu.

Wafatnya Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih

Beliau wafat pada tahun 1289 H di Surabaya. Diatas pusarannya dibangun kubah yang megah, sebagai perlambang kemegahan derajatnya. Sampai kini makamnya tak henti-hentinya diziarahi kaum muslimin, untuk bertawasul dengan mengharapkan barokah. Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

Al Habib Salim bin Ahmad Al 'Aydrus-Lautan Hikmah Sang Arif Yang Merakyat

Al 'Allamah Al Wari' Al Habib Salim bin Ahmad Al 'Aydrus lahir di kota Malang Jawa Timur dari pasangan Habib Salim bin Ahmad dengan Hababah Fathimah. Tak heran jika kelak Hb.Alwi menjadi ulama' besar yang syarat dengan kharisma. Disamping berkah kewara'-an kedua orang tuanya, beliau sendiri, juga karena memang ibunda beliau pernah mendapat bisyaroh (kabar gembira) di kala mengandungnya.

Sejak kecil Hb. Alwi telah menunjukan kecintaan dan kepeduliannya terhadap ilmu. Menuntut ilmu beliau geluti tanpa mengenal lelah. "Tiada Hari Tanpa Belajar", demikianlah mungkin motto beliau semasa muda. Kapan dan di manapun beliau senantiasa belajar. Begitu urgen ilmu di mata Hb. Alwi, hingga akhir hayatpun beliau senantiasa setia merangkulnya.

Habib Alwi lebih banyak belajar kepada Al 'Allamah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Seorang ulama terkemuka yang mendapatkan sanjungan dari salah seorang maha gurunya Al Habib Alwi bin Abdulloh bin Syihab, _"Wabilfagiihi fil fighi kal adzro'i, wa fittashowwufi wal adabi muttasi'i". Marga bilfagih (Hb. Abdul Qodir) dalam bidang fiqih bagai Imam Adzro'i, Dan dalam ilmu tasawuf serta kesusastraan bak lautan yang tak bertepi.

Habib Alwi adalah figur yang akrab dengan akhlaqul karimah. Apabila bertemu dengan muslim, beliau senantiasa menebar salam lebih dahulu. Dengan siapapun beliau selalu berkomunikasi dengan tutur kata yang halus dan sopan, bahkan sering kali tutur katanya membuat hati yang mendengarkan menjadi tenang. Sikap yang lemah lembut dan rendah hati senantiasa menghiasi hari-harinya. Tidak berlebihan jika beliau disebut sebagai Bapak anak yatim, kasih sayang dan kepedulian kepada mereka sangat kental dengan pribadi Hb. Alwi.

Keluhuran akhlaq dan keluasan ilmunya mampu melunakkan hati semua orang, kafir sekalipun. Suatu saat ada seorang non-muslim keturunan Tionghoa bertandang di kediaman beliau guna mendiskusikan ajaran agama islam. Dengan ramah dan senang hati Hb. Alwi menemuinya dan mengajaknya berkomunikasi dengan tutur kata dan akhlaq yang luhur. Mendengarkan penjelasan dan petuah-petuahnya orang tersebut tercengang dan terkesima. Seketika ia memantapkan hati menyatakan diri memeluk agama islam.

Dalam urusan mengajar dan berdakwah Hb. Alwi senantiasa berada di barisan terdepan. Sakit, hujan ataupun sedikitnya yang hadir dalam majlis beliau, semuanya tak mengurangi sedikitpun semangat bahkan keikhlasannya dalam mengajar dan berdakwah. Suatu ketika Habib 'Alwi mengajar di desa Gondanglegi Malang. Dalam perjalanan menuju desa tersebut hujan turun sangat lebat. Melihat kondisi demikian, salah seorang murid beliau yang menyertainya ketika itu mengusulkan agar majlis tersebut ditunda. Namun tidak demikian dengan Habib Alwi, karena beban dan tanggung jawab sebagai pengemban risalah nabawiyah, beliau tetap konsisten. Ironisnya, ketika sampai di tempat, ternyata yang hadir saat itu hanya segelintir manusia. Meskipun demikian Hb. Alwi tak patah semangat.

Bagi Hb. Alwi, apalah artinya semangat jika tanpa disertai keikhlasan. Pernah Habib Alwi diundang ceramah di wilayah Sukorejo. Beliau berangkat tidak dijemput dengan mobil mewah layaknya para muballigh lainnya. Tapi beliau hanya dijemput oleh salah seorang utusan panitia. Nanum, dengan landasan ikhlas yang tinggi dan ditopang semangat juang yang gigih, beliau berangkat ke Sukorejo hanya dengan mengendarai oplet, demi misi syiar islam.

Kesederhanaan memang tersirat dalam diri Habib Alwi. Memang untuk urusan mengajar beliau bukan tipe ulama yang perhitungan. Di mana dan kapanpun selagi tidak ada udzur syar'i. Siapapun orangnya yang meminta sampai harus naik apa, beliau bersedia hadir. Tidak jarang beliau diundang oleh orang miskin, di pelosok desa yang penuh rintangan, naik dokar sekalipun Habib Alwi menyanggupinya.
Hampir setiap sore terutama hari kamis Hb. Alwi memberikan pengajian di masjid Jami' Malang. Takmir masjid tidak menyediakan mobil jemputan untuk Hb. Alwi. Untuk itu beliau rela pulang pergi dari rumah ke masjid dengan naik becak.

Da'wah Hb.Alwi melegenda ke segenap lapisan masyarakat. Mereka mengenal sosok Hb. Alwi sebagai ulama' yang memiliki kepribadian yang santun dan bersahaja. Maka tak heran jika beliau memiliki pengaruh kuat yang membuahkan hasil perubahan dan peningkatan. Keberaniannya dalam menyatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil mampu menembus dinding baja ruang kerja para pejabat pemerintah. Ketika ada di antara mereka yang bertindak semau gue tanpa mengindahkan syariat agama islam, beliau tidak segan-segan menegurnya.

Demi misi dakwah, Habib Alwi sanggup merelakan segalanya. Dalam hidupnya beliau tidak ingin merepotkan siapapun. Lebih-lebih ketika berdakwah di pedesaan, beliau membawa makanan sendiri dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Hampir setiap hari, dalam pengajian yang beliau gelar di kediamannya, Hb. Alwi menjamu para santrinya. Belum lagi ketika beliau mengadakan pengajian secara mendadak, maka beliau tidak segan-segan untuk merogoh koceknya sendiri demi langgengnya dakwah islamiyah. Begitu ramah dan supelnya Hb. Alwi, sehingga tukang becak atau pengemis sekalipun tidak merasa sungkan bertamu kepada beliau. Lebih heran lagi, Hb. Alwi tidak pernah membeda-bedakan tamunya, ini pejabat, ini tukang becak dan sebagainya. Beliau menghormati semua tamunya dengan pelayanan yang proporsional. Sebagai tuan rumah beliau tidak segan-segan mengeluarkan sendiri hidangan untuk tamunya.

Suatu ketika ada seorang pengemis bertamu kepada Hb. Alwi. Kala itu beliau sedang istirahat siang sementara beberapa santrinya berjaga-jaga di serambi rumah beliau. Rupanya sang pengemis tersebut bersikeras ingin bertemu sang Habib sekalipun para santri tidak mengizinkannya. Namun akhirnya pun sang pengemis angkat kaki dari rumah Hb. Alwi membawa kekecewaan yang mendalam. Rupanya Hb.Alwi mengetahuinya. "Tadi ada tamu pengemis ya?", tanya Hb.Alwi kepada santrinya. "Iya Bib, tapi habib sedang istirahat", jawab salah seorang santrinya. "Kenapa tidak membangunkan saya? Iya kalau yang datang tadi pengemis betulan, kalau ternyata Nabiyulloh Khidir as?", tegas Hb. Alwi.

Maka berkat akhlaqul karimah, sabar, ikhlas istiqomah serta berbagai mujahadah yang beliau telateni salama ini, semasa hidup Hb. Alwi sudah menerima bisyaroh dari Al Imam Syafi'i ra berupa dua jaminan dari beliau. Yang pertama di dunia dan yang kedua untuk yang kedua (akherat). Bahkan semasa hidupnya pula Hb. Alwi pernah bertemu dengan datuknya Rosululloh SAW secara yaqodzoh (terjaga/bangun) sebanyak 35 kali.

Habib Alwi meninggal pada tahun 1995 M dan dimakamkan di pemakaman Kasin Malang di sebelah utara kubah maha gurunya Al 'Arif billah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih.

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH ( BALI )


Siapa yang sangka ternyata Bali yang di juluki Pulau Dewata ternyata menyimpan khasanah dakwa Islam. Kalau di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan Wali Songo (sembian Wali) yang merupakn penyebar Islam Di Nusantara, di Bali disebut Wali Pitu (Tujuh Wali) siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus di Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di Buleleng, dan Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.

Disi kami tidak akan membahas semuanya tapi hanya Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana sekilas tentang kehidupan Beliau dan Makamnya yang sering di kunjungi turis/peziarah dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung, hingga peziarah yang datang dari Negeri Jiran seperti Trengganu Malaysia.

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH

KH. Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.

Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kikih bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.

Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” .

Biografi Syaikh Ihsan Jampes (1901 – 1952)

Syaikh Ihsan lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.



Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.

Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes
Ny. Isti’anah + KH. Saleh

(Mbah saya (muallif) dari bapak Qo'idul 'Awam yaitu Mbah Hamzah adalah salah seorang santrinya waktu beliau masih hidup)
Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
Pondok Pesantren Jamseran Solo,
Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
Pondok Pesantren Punduh Magelang
Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.

Mengasuh Pesantren dan Masyarakat

Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000 santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai seorang kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang meminta bantuannya.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan

Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH. Busyairi di Sampang Madura; (5) K. Hambili di Plumbon Cirebon; (6) K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hokum merokok dan minum kopi.
(Dihimpun dari berbagai sumber, terutama dari buku “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri” karya KH. Busyro A. Mughni [t.p., t.t.] dan buku “Jejak Sepiritual Kiai Jampes” karya Murtadho Hadi [Pustaka Pesantren, 2007]) [dje

Kenapa Kawin Lagi ?

Kiyai Fattah itu sosok yang alim, enerjik, disiplin, dan sangat perhatian pada santri. Demikian menurut penuturan Gus Dur, kiyai Masruri Mughni (Brebes), kiyai Djamaluddin Ahmad (Jombang), kiyai Yusuf Mashar (Lamongan), kiyai Nur Cholis Baqir (Probolinggo), dan beberapa santrinya yang lain.

Setiap jam 3 malam, beliau keliling kamar-kamar untuk membangunkan para santri. Satu persatu. Dengan berpakaian dinas (sarung baju, surban, dan menyelempangkan sajadah) dikeilinginya semua gotha’an. Tangan kirinya memegang gayung yang berisi air. Sampai gotha’an terakhir, sang kiyai balik lagi. Satu dua santri ada yang mbalelo, tak kunjung bangun. Kadang juga jengkel atas ulah santri-santri mbalelo ini. Segera diambilnya air wudlu -untuk mengatasi amarahnya- kemudian melanjutkan “peran ibu” terhadap anak didiknya.

Waktu shubuh, beliau berjama’ah dengan para santrinya. Dilanjutkan dengan pengajian. Disusul kemudian pada jam 07.00 pagi, kegiatan rutin mengajar di Madrasah Mua’llimin-Mu’allimat. Sebelum jam pelajaran dimulai, beliau sudah datang di Madrasah untuk mengontrol sarana madrasah, sekaligus mengabsen kedatangan para guru. Jangan sampai ada yang terlambat.

Diluar itu beliau terjun ke desa-desa. Memberi pengajian rutin seminggu sekali. Jadwalnya juga cukup padat. Setiap hari ada jam untuk membina masyarakat di pedesaan. Walau hari hujan, beliau tidak pernah absen. Pendek kata, semua waktu dan tenaganya dicurahkan untuk umat.

“ini memang menjadi ciri khas kiyai,” kata Drs. Saifullah Yusuf. “Saking perhatiannya terhadap santri dan umat, sampai lupa anak istri, sehingga kiyai kawin lagi,” sambungnya disambut gerrrrr para hadirin. “Tapi kiyai Fattah bukan termasuk tipe yang ini !” buru-buru ia menambahkan.

Shortcut Menuju Baitullah


‘Selamat menunaikan ibadah haji,’ kami ucapkan kepada khalayak ramai pada umumnya, teman-teman dunia maya dan nyata pada khususnya . Lebih khusus lagi, teman-teman dunia nyata yang telah mengundang saya selametan. Selamat jalan. Semoga: Budal selamet, mulih selamet; mendapat haji mabrur. Amiin.

Bagi yang sudah mampu dan belum mendaftar,cepatlah mendaftar. Biar tidak berdosa terus-menerus.Rakyat Jawa Timur yang mendaftar saat tulisan ini diposting, jatah porsinya ada di tahun 2021. Selamat menunggu. Yang penting sudah ada niat untuk berangkat, juga sudah ada harakahmendaftar. Bila belum sampai saatnya berangkat, tetapi Gusti Allah berkehendak memanggil anda, maka kewajiban Rukun Islam ke-lima sudah tidak menjadi beban.

Juga tetaplah selalu berdo’a, mudah-mudahan Allah mentaqdirkan anda sebagai hamba yang bisa berangkat haji. Jangan terlalu mengandalkan uang anda. Allah Yang-Mahakuasa;bukan Uang yang Maha-Kuasa.

Bagi yang belum mampu, sabarlah. Masih banyak Jalan. Bukankah Allah Maha-Pemberi, Maha-Sayang, Maha-Belas-kasihan, dan Maha-Segalanya?

Mungkin, sayalah orang yang termasuk golongan Anda. Tapi Allah berkehendak saya sebagai orang yang bisa haji berkali-kali.Mungkin Berkat doa kakek-kakek saya, ayah ibu saya di tempat mustajabah. Atau mungkin karena amalan yang diijazahkan oleh Pakde Cholil Bisri. Ditengah ngaji Tafsir Jalalain , beliau mengeluarkan ijazah: “Ayat ini kalian baca tiga kali pada saat I’tidal terakhir,insya Allah kalian akan segera mendapat panggilan Nabi Ibrahim. Ini ijazah dari guru saya. Dulu saya juga mengamalkan ayat ini. Selang beberapa tahun kemudian, saya diberi kesempatan mukim di Makkah.”

Alhamdulillah, sampai saat ini saya sudah haji lima kali. Dan semuanya gratis, tis. Tapi, maqom saya bukan maqom panutan, jangan terlalu percaya bualan saya.

Yang benar-benar bermujahadah agar bisa diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah haji adalah Kiyai Fattah bin Hasyim Idris.

“Saya mau mendaftar haji dengan Qur’an,” kata kiyai Fattah kepada Masruri Mughni, santrinya. “Kepingin haji tapi tidak cukup uang, je.”

Maksud hati kepingin haji, tapi tak kunjung tergapai. Saking ghirahnya beliau nggethu agar disyafa’ati Al Qur’an. Di tengah kesibukan mengajar, berdakwah, berdagang, dan ngurusi NU, waktu luangnya digunakan untuk khataman Al Qur’an. Kemanapun perginya, di saku bajunya pasti terdapat Al Qur’an. So pasti, beliau adalah orang yang dawaamut-thuhr (selalu suci dari hadats).

Pada khataman ke-400, ada tawaran naik haji untuk satu orang. “Wegah, aku kepingin kaji karo bojoku,” (Ogah, saya ingin haji bersama istriku,) katanya. Khataman terus dikebut. Sampai pada khataman ke-475, tiba-tiba datang tawaran dari Bung Karno (tahun 1964); untuk pergi haji nganyari haji naik pesawat terbang. Mujahadah belum berhenti. Pas menjelang keberangkatan, khataman telah sampai pada bilangan ke-625.

Jangan-jangan kalau berhenti pada khataman ke-475, hanya haji saja. Tapi berhubung sampai 625 kali, maka beliau tidak hanya berhaji.Tapi juga diajak mampir ke Mesir, Iraq, Syria, dan Lebanon.

Memang, Al Qur’an kelak bisa mensyafa’ati kepada pembacanya.

Dari Abu Umamah r.a: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,

Bacalah Al Qur’an! Karena, pada hari kiamat nanti Al Qur’an menjadi syafa’at bagi pembacanya.

(HR. Muslim)

Kiyai Fattah yakin, syafa’at itu muta’addi. Tidak hanya pada hari kiamat saja, tapi maju ke depan, mengantar pembacanya untuk memperoleh tiket surga. Karena, Haji yang mabrur tiada lain balasannya kecuali surga.

Kiranya tidak pantas apabila relung ketaqwaan ini dituding sebagai biang kemusyrikan.

Wallahu a’lam bis-shawab.

Sumber:http://teronggosong.com/2011/09/30/shortcut-menuju-baitullah/

Habib Sholeh bin Umar Bin Jindan: Menggagas Khatmul Bukhari di Banyuwangi


Sejak kecil putra pasangan Habib Umar bin Sholeh Bin Jindan dan Syarifah Shafiyah binti Abdurrahman Al-Munawar ini selalu mendapat perhatian yang mendalam dari orangtuanya, terutama dalam hal pendidikan agamanya. Selain mengikuti pendidikan formal sekolah dasar, ia, yang kelahiran Surabaya, 19 Januari 1977, dimasukkan sang ayah pada sebuah madrasah asuhan Ustadz Abdullah Bahmen di Ampel Menara, Surabaya.

Lepas dari sekolah dasar, karena kondisi ekonomi orangtuanya, Habib Sholeh tak sempat mengenyam pendidikan formal tingkat SLTP. “Ayah saya seorang pedagang. Penghasilan yang didapat tergolong minim, hingga ia tak mampu membiayai sekolah saya. Tapi saya melihat, beliau adalah seorang yang memiliki himmah yang luar biasa besar dalam mencetak diri saya agar besar dalam lingkungan ilmu,” kenangnya ihwal sosok sang ayah.

Maka, ayahnya pun menawarinya masuk Pesantren Al-Khairat, yang saat itu tengah dirintis pendiriannya oleh Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq Bekasi. Kebetulan, secara pribadi ayahnya memang memiliki kedekatan hubungan dengan Habib Ahmad.

Setelah dibujuk, ia, bersama saudaranya yang bernama Hasan, diantar ayahnya ke Bekasi.

Sesampainya di Jakarta, Habib Sholeh kecil diajak ayahnya berziarah ke Luar Batang. Lewat doa-doa yang dipanjatkan, untuk kesekian kalinya tampak sekali harapan ayahnya pada dirinya saat itu begitu besar. Ia mendengar sendiri saat di hadapan makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, Luar Batang, ayahnya memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT dengan penuh kesungguhan agar dirinya dapat betah tinggal di pesantren, dan kemudian berseru, “Ya Habib Husein, aku titipkan kedua anakku ini kepada antum, karena antum adalah ahlul wilayah (pemuka para wali) Jakarta. Aku berharap, kedua anakku ini dapat betah dan kelak menjadi anak yang bermanfaat di dunia dan akhirat.”

Setelah membaca Ya-Sin dan tahlil bersama, sang ayah kembali mengulang ucapannya di atas, persis seperti ia mengucapkannya semula.

Hasil Berdagang
Pesantren Al-Khairat saat itu masih baru dibuka. Habib Sholeh tergolong santri generasi pertama di Al-Khairat. Waktu ia sampai di sana, tahun 1989, belum ada santri lain yang mondok.

Selama di sana, ia mendapat perhatian penuh dari Habib Ahmad. Selain belajar di siang harinya, setiap malam ia dibangunkan Habib Ahmad untuk shalat Tahajjud bersama. Di samping kepada Habib Ahmad, ia juga belajar bahasa Arab kepada putra Habib Ahmad, yaitu Ustadz Muhammad.

Kira-kira setahun setelah kedatangannya itu, Habib Nagib pun mulai mengajar di pesantren tersebut. Ia tak melewatkan kesempatan itu untuk turut mengaji kepada alumnus Abuya Al-Maliki yang kini menjadi pengasuh di pesantren Al-Khairat tersebut.

Di Al-Khairat ia tak lama, hanya sekitar setahun lebih. Karena sering sakit-sakitan, tahun 90 ia kembali pulang ke Surabaya.

Di Surabaya, kembali ia melanjutkan mengaji kepada Ustadz Abdullah Bahmen, khususnya dalam memperdalam ilmu alat bahasa Arab.

Setahun di Surabaya, tepatnya tahun 1991, ia kembali masuk pesantren. Kali itu ia memasuki Pesantren Sunniyah Salafiyah, asuhan Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf, yang ia jalani sampai tahun 1994.

Selepas dari pesantren, mengikuti jejak ayahnya, ia mulai belajar berdagang. Tapi, usaha dagangnya itu ia jalani tanpa sepengetahuan sang ayah.

Allah SWT menakdirkan nasib baik melekat dalam perjalanan hidupnya. Dari hasil perdagangannya itu, sampai tahun 1995, ia berhasil mengumpulkan uang sampai dua juta rupiah.

Saat itu ia memiliki keinginan kuat untuk berangkat menimba ilmu di Hadhramaut. Sayangnya, yang ia dengar, untuk berangkat ke sana harus tersedia uang minimal tiga juta rupiah.

Adab dan Akhlaq
Habib Sholeh kemudian berinisiatif pergi ke Jakarta, untuk menemui Habib Abdurrahman bin Syech Al-Attas, tokoh habaib sepuh saat ini yang dikenal sebagai salah satu pintu masuk bagi para pelajar Indonesia bila hendak berangkat ke Hadhramaut. Kepada Habib Abdurrahman, ia mengutarakan maksud hatinya sekaligus kondisi keuangannya.

Kebetulan pada saat itu Habib Abdurrahman tengah kedatangan tamu istimewa, yaitu Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, pengasuh Rubath Tarim. Kepadanya, Habib Abdurrahman mengatakan, “Ya sudah, itu ada Habib Hasan, ente langsung bicara saja kepada Habib Hasan bagaimana baiknya.”

Setelah bertemu Habib Hasan, ia kembali mengutarakan niatnya itu.

Gayung bersambut, Habib Hasan mengatakan, “Baik, kamu saya terima untuk belajar di sana. Yang penting niatmu. Dengan niat yang baik sewaktu berangkat, insya Allah sewaktu pulangnya nanti mendapat manfaat yang besar. Kamu belajar dua tahun di sana sama dengan belajar di sini selama empat tahun.”

Saat itu Habib Hasan juga mengingatkan kepadanya perihal pentingnya ia menjaga adab dan akhlaq selama berada di Hadhramaut kelak, agar menjadi bekal bagi perjalanan hidup selanjutnya.

Habib Hasan mengisahkan, di masa ayahnya dulu, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, ada seorang santri yang, ketika ingin keluar shalat Subuh berjama’ah di Masjid Ba’alawi, di tengah jalan bertemu seekor anjing. Rupanya ia terkejut dan merasa takut. Karena rasa takutnya itu ia mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke anjing tersebut. Akibatnya, mata anjing itu terluka.

Ternyata, berita itu sampai ke telinga Habib Abdullah. Si santri pun dipanggil. Meski “hanya” karena tindakan kepada seekor anjing, Habib Abdullah menegur santri tersebut, “Engkau telah melakukan tindakan tak beradab….”

Dikisahkan, di kemudian hari di masa-masa akhir kehidupan santri itu, ia pernah dilempar batu oleh seseorang sampai melukai matanya, persis sebagaimana yang pernah ia lakukan dulu kepada anjing itu.

Senang dan Sedih
Hati Habib Sholeh begitu senang setelah diterima Habib Hasan. Ia pun segera bergegas pulang ke Surabaya untuk menemui ayahnya.

Ayahnya kaget bukan kepalang mendengar anaknya itu mau berangkat ke Hadhramaut. “Kamu dapat biaya dari mana, yang mau ngasih makan siapa? Terus terang, Abah tidak mampu.”

Habib Sholeh pun meyakinkan kepada ayahnya bahwa, bila seseorang punya niat yang baik, Allah pasti akan membantunya. “Sholeh percaya sama Allah, Bah,” ujarnya, dan kemudian menceritakan bahwa selama itu ia telah mengumpulkan uang dengan berdagang.

Saat itu kondisi orangtuanya memang benar-benar dalam keterbatasan. Jangankan untuk berangkat ke Hadhramaut, untuk berangkat ke Jakarta saja mereka tak punya ongkos yang cukup. Sementara itu ibunya pun hanya bisa menangis menyaksikan keadaannya saat itu.

Karena begitu terbatasnya dana yang ia miliki, untuk keberangkatannya ke Hadhramaut itu ia hanya membawa lima baju, sama dengan kebiasaannya kalau ia berangkat dari Surabaya ke Jakarta. Karena memang hanya sejumlah itulah baju miliknya yang layak ia bawa.

Dalam keadaan sakit batuk-batuk, ayahnya pun memaksakan diri untuk mengantarnya ke Jakarta.

Di Jakarta, sebelum keberangkatannya, ia sempat mengunjungi beberapa kerabatnya yang ada di Jakarta. Alhamdulillah, dari mereka ia mendapatkan sejumlah pemberian, yang terkumpul sampai 300 dolar, sebagai bekal dari mereka untuknya kelak selama di Hadhramaut.

Saat itu ia melihat, orangtuanya merasa senang, tapi sekaligus keberatan. Senang, karena anak mereka bisa menimba ilmu di negara leluhur. Tapi, tampak sekali hati mereka merasa berat untuk berpisah dan melepas kepergiannya itu.

“Jangan Pulang Dulu”
Awal tahun 1996, Habib Sholeh pun berangkat ke Hadhramaut dan menimba ilmu di Rubath Tarim.

Di bawah asuhan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, ia mempelajari berbagai cabang ilmu agama, baik kepada Habib Salim langsung maupun kepada kakak Habib Salim, yaitu Habib Hasan, juga kepada para guru lainnya di sana.

Selama di sana, hatinya merasa amat terkesan, terutama dengan teladan yang diberikan oleh guru-gurunya itu, serta perhatian yang mereka berikan kepadanya dan kepada segenap santri lainnya.

Pernah suatu saat ia sakit hingga sampai muntah darah. Saat itu Habib Salim sedang berada di Madinah. Mendengar berita tentang dirinya yang tengah sakit, Habib Salim segera menghubungi putranya, Habib Idrus bin Salim, agar segera membawanya ke rumah sakit.

Tak cukup sampai di situ, di rumah sakit ia pun benar-benar merasakan perhatian penuh diberikan kepadanya, terutama masalah makanannya. Masalah biaya, juga ditanggung oleh mereka. “Perhatian mereka sungguh amat mendalam, seperti perhatian orangtua kepada anaknya,” kata Habib Sholeh.

Kekagumannya juga sangat besar kepada Habib Hasan, sosok yang amat berkharisma dan memiliki wibawa besar di tengah penduduk Hadhramaut, yang selalu memanggil setiap muridnya dengan panggilan “Ya waladi” (wahai anakku).

Namun, baru beberapa bulan tinggal di negeri leluhurnya itu, Habib Sholeh mendapat kabar duka dari kampung halamannya. Sang ayah wafat, tepatnya pada hari Senin 22 April 1996.
Tak lama kemudian, ibunya mengghubunginya dan berharap sebaiknya ia segera pulang. Sebab, sejak wafatnya sang ayah, ibunya jadi sendirian dan terus merasa kepikiran kepada dirinya.

Habib Sholeh pun menyampaikan perihal harapan ibunya kepada Habib Salim.

Habib Salim tak mengizinkannya. “Jangan dulu pulang, kamu baru dua tahun di sini. Sayang kalau pembelajarannya harus berhenti sampai di sini,” kata Habib Salim kepadanya.

Sebagai seorang murid yang taat, ia menuruti perintah gurunya itu.

Sekitar tahun 1998, ia sempat menunaikan haji dan menyempatkan diri pula pulang ke Jakarta. Saat pulang ke Jakarta itulah ia dijodohkan dengan Syarifah Khadijah, yang tak lain putri sepupunya sendiri, Habib Abdillah Bin Jindan. Jadi, istrinya itu masih terhitung sebagai kemenakan misannya sendiri.

Karena akan segera berangkat kembali ke Hadhramaut, ia pun menikah secara sirri.

Hanya dua minggu ia sempat di tanah air. Ia pun kembali ke Hadhramaut menuntaskan pelajarannya sampai tahun 2000.

Berdakwah di Tanah Air
Tahun 2000, tak lama setelah kepulangannya kembali ke kampung halaman, ia segera dipercaya mengajar di Pesantren Al-Huda, Jln. K.H. Mas Mansur, Surabaya.

Beberapa tahun ia sempat mengajar di situ, sampai akhirnya tiba tawaran dari gurunya, Habib Taufiq Assegaf, untuk berdakwah di Banyuwangi. Pertimbangan gurunya saat itu, di Surabaya sudah banyak yang berdakwah. Maka, hendaknya ia masuk ke daerah-daerah yang lebih membutuhkan lagi dai-dai muda. Tawaran itu pun tak terlepas dari permintaan Habib Umar Assegaf, pemimpin Pesantren Habibullah Banyuwangi, yang meminta Habib Taufiq agar mengirim pengajar ke sana. Pesantren Habibullah sendiri saat itu diasuh oleh Habib Syekh Mulachela.

Habib Sholeh menyambut baik tawaran gurunya.

Awalnya, ia berangkat dulu sendirian. Karenanya, ia pun kembali berpisah dengan istrinya.

Setelah sekitar dua setengah tahun mengajar di sana, ia memutuskan untuk berdikari. Ia bertekad untuk membuka madrasah sendiri.

Saat itu ia bertemu Habib Salim Al-Bahr, yang berkenan meminjamkannya sebuah tempat, yaitu sebuah rumah dan sebuah bangunan, yang rupanya bekas tempat penangkaran sarang burung walet. “Antum pakai tempat ini sampai antum punya tempat sendiri nantinya,” kata Habib Salim kepada Habib Sholeh saat itu.

Dari rumah itulah ia mulai membuka madrasah. Dan karena madrasahnya merupakan perluasan dakwah dari pesantren Habib Taufiq, pengasuh Pesantren Sunniyah Salafiyah Pasuruan, ia pun menamai madrasah itu “Sunniyah Salafiyah”.

Beberapa tahun kemudian, ia juga aktif dalam perintisan pondok pesantren yang didirikan di atas tanah wakaf dari Haji Abdurrahman. Nama pesantren itu adalah “Sunniyah Salafiyah Tarim Al-Ghanna”.

Diberi nama “Sunniyah Salafiyah”, karena menginduk kepada pesantren Habib Taufiq Assegaf di Pasuruan. Sementara “Tarim Al-Ghanna” adalah nama yang diberikan gurunya saat menimba ilmu di Rubath Tarim Hadhramaut, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, saat kunjungannya ke Indonesia beberapa tahun silam.

Khutbah Basah Kuyup
Seiring berjalannya waktu, Habib Sholeh pun kemudian mendirikan madrasah khusus perempuan. Kini madrasah itu telah berkembang menjadi pondok pesantren putri, yang dikhususkan bagi santri perempuan.

Selain aktif mengasuh pesantren miliknya, Habib Sholeh pun berdakwah di beberapa tempat lainnya. Untuk majelis yang rutin di Banyuwangi, di antaranya di wilayah Muncar, dengan pembahasan syarah Ratib Al-Haddad, stiap malam Senin. Kemudian di Masjid Al-Hadi, juga majelis Maulid hari Jum’at subuh, yang sekarang dihadiri 100-an jama’ah. Jadwal dakwah rutinnya bukan hanya di Banyuwangi, tapi juga sampai Surabaya dan Bali.

Setiap Jum’at, ia pun aktif menyampaikan khutbah, yang jadwalnya telah terisi dalam setahun penuh.

Selain jadwal dakwah yang rutin, ia juga aktif menghadiri undangan-undangan dakwah pada setiap acara keagamaan. Sesekali ia juga terlibat dalam program dakwah bersama alumni Darul Musthafa, yang sering mengadakan perjalanan dakwah ke pedalaman.

Sebuah perjalanan dakwah yang menarik diceritakan Habib Sholeh saat ikut perjalanan dakwah di sekitar pedalaman Tenggarong, Kalimantan Timur.

Kawasan itu merupakan kawasan perkampungan di atas sungai. Rumah-rumah mereka bisa bergoyang kalau ombaknya datang. Bahkan masjid-masjidnya pun demikian.

Kalau malam diadakan majelis Maulid, perahu-perahu kecil yang ditumpangi penduduk berdatangan dan berkumpul di sebuah kawasan sungai. Mereka pun sama-sama mengikuti pembacaan Maulid dan mendengarkan mauizhah di atas sungai tersebut.

Suatu ketika, saat hendak memenuhi undangan khutbah Jum’at di daerah tersebut, ia menaiki sebuah perahu kecil, tiba-tiba dari kejauhan terlihat ada ombak mendekat. “Sungai di sana seperti laut. Luas, dan ombaknya besar-besar,” kisahnya.

Tak ayal, ketika ombak datang menerjang, perahu yang ditumpanginya pun terbalik. Habib Sholeh tercebur dan segera menyelamatkan diri. Akhirnya, ia pun harus berkhutbah dalam keadaan baju dan imamahnya basah kuyup.

Baldatushshiddiq
Belum lama ini, Habib Sholeh berkesempatan membeli sebidang tanah yang cukup luas. Di atas tanah itu kini tengah diupayakan berdirinya sebuah pesantren.

Dalam lawatannya ke Nusantara baru-baru ini, Habib Salim menamai pesantren yang akan didirikannya “Baldatushshiddiq”, artinya “Kota Ash-Shiddiq”.

Menurut keterangan Habib Salim, dulu kota Tarim sempat dinamai oleh Imam Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf dengan nama seperti itu, lantaran pernah didoakan secara khusus oleh Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq. Sayyidina Abubakar pun sangat menyukai penduduk Tarim, yang aktif mendukungnya dalam memerangi kaum yang murtad.

Kini, ayah empat putri (Aisyah, Hasinah Syathiriyah, Zainab, Shafiyah) ini terus mengepakkan sayap dakwahnya di berbagai bidang. Di antaranya, lewat media radio. Nama stasiun radionya tersebut pun diberikan oleh Habib Salim, yaitu “Ash-Shiddiq”, mirip dengan nama pesantren yang tengah ia bangun. Untuk sementara waktu, studio radionya kini meminjam sebuah ruangan di kediaman Sayyid Hamid Al-Muhdhar, sebelum nantinya akan dipindahkan dalam satu kompleks dengan bangunan Pesantren Baldatushshiddiq. Sehari-harinya Radio Ash-Shiddiq aktif menyiarkan berbagai materi acara dakwah.

Dalam aktivitasnya, radio ini bekerja sama dengan beberapa radio dakwah lainnya di Jawa Timur. Kini, jaringan radio dakwah tersebut seakan membentuk sebuah komunitas radio.

Perangkat di stasiun Radio Ash-Shiddiq juga telah mendukung teknologi streaming, sehingga kegiatan dakwah di suatu daerah dapat diikuti pada beberapa daerah lainnya. Seperti pada kajian ta’lim malam Rabu oleh Habib Taufiq di Pasuruan, yang juga dapat diikuti dari Banyuwangi, Kraksan, Bangil, Lumajang.

Beberapa tahun terakhir, ia merintis sebuah majelis yang saat ini hanya ada di beberapa kota, yaitu Khatam Bukhari.

Sambutan masyarakat ternyata cukup besar. Padahal majelis Khatam Bukhari belum cukup familiar di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi.

Dalam majelis Khatam Bukhari yang terakhir beberapa pekan yang lewat, seribu orang lebih turut hadir meramaikan acara tersebut.


Diposkan oleh: Ismail Yahya

Habib Abdullah bin Hasan Assegaf: Bersama Merindukan Rasulullah SAW


Abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar...

Tiba di lingkungan pesantren yang asri, perasaannya yang dari semula memang tidak tertarik dengan dunia pesantren tidak juga berubah. Masa-masa di SD dan SMP masih teramat indah tertanam di benaknya. Hobinya terhadap pelajaran Matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam sejak duduk di bangku SD telah melahirkan tekad dalam hatinya untuk meneruskan pendidikan di sekolah-sekolah umum hingga tingkat yang paling tinggi.

“Ente bener mau tinggal di pesantren?” Pertanyaan ringan itu sontak membuyarkan angan-angannya. Namun wibawa dan kharisma penanya yang berada di hadapannya itu membuatnya tidak mampu berpikir jawaban apa yang harus diucapkannya.
“Mau, Bib.”
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib.”

Tiba-tiba sang penanya yang penuh kharisma tadi memanggil salah seorang santri yang masih sangat kecil. Kira-kira ia duduk di bangku SD.
“Masmuk (siapa namamu)?” tanya sang habib kepada santri kecil itu.
“Ismi Fulan (Namaku Fulan).”

Setiap pertanyaan yang diajukan dijawab oleh santri belia itu dengan bahasa Arab yang fasih dan benar.

Tanpa disadari, pemandangan itu sangat menyentuh bathinnya. Hatinya mulai berkecamuk. Tanpa disadari, hatinya berbisik, "Ya Allah, anak kecil ini bukan habaib, bukan orang Arab, tetapi begitu fasihnya menuturkan ungngkapan-ungkapan percakapan bahasa Arab. Sedangkan aku sendiri, salah seorang dzurriyyah Rasulullah SAW, cucu para kakek yang alim, tidak tahu sama sekali ihwal bahasa Arab.”

Sejak saat itu, hatinya mulai tertarik pada dunia pesantren. Tekadnya untuk menguasai ilmu-ilmu agama, tanpa disadarinya, mulai tumbuh dalam hatinya. Kharisma yang terpancar dari pribadi besar, yang tidak lain adalah Habib Hasan Baharun, pengasuh PP Darul Lughah Waddakwah, Bangil, yang kemudian menjadi guru futuhnya, telah merasuk ke dalam sanubarinya, membuyarkan semua angan dan cita-cita yang selama itu di pendamnya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum.

Siapakah sosok anak muda itu? Tak lain dialah Habib Abdullah bin Ja`far Assegaf.

Harus Tetap Melihat kepada Kakak
Selepas menjamu tim alKisah berbuka puasa di Sekretariat Majelis Nurul Musthofa, Jln. R.M. Kahfi 1 Gg. Manggis, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebelum mengimami shalat Tarawih, Habib Abdullah menuturkan kisah-kisah pengalamannya, dari masa kanak-kanak hingga aktivitasnya terjun di dunia dakwah, kepada alKisah.

Habib Abdullah, atau lengkapnya Habib Abdullah bin Ja`far bin Umar bin Ja`far bin Syeckh bin Segaf Assegaf, lahir di Empang Bogor pada hari Senin 8 Juni 1981, bertepatan dengan 5 Sya`ban 1401 H.

Ia adalah putra kedua pasangan Habib Ja`far Assegaf dengan Syarifah Fathmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ia adik kandung Habib Hasan bin Ja`far Assegaf, pengasuh dan pendiri Majelis Nurul Musthofa. Kedua adiknya yang juga kini sudah terjun di dunia dakwah adalah Habib Musthofa dan Habib Qosim.

Sejak kecil Habib Abdullah dididik dengan pendidikan agama yang ketat. Sang ayah, Habib Ja`far, sangat keras dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya, terutama dalam hal menanamkan pengetahuan agama. Tak mengherankan, di samping belajar di madrasah, Habib Abdullah juga belajar ngaji kepada seorang ustadz yang sengaja dipanggil datang ke rumah.

Di usia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah diwajibkan untuk tidak lepas membaca Ratib Al-Attas selepas shalat Maghrib.

Setelah ratiban, selepas shalat Maghrib, ia berangkat ke madrasah sampai jam setengah sembilan malam. Sedangkan di pagi harinya, ia belajar di SDN Empang 2 Bogor. “Waktu itu Abah selalu berpesan, ‘Kamu harus jadi orang alim. Tapi kamu harus tetap melihat kepada kakak kamu (Habib Hasan)’.”

Habib Abdullah menuturkan bahwa abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar. “Abah bilang, insya Allah kakakmu, Hasan, bakal jadi.” Karenanya, sejak kecil, Habib Abdullah selalu disarankan oleh abahnya untuk mengikuti jejak kakaknya, Habib Hasan. Itulah sebabnya, baginya, Habib Hasan bukan sekadar kakak, tetapi juga guru dan pembimbing yang diteladaninya.

Lulus dari SD tahun 1993, Habib Abdullah melanjutkan belajar ke SMPN 10 Cipaku dan lulus tahun 1996.

Setamat dari SMP, ia, yang selama itu selalu meraih peringkat sepuluh besar dan sangat menyukai pelajaran Matematika dan Fisika, tidak memiliki tekad lain kecuali masuk ke sekolah menengah atas favorit. Maka ia pun mendaftarkan diri dan diterima di SMAN 4 Bogor.

Namun ternyata sang ayah tidak mengizinkannya untuk melanjutkan ke sekolah umum, dan bermaksud memasukkannya ke pesantren. Meski demikian Habib Abdullah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikan di sekolah umum, sampai-sampai ayahnya berkata, “Abah masukin kamu SD, SMP, biar bisa baca tulis, biar enggak dibohongin orang. Abah mau kamu mendalami agama. Kalau mau melanjutkan ke sekolah umum, silakan cari duit sendiri.”

“Tapi waktu itu saya tetap keukeuh dengan pendirian untuk masuk ke sekolah umum sampai-sampai Abah ngediemin saya,” kata Habib Abdullah mengenang abahnya, yang wafat tahun 2002.

Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya Habib Abdullah menyerah. “Ya udah deh, Abah, saya nyerah, terserah Abah aja kalau memang mau masukin saya ke pesantren.”

Selama enam bulan(itu, Habib Abdullah meniru apa yang dilakukan Habib Hasan. Setiap hari yang dilakukannya hanya pulang-pergi dari rumah ke masjid.

Tidak lama kemudian Habib Abdullah dikirim ke pesantren Habib Nagib di Bekasi.

Namun baru beberapa hari, suasana pesantren, yang sama sekali baru bagi Habib Abdullah, sudah membuatnya tidak kerasan, terlebih lagi sejak awal ia tidak berminat untuk masuk ke pesantren. “Saya pun langsung nelepon Abah, saya sengaja bikin-bikin kisah-kisah yang nggak enak ke Abah.... Pokoknya yang penting waktu itu saya bisa pulang.”
“Sudah bisa baca Maulid belum?”
“Belum, Abah.”
“Nggak bisa. Kalau sudah bisa baca Maulid, kamu baru boleh pulang.”

Mendengar kata-kata sang ayah, akhirnya Habib Abdullah menggunakan waktu sepenuhnya untuk mempelajari Maulid, agar secepatnya bisa pulang. Kurang lebih tiga bulan lamanya, dan Maulid Al-Habsyi pun sudah dikuasainya dengan baik.

Habib Abdullah pun kemudian dijemput pulang kembali ke Empang.

Di pertengahan tahun 2007, Habib Abdullah diantar oleh Habib Hasan menuju Pesantren Darullughah Waddakwah (Dalwa). Di pesantren inilah, setelah bertemu dengan Habib Hasan Baharun, pandangan Habib Abdullah tentang pesantren dan dunianya mulai berubah. Mulai saat itu tekad dan cintanya sepenuhnya untuk pesantren.

“Waktu itu, ketika dites, karena semua materinya kebanyakan bahasa Arab, sedangkan membaca Al-Qur’an saja yang saya bisa, akhirnya saya pun ditempatkan di kelas III Ibtidaiyah Diniyah.” Adapun untuk Mu`adalahnya (sekolah persetaraan)-nya, Habib Abdullah tetap melanjutkan ke tingkat Aliyah hingga tamat dan mendapatkan ijazah.

Tahun 2000 adalah tahun duka bagi Habib Abdullah. Pada tahun itu, sang guru ruhani, Habib Hasan Baharun, dipanggil oleh Allah SWT. Pada tahun itu juga, Habib Abdullah mohon diri kepada Habib Zein bin Hasan Baharun, penerus Habib Hasan, untuk melanjutkan pendidikan Diniyahnya ke Hadhramaut di bawah tanggungan Habib Abdullah Krasak, yang masih termasuk keluarga dari ibunya.

Namun Allah berkehendak lain. Sebelum ia berangkat ke Hadhramaut, Habib Abdullah Krasak sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah SWT.

Sepeninggal Habib Abdullah Krasak, Habib Abdullah meminta pendapat Habib Shodiq Baharun, adik Habib Hasan Baharun, untuk langkah selanjutnya. Atas saran beliau, Habib Abdullah diminta untuk datang ke Darul Musthofa, Batik Keris, Solo, untuk membantu-bantu Habib Sholeh, pengasuh pesantren.

Di Solo, selain membantu di Darul Musthofa, Habib Abdullah juga aktif mendatangi majelis Habib Anis Solo untuk menimba ilmu kepada beliau.

Belum setahun tinggal di Darul Musthofa, Habib Hasan, yang waktu itu sudah memiliki majelis yang besar, meneleponnya untuk kembali ke Jakarta. Habib Hasan memintanya agar aktif membantu di Majelis Nurul Mushthofa. “Karena keinginan Habib Hasan tidak lain hanya agar masyarakat Jabodetabek ini, khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya, mengenal dan mencintai Rasulullah, untuk membatu dan meneruskan apa-apa yang sudah dilakukan oleh para alim ulama, asatidz, kiai, dan habaib, selama ini,” kata Habib Abdullah.

Kini, selain diamanati sebagai ketua Yayasan Nurul Mushthofa, Habib Abdullah juga dipercaya untuk mengasuh Nurul Mushthofa wilayah Ciganjur dan sekitarnya serta mendampingi Habib Hasan di setiap kegiatan gabungan majelis Nurul Mushthofa.

Tahun 2004, Habib Abdullah menikah dengan Syarifah Fathimah binti Umar bin Alwi Al-Haddad dan kini sudah dikaruniai tiga orang putra. "Yang tertua bernama Muhammad, kedua Abdurrahman, dan yang ketiganya masih dalam kandungan."




“Ganti Namanya dengan Nama Ane”
Sebelum mengakhiri kisahnya, Habib Abdullah menuturkan satu kenangan terindah bersama Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, meskipun ia sendiri belum sempat mengaji kepada beliau.

Ketika putra keduanya lahir, Habib Abdullah memberinya nama “Muhsin”, mengambil dari nama kakeknya, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas. Namun putranya itu lahir dalam kondisi sangat kritis.

Dalam situasi semacam itu, Habib Abdullah hanya pasrah kepada Allah. Ia pun shalat Hajat dan memohon kesembuhan sang putra tercintanya. Tapi hari demi hari kondisi sang putra belum juga menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan.

Melihat situasi seperti itu, Habib Hasan, sang kakak, menyarankan agar Habib Abdullah pergi menemui Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri untuk meminta “air”, karena beliau adalah wali min awliyaillah, wali di antara wali-wali Allah.

Tanpa pikir panjang lagi, Habib Abdullah segera menuju ke kediaman Al-Walid dan mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Nama anak ente siape?”
“Muhsin, Bib.”
“Dari mane nama itu diambil?”
“Ane ambil dari nama kakeknya, Bib. Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas.”
Mendengar nama itu, Al-Walid diam sejenak.
“Emang namanya keberatan, Bib.”
“Ah, enggak. Bagus... bagus....”
Setelah minta air dan didoakan, Habib Abdullah pun segera mohon diri untuk kembali ke rumah sakit.
Namun belum lagi sampai di pintu majelis, tiba-tiba Al-Walid berseru, “Walad, ta`al... (Nak, sini...).”

Dengan wajah terkejut Habib Abdullah segera kembali menghampiri Al-Walid, yang masih duduk di tempat shalatnya.
“Ente mau anak ente sembuh, sehat.”
“Ye, Bib.”
“Ganti namanya dengan nama ane.”
Sontak saja, kata-kata Al-Walid, yang tidak diragukan lagi kewaliannya itu, bagaikan hujan membasahi bumi yang tengah kering kerontang dilanda kemarau panjang.
Tanpa menunda, saat itu juga Habib Abdullah langsung menelepon agar nama “Muhsin” yang diubah menjadi “Abdurrahman”.
“Alhamdulillah, mulai saat itu juga kondisi Abdurrahman berangsur-angsur membaik,” kata Habib Abdullah. “Ini sungguh merupakan keajaiban dari Allah....”


Diposkan oleh: Muhammad Shobihullah

Habib Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas: Berdakwah di Tengah Kaum Muda


Ibarat pohon yang terus tumbuh, batangnya menjulang tinggi, akarnya semakin dalam, buahnya pun bertunas, kemudian tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan kuat. Begitu pula majelis yang hampir seabad lalu dirintis Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, kini menyemai bibit bagi tumbuhnya majelis-majelis pada generasi selanjutnya. Salah satunya, Majelis Ta’lim dan Dzikir Nurul Fata.

Majelis Nurul Fata diasuh oleh Habib Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas, salah seorang cicit Habib Abdullah bin Muhsin, Keramat Empang Bogor. Nasab lengkapnya, Habib Hasan bin Abdul Qadir bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.

Dulu, leluhurnya memilih “Nur” sebagai nama majelis dan masjid yang ia bangun, kini sang cicit bertabarruk menggunakan nama yang serupa, dengan tambahan kata “Al-Fata”, yang berarti “pemuda”. Jadi, “Nurul Fata” bermakna “Cahaya Pemuda”.

Dengan nama itu Habib Hasan berharap, keberhakan Majelis Ta’lim An-Nur, yang didirikan sang kakek, tetap melekat di majelis yang sudah sepuluh tahun dibentuknya. Karenanya, majelis yang ia bina ini tak pernah mendahulukan Majelis An-Nur dalam momen pembukaan atau penutupan akhir tahun majelis. Kalau Majelis Nurul Fata mau dibuka, Majelis An-Nur harus sudah dibuka terlebih dulu. Begitu pun kalau mau tutup menjelang Ramadhan.

Sementara itu kata-kata “Al-Fata” yang ia gunakan adalah karena pada kenyataannya 70 persen jama’ahnya, bahkan ia sebagai pengasuhnya, berasal dari kalangan kaum muda. Majelis Ta’lim Nurul Fata ini memang memusatkan dakwah pada kalangan anak muda. Dakwah-dakwahnya selalu berisi motivasi serta dedikasi kepada para pemuda Islam yang ingin maju dalam tuntunan Islam. “Siapa lagi yang peduli pada anak-anak muda? Ingat, tegak dan runtuhnya suatu negara tergantung pada pemuda,” katanya.

Di Bawah Asuhan Munshib
Roda perputaran kepemimpinan di Masjid An-Nur dan Makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Keramat Empang Bogor, memang agak berbeda dengan kebiasaan di tempat-tempat lainnya.

Biasanya, manshabah (kemunshiban) beralih dari putra tertua ke cucu putra tertua, dan begitu seterusnya. Di Keramat Empang Bogor tidak demikian, manshabah beralih dari putra tertua, kemudian ke putra kedua, dan seterusnya. Setelah putra terakhir wafat, manshabah kembali pada garis putra tertua, yaitu cucu shahibul maqam putra tertua, kemudian cucu putra kedua, dan seterusnya.

Karenanya, setelah Habib Muhsin bin Abdullah, putra tertua Habib Abdullah bin Muhsin, wafat, manshabah beralih pada putra-putra Habib Abdullah lainnya, atau adik-adik Habib Muhsin bin Abdullah, secara berurut, yaitu kepada Habib Zen bin Abdullah, Habib Husen bin Abdullah, dan Habib Abubakar bin Abdullah.

Sepeninggal Habib Abubakar, Habib Abdul Qadir, selaku cucu anak pertama Habib Abdullah bin Muhsin, memangku jabatan sebagai munshib di Keramat Empang Bogor. Habib Abdul Qadir adalah ayah Habib Hasan, figur kita kali ini.

Setelah Habib Abdul Qadir wafat, posisi munshib digantikan oleh cucu anak kedua, Habib Abdullah bin Zen, yang baru saja wafat beberapa bulan silam. Kini manshabah Keramat Empang Bogor diteruskan oleh cucu anak ketiga, yaitu Habib Abdullah bin Husen bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.

Meski berbeda dengan kebiasaan yang ada, selama ini roda kepemimpinan ala Keramat Empang Bogor terus berputar secara teratur di keluarga anak-cucu keturunan Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, tanpa ada gejolak. Semuanya mengalir dengan tenang dan damai sesuai dengan aturan khas ala keluarga Keramat Empang Bogor.

Habib Hasan tumbuh besar di bawah asuhan dan didikan munshib kelima, yaitu ayahnya sendiri, Habib Abdul Qadir bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin. Banyak keteladanan dari sang ayah yang masih diingatnya hingga sekarang.

Sebagai munshib, aktivitas sehari-hari Habib Abdul Qadir adalah menerima kunjungan tamu yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari mancanegara, dan mengantar mereka atau menuntun mereka dalam melaksanakan ziarah ke makam Habib Abdullah. Habib Abdul Qadir sendiri banyak mempelajari agama dari ayahnya, Habib Muhsin.

Di antara tokoh-tokoh yang menjadi sahabat dekat Habib Abdul Qadir adalah Habib Ahmad bin Ali Al-Attas Pekalongan, Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf Tegal, Habib Hasan bin Husen Al-Haddad Tegal, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri.

Bukan hanya dekat, mereka pun saling cinta dan hormat. Misalnya, antara Habib Abdul Qadir dan Habib Abdurrahman Assegaf, kalau salah satu di antara mereka saling mengunjungi, yang berkunjung tak ingin yang dikunjungi berdiri untuk menyambut. “Abah tidak mau masuk ke ruangan kalau Al-Walid, Habib Abdurrahman Assegaf, sampai berdiri untuk menyambutnya. Begitu pun sebaliknya,” kisah Habib Hasan.

Jejak lebih Utama
Semasa hidupnya, Habib Abdul Qadir adalah seorang yang berjiwa sosial tinggi. Ia banyak membantu orang yang sedang mengalami kesulitan dalam keuangan.

Banyak pula orang yang berutang uang kepadanya. Habib Abdul Qadir hampir selalu meminjamkan uang kepada mereka yang hendak meminjam uang kepadanya. Tanpa bunga, tentunya. Sampai-sampai, waktu ia wafat, banyak orang masih berutang kepadanya.

Kepada para tamu atau jama’ahnya, terkadang Habib Abdul Qadir juga menjual sarung, terutama bila sudah mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran. Uniknya, ia lebih suka menjual sarung dengan cara diutangkan. Rupanya, ia ingin tali silaturahim terus berlanjut. “Kalau dikasih kontan, biasanya orang tidak balik lagi,” kata Habib Hasan mengutip kata-kata ayahnya saat memberi alasan kenapa ia lebih suka menjual sarung-sarungnya itu dengan cara diutangkan.

Dalam keluarga, Habib Abdul Qadir adalah sosok ayah yang amat disegani putra-putrinya. Ia juga seorang yang sangat memuliakan tamu.

Habib Hasan mengisahkan sebuah pengalaman yang amat berharga baginya saat bersama sang ayah dulu. Suatu ketika, ia dan ayahnya hadir di sebuah majelis. Di sana, dibacakan kitab Maulid secara bergiliran. Karena duduk agak di depan, Habib Hasan juga dapat giliran membaca.
Saat akan membaca, tiba-tiba sang ayah mencegahnya. Ia menyuruh agar anaknya berhenti membaca saat itu juga dan meminta jama’ah yang lain untuk meneruskan.

Rasa malu, kecewa, bercampur aduk jadi satu dalam pikiran Habib Hasan saat itu. Seketika, ia pun teringat sebuah kisah di zaman dahulu tentang seorang wali yang dalam kesempatan makan bersama membagi-bagikan daging yang ada dalam piringnya kepada para jama’ahnya. Kepada putranya sendiri, ternyata si wali hanya memberi tulang yang telah habis terkelupas dagingnya, karena dagingnya telah habis ia makan.

Para ulama, ketika menerangkan alasan mengapa sang wali berbuat demikian, menyitir sebuah maqalah, “Jejak-jejak para wali lebih utama dari makamnya.”

Hikmahnya, Habib Abdul Qadir menginginkan sang putra memahami bahwa meneladani perilaku salafush shalih, para pendahulunya yang shalih, adalah lebih utama daripada sekadar membanggakan diri sebagai putra Fulan, cucu Fulan, dan seterusnya.

Habib Abdul Qadir, yang semasa hidupnya selalu mendawamkan bacaan shalawat Habib Sholeh Tanggul, wafat pada tahun 1998, dan dimakamkan di kompleks pemakaman Keramat Empang Bogor.

Tahun Baru, ya Hijriyyah
Sejak kecil, Habib Hasan senang ikut dalam majelis. Ia juga senang mencium tangan orang-orang shalih dan duduk bersama mereka.

Sejak kecil pula ia ingin sekali masuk pondok pesantren, tapi, entah kenapa, ayahnya seakan tak merespons keinginannya itu.

Beberapa kali ia menanyakan ke ibunya ihwal hal itu, sang ibu hanya mengatakan, “Tak ada orangtua yang tak ingin anaknya menjadi seorang anak yang baik. Sabar saja.”

Sampai suatu ketika, setelah beberapa tahun keinginan itu tak juga pupus dari dadanya, ia dan kakaknya, Muhsin, dibawa ke studio foto. Sampai sana, mereka foto bertiga. “Takut kalau tidak ada umur,” kata sang ayah pendek, menjelaskan kenapa ia diajak untuk foto bersama.

Setelah itu, ayahnya pun mengizinkannya masuk ke pesantren.

Selama ini sang ayah merasa berat jika harus berpisah dengan anaknya. Mungkin, foto itu bisa menjadi obat rindu.

Selepas dari pesantren, sekitar tahun 1997, ia memberanikan diri membuka majelis Al-Burdah.

Setelah berjalan beberapa bulan, ia, yang saat itu belum mengantungi ijazah Al-Burdah, sengaja sampai pergi ke Surabaya demi meminta ijazah dari Habib Syekh bin Muhammad bin Husein Alaydrus, shahib majelis Burdah di Surabaya.

Sayangnya, di sana ia tak kesampaian menemui Habib Syekh. “Terus terang, hati saya khawatir. Saya mengasuh majelis Burdah, sementara saya sendiri belum mendapat ijazah Al-Burdah. Akhirnya, sementara saya berhentikan dulu majelis Al-Burdah tersebut.”

Tahun 1998, majelisnya ia mulai buka lagi. Lokasi majelisnya itu di kawasan Parung Banteng, yaitu di sekitar daerah yang dulu menjadi basis majelis Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, sebelum akhirnya memindahkannya ke Citayem. Tapi, saat itu ia membawakan bacaan Asma’ul Husna, bukan lagi Al-Burdah. “Alhamdulillah, kalau Asma’ul Husna, ijazahnya sudah saya dapat dari Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas Benhil. Setelah Habib Ahmad wafat, saya bahkan meminta ijazah kembali dari putra beliau, Habib Umar bin Ahmad Al-Attas. Belum lama, sewaktu Habib Zain Bin Smith (Madinah) datang, saya juga meminta ijazah lagi darinya,” tutur Habib Hasan.

Tahun 1999, Yayasan Majelis Ta’lim Mudzakarah Nurul Fata resmi berdiri. Di antara yang hadir saat peresmian adalah Kapolri Jenderal Rusmanhadi. Turut hadir pula dalam acara tersebut Menko Kesra Hamzah Haz dan pejabat-pejabat pemerintahan setempat. Saat itu, tak kurang dari sepuluh ribu hadirin turut menyemarakkan acara.

Di majelisnya itu, setiap Jum’at malam minggu kedua, jama’ah, yang mayoritas anak-anak muda, membaca dzikir Asma’ul Husna dan Ratib Al-Attas. Mengenai ijazah Ratib Al-Attas, tak perlu disangsikan, karena ia lahir dan besar dari seorang munshib pada salah satu keluarga Al-Attas terkemuka.

Untuk urusan dapur Nurul Fata, ia melakukannya secara mandiri, atau dengan dukungan sejumlah tokoh. “Selama penyelenggaraan Asma’ul Husna di Majelis Al-Fata, kalau ada yang memberi, kita terima. Tapi saya tidak mau menyodorkan proposal ke masyarakat,” kata Habib Hasan.

Setahun sekali, tepatnya malam tanggal 1 Muharram, Nurul Fata mengadakan acara tabligh akbar menyambut tahun baru Islam sekaligus ulang tahun Nurul Fata. Acara tabligh akbar Nurul Fata di malam tahun baru Hijriyyah itu selalu berlangsung dengan meriah.

“Kita kan umat Islam, tahun baru yang mesti dirayakan adalah tahun baru Hijriyyah. Merayakannya bukan dengan pesta pora, tapi dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti mau’izhah hasanah, pembacaan Asma’ul Husna, sirah Nabawiyah, qashidahan, dan sebagainya. Dalam hal ini Majelis Ta’lim Nurul Fata merasa berkewajiban merayakannya pula,” kata Habib Hasan kepada alKisah.

Dari Majelis Menjadi Pesantren
Dari tahun ke tahun, jama’ah yang hadir dan terlibat di majelisnya semakin banyak. Saat ini saja, untuk majelis rutinan yang diselenggarakan, ada sekitar 200 orang yang hadir.

Selain menyelenggarakan majelis ilmu dan dzikir, sesekali Nurul Fata juga menggelar aktivitas sosial, di antaranya khitanan massal. Tahun kemarin, 200-an anak telah dikhitan bersamaan dengan ulang tahun Nurul Fata.

Ternyata, selama berjalan beberapa tahun Majelis Nurul Fata baru sanggup mengontrak sebuah rumah. Alhamdulillah, tahun 20009 Habib Hasan sudah membeli sebidang tanah yang cukup luas, 6.000 meter persegi. Rencananya, di atas tanah itu akan dibangun Pondok Pesantren Nurul Fata.

Setelah ‘Idul Fithri ini rencana pembangunan pondok pesantren itu akan mulai.

Masyarakat menyambut antusias rencana tersebut. Buktinya, meski pembangunan belum resmi dimulai, mereka sudah mulai bergerak sendiri sepekan sekali, tanpa ada perintah darinya atau biaya atas upah kerja mereka.

“Mereka bekerja secara mandiri atas inisiatif sendiri. Masing-masing membawa alat-alat pertukangan sendiri,” kata Habib Hasan lagi.

Mengenai perkembangan majelisnya yang terlihat pesat, Habib Hasan mengatakan, “Semua ini berkah Asma’ul Husna, atas izin Allah SWT. Juga karena keikhlasan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mengerjakan segala sesuatu kalau ada motivasi duniawi, jangan harap ada keberkahan di dalamnya. Dan juga, diperlukan koordinasi yang bagus dengan aparat dan jajaran pemerintah.”

Rencananya, pesantrennya ini akan banyak meniru sistem pendidikan pada Pesantren Darul Lughah wad Da’wah Bangil. Hal ini, kata Habib Hasan, dikarenakan keberhasilan pesantren tersebut mencetak banyak insan dakwah sejak dulu hingga sekarang. Dan yang terpenting, penanaman akhlaq. “Akhlaq harus didahulukan dari ilmu. Itu pesan Abah kepada saya,” kata Habib Hasan.

Berkah Asma’ul Husna
Suatu ketika, Habib Hasan berkisah, salah seorang jama’ah yang dikenalnya dengan baik datang kepadanya sambil menangis. Ternyata jama’ahnya itu sedang dalam masalah dengan pembayaran listrik, yang tiba-tiba membengkak luar biasa. Rupanya, ada orang yang mencuri listriknya. Sewaktu ada pemeriksaan, listriknya disegel dan ia diwajibkan melunasi biaya denda yang cukup besar.

“Saya mengenalnya sebagai orang baik. Di antara tanda baiknya seseorang adalah ia selalu ada di setiap tempat kebaikan. Begitu pula si bapak yang satu ini, saya sering melihatnya hadir pada majelis-majelis kebaikan.

Saya katakan kepadanya, ‘Ya sudah, insya Allah besok saya datang ke PLN.’ Padahal saya tak kenal seorang pun pejabat PLN di sana.

Keesokan harinya, saya berpakaian dengan pakaian rapi, bercelana panjang dan berkemeja.

Baru masuk, ada seorang aparat yang langsung menyapa saya. Rupanya dia kepala keamanan di situ. Bersama aparat tersebut, saya diantar langsung masuk ke ruang kepala PLN.

Saya bicarakan baik-baik, mereka pun menerimanya dengan baik-baik.

Mereka kemudian mengatakan kepada saya, ‘Habib, jangan membela yang salah, karena yang memeriksa adalah Tim Sembilan.’

Saya katakan kepada mereka, ‘Tidak, saya bukan mau membela yang salah. Saya hanya melihat bahwa orang ini adalah orang baik. Saya berharap, jaringan listriknya diperiksa ulang, untuk lebih mengetahui di mana letak permasalahannya.’

Di tengah pembicaraan, tiba-tiba Pak Wali Kota menghubungi saya, dalam rangka mengundang saya untuk hadir pada majelis tasyakuran di rumahnya.

Mengetahui bahwa yang menelepon adalah wali kota, mereka tampak terkejut. Pembicaraan pun mulai melunak. ‘Habib, maaf, tapi ini tidak bisa ditolong,’ ujar kepala PLN itu lagi.

Berselang beberapa detik, giliran Kapolda Jabar yang menelepon.

Setelah itu, saya langsung disuguhi minuman. Lalu diputuskan, kasus itu pun diteliti ulang. Hasilnya, orang tersebut terbukti tak bersalah.”

Sebagai penutup obrolan dengan alKisah, Habib Hasan pun berpesan, “Insya Allah, dengan dzikir Asma’ul Husna, Allah memberikan jalan di saat kita kesusahan.”