Senin, 05 Desember 2011

Ibnu Batutah, Perjalanan Haji Terpanjang yang Menakjubkan

Selama ini tercatat dalam sejarah bahwa Columbus (1451-1506M) telah menjelajahi dunia.
Dikatakan dialah penemu Dunia Baru atau Benua Amerika. Tidak banyak yang tahu jauh sebelum Columbus, orang-orang Arab sudah menjelajahi dunia.

Salah seorang dari mereka ialah Ibnu Batutah atau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati Al-Tanji. Beliau dilahirkan di Tangiers, Morocco, Afrika Utara pada 24 Februari 1304M. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam, Ibnu Batutah giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan kadhi (hakim). Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab.

Kejayaan beliau dinikmati ketika zaman kekuasaan Bani Marrin di Morocco. Penguasaannya tentang dunia pelayaran didapat ketika bersama-sama pasukan kerajaan memerangi pasukan perang Perancis. Morroco dan Perancis hanya terpisah oleh lautan sehingga pertempuran laut sering terjadi antara keduanya. Pada akhirnya, Morroco pernah menjadi salah satu negara jajahan Perancis.

Menurut sejarahwan Barat, George Sarton, yang mengutip catatan Sir Henry Yules, Ibnu Batutah telah mengembara sejauh 75,000 batu melalui daratan dan lautan. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marco Polo dan penjelajah mana pun sebelum datangnya zaman mesin uap. Ketika Marco Polo meninggal dunia, Ibnu Batutah baru berusia 20 thn. Ahli sejarah seperti Brockellman mensejajarkan namanya dengan Marco Polo, Hsien Teng, Drake dan Magellan.


Ibnu Batutah (wikipedia)

Kisah seluruh perjalanan Ibnu Batutah ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Morroco, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah Al-Nuzzar fi Ghara’ib Al Amsar wa Ajaib Al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan). Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris dan Jerman.

Kepergian pertama Ibnu Batutah ketika beliau menunaikan ibadah haji pada usia kurang dari 21 thn. Menurut catatan sejarah, kepergian itu tepat pada 14 Jun 1325M. Beliau menyeberangi Tunisia dan hampir seluruh perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki. Beliau tiba di Alexandria pada 15 April 1326 dan mendapat bantuan dari sultan Mesir berupa uang dan hadiah untuk bekal menuju Tanah Suci.

Satu kesan menarik ketika beliau tiba di pantai Mesir bagian utara. Menurutnya, Alexandria adalah sebuah pelabuhan yang berkembang dan merupakan pusat perdagangan serta pusat angkatan laut di daerah Laut Tengah (Mediterranean) bagian timur. Di Negeri Seribu Menara ini, beliau menerima hadiah dan uang dari sultan Mesir. Perjalanan ke Makkah dilanjutkan melalui Kairo dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.

Beliau kemudian kembali ke Kairo dan melanjutkan perjalanan ke Makkah melalui Gaza, Jerusalem, Hamamah, Aleppo dan Damaskus di Syria. Beliau tiba di Makkah pada Oktober 1926. Selama di Makkah, Ibnu Batutah bertemu dengan jamaah dari berbagai negeri. Pertemuan inilah yang mendorong semangat beliau mengenal langsung negeri-negeri asal jamaah haji. Lalu beliau membatalkan kepulangannya dan memulai pengembaraan menjelajahi dunia.

Mulai dengan menyeberangi gurun pasir Arabia menuju Iraq dan Iran, beliau kemudian kembali ke Damaskus dan melanjutkannya ke Mosul, India. Setelah itu beliau menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya ke Makkah dan menetap di Kota Suci itu selama tiga tahun (1328-1330M). Puas menetap di Makkah, beliau terus melanjutkan pengembaraan ke Aden dan belayar ke Somalia, pantai Afrika Timur, termasuk Ziela dan Mambasa. Kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Teluk Persia dan Pulau Dahrain. Beliau sempat mampir sebentar di Makkah pada 1332, lalu menyeberangi Laut Merah, menyusuri Nubia, Nil Hulu, Kairo, Syria dan tiba di Lhadhiqiya. Beliau kemudian menggunakan sebuah kapal Genoa, belayar ke Alaya di pantai selatan Asia Kecil.

Setelah melakukan perjalanan laut, pada 1333 Ibnu Batutah melanjutkan pengembaraan lewat darat. Dilaluinya Rusia Selatan hingga sampai ke istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan yang ada di tepi Sungai Wolga. Kemudian diteruskan penjelajahan hingga ke Siberia. Awalnya beliau berniat menuju Kutub Utara, namun dibatalkan kerana dinginnya cuaca daerah “Tanah Gelap”, sebutan wilayah yang tak pernah ada sinar matahari.

Ibnu Batutah mengunjungi Kaisar Byzantium, Audronicas II dan mendapat perlakuan baik dari Kaisar. Dihadiahkan kuda, pelana dan payung.

Perjalanan darat dilanjutkan menuju Persia Utara hingga Afghanistan dan beristirahat di Kabul. Pengembaraan berhenti sementara ketika Ibnu Batutah sampai di India dan bertemu dengan Sultan Delhi, Muhammad bin Tuqluq. Di kesultanan ini, Ibnu Batutah diangkat menjadi hakim oleh sultan dan tinggal di negeri ini selama delapan tahun.

Ketika menuju kawasan Cambay di India, beliau telah diserang sekelompok penyamun dekat Aligarh dan ditawan. Berkat permohonan seseorang, beliau selamat dari hukuman mati dan dilepaskan. Sebelum melanjutkan perjalanan, beliau diminta Sultan Delhi untuk menghadap. Sultan akhirnya memutuskan Ibnu Batutah menjadi duta besar kepada maharaja Cina.

Dalam kunjungannya ke Cina, tercatat kekaguman Ibnu Batutah terhadap kekuatan armada besar yang dibangun mereka. Beliau beruntung mendapat kesempatan menikmati perahu pesiar milik maharaja menuju Peking. Kembali dari Cina, Ibnu Batutah mengunjungi India, Oman, Persia, Iraq dan Damaskus. Kemudian beliau kembali ke Makkah menunaikan ibadah haji untuk kali keempat pada 1348M. Sekembalinya dari haji, beliau menyusuri Jerusalem, Gaza, Kairo dan Tunis. Dengan menumpang perahu dari Tunis, beliau menuju Morroco lewat Dardinia dan tiba di Fez, ibu kota Morroco pada 8 November 1349M. Sejak itu beliau menetap hinga akhir hayat pada 1377M. Seluruh pengembaraan beliau ke negara Islam dan non-Islam berlangsung selama 24 tahun.

Satu catatan Ibnu Batutah, dalam perjalanan laut menuju Cina, beliau pernah mampir di wilayah Samudera Pasai (kini Aceh) yang menurut penilaian beliau “negeri nan hijau dan subur”, “rakyat dan alamnya indah dan menawan”, “negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya besar dan indah”. Dalam versi lainnya, beliau menulis pulau Sumatra sebagai “Pulau Jawa yang menghijau”.

Kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345). Pada pandangan Ibnu Batutah, Sultan Mahmud merupakan penganut mazhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian, perbahasan dan muzakarah tentang Islam. Kata beliau “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk sholat Jum’at dengan berjalan kaki. Selesai sholat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling kota melihat keadaan rakyatnya”.

Beliau juga melihat Samudera Pasai saat itu merupakan pusat studi Islam. Penilaiannya itu wajar karena sejarah berdirinya kerajaan Samudera Pasai juga merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Samudera Pasai telah didirikan oleh Sultan Malikus Shaleh (W 1297), yang sekaligus sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu.

Beliau berada di Samudera Pasai selama 15 hari. Sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang masih dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga beliau menyaksikan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika pemimpinnya mati.

Subhanallah.

sumber: Encyclopedia Tokoh Islam

Kisah lengkap Ibnu Batutah dapat dibaca di: http://www.saudiaramcoworld.com/issue/200004/default.html

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

SEJAK masa mudanya Haekal tidak pernah berhenti menulis;
  disamping masalah-masalah politik dan kritik sastra ia juga
menulis beberapa biografi. Dari Kleopatra sampai kepada
Mustafa Kamil di Timur, dari Shakespeare, Shelley, Anatole
France, Taine sampai kepada Jean Jacques Rousseau dengan gaya
yang khas dan sudah cukup dikenal. Setelah mencapai lebih
setengah abad usianya, perhatiannya dicurahkan kepada
masalah-masalah Islam. Ditulisnya bukunya yang kemudian sangat
terkenal, Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad) dan "Di
Lembah Wahyu". "Dua buku yang sungguh indah dan baru sekali
dalam cara menulis sejarah hidup Muhammad, yang kemudian
dilanjutkan dengan studi lain tentang Abu Bakr dan Umar. Suatu
contoh bernilai, baik mengenai studinya atau cara
penulisannya. Ini merupakan masa transisi dalam hidupnya",
demikian antara lain orang menulis tentang Haekal.

Pada mulanya Sejarah Hidup Muhammad ini telah menimbulkan
reaksi hebat dan kritik tajam di kalangan bangsa Mesir dan
dunia Islam umumnya. Tapi semua itu dihadapinya dengan tenang
dan di mana perlu dijawabnya dengan penuh tanggung jawab dan
rasional sekali.

Dilahirkan di desa Kafr Ghanam bilangan distrik Sinbillawain
di propinsi Daqahlia, di delta Nil, Mesir, 20 Agustus 1888,
Muhammad Husain Haekal, setelah selesai belajar mengaji Qur'an
di madrasah desanya ia pindah ke Kairo guna memasuki sekolah
dasar lalu sekolah menengah sampai tahun 1905. Kemudian
meneruskan belajar hukum hingga mencapai lisensi dalam bidang
hukum (1909). Selanjutnya ia meneruskan ke Fakultas Hukum di
Universite de Paris di Perancis, lalu dilanjutkan pula sampai
mencapai tingkat doktoral dalam ekonomi dan politik dan
memperoleh Ph. D. dalam tahun 1912 dengan disertai La Dette
Publique Egyptienne. Dalam tahun itu juga ia kembali ke Mesir
dan bekerja sebagai pengacara di kota Mansura, kemudian di
Kairo sampai tahun 1922.

Semasa masih mahasiswa sampai pada waktu menjalankan
pekerjaannya sebagai pengacara, ia terus aktif menulis dalam
harian-harian Al-Jarida yang dipimpin oleh Ahmad Lutfi as
Sayyid, As-Sufur dan Al-Ahram. Umumnya ia menulis dalam
masalah-masalah sosial dan politik, di samping juga memberikan
kuliah dalam bidang ekonomi dan hukum perdata (1917-22). Tahun
itu juga ia dipilih sebagai pemimpin redaksi harian As-Siasa
sebagai organ resmi Partai Liberal. Dalam tahun 1926
mendirikan mingguan As-Siasa, yang dalam bidang kulturil besar
sekali pengaruhnya ke seluruh negara-negara Arab. Ia aktif
dalam bidang jurnalistik sampai tahun 1938.

Karya-karya Haekal menduduki tempat penting dalam
perpustakaan-perpustakaan berbahasa Arab. Penulisan novel
modern dimulai Haekal. Kemudian ia menulis serangkaian sejarah
Islam dan biografi di samping masalah-masalah politik.
Buku-bukunya dalam sejarah Islam merupakan sumber penting
dalam studi keislaman.

Secara kronologis karya-karya Haekal adalah sebagai berikut:
Zainab (novel), 1914, Jean Jacques Rousseau (dua jilid),
1921-23; Fi Auqat'l-Firaqh ("Diwaktu senggang"), 1925;
"Asyarata Ayyam fis-Sudan" 1927; Tarajim Mishria wa Gharbia
("Biografi orang orang Mesir dan Barat"), 1929; Waladi
("Anakku"), 1931; Thaurat'l-Adab, 1933 ; Hayat Muhammad
("Sejarah Hidup Muhammad"), 1935; Fi Manzil'l-Wahy ("Di lembah
Wahyu"), 1937; Asy-Shiddiq Abu Bakr, 1942; Al Faruq 'Umar
("'Umar ibn'l-Khattab") (dua jilid). 1944-45; Mudhakkirat
fis-Siasat'l-Mishria ("Memoir tentang Politik Mesir") (dua
jilid), 1951-53; Hakadha Khuliqat, 1955; Al-Imbraturia
al-Islamia wal-Amakin al-Mugaddasa fisy-Syarq' l-Aushat
("Commonwealth Islam dan tempat-tempat Suci di Timur Tengah")
(kumpulan studi), 1960; Asy-Syarq' l-Jadid (kumpulan studi),
1963; 'Uthman bin 'Affan, 1964; Al-Iman, wal-Ma'rifa
wal-Falsafa ("Tentang Iman, Ma'rifat dan Filsafat") (kumpulan
studi), 1965; Qisas Mishria ("Cerpen-cerpen Mesir"), 1969.

Novelnya Zainab, yang mengisahkan kehidupan petani Mesir,
mula-mula ditulisnya semasa ia masih mahasiswa di Paris, dan
pada hari-hari libur sebagian ditulisnya di London dan di
Jenewa, Swis; telah dibuat film dan dalam festival film
internasional di Jerman (1952) Die Liebesromanze der Zenab ini
yang ditulisnya sebagai kenangan kepada tanah air dan
masyarakat di kampungnya, dalam dua kali pertunjukkan telah
mendapat sambutan yang luar biasa dan telah terpilih pula
sebagai film yang paling berhasil, dilukiskan sebagai
"Egyptische Welturauffuhrung in Berlin".

Dalam tahun 1943 ia terpilih sebagai ketua Partai Liberal
Konstitusi (Liberal Constitutional Party), yang dipegangnya
sampai tahun 1952.

Tahun 1938 ia menjabat Menteri Negara, kemudian Menteri
Pendidikan, lalu Menteri Sosial. Sesudah itu menjadi Menteri
Pendidikan lagi dalam tahun 1940 dan 1944. Pada permulaan
tahun 1945 ia terpilih sebagai ketua Majelis Senat sampai
tahun 1950.

Berkali-kali mengetuai delegasi mewakili negaranya di PBB dan
dalam konperensi-konperensi internasional, dalam
Interparliamentary Union dan secara pribadi terpilih pula
sebagai anggota panitia eksekutif lembaga tersebut.

Beberapa buku dan disertasi tentang sejarah hidup Dr. Haekal
telah terbit, diantaranya: Beberapa studi tentang Dr. Haekal,
oleh beberapa penulis (1958).

Mohammed Hussein Haekal, oleh Baber Johansen, sebuah thesis,
Universitas Berlin, 1962.

Dr. Mohammad Hussein Haekal, oleh Taha Wadi', thesis,
Universitas Kairo (Fakultas Sastra), 1965.

Dr. Mohammed Hussein Haekal, oleh Charles Smith, sebuah
thesis, Universitas Michigan, Amerika Serikat, 1968.

Dr. Haekal seorang pengarang yang produktif, baik dalam bidang
sastra, kemasyarakatan, maupun politik, yang disiarkan selama
ia aktif dalam jurnalistik. Banyak juga naskah-naskahnya yang
belum disiarkan.

Kembali aktif menulis dalam harian-harian Al-Mishri, dan
Al-Akhbar sejak 1953 hingga wafatnya.

Meninggal pada 8 Desember 1956.

MUHAMMAD DARI KELAHIRAN SAMPAI PERKAWINANNYA

Perkawinan Abdullah dengan Aminah - Abdullah wafat
Muhammad lahir disusukan oleh Keluarga Sa'd - Kisah
dua malaikat - Lima tahun selama tinggal di pedalaman
- Aminah wafat - Di bawah asuhan Abd'l-Muttalib -
Abd'l-Muttalib wafat - Di bawah asuhan Abu Talib -
Pergi ke Suria dalam usia dua belas tahun- Perang
Fijar - Menggembala kambing - Ke Suria membawa
dagangan Khadijah - Perkawinannya dengan Khadijah.


USIA Abd'l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun
atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan
menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya
sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd
Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai
pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah
anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan
anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis
sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman
Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di
bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan
Aminah itu, Abd'l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri
pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan
yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah
Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan
dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu
mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd'l-Muttalib. Tak
seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha
perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam
keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan
yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan
Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri
kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki
keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah
adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang
luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya
selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu
hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa
tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari
perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping
Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa
bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi.
Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di
Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam
perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah
ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat
saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih
dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita
sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Begitu berita sampai kepada Abd'l-Muttalib ia mengutus Harith
- anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya membawa kembali
bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia
mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan
pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah.
Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan
pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa
hati Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan
seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan
hidupnya. Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya
sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa
belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor
unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan,
yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh
jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda
kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di
samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia,
sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada
itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih
hidup itu.

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun
melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd'l
Muttalib di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak
laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima
berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira
sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.
Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu
lalu dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini
tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang
menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'd
(Banu Sa'd), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum
bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli
berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah
(570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun
Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas
tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan
ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga
beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga
puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh
tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya.
Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat
dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab,
sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan.
Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau
malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya
mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul
Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu
kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai
tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai
sur l'Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad
dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd'l-Muttalib minta
disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan
mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya
mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. "Kuinginkan
dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit
dan bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib.

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang Keluarga Sa'd yang akan menyusukan anaknya,
sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab
di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada
bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah
dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru
kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh
tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal
dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'd.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah
menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah
yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara
susuan.

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun
ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya.
Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia
hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia
menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan.
Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah
meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa'd yang akan
menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan
mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak
yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari
sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang
dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu
tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat
hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka
harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak
Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat
bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak
menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan
Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya:
"Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa
membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu
dan akan kubawa juga."

"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan
akan memberi berkah kepada kita."

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi
bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia
bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat
berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun
bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh
Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan
kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali
menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan
badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih,
Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu
membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena
kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain
mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali
supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya
serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara
pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu
ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika
itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni,
bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama
anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar
pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd
itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada
ibu-bapanya: "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil
oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan,
perutnya dibedah, sambil di balik-balikan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai
diri dan suaminya ia berkata: "Lalu saya pergi dengan ayahnya
ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya
pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami
tanyakan: "Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh
dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu
aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat
ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu,
dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas
peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah
kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq
nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab
dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua
malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah
- ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada
beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan
menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya
belakang anak itu, lalu mereka berkata:

"Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami.
Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui
keadaannya." Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari
mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang
dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia
menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali
menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum
kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan
menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata
peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada
ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis
berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu
gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang
baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak
diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya
supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui
orang dari teks ayat yang berbunyi: "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan)
dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala
beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh
Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia lima
tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah
kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta'if dikepung, kemudian
dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan
wanita itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan memberitahukan
bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang
akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian
setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu.
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika
Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk
diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak
Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah
kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali
ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak
ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah
bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa
hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan
nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal,
dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung
kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah
dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia,
sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat
perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan,
pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka
yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada
lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang
kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di
kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.

Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang
lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad.
Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan
menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu
telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan,
bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan
terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan
orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan
berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu
melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang
berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang
tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi
Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah
mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan
yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari
perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan
demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah
diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang
seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke
pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan
Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh
penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta
dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara
tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu
dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada
paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair,
ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato
dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama
bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang
Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah
menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di
kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah
seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah
pekan-pekan dagang diadakan di 'Ukaz, yang terletak antara
Ta'if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar
perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka'bah. Pekan
'Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang
Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan
suci.

Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh 'Urwa ar-Rahhal bin 'Utba dari kabilah Hawazin.
Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu'man bin'l-Mundhir
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan
membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan Nu'man terhadap 'Urwa (Hawazin) ini telah
menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian
mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil
kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak
selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban
manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian
mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang
mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun
permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang
Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran
kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan
kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun
sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang
Fijar itu dengan berkata: "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."

Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah bin Jud'an diadakan pertemuan dengan mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra
dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya
sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku
tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak
pasti kukabulkan."

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat
Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan
menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan
hiburan sepuas-puasnya

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang
terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi
tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena
tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran
Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah
dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan
dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir
dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh
julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala
kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya
'yang dapat dipercaya').

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya
itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat
yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing."
Dan katanya lagi: "Musa diutus, dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing
keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu
penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti
kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan
bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan
satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya
jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing
dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata,
bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia
ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di
gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat
itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar
olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu
terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang
kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar
nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan
memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam
hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh
materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang
hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang
bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama
sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya
keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini
dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta
kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa
yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir,
yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita sebutkan
tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan
diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah
bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang
kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah
kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy
pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia
memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur
duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan
makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah
mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak
setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak
kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan
peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan
Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia
lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang
peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di
pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad
berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu
benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik
kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di
Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah.
Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad
bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira
dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia
empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga
hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal
itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab
Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada
tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa,
suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Catatan kaki:

1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).

2 Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.

3 Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan
puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh
penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn
Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang
digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas
(almudhahhab) di atas kain lina (A).

4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).

Gurau dan Canda Rasulullah SAW

Rasulullah SAW bergaul dengan semua orang.
Baginda menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Baginda bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Baginda tidak berkata kecuali yang benar saja.

Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata,
"Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta", katanya.
"Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta", kata Rasulullah SAW.
"Ia tidak mampu", kata perempuan itu.
"Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta".
"Ia tidak mampu".
Para sahabat yang berada di situ berkata,
"bukankah unta itu juga anak unta?"

Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah SAW,
"Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu".
"Semoga suamimu yang dalam matanya putih", kata Rasulullah SAW.
Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, "kenapa kamu ini?".
"Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih", kata istrinya menerangkan. "Bukankah semua mata ada warna putih?" kata suaminya.

Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah SAW,
"Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga". "Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua".
Perempuan itu lalu menangis.
Rasulullah menjelaskan, "tidakkah kamu membaca firman Allah ini,

Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya".

Para sahabat Rasulullah SAW suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na'im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.

Sifat-Sifat Nabi Muhammad SAW

Fizikal Nabi
Telah dikeluarkan oleh Ya'kub bin Sufyan Al-Faswi dari Al-Hasan bin Ali ra.
katanya: Pernah aku menanyai pamanku (dari sebelah ibu) Hind bin Abu Halah, dan aku tahu baginda memang sangat pandai mensifatkan perilaku Rasulullah SAW, padahal aku ingin sekali untuk disifatkan kepadaku sesuatu dari sifat beliau yang dapat aku mencontohinya, maka dia berkata:

Adalah Rasulullah SAW itu seorang yang agung yang senantiasa diagungkan, wajahnya berseri-seri layak bulan di malam purnamanya, tingginya cukup tidak terialu ketara, juga tidak terlalu pendek, dadanya bidang, rambutnya selalu rapi antara lurus dan bergelombang, dan memanjang hingga ke tepi telinganya, lebat, warnanya hitam, dahinya luas, alisnya lentik halus terpisah di antara keduanya, yang bila baginda marah kelihatannya seperti bercantum, hidungnya mancung, kelihatan memancar cahaya ke atasnya, janggutnya lebat, kedua belah matanya hitam, kedua pipinya lembut dan halus, mulutnya tebal, giginya putih bersih dan jarang-jarang, di dadanya tumbuh bulu-bulu yang halus, tengkuknya memanjang, berbentuk sederhana, berbadan besar lagi tegap, rata antara perutnya dan dadanya, luas dadanya, lebar antara kedua bahunya, tulang belakangnya besar, kulitnya bersih, antara dadanya dan pusatnya dipenuhi oleh bulu-bulu yang halus, pada kedua teteknya dan perutnya bersih dari bulu, sedang pada kedua lengannya dan bahunya dan di atas dadanya berbulu pula, lengannya panjang, telapak tangannya lebar, halus tulangnya, jari telapak kedua tangan dan kakinya tebal berisi daging, panjang ujung jarinya, rongga telapak kakinya tidak menyentuh tanah apabila baginda berjalan, dan telapak kakinya lembut serta licin tidak ada lipatan, tinggi seolah-olah air sedang memancar daripadanya, bila diangkat kakinya diangkatnya dengan lembut (tidak seperti jalannya orang menyombongkan diri), melangkah satu-satu dan perlahan-lahan, langkahnya panjang-panjang seperti orang yang melangkah atas jurang, bila menoleh dengan semua badannya, pandangannya sering ke bumi, kelihatan baginda lebih banyak melihat ke arah bumi daripada melihat ke atas langit, jarang baginda memerhatikan sesuatu dengan terlalu lama, selalu berjalan beriringan dengan sahabat-sahabatnya, selalu memulakan salam kepada siapa yang ditemuinya.

Kebiasaan Nabi
Kataku pula: Sifatkanlah kepadaku mengenai kebiasaannya!Jawab pamanku: Adalah Rasulullah SAW itu kelihatannya seperti orang yang selalu bersedih, senantiasa banyak berfikir, tidak pernah beristirshat panjang, tidak berbicara bila tidak ada keperluan, banyak diamnya, memulakan bicara dan menghabiskannya dengan sepenuh mulutnva, kata-katanya penuh mutiara mauti manikam, satu-satu kalimatnya, tidak berlebih-lebihan atau berkurang-kurangan, lemah lembut tidak terlalu kasar atau menghina diri, senantiasa membesarkan nikmat walaupun kecil, tidak pernah mencela nikmat apa pun atau terlalu memujinya, tiada seorang dapat meredakan marahnya, apabila sesuatu dari kebenaran dihinakan sehingga dia dapat membelanya.

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa baginda menjadi marah kerana sesuatu urusan dunia atau apa-apa yang bertalian dengannya, tetapi apabila baginda melihat kebenaran itu dihinakan, tiada seorang yang dapat melebihi marahnya, sehingga baginda dapat membela kerananya. Baginda tidak pernah marah untuk dirinya, atau membela sesuatu untuk kepentingan dirinya, bila mengisyarat diisyaratkan dengan semua telapak tangannya, dan bila baginda merasa takjub dibalikkan telapak tangannya, dan bila berbicara dikumpulkan tangannya dengan menumpukan telapak tangannya yang kanan pada ibu jari tangan kirinya, dan bila baginda marah baginda terus berpaling dari arah yang menyebabkan ia marah, dan bila baginda gembira dipejamkan matanya, kebanyakan ketawanya ialah dengan tersenyum, dan bila baginda ketawa, baginda ketawa seperti embun yang dingin.

Berkata Al-Hasan lagi: Semua sifat-sifat ini aku simpan dalam diriku lama juga. Kemudian aku berbicara mengenainya kepada Al-Husain bin Ali, dan aku dapati ianya sudah terlebih dahulu menanyakan pamanku tentang apa yang aku tanyakan itu. Dan dia juga telah menanyakan ayahku (Ali bin Abu Thalib ra.) tentang cara keluar baginda dan masuk baginda, tentang cara duduknya, malah tentang segala sesuatu mengenai Rasulullah SAW itu.

Rumah Nabi
Berkata Al-Hasan ra. lagi: Aku juga pernah menanyakan ayahku tentang masuknya Rasulullah SAW lalu dia menjawab: Masuknya ke dalam rumahnya bila sudah diizinkan khusus baginya, dan apabila baginda berada di dalam rumahnya dibagikan masanya tiga bagian. Satu bagian khusus untuk Allah ta'ala, satu bagian untuk isteri-isterinya, dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian dijadikan bagian untuk dirinya itu terpenuh dengan urusan di antaranya dengan manusia, dihabiskan waktunya itu untuk melayani semua orang yang awam maupun yang khusus, tiada seorang pun dibedakan dari yang lain.

Di antara tabiatnya ketika melayani ummat, baginda selalu memberikan perhatiannya kepada orang-orang yang terutama untuk dididiknya, dilayani mereka menurut kelebihan diri masing-masing dalam agama. Ada yang keperluannya satu ada yang dua, dan ada yang lebih dari itu, maka baginda akan duduk dengan mereka dan melayani semua urusan mereka yang berkaitan dengan diri mereka sendiri dan kepentingan ummat secara umum, coba menunjuki mereka apa yang perlu dan memberitahu mereka apa yang patut dilakukan untuk kepentingan semua orang dengan mengingatkan pula: "Hendaklah siapa yang hadir menyampaikan kepada siapa yang tidak hadir. Jangan lupa menyampaikan kepadaku keperluan orang yang tidak dapat menyampaikannya sendiri, sebab sesiapa yang menyampaikan keperluan orang yang tidak dapat menyampaikan keperluannya sendiri kepada seorang penguasa, niscaya Allah SWT akan menetapkan kedua tumitnya di hari kiamat", tiada disebutkan di situ hanya hal-hal yang seumpama itu saja.

Baginda tidak menerima dari bicara yang lain kecuali sesuatu untuk maslahat ummatnya. Mereka datang kepadanya sebagai orang-orang yang berziarah, namun mereka tiada meninggalkan tempat melainkan dengan berisi. Dalam riwayat lain mereka tiada berpisah melainkan sesudah mengumpul banyak faedah, dan mereka keluar dari majelisnya sebagai orang yang ahli dalam hal-ihwal agamanya.

Luaran Nabi
Berkata Al-Hasan r.a. lagi: Kemudian saya bertanya tentang keadaannya di luar, dan apa yang dibuatnya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW ketika di luar, senantiasa mengunci lidahnya, kecuali jika memang ada kepentingan untuk ummatnya. Baginda selalu beramah-tamah kepada mereka, dan tidak kasar dalam bicaranya. Baginda senantiasa memuliakan ketua setiap suku dan kaum dan meletakkan masing-masing di tempatnya yang layak. Kadang-kadang baginda mengingatkan orang ramai, tetapi baginda senantiasa menjaga hati mereka agar tidak dinampakkan pada mereka selain mukanya yang manis dan akhlaknya yang mulia. Baginda selalu menanyakan sahabat-sahabatnya bila mereka tidak datang, dan selalu bertanyakan berita orang ramai dan apa yang ditanggunginya. Mana yang baik dipuji dan dianjurkan, dan mana yang buruk dicela dan dicegahkan.

Baginda senantiasa bersikap pertengahan dalam segala perkara, tidak banyak membantah, tidak pernah lalai supaya mereka juga tidak suka lalai atau menyeleweng, semua perkaranya baik dan terjaga, tidak pernah meremehkan atau menyeleweng dari kebenaran, orang-orang yang senantiasa mendampinginya ialah orang-orang paling baik kelakuannya, yang dipandang utama di sampingnya, yang paling banyak dapat memberi nasihat, yang paling tinggi kedudukannya, yang paling bersedia untuk berkorban dan membantu dalam apa keadaan sekalipun.

Majlis Nabi
Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya lalu bertanya pula tentang majelis Nabi SAW dan bagaimana caranya ? Jawabnya: Bahwa Rasulullah SAW tidak duduk dalam sesuatu majelis, atau bangun daripadanya, melainkan baginda berzikir kepada Allah SWT baginda tidak pernah memilih tempat yang tertentu, dan melarang orang meminta ditempatkan di suatu tempat yang tertentu. Apabila baginda sampai kepada sesuatu tempat, di situlah baginda duduk sehingga selesai majelis itu dan baginda menyuruh membuat seperti itu. Bila berhadapan dengan orang ramai diberikan pandangannya kepada semua orang dengan sama rata, sehingga orang-orang yang berada di majelisnya itu merasa tiada seorang pun yang diberikan penghormatan lebih darinya. Bila ada orang yang datang kepadanya kerana sesuatu keperluan, atau sesuatu masliahat, baginda terus melayaninya dengan penuh kesabaran hinggalah orang itu bangun dan kembali.

Baginda tidak pernah menghampakan orang yang meminta daripadanya sesuatu keperluan, jika ada diberikan kepadanya, dan jika tidak ada dijawabnya dengan kata-kata yang tidak mengecewakan hatinya. Budipekertinya sangat baik, dan perilakunya sungguh bijak. Baginda dianggap semua orang seperti ayah, dan mereka dipandang di sisinya semuanya sama dalam hal kebenaran, tidak berat sebelah. Majelisnya semuanya ramah-tamah, segan-silu, sabar menunggu, amanah, tidak pemah terdengar suara yang tinggi, tidak dibuat padanya segala yang dilarangi, tidak disebut yang jijik dan buruk, semua orang sama kecuali dengan kelebihan taqwa, semuanya merendah diri, yang tua dihormati yang muda, dan yang muda dirahmati yang tua, yang perlu selalu diutamakan, yang asing selalu didahulukan.

Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya pun lalu menanyakan tentang kelakuan Rasulullah SAW pada orang-orang yang selalu duduk-duduk bersama-sama dengannya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW selalu periang orangnya, pekertinya mudah dilayan, seialu berlemah-lembut, tidak keras atau bengis, tidak kasar atau suka berteriak-teriak, kata-katanya tidak kotor, tidak banyak bergurau atau beromong kosong segera melupakan apa yang tiada disukainya, tidak pernah mengecewakan orang yang berharap kepadanya, tidak suka menjadikan orang berputus asa. Sangat jelas dalam perilakunya tiga perkara yang berikut. Baginda tidak suka mencela orang dan memburukkannya. Baginda tidak suka mencari-cari keaiban orang dan tidak berbicara mengenai seseorang kecuali yang mendatangkan faedah dan menghasilkan pahala.

Apabila baginda berbicara, semua orang yang berada dalam majelisnya memperhatikannya dengan tekun seolah-olah burung sedang tertengger di atas kepala mereka. Bila baginda berhenti berbicara, mereka baru mula berbicara, dan bila dia berbicara pula, semua mereka berdiam seribu basa. Mereka tidak pernah bertengkar di hadapannya. Baginda tertawa bila dilihatnya mereka tertawa, dan baginda merasa takjub bila mereka merasa takjub. Baginda selalu bersabar bila didatangi orang badwi yang seringkali bersifat kasar dan suka mendesak ketika meminta sesuatu daripadanya tanpa mahu mengalah atau menunggu, sehingga terkadang para sahabatnya merasa jengkel dan kurang senang, tetapi baginda tetap menyabarkan mereka dengan berkata: "Jika kamu dapati seseorang yang perlu datang, hendaklah kamu menolongnya dan jangan menghardiknya!". Baginda juga tidak mengharapkan pujian daripada siapa yang ditolongnya, dan kalau mereka mau memujinya pun, baginda tidak menggalakkan untuk berbuat begitu. Baginda tidak pernah memotong bicara sesiapa pun sehingga orang itu habis berbicara, lalu barulah baginda berbicara, atau baginda menjauh dari tempat itu.

Diamnya Nabi
Berkata Al-Hasan r.a. lagi: Saya pun menanyakan pula tentang diamnya, bagaimana pula keadaannya? Jawabnya: Diam Rasulullah SAW bergantung kepada mempertimbangkan empat hal, yaitu: Kerana adab sopan santun, kerana berhati-hati, kerana mempertimbangkan sesuatu di antara manusia, dan kerana bertafakkur. Adapun sebab pertimbangannya ialah kerana persamaannya dalam pandangan dan pendengaran di antara manusia. Adapun tentang tafakkurnya ialah pada apa yang kekal dan yang binasa. Dan terkumpul pula dalam peribadinya sifat-sifat kesantunan dan kesabaran. Tidak ada sesuatu yang boleh menyebabkan dia menjadi marah, ataupun menjadikannya membenci. Dan terkumpul dalam peribadinya sifat berhati-hati dalam empat perkara, iaitu: Suka membuat yang baik-baik dan melaksanakannya untuk kepentingan ummat dalam hal-ehwal mereka yang berkaitan dengan dunia mahupun akhirat, agar dapat dicontohi oleh yang lain. Baginda meninggalkan yang buruk, agar dijauhi dan tidak dibuat oleh yang lain. Bersungguh-sungguh mencari jalan yang baik untuk maslahat ummatnya, dan melakukan apa yang dapat mendatangkan manfaat buat ummatnya, baik buat dunia ataupun buat akhirat.

(Nukilan Thabarani - Majma'uz-Zawa'id 8:275)

Penggalian Sumur Zam-Zam

Tugas menyediakan bahan makanan dan air minum bagi jamaah haji merupakan hal yang sangat sulit pada waktu itu.
 

Nenek Moyang Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah keturunan Nabi Ibrahim as, dari perkawinannya dengan Hajar,istri yang kedua. Perkawinan ini mendapatkan putra, Nabi Ismail as.


Suku Quraisy adalah keturunan Fihr, yang dinamakan juga Quraisy, yang berarti saudagar. Ia hidup di abad 3 Masehi. Fihr adalah keturunan Ma’ad. Ma’ad adalah anak Adnan yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Ismail as.

Qushay, salah seorang keturunan Fihr yang hidup di abad 5 Masehi, berhasil mempersatukan semua suku Quraisy, dan menguasai seluruh Hijaz, yaitu daerah selatan Jazirah Arab, yang di dalamnya terdapat kota Makkah, Madinah, Ta’if, dan Jeddah. Ia memperbaiki Ka’bah, mendirikan istana, menarik pajak, dan menyediakan makan serta air peziarah Ka’bah yang datang setahun sekali. Tradisi ziarah ini sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji.. Qushai meninggal tahun 480 M. Posisinya digantikan putranya, Abdud Dar.

Anak kedua Qushai, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat.

Sepeninggal Abdud Dar, terjadilah sengketa antara keturunan Abdud Dar dan anak-anak Abdul Manaf. Selanjutnya diadakan pembagian tugas. Abdus Syam, anak Abdul Manaf, bertugas menyediakan air dan mengumpulkan pajak. Sedangkan cucu-cucu Abdud Daar bertugas menjaga Ka’bah, istana, dan bendera peperangan.

Setelah beberapa waktu Abdus Syam menyerahkan tugas ini kepada adiknya, Hasyim. Hasyim merupakan seorang tokoh terkenal di negeri Arab pada waktu itu karena keberanian dan kejujurannya. Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Salah seorang keturunan Umayah adalah Abu Sofyan. Putra Abu Sofyan, Muawiyah, kelak mendirikan dinasti Umayah.

Hasyim menikah dengan Salma binti Amr dari Bani Khazraj, perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah, yang dikenal juga dengan nama Abdul Muthalib. Abdul Muthalib inilah kakek Rasulullah SAW.

Hasyim meninggal tahun 510 M, dan posisinya digantikan saudaranya, Muthalib. Sepeninggal Muthalib tanggung jawab kekuasaannya dipegang oleh Abdul Muthalib. Abdul Muthalib mula-mula tinggal di Madinah sampai Muthalib yang menggantikan Hasyim wafat.

KH. Hasani Nawawie


Kiai Hasani Muda:
Diplomat Ulung di Masa Belanda

Lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani sudah yatim semenjak masih dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun.


Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie bin Noerhasan. Beliau adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie. Masing-masing adalah KH. Noerhasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai Hanifah, K.H. Kholil Nawawie, Nyai Aisyah (dari Nyai Nadhifah); K.H. Sirajul Millah, K.A. Sa’doellah Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai Asyfi‘ah).

Tanda-tandanya sebagai ulama yang dekat dengan Allah sudah tampak semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kiai Hasani menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti luhur.

Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna merupakan hal yang sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila berjalan, selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang.

Tak seperti kebanyakan putra ulama besar, Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga pendidikan. Beliau tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun kecuali di pesantren abahnya di Sidogiri. Dalam hal ini Kiai Hasani mengaku dirinya mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Ibu Nyai Asyfi’ah) di Gondang Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke mana-mana.

Kiai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya secara otodidak. Semasa hidup, putra bungsu K.H. Nawawie bin Noerhasan ini, hanya mempunyai tiga orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada K.H. Syamsuddin (?) di Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil Gus Ud ini, Kiai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, ‘Imrithi dan Mutammimah. Selain kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada K.H. Birrul Alim.

Selanjutnya, Kiai Hasani belajar kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kakak iparnya sendiri, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur, di Sidogiri. Kitab monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini beliau pelajari sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah, atas saran kakak iparnya itu, Kiai Hasani bermaksud belajar ilmu fiqh (hukum Islam). Kiai Djalil juga berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir kepadanya. Tapi, sebelum kitab kaidah fiqh itu sempat diajarkan kepada Kiai Hasani, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur terlebih dahulu wafat.

Kiai Hasani merupakan satu-satunya orang yang belajar secara langsung kepada K.H. Abdul Djalil. K.H. Abdul Djalil adalah pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu K.H. Nawawie bin Noerhasan, abah Kiai Hasani.

Konon, salah satu penyebab Kiai Hasani alim tanpa perlu belajar di lembaga pendidikan mana pun adalah berkat doa K.H. Ma’ruf (Kedungloh Kediri). Kiai Ma’ruf adalah teman akrab K.H. Nawawie bin Noerhasan, Abah Kiai Hasani. Ia masyhur sebagai wali Allah. Bisa bertemu langsung dengan Nabi Khidir dan bila ada kesulitan, langsung berdialog dengan Rasulullah SAW.

Suatu saat, Kiai Hasani sowan kepada ulama sepuh itu. Setelah menceritakan asal usulnya, beliau ditanya oleh K.H. Ma’ruf: “Apakah sudah hafal nadham Alfiyah?”. Dengan jujur, Kiai Hasani menjawab tidak. Lalu Kiai Ma’ruf menawari untuk belajar di pesantrennya selama 40 hari, tapi Kiai Hasani menolak. Kiai Hasani mengatakan beliau sulit untuk kerasan.

Kiai Ma’ruf lalu menawari Kiai Hasani untuk mengamalkan puasa selama 3 hari. Selama puasa hanya diperkenankan sahur dan berbuka hanya dengan satu biji kurma. Dengan tirakat ini, K.H. Ma’ruf menjamin Kiai Hasani bisa alim tanpa belajar. Tapi, lagi-lagi Kiai Hasani menolaknya karena merasa tidak mampu melaksanakan amalan itu.

Mendengar jawaban Kiai Hasani itu, K.H. Ma’ruf menyuruh beliau pulang dan berjanji akan mendoakannya dalam setiap sholat.

Kiai Hasani memang tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga tertentu. Dalam pertualangannya mencari ilmu, Kiai Hasani lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan secara otodidak. Di dalemnya, beliau tekun me-muthalaah kitab-kitab. Tafsir dan akhlaq merupakan disiplin pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan catatan dan kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah pernyataan penting pada halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah wafatnya, kitab-kitab itu diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri.

Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya dari pesantren ke pesantren. Beliau hidup pada masa di mana penjajahan Belanda sedang pada puncaknya. Kiai Hasani muda lebih memilih berjuang melawan para penjajah itu dibanding menghabiskan waktunya di sebuah menara gading. Namun modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak seperti Kiai A. Sa’doellah Nawawie, kakaknya, yang memilih berjuang mengangkat senjata, Kiai Hasani lebih suka berjuang melalui jalan diplomasi. Beliau kerap mendatangi kamp-kamp Belanda dan berpidato di situ.

Dengan mendekati Belanda Kiai Hasani berupaya menetralisir incaran Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang sedang menjadi salah satu incaran utama pasukan Kompeni. Sidogiri merupakan markas perjuangan Kiai A. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kiai Hasani itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda dari Sidogiri.

Apa yang dilakukan Kiai Hasani dengan mendekati Belanda ternyata cukup efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka. Jika pasukan Belanda mau menyerang Sidogiri, Kiai Hasani sudah menyetop mereka sebelum masuk ke Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan, mereka pun menuruti apa yang dikatakan Kiai Hasani.

Kiai Hasani Nawawi: Pola Hidup Sufi
21 Kali Bermimpi Soekarno

Terletak di tepi selatan asrama Pesantren Sidogiri bersebelahan dengan Mesjid, dalem itu tampak sepi. Seperti tak ada kegiatan kerumahtanggaan di situ. Bangunannya tampak tua sekali, dengan jendela dan pintu bercat cokelat. Bagian depan berlantai semen seluas 1×3 meter. Tak ada aksesori apapun, hanya tampak beberapa pohon pisang di depan dalem. Pagar bambu yang menutupinya sudah tampak agak rusak. Di sebelah barat, dalem itu ditutupi beberapa satir dari anyaman bambu.

Di sinilah, Kiai Hasani tinggal. Jika anda ke sana, anda tak mengira bahwa itu adalah dalem seorang ulama besar yang amat disegani, terutama di Jawa Timur. Rumah itu memang terlalu sederhana. Tapi, dari sinilah figur panutan itu meniupkan angin sufisme dari pikiran ke pikiran: sufisme yang tidak hanya dalam bentuk konsepsi, tapi sebuah realitas kehidupan.

Kiai Hasani memang menyukai hidup sederhana. Apa yang dijalani dalam hidupnya merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sufistik yang tak mengacuhkan materi. Sufisme memang telah menjadi pandangan hidup beliau sejak muda. Beliau konsisten dengan nilai-nilai itu, qawlan wa fi‘lan. Sehingga ada kesan unik pada pola hidup yang beliau jalani. Memang pola hidup sufistik pada jaman ini, secara realitas tidaklah populer, meski hal itu sering muncul sebagai komoditas wacana. Ia telah menjadi tumpukan cerita di masa lalu.

Nilai utama sufisme yang selalu dipegang teguh oleh beliau sampai akhir hayatnya adalah al-bu‘d ‘an al-dun‘ya. Dalam catatan sejarah, nilai ini dipopulerkan oleh Sayyidina Ali yang menyatakan talak tiga untuk dunia. Begitu pula dalam pandangan Kiai Hasani, hubb al-dun‘ya (suka dunia) adalah penyakit yang telah amat kronis menimpa umat ini. Suatu ketika, dalam sebuah manuskripnya, beliau mengungkapkan bahwa akar dari kerusakan umat ini adalah kesenangan ulama-ulamanya kepada dunia.

Memang, dari 8 orang putra Kiai Nawawie, semuanya hidup miskin. Tapi, yang membuat Kiai Hasani berbeda dari saudara-saudaranya adalah kesempatan untuk kaya selalu beliau tolak. Beliau tidak pernah menghiraukan urusan uang dan harta. “Jangan sampai engkau tahu, berapa jumlah uang yang ada di sakumu,” dawuh beliau.

Begitulah Kiai Hasani dalam memandang dunia. Zuhud (asketisme) menjadi cermin utama dalam pola hidup yang beliau jalani. Seperti tak ada kesukaan sedikit pun terhadap dunia. Kalau pada umumnya, para tokoh (termasuk ulama) menyukai fasilitas-fasilitas mewah, tapi lain halnya dengan Kiai Hasani. Beliau malah hidup sangat sederhana. Tidak suka mobil. Sering tampak berjalan kaki atau naik becak untuk sebuah keperluan. “Keinginan punya mobil saja, aku tidak ingin,” dawuhnya suatu ketika kepada K.H. Nawawi bin Abdul Jalil, keponakannya.

Jika anda masuk ke dalem Kiai, maka mesti tersirat sebuah kesimpulan betapa sederhananya beliau. Di dalem, tidak terdapat peralatan apa-apa. Tak ada hiasan dan hanya berlantai semen. Menariknya di dinding sebelah dalam, Kiai menggantungkan celurit, pacul dan tangga. Entah isyarat apa yang beliau maksudkan dengan peralatan tani ini. Yang jelas, barang-barang itu bukan hiasan yang dimaksudkan untuk menambah keindahan pemandangan.

Dalam dahar-nya (makan) sehari-hari, K.H. Hasani biasanya hanya cukup dengan nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap. Makanan kesukaan beliau adalah kentang rebus diletakkan di piring kecil dan tempe mendol.

Pada hari Senin, sehari sebelum wafat, Kondisi beliau semakin melemah. Dokter yang memeriksanya menganjurkan agar makan lebih banyak, tapi beliau beralasan bahwa sejak dulu beliau tidak pernah makan banyak. Akhirnya Dokter hanya menyarankan agar yang penting perut tetap ada isinya.

Uniknya, Kiai malah memberi makan kucing piaraannya dengan ikan tongkol dan ikan-ikan yang biasanya menjadi lauk kebanyakan orang. Kiai memang suka memelihara hewan yang konon juga merupakan hewan piaraan kegemaran Abu Hurairah, Sahabat Nabi dan perawi hadits paling masyhur itu. Kucing-kucing yang terlantar dan sakit-sakitan beliau rawat dan dipeliharanya dengan baik sampai sehat dan gemuk. Kalau ada kucing yang mati maka beliau akan menguburkannya layaknya manusia. Suatu saat salah satu kucing piaraan beliau terlindas kendaraan salah satu keluarga. Lalu dikuburkan di suatu tempat. Ketika tahu kejadian tersebut, beliau langsung membongkar lagi kuburan kucing tersebut dan dipindahkan ke tempat penguburan kucing yang terletak di belakang dalem beliau. Dalam dawuhnya, Kiai Hasani menyatakan bahwa kucing merupakan nunutan beliau untuk masuk surga. “Kamu tidak punya dosa, Pus!” dawuh beliau suatu hari seperti berdialog dengan kucing kesayangannya.

Memang, beliau sangat akrab dengan kesederhanaan itu. Hidup layaknya orang biasa sudah menjadi manhaj al-hayah bagi beliau. Berpakaian seperti lazimnya orang biasa. Sering terlihat memakai baju takwa hitam. Tidak suka memakai sorban seperti kebiasaan para ulama. Bahkan, beliau juga lebih suka memakai kopyah hitam dibanding kopyah putih. Itu semua merupakan manifestasi dari pandangan kesederhanaan dan kesukaan untuk hidup layaknya orang biasa.

Kiai Hasani memang amat tidak suka memakai atribut jasmaniah para ulama. Beliau juga tidak senang diperlakukan istimewa. Pernah suatu ketika, beliau diundang menghadiri walimatul arusy salah seorang tokoh di Pasuruan. Di tempat yang disediakan untuk undangan para kiai, tertulis kalimat “Khusus Masyayikh”. Tahu ada tulisan semacam itu, Kiai Hasani yang kebetulan diundang dan hadir dalam acara tersebut tidak berkenan masuk. Apa kata beliau? “Aku bukan masyayikh”. Akhirnya tuan rumah melepas tulisan itu dan Kiai Hasani pun berkenan masuk. Konon, Kiai juga senang diundang ke Probolinggo karena di tempat itu beliau tidak di’istimewa’kan dari yang lain.

Jika Kiai Hasani mau, bukannya beliau tidak bisa untuk hidup seperti lazim tokoh-tokoh lain. Dalam pembagian tirkah warisan setelah beliau wafat, uangnya banyak tercecer di mana-mana. Kadang di bawah kasur, di dalam kitab dan di tempat-tempat lain. . Ini merupakan sebuah cermin bahwa Kiai tidak pernah memasukkan urusan harta ke dalam pikirannya. Beliau tidak pernah menghitung berapa uang yang dimilikinya. “Jangan sampai kau ketahui uang yang masuk ke sakumu, agar kamu tidak bersandar pada uang,” ungkap beliau menyiratkan sebuah pandangan zuhdiyah-nya.

Dulu, Kiai Hasani pernah titip modal kepada H. Makki, salah satu jutawan terkenal di Pamekasan Madura. Hal ini dimaksudkan beliau sebagai pemenuhan atas kewajiban berkasab bagi seorang muslim. Tapi, sampai akhir hayatnya Kiai Hasani tidak pernah menghiraukan uang itu lagi. Menjelang pembagian warisan, uang itu diserahkan oleh H. Makki kepada keluarga beliau di Sidogiri.

“Al-Dun’ya dawa’,” dawuh Hadratussyekh. “Dunia adalah obat”. Kalimat singkat itu diperoleh beliau melalui mimpi. Syahdan, Kiai Hasani pernah bermimpi bertemu Soekarno (Presiden ke-1 Republik Indonesia). Dalam mimpi itu, Soekarno hanya menyampaikan kalimat “al-dun’ya dawa” kepada Kiai. Konon, mimpi yang sempat beliau tulis dalam manuskripnya itu, terjadi selama 21 kali.

Awalnya K.H. Hasani tidak paham apa maksud dari kalimat tersebut. Lalu beliau menceritakan mimpi itu kepada kakak beliau Almaghfurlah K.H. Cholil Nawawie. Setelah berpikir cukup lama, K.H. Cholil bisa menjawab apa maksud dari kalimat “dunia adalah obat”. “Obat itu hanya digunakan jika keadaan sakit (betul-betul membutuhkan, begitu pula dunia,” jelas Kiai Cholil kepada Kiai Hasani. Mengenai hal itu, Kiai Hasani juga berdawuh: “Yang baik, obat itu apa kata dokternya. Tidak boleh overdosis.”

Pandangan dan sikap hidup asketis itu memang telah beliau tampakkan semenjak muda. Tak ada tempat di hati untuk kesenangan duniawi. “Saya ingin tahu, seperti apa rasanya senang dunia itu?” dawuh beliau suatu ketika.

Begitulah Kiai Hasani, selalu memelihara kelarasan antara dawuh dan perilaku. Kekentalannya dengan sufisme tidak hanya terejawantahkan dalam kata-kata, tapi juga pola hidupnya sehari-hari. Oleh kerena itu, beliau sering mewanti-wanti bahwa sekarang ini yang terpenting bagi kita adalah mengamalkan ilmu. “Kalau dulu memang dibutuhkan orang-orang alim, sekarang sudah tidak perlu lagi. Semuanya sudah alim-alim. Kita hanya perlu menyelamatkan diri,” tegas Hadratussyekh.

Ulama memang telah begitu banyak. Lalu, sebanyak itukah orang yang bermoral ulama? Sufisme telah menjadi kajian luas: di majelis ta‘lim, seminar, halaqah, dan mimbar-mimbar kuliah. Buku-buku tentang tasawuf membanjiri toko-toko. Lantas, seluas itukah nilai-nilai sufisme itu telah diterapkan? Kiai Hasani seperti mengkritik itu semua: “al-Ilm al-yawm mazhlum,” dawuh beliau penuh kecewa. Saat ini, ilmu pengetahuan (terutama pengetahuan agama) memang telah menjadi korban.

Pandangan kritis itu tidak hanya ditunjukkan Kiai Hasani untuk para ulama dan cendekiawan. Dalam pandangan beliau, orang-orang yang melaksanakan ibadah pun sekarang banyak yang maghrur, terjerumus dalam lembah kedunguan. Setelah naik haji pada tahun 1958, beliau enggan untuk naik haji lagi. Hadratussyekh begitu prihatin melihat Baitullah itu sekarang. Begitu banyak munkarat di situ. Padahal kita mesti ekstra hati-hati di Tanah Suci itu. Tanah Haram tidak bisa dibuat sembarangan.

Mengenai ibadah, Kiai Hasani memberi penekanan utama pada sisi makna. Ibadah bukan cuma urusan ritual badaniah belaka, tapi berintisari pada pemaknaan hati. Oleh karena itu, beliau lebih suka melakukan ibadah yang dirasanya sebagai hal berat. Di situ ada upaya menundukkan hati kepada Ilahi. Mengatur gerak hati memang lebih berat dibanding aktivitas jasmaniah. Ini terutama menyangkut keikhlasan dan gerak kalbu yang lain. “Lebih berat maksiatnya hati dari pada maksiatnya badan,” dawuh beliau.

Menjadikan gerak kalbu sebagai esensi segala aktivitas merupakan pandangan yang diperkenalkan kalangan sufi. Kendati demikian, Kiai Hasani sangat kukuh dan tegas memegang norma-norma ritual sebuah ibadah. Beliau amat tegas dengan kebenaran tatalaksana shalat menurut aturan fiqh, begitu pula dalam ibadah-ibadah lain. Bahkan, sampai masalah adzan pun beliau mempunyai perhatian amat serius. Sampai sekarang, adzan di Mesjid Sidogiri tidak pernah berlagu. Kiai Hasani marah jika adzan dilakukan berlagu. Memang, pada aspek tatakrama, adzan berlagu hanya mementingkan dominasi seni serta telah kehilangan makna panggilannya menghadap Allah.

Persis seperti umumnya para sufi, K.H. Hasani sejak lama merindukan mati, sebuah keinginan yang tidak wajar dalam pikiran orang yang belum merasakan betapa sesak dunia ini dan betapa indah bertemu dengan Sang Rabb. Kerinduan itu sering beliau ungkapkan, terutama menjelang hari wafatnya. Apa yang menguntungkan dari mati? ”Kalau orang baik pendek umur, ia cepat ketemu kebaikannya. Kalau orang yang jelek pendek umur, ia cepat putus dari kejelekannya agar tidak banyak dosanya,” dawuh Hadratussyekh membangun logika dari pandangannya.

Jika ada tamu, Kiai Hasani selalu mengantarkan sendiri suguhannya. Beliau juga sangat sedih jika banyak tamu, khawatir tidak bisa menghormati mereka dengan layak.

Etiket sufisme lain yang juga sudah begitu melekat pada Kiai Hasani adalah melestarikan ajaran khumul. Dalam kamus sufi, khumul berarti tidak mau dikenal orang (tentang keistimewaan dirinya). Dalam tuntunan tasawuf Ibnu Atha’ al-Sakandari ajaran ‘tidak suka tampil’ itu dimaksudkan sebagai langkah penyelamatan bagi seorang yang menjalani kehidupan sufi agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran. “Sing enak saiki iki mastur,” dawuh Kiai kepada K.H. A. Nawawi bin Abdul DJalil, keponakannya.

Memang, khumul seperti telah menjadi filosofi baku, tidak hanya bagi Kiai Hasani tapi juga Sidogiri. Pondok pesantren yang sudah berusia 256 tahun itu seperti besar dalam ketersembunyian: tidak pernah menyebar brosur atau jenis promosi lain, bahkan memasang plakat pun bagi Sidogiri terkesan tabu.

Kiai Hasani Nawawi: Perjuangan Mendidik Generasi
Mendidik Masyarakat dengan Uswah

Tak ada Kiai Hasani, Sidogiri seperti kehilangan urat nadi. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi yang punya perhatian penuh pada shalat,” kalimat itu kerap terdengar dari santri Sidogiri pasca wafatnya Hadratussyekh K.H. Hasani Nawawie.

Memang, selama dasawarsa terakhir, Sidogiri memiliki komitmen pendidikan shalat yang luar biasa. Upaya pendidikan shalat bagi santri digalakkan sedemikian rupa. Bahkan, semenjak dua tahun yang terakhir, Sidogiri menetapkan lulus ujian shalat sebagai syarat kenaikan kelas di madrasah.

Komitmen yang luar biasa hebat ini merupakan buah perhatian ekstra Kiai Hasani terhadap shalat santri. Dalam dawuhnya, beliau menyatakan bahwa shalat merupakan standar keberhasilan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri. Shalat santri baik, berarti pendidikan berhasil; shalat santri jelek, berarti pendidikan gagal.

K.H. Hasani memang lebih sering memerankan sebagai sosok yang mengerem langkah Pesantren Sidogiri agar tidak bergeser dari visi semula: ingin mencetak ‘ibad Allah al-shalihin. Beliau adalah supervisor, penyelia segenap komponen pesantren yang sedang berproses.

Tugas ini beliau akui sebagai beban yang mahaberat, soalnya menyangkut tanggung jawab di hadapan Allah. Tugas mahaberat ini sejalan dengan pandangan beliau bahwa pesantren merupakan lembaga yang ussisa ‘ala al-taqwa, dibangun dan berdiri atas dasar takwa kepada Allah. Jadi, bagaimanapun dan kemanapun pesantren ini melangkah, takwa tetap harus menjadi oreintasi dasar.

Hal tersebut betul-betul membuat Kiai Hasani tidak bisa tenang, terutama ketika menyaksikan ibadah santri. Di dalem, Kiai kadang berdiri sampai berjam-jam menghadap ke mesjid. Beliau memperhatikan dengan seksama santri yang sedang melakukan shalat. Kiai memang mempunyai keprihatinan yang mendalam melihat shalat santri belakangan ini.

Kiai menjalankan kontrol penuh terhadap mesjid. Sampai sekarang pun, dalemnya yang terletak bersebelahan dengan mesjid itu seperti menjadi pengawas bisu bagi santri yang masuk ke mesjid. Mereka terlihat amat hati-hati berada di mesjid ini, terutama ketika Hadratussyekh masih hidup.

Menyaksikan mesjid Sidogiri akan terlihat aktivitas ibadah yang berlangsung tertib. Mesjid selalu ramai dengan lalulalang santri yang hendak, usai, atau sedang melaksanakan ibadah. Bangunan tua itu memang padat dengan aktivitas dalam 24 jam. Tapi, semuanya berjalan tenang dan tertib. Ini semua buah kontrol ketat Kiai Hasani terhadap tempat ibadah itu. Kontrol penuh K.H. Hasani atas mesjid itu memang terbukti efektif bagi pembangunan semangat ibadah bagi santri Sidogiri.

Kiai Hasani sangat tidak suka jika tempat ibadah itu dicampuri dengan hal-hal yang bisa merusak makna ketertundukan terhadap sang Maha Pencipta. Setiap kali ada hal-hal yang mengurangi kesopanan terhadap tempat suci ini, Hadratussyekh mesti memberi respon kontrolnya, minimal dalam bentuk teguran kepada orang yang dipasrahi untuk menjaga ketertiban ibadah di mesjid.

Beliau sering memberi teguran jika terjadi keramaian yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Peringatan yang sering beliau sampaikan kepada santri menjadi kontrol efektif bagi mereka untuk tidak berlaku urakan dan keterlaluan dalam bergurau dan mengekspresikan sesuatu. Kontrol itu sangat melekat pada jiwa masing-masing santri. Saking lekatnya kontrol dari Hadratussyekh ini, setiap terjadi keramaian, satu kata “dalem” betul-betul ampuh untuk membuat mereka diam dan tenang kembali. Pada aspek apapun,

Dalam segala hal, K.H. Hasani menekankan pentingnya keseriusan. Pada aspek apapun Kiai berpegang pada prinsip falyadhaku qalila walyabku katsira, perbanyak menangis dibanding tertawa. Prinsip tersebut merupakan prinsip dasar yang diajarkan al-Qur’an sebagai pandangan hidup bagi setiap muslim.

Sebagai pemangku utama Pondok Pesantren Sidogiri, peran K.H. Hasani dalam menjaga keseimbangan arus pesantren agar tidak bergeser dari prinsip al-Salaf al-Shalihin betul-betul vital. Beliau menitikkan perhatiannya pada pembentukan haliyah, perilaku dan moral santri. Ini adalah bagian dari pandangan dan komitmen beliau yang luar biasa: bahwa santri merupakan tanggung jawab mahaberat dun’ya wa ukhra.

Kiai Hasani: uswah sebagai strategi dakwah

Beliau memang sosok sufi, zuhud dan tidak menyukai kehidupan materialistik. Sebagai sosok dengan komitmen relegius yang kental, tak bisa dibayangkan betapa kecewa beliau melihat ‘jaman’ ini. Ya, kekecewaan itu memang sering diungkapkan beliau. Bahkan, berbagai manuskrip, maqalah dan pandangan-pandangannya kerapkali menumpahkan kekecewaan yang mendalam itu.

Anehnya, kekecewaan itu tidak membuat beliau lebih suka berada di menara gading dan menghabiskan hari-harinya dengan menikmati munajat kepada Allah di hamparan sunyi. Pandangan hidupnya yang zuhud tidak membawa beliau untuk menyepi, menjauh dari khalayak.

Kiai Hasani suka berbaur dengan masyarakat sekitar. Kerap berkumpul di tengah-tengah mereka untuk sekedar bincang-bincang, kadang juga di warung-warung. “Kalau kiainya warung dan kiainya kucing, tanyakan saya,” dawuh beliau suatu ketika. Detik-detik persentuhan dengan masyarakat itulah yang kerap digunakan Hadratussyekh untuk menaburkan ajaran Islam dari pikiran ke pikiran.

Kedekatannya dengan masyarakat akar rumput membuat mereka merasa amat kehilangan atas kemangkatan Kiai Hasani. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi yang akan dekat dengan masyarakat,” ujar salah seorang penduduk desa. Kiai Hasani selalu hadir jika diundang masyarakat, baik untuk walimah atau acara-acara selamatan lain. Bahkan beliau selalu hadir tepat waktu, meskipun undangan lain masih belum datang. “Jika diundang jam tujuh, beliau datangnya pas jam tujuh. Kadang tuan rumahnya pun waktu itu masih belum persiapan,” cerita salah satu sumber.

Dalam dakwahnya kepada masyarakat luas, Kiai Hasani lebih mengutamakan aksi dibanding retorika. Selama hidupnya, Hadratussyekh tidak pernah tampil memberi ceramah maupun pengajian di depan publik. Beliau berdakwah dari pintu ke pintu; dari orang ke orang. Naluri dakwah semacam inilah yang membuat masyarakat merasa bahwa Kiai Hasani begitu dekat dengan mereka. “Mereka tidak salah. Yang salah itu kamu dan aku. Mereka tidak mengerti, tidak mendengar dakwah Islam,” dawuh Kiai kepada Mas Abdullah Syaukah, keponakannya.

Kiai Hasani memang sosok ulama yang mempunyai kepedulian sosial amat tinggi. Kiai memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bawah, juga merasakan penderitaan mereka. Hal ini misalnya tercermin dari sikap tenggang rasa yang beliau tampakkan untuk kalangan bawah itu. Naik becak dari lapangan Sidogiri ke dalemnya saja (sekitar 200 meter), Kiai memberi ongkos dari Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu. Suatu ketika salah satu keponakannya yang menyaksikan hal tersebut bertanya: “Apa tidak terlalu banyak, Kiai?” Apa dawuh Kiai Hasani? “Kalau aku disuruh nyetir becak itu dari lapangan ke sini, diberi uang segitu pun aku tidak mau,” jawab beliau. Dawuh semacam itu timbul dari kepedulian dan tenggang rasa yang mendalam terhadap penderitaan kalangan bawah.

Kiai begitu memahami keadaan masyarakat bawah. Dalam membimbing mereka menuju kebenaran, beliau lebih mengutamakan langkah memberi teladan. Segala segi dari pola hidup yang beliau jalani merupakan bagian dari bimbingan melalui haliyah itu. “Sebetulnya, sekarang pun aku mampu membeli mobil Mercedes keluaran terbaru. Tapi, aku takut masyarakat mempunyai pemahaman keliru bahwa menjadi kiai itu enak. Lalu mereka memondokkan anaknya ke pesantren biar jadi kiai dan hidupnya enak,” dawuh beliau mengungkapkan visi dakwahnya kepada salah seorang guru Sidogiri.

Kiai memang terkenal sebagai sosok ulama yang selalu menjaga kemanunggalan kata dan sikap. Semua yang beliau katakan, selalu beliau laksanakan. Dalam berdakwah, beliau mesti memulai dari diri sendiri. Dalam bahasa K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Kiai Hasani adalah ulama yang alim amaliyah dan amil ilmiyah. Hal tersebut diungkapkan K.H. Hasyim saat memberi sambutan dalam selamatan 40 hari wafatnya Hadratussyekh.

“Saat ini, kita amat terpukul dengan kepergian Kiai Hasani. Tapi hal itu tidak cukup. Yang terpenting bagi kita setelah ini adalah meneladani kehidupan yang telah dicontohkan beliau,” ungkap salah satu ulama dalam kalimat belasungkawanya di hadapan kaum muslimin ketika akan melaksanakan shalat jenazah yang ke-8 untuk al-Maghfurlah K.H. Hasani.

Kiai Hasani adalah sosok yang netral. Dalam berdakwah, beliau tidak pernah membeda-bedakan orang. Siapapun orangnya, kalau ia memiliki visi dakwah yang sama, maka akan beliau dekati. K.H. Hasani tidak pernah mempermasalahkan dari kelompok mana ia. Dalam aksi dakwah dan pemberdayaan umat, baju sektarianisme mesti harus disingkirkan. Yang terpenting bagi K.H. Hasani orang itu adalah muslim yang taat beragama.

Dalam hidupnya, selain dikenal dekat dengan sejumlah ulama dari kalangan NU, K.H. Hasani juga dekat dengan ulama-ulama yang terkenal sebagai tokoh Syi’ah, seperti Habib Husein al-Habsyi (YAPI Bangil) dan Habib Husein al-Habsyi (Malang). Kedua tokoh tersebut memang dikenal sebagai ulama yang amat concern dengan dakwah Islam dan pemberdayaan umat.

Tidak ada kamus fanatik terhadap figur tertentu bagi K.H. Hasani. Standar tunggalnya adalah visi dan ketaatannya dalam beragama. Pernah suatu ketika ada acara Peringatan Tahun Baru Islam yang diselenggarakan GP Ansor di lapangan Sidogiri. Penceramah dalam acara tersebut adalah Habib Muhsin Alatas. Sehabis acara, Muhsin Alatas berniat sowan kepada al-Maghfurlah K.H. Hasani. Ia minta tolong kepada Sudirman (kawan dekat Mas Fuad Noerhasan, keponakan K.H. Hasani) untuk menyampaikan maksudnya kepada beliau.

dengan habib tersebut, karena dikiranya adalah Habib Husein al-Habsyi Malang. Seperti telah menjadi berita hangat di berbagai media, saat itu Habib Husein terlibat dalam percaturan politik yang memanas. Ia memberi statemen akan menghadang Banser dengan pasukan Ikhwanul Muslimin. Statemen ini nyaris mengakibatkan perpecahan antara sesama umat Islam. Ia juga sering berkomentar kepada sesama muslimnya dengan nada cacian (tentang Gusdur misalnya). K.H. Hasani tidak suka dengan sikap Habib Husein itu kendati sebelumnya beliau cukup dekat. Kiai menolak untuk bertemu dengannya. Ketika dijelaskan bahwa yang akan sowan bukan Habib Husein, tapi Habib Muhsin Kiai Hasani bersedia menerimanya.

Kiai Hasani memang tidak suka dunia politik. Selama hidupnya, beliau tidak pernah mendukung partai apapun di Indonesia. Tapi jika perseteruan politik mengakibatkan pecahnya umat, maka Kiai akan peduli untuk mempersatukan kembali.

Saat di Pasuruan terjadi aksi dukung mendukung atas pemberhentian Bupati Dade Angga, silaturrahim K.H. Hasani ke Bupati dapat meredam gejolak massa yang hampir mengakibatkan suasana chaos di kota santri ini. Ketika suasana Pasuruan sedang dalam keruh-keruhnya karena demonstrasi massa mendesak Dade Angga mundur, Hadratussyekh berkunjung ke Pendapa Kota Pasuruan. Kunjungan Kiai itu sebagai silaturrahim biasa. Sebelumnya, Bupati bersilaturrahim ke dalemnya, kemudian ganti beliau bersilaturrahim ke Bupati.

Silaturrahim Kiai ke Bupati itu ternyata mendapat perhatian luas dari masyarakat. Media massa utama Jawa Timur, Jawa Pos (Radar Bromo) dan SURYA sempat mengeksposnya. Dan, silaturrahim itu membawa dampak positif bagi perkembangan Pasuruan. Kota Untung Suropati ini berangsur-angsur tenang kembali.

Kiai Hasani: Pandangan dan Visi
Dukungan Penuh atas Pancasila

Jika teliti, anda akan menangkap sebuah pemandangan aneh di pintu gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk timur tepat di sebelah barat jalan, anda akan disambut ukiran Burung Garuda. Lambang Republik Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang. Di bawahnya, tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dan tulisan lain selain itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri.

Ada apa gerangan dengan gerbang Sidogiri? Konon, ukiran Burung Garuda dan butir-butir Pancasila itu dibuat atas instruksi dari Hadratussyekh K.H. Hasani. Tidak diketahui pasti semenjak kapan. Namun dari wajah gambar, tampak bahwa ukiran tersebut sudah berusia puluhan tahun.

Tak heran, Hadratussyekh menginstruksikan membuat gambar itu di pintu gerbang. Jika anda membaca manuskrip Kiai yang disebar Keluarga beberapa puluh hari setelah wafatnya, anda pasti bisa meraba-raba apa maksud beliau dengan gambar itu.

Kiai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis dalam manuskripnya, merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan butir demi butir Pancasila. Butir-butir itu searah dengan pemikiran beliau, tapi dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya. Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.

Dengan tegas Kiai Hasani menyatakan bahwa sila pertama ini hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama lain. Logikanya, dengan sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di Indonesia karena tidak sesuai dengan dasar negara.

Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila ini tidak hanya sekedar apologia. Kiai Hasani membangun sebuah argumentasi teologis yang mapan. Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi: bahwa pada titik makna dasarnya keesaan itu hanya sesuai dengan akidah Islam.

Argumentasi yang beliau bangun tentang kemanunggalan sila pertama dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut mengandung dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan akan eksistensi Tuhan (i‘tiraf al-uluhiyah); kedua, kepercayaan akan keesaan Tuhan (i‘tiraf al-wahdaniyah). Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme-ateisme; sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam.

Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa Republik Indonesia harus menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan undang-undangnya dengan ajaran Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak agama lain.

Sebagai dasar negara tentu hal tersebut harus betul-betul ditegakkan di Indonesia. Kiai Hasanimenyerukan agar kaum muslimin betul-betul memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-hukm bima anzal-Allah” harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.

Dalam pandangan K.H. Hasani Nawawie, kemanunggalan ajaran Islam dengan Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua (Keadilan Sosial). Jika sila pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan vertikal dengan Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan horizontal antara hamba dan hamba.

Visi umum ajaran Islam hanya ada dua: al-qiyam bi haqq al-Haqq dan al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama, melaksanakan kewajiban terkait dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan tanggungjawab terkait dengan makhluk Sang Pencipta. Kedua visi itu dipresentasikan seluruhnya oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.

K.H. Hasani Nawawie: Visi Keumatan

Menjelang Pemilu tahun 1997, Sidogiri terlibat dalam sebuah polemik di majalah Editor. Adalah Ustadz H. Mahmud Ali Zain yang menjadi jubir Sidogiri ketika itu. Apa yang katanya tentang pemilu? “Berpartai hukumnya haram”.

Ada apa Sidogiri dengan pernyataan yang menyentak publik itu?

Penegasan itu datang dari K.H. Hasani Nawawie. Tak ada hal lain yang mendorong Kiai menegaskan hal itu kecuali ghirah dan keprihatinan yang sangat kuat melihat fenomena umat. Begitu mudah persatuan umat tercabik-cabik hanya karena fanatisme yang dihembuskan oleh kalangan partai. Urusan partai betul-betul telah membuat umat ini berada pada pertikaian yang tak tentu ujungnya. Bahkan, kerapkali tokoh umatnya sendiri yang menjadi motor pertikaian itu. Melihat kenyataan bahwa berpartai mengandung potensi sangat kuat dalam tafriq al-jama‘ah (memecahbelah umat), K.H. Hasani mengharamkan berpartai itu. Masalah berpartai merupakan sarana untuk tanshib al-imamah (memilih pemimpin), maka masih ada berpartai bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin itu.

Bagaimanapun, kata Kiai Hasani, orang berpartai akan menumbuh ta‘ashhub (fanatisme) dalam hatinya. Ia akan membela partainya tanpa melihat apakah partai itu patuh pada syari’at atau tidak.

Fanatisme partai sudah sedemikian lama menjadi penyakit yang menggilas semangat ukhuwah. Politik dan berpartai merupakan motif utama konflik umat secara massal. K.H. Hasani tak kuasa melihat fenomena ini. Pertikaian umat betul-betul menyesakkan ruang dada beliau. “Bagaimana aku akan bertanggung jawab di akhirat terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar,” dawuhnya suatu ketika kepada H. Thayyib (Ketua Yayasan STIE Malangkucecwara), sahabat dekat beliau.

K.H. Hasani memang sangat konsisten dengan pandangan-pandangan tentang persatuan umat. Tak ada kamus fanatisme terhadap madzhab dan golongan tertentu bagi beliau. Yang terpenting adalah Islam dan berperilaku Islami, bukan golongan ini dan golongan itu atau madzhab ini dan madzhab itu.

Solidaritas Islam begitu mengakar pada pandangan dan langkah-langkah beliau. Kiai paling tidak bisa menerima jika melihat umat Islam ditindas. L.B. Moerdani (Panglima ABRI di masa Soeharto) adalah orang yang sangat dibencinya. Moerdani merupakan tokoh utama di balik pembantaian ratusan umat Islam di Tanjung Priok. Di kalangan aktivis pembela Islam, Moerdani dikenal sebagai Panglima Salibis. Hal itu disebabkan karena sikap kerasnya dalam memusuhi umat Islam dan membela umat Kristen. “Membawa bom, lalu salaman dengan Moedani, kemudian mati bersama itu bukan mati bunuh diri, tapi mati syahid,” dawuh beliau.

Santri dan Pesantren : Sebuah Predikat Moral

SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.

Mirip sebuah prasasti, kalimat tersebut terpampang besar di bagian depan asrama “J” Pondok Pesantren Sidogiri. Terukir di tembok seluas kira-kira 7×2 meter, berwarna putih dengan latar belakang hijau. Di sebelah atas tercantum redaksi aslinya dalam bahasa Arab di bawah judul al-Santri.

Ukiran itu dibuat sekitar 11 tahun yang lalu. Kalimatnya disusun oleh Almaghfurlah K.H. Hasani Nawawie pada tahun 1972. Sejak semula kalimat tersebut dijadikan sebagai asas dasar Pondok Pesantren Sidogiri. Santri yang mondok di situ pasti hafal luar kepala. Bagi mereka, menghafal kalimat itu sama artinya dengan membaca prinsip hidup dan jati dirinya sendiri.

Pandangan K.H. Hasani tentang santri dan pesantren, setidaknya, telah dicurahkan dalam beberapa kalimat itu. Dalam kemasan “ta’rif santri” tersebut, Kiai Hasani mempertegas bahwa kata “santri” adalah murni sebagai predikat moral. Santri, bukanlah nama dari sebuah komunitas tertentu atau kelompok dengan budaya tertentu, tapi murni sebagai predikat dari sebuah ketaatan beragama.

Ada dua hal pokok yang disebut K.H. Hasani dalam ta’rif santri itu: ketaatan pada garis agama serta prinsip tegas dan perilaku yang lurus. Dan, persis seperti apa yang dikemukakannya tentang santri, beliau juga memberi arti pesantren, murni dalam sebuah predikat moral keagamaan. Menurut K.H. Hasani, pesantren adalah lembaga yang berdiri atas dasar takwa kepada kepada Allah atau menjadikan ketaatan beragama sebagai pijak dasarnya (ussisa ‘ala al-taqwa).

Dalam memandang segala sesuatu (terutama masalah agama), K.H. Hasani memang selalu bertumpu pada substansi dan prinsip keagamaan. Jika prinsip dan substansinya sudah benar, beliau tak pernah menghiraukan lagi siapa dan dari kelompok mana. Hal ini selalu beliau tampakkan dalam setiap langkah-langkahnya, baik dalam berdakwah, membangun ukhuwah, maupun dalam kehidupannya sehari-hari.

Kiai Hasani dan Kritik Sosial

Pandangannya yang lurus dan tak kenal kompromi membuat K.H. Hasani disegani ulama-ulama lain. Beliau memang putera ulama besar, tapi yang membuatnya disegani adalah sikap dan pandangannya yang lurus serta tegas.

Kiai Hasani memang tak segan-segan menegor siapa saja yang dianggapnya tidak mengindahkan ajaran agama, tak terkecuali dia itu tokoh besar atau mempunyai pengaruh luas. Dalam menyikapi sesuatu, beliau selalu teliti dan kritis. Kritik-kritik beliau lebih banyak ditunjukkan untuk para pengemban ilmu pengetahuan, baik santri, pelajar, maupun ulama, dibanding yang lain.

Menyikapi kerusakan moral di masyarakat, Kiai Hasani tidak terlalu menyalahkan mereka. Beliau melihat hal ini sebagai kesalahan para pengemban dakwah Islam. “Mereka tidak salah, yang salah itu kamu dan saya,” dawuhnya.

Rusaknya moral umat bersumber dari rusaknya moral para ulama. Begitulah salah satu inti dari tulisan beliau dalam beberapa manuskripnya. Menurutnya, seperti ditegaskan Rasulullah, komponen yang paling menentukan baik-buruknya umat ada 2, yaitu ulama (kaum cendekiawan) dan umara (kaum birokrat).

Kerusakan moral masyarakat merupakan akibat dari bobroknya moral para penguasa (birokrat). Kebobrokan penguasa, disebabkan karena tidak becusnya para ulama. Begitulah Kiai Hasani mengurai sumber utama kebobrokan ini. Dalam pandangan beliau, ulama saat ini telah banyak yang tergila-gila pada harta dan kedudukan (hubb al-jah wa al-mal).

Kritik keras juga beliau alamatkan kepada para pelajar dan santri. Dalam hal ini, yang menjadi bidikan utama beliau adalah kebiasaan tidak serius dalam mencari ilmu. Tertawa dan kegaduhan yang tidak perlu telah menjadi kebiasaan yang telah melekat di tempat belajar dan majlis al-ilm. Kebiasaan tidak serius ini amat disayangkan Hadlratussyekh. Dalam sebuah manuskripnya beliau bercerita tentang suasana belajar di majelis pengajiannya al-A‘masy. Suatu ketika, seorang murid al-A‘masy tertawa saat berlangsungnya pengajian. Syahdan, al-A‘masy menindaknya dan menyuruhnya berdiri. “Engkau mencari ilmu yang telah di-taklif-kan Allah kepadamu, sedang engkau tertawa,” kata al-A‘masy memarahinya. Setelah itu al-A‘masy tidak menyapa murid itu selama 2 bulan.

Dalam Semalam, Istiqamah Bangun Lima Kali

Anak adalah buah hati. Keturunan berarti kelangsungan sejarah bagi seseorang. Tiada anak, hambarlah kehidupan rumah tangga. Tapi, tidak dengan K.H. Hasani Nawawie. Kiai yang menghabiskan hidupnya dengan lakon zuhud ini malah tidak ingin punya anak. “Saya ini sudah anak, anaknya Kiai Nawawie Sidogiri. Jadinya seperti ini. Kalau saya punya anak, jadinya seperti apa. Sedang antara saya dan Abah bayna al-sama’ wa al-sumur (antara tingginya langit dan dalamnya sumur),” dawuhnya.

Filosofi yang dipegang Kiai Hasani tentang “anak” memang tidak seperti filosofi yang dipegang orang pada umumnya. Beliau memandang keturunan tidak dalam bentuk kuantitas, tapi murni pada kualitas kesalehannya di hadapan Sang Pencipta. Dan, Hadlratussyekh, sampai akhir hayatnya, tidak mempunyai seorang putera pun. Beliau hanya mempunyai dua putera angkat, Yaitu Mas Abdul Bari dan Mas Anshori (Putera Nyai Sholihah, isteri Kiai Hasani yang ketiga).

K.H. Hasani beristeri tiga kali. Dari ketiga isterinya itu, beliau tidak menurunkan putera sama sekali. Isteri pertama beliau adalah Ibu Nyai Zubaidah. Tidak begitu lama berkeluarga dengan Ibu Nyai Zubaidah, Kiai Hasani men-firaq-nya. Beliau kemudian berkeluarga dengan Ibu Nyai Lilik, puteri K.H. Zaini Rembang. Namun, tidak lama juga beliau men-firaq-nya. Yang terakhir beliau berkeluarga dengan Ibu Nyai Sholihah. Ibu Nyai Shalihah berasal dari Malang. Beliau adalah janda dengan putera 7 orang. Puteranya yang ikut ke Sidogiri hanya 2 orang, yaitu, Mas Abdul Barri dan Mas Anshori.

, Kiai Hasani mempunyai perhatian penuh terutama pada sisi moral. Nuansa zuhud dan sufi tidak hanya kental pada diri beliau semata, tapi juga segenap keluarganya. “Kamu mau saya jadikan apa saja ikutlah!” dawuh beliau kepada Mas Abdul Barri, salah satu putera angkatnya.

Disiplin ajaran Islam betul-betul beliau terapkan pada keluarganya. K.H. melarang keras keluarganya keluar tanpa disertai mahram. Wanita yang bukan mahram tidak boleh masuk ke dalemnya. Beliau juga melarang televisi bagi keluarganya. Dalam pandangan Kiai Hasani, televisi banyak mudharat-nya dalam pembentukan moral. “Meskipun thariqat kalau masih ngingu (punya) TV, itu thariqat gendeng,” dawuh beliau mengometari media hiburan plus informasi itu.

Sehari-hari beliau menekankan pentingnya shalat berjamaah bagi keluarganya. Beliau sendiri, sejak masih belum baligh tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Dan, Kiai lebih suka melaksanakan shalat jamaah di dalemnya daripada di mesjid. Konon, beliau tidak betah shalat di mesjid yang sehari-hari ramai dengan aktivitas ibadah santri itu. Kiai Hasani tidak tahan melihat ibadah santri, yang menurut beliau, tidak karuan. “Kalau aku shalat di mesjid, marah-marah nanti,” dawuhnya.

K.H. Hasani melalui hari-harinya dengan lakon yang amat berat. Anjuran tasawuf tentang “perbanyak menangis daripada tertawa” betul-betul beliau laksanakan. Hari-harinya beliau lalui dengan perasaan susah, terutama ketika ada hujan, petir dan banjir. Hal ini beliau lakukan sebagai kiat untuk menjaga hati agar selalu mengingat Allah. Bahkan, jika merasa gembira beliau memaksakan diri untuk susah. “Hati yang dibuat susah, meskipun karena urusan dunia, baik untuk hati tersebut. Sebaliknya, jika dibuat gembira, meskipun karena akhirat itu justru tidak baik untuk hati itu”. Begitulah prinsip beliau.

Setiap malam, Kiai Hasani istiqamah bangun dalam setiap jam. Dalam semalam Kiai bangun sebanyak 5 kali, mulai jam 11.00 malam sampai jam 3.00 dini hari. Setiap selesai shalat Isya, beliau beristirahat sampai jam 11.00 malam. Kemudian bangun dan berwudlu’, lalu membaca surah Al-Fatihah. Setelah itu, beliau istirahat lagi. Pukul 12.00 malam, beliau bangun dan melakukan hal yang sama. Begitu juga pada pukul 1.00 dini hari. Pukul 2.00 beliau bangun lagi, berwudlu’, membaca surah Al-Fatihah lalu bertafakkur sebentar kemudian istirahat kembali. Pukul 3.00, beliau bangun dan terus melakukan ibadah sampai subuh tiba.

Dalam ibadah Kiai Hasani lebih senang mengerjakan yang dianggapnya paling berat. Beliau suka ber-mujahadah. Ning Hikmah (keponakannya) pernah bercerita mengenai CD al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab lain kepada beliau. Dengan CD, seseorang dapat dengan mudah mencari data-data yang diperlukan. Tapi, Kiai Hasani menyatakan tidak suka dengan kemudahan-kemudahan dari produksi teknologi tersebut. “Aku gak seneng, kurang ganjarane” (Aku tidak suka, karena kurang pahalanya), jawab beliau.

Selain tegas serta kukuh dalam menegakkan dan melaksanakan ajaran Islam, Kiai Hasani juga sangat syafaqah dan penyayang. Rasa syafaqah-nya yang mendalam tidak hanya beliau tunjukkan untuk sesama manusia, tapi juga kepada makhluk Allah yang lain. Beliau menyayangi binatang-binatang. Beliau tidak pernah memberi makan kucing di dalemnya dengan ikan yang masih ada tulangnya. Ikan yang mau diberikan kepada kucingnya mesti dibuang tulangnya dulu. Ayamnya pun diberi makan roti. “Meskipun semut, itupun juga makhluk Allah,” kata beliau.

Kiai juga terkenal telaten dalam mengajar. Dulu, Kiai Hasani mengadakan pengajian khusus untuk keponakan-keponakannya. Pengajian itu dilaksanakan di dalem Ibu Nyai Hanifah (saudari beliau). Beliau sangat telaten mengajar keponakan-keponakannya itu. Sampai-sampai ada seorang keponakannya yang tidak bisa menulis karena sering dituliskan oleh beliau.

10 hari sebelum wafat,
KH Hasani Nawawy Bermimpi Didatangi Imam al-Ghazali

Ribuan orang berjubel di komplek pesarean (makam) Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri. Komplek pemakaman yang terletak di belakang mesjid, sebelah barat mihrab itu, tampak penuh dengan orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir untuk KH. Hasani Nawawie. Sebagian besar datang dari jauh, bukan masyarakat setempat. Wajah-wajah mereka terlihat muram. Berduka. Tak ada tawa. Di sebelah barat komplek pemakaman dengan luas sekitar 50 meter persegi ini, terlihat wanita-wanita berdesakan meraih satir untuk melihat prosesi pemakaman dari atas tirai terpal itu.

Di sekitar pagar, tampak petugas dari satuan Banser sibuk mencegah orang-orang yang merengsek ke pagar. Mereka ingin masuk ke dalam kompleks agar dapat mengekspresikan penghormatan terakhirnya secara langsung. Di dalam pagar, tampak Keluarga, tokoh-tokoh dan orang-orang yang sibuk mempersiapkan pemakaman.

Sementara itu di luar komplek pemakaman, terdengar gaduh. Masyarakat berebut ikut memikul keranda jenazah Kiai Hasani Nawawie. Minimal, mereka dapat menyentuh keranda tokoh panutan itu. Melalui pengeras suara, terdengar seruan agar masyarakat tidak berebutan. “Hormati mayyit, hormati jenazah, jangan berebutan!” Teriakan itu terdengar sibuk dan sangat keras.

Ketika jenazah sampai di pesarean, masyarakat yang sejak semula gaduh mulai tenang. Hanya sesekali terdengar bisikan, gumam “Allah” dan isak tangis wanita dari barat pesarean.

Prosesi pemakaman itu berlangsung sekitar pukul 16.00 Selasa sore, 13 Rabiul Awal 1422 / 5 Mei Juni 2001. Sebelumnya, shalat jenazah dilaksanakan sebanyak 11 kali di mesjid Jami Sidogiri. Shalat jenazah dilaksanakan berulang-ulang karena masyarakat yang datang berta’ziah terus mengalir dari berbagai daerah. Setiap kali shalat jenazah dilaksanakan mesjid selalu penuh, sampai meluber ke surau dan jalan-jalan. Shalat jenazah pertama dilaksanakan sekitar pukul 9.00 pagi, sedang shalat jenazah terakhir sekitar 16.00 sore.

Kiai Hasani memenuhi panggilan Allah sehari setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad; tepatnya pada malam Selasa, 13 Rabiuts Tsani 1422, pukul 03.50 dini hari. Beliau wafat pada usia 77 tahun karena serangan darah tinggi yang sudah sejak lama dideritanya.

Sehari sebelum wafat (malam Senin), Hadratussyekh masih sempat menghadiri acara peringatan maulid Nabi di Mesjid Sidogiri. Kiai mengikuti pembacaan diba’ mulai awal sampai selesai. Beliau juga masih sempat berta‘ziyah ke rumah H. Ismail, seorang warga desa Sidogiri yang wafat sehari sebelum maulid. Saat itu, Kiai sudah terlihat sakit parah. Sambil dipapah, beliau berjalan ke rumah H. Ismail yang berjarak kira-kira 150 meter dari dalemnya.

Menurut penuturan dari salah satu putra tirinya, Mas Abdul Bari, 10 hari sebelum wafat, Kiai Hasani bercerita telah didatangi Imam al-Ghazali dalam tidurnya. Beliau mushafahah (berjabat tangan) dengan tokoh sufi terkemuka Abad Pertengahan itu. Kiai Hasani merasakan perjumpaan dengan Imam al-Ghazali seperti dalam alam nyata, tidak dalam mimpi. Beliau tidak menceritakan lebih lanjut tentang pertemuan dengan Imam al-Ghazali tersebut. Cuma, pada hari itu pula beliau dawuh kepada K.H. Nawawi Abdul Djalil: “Sing enak saiki mastur (Yang enak sekarang ini tidak dikenal orang).

Sebelumnya, beliau akan untuk naik haji pada tahun ini menemani Nyai Shalihah, istri beliau. Niat itu telah diutarakan kepada beberapa Keluarga Sidogiri. Yang membuat Keluarga Sidogiri tersentak sedih dengan niat Kiai ini, beliau mengatakan bahwa usai naik haji, dirinya tidak akan kembali lagi.

Komentar Para Tokoh tentang KH Hasani Nawawie

Habib Taufik bin Abd. Qodir Assegaf, Tokoh Habaib Pasuruan“Saya Kagum Dengan Visi dakwahnya”

Saya cukup kenal dekat dengan beliau. Dan beliau saya anggap sebagai guru dan orang tua. Banyak hal yang saya teladani dari figur beliau. waro’, sederhana, dan tidak mau menonjolkan diri adalah salah satu sifat utama beliau.

Satu hal dari beliau yang selalu saya ingat adalah kelapangan hati untuk menerima kritik sekalipun dari orang yang masih muda. Pernah satu ketika, karena melihat beliau sering datang ke pendopo kabupaten, didorong rasa sayang pada beliau saya sampaikan, “Sebaiknya kiai jangan sering-sering datang ke pendopo, biar saya saja yang menjadi corong kiai”. Dibilang begitu beliau sangat gembira sampai-sampai uang yang ada disakunya dikasihkan pada saya semua, kalau tidak salah sekitar seratus lima puluh ribu. “orang berani dan jujur begini yang saya senangi”, kata beliau saat itu.

Dalam dakwah beliau tidak pernah mempermasalahkan dari golongan mana. Asal visinya jelas dan sesuai dengan visi dakwah beliau pasti didukungnya. Entah itu NU atau bukan. Dan saya termasuk orang yang selalu diberi semangat oleh beliau untuk berdakwah.

Dan satu hal lagi, beliau tidak pernah menyakiti bahkan selalu memberi manfaat pada orang lain. Dan orang yang seperti itu sangat mahal harganya.

KH. Yusbakir, Wakil bupati Pasuruan

“Penyejuk Birokrat”

Pertama kali mendengar beliau wafat saya terkejut sekali, sebab salah satu pelita yang menerangi umat telah diambil oleh Allah. Kiai Hasani sangat punya perhatian pada masalah-masalah kepemerintahan. Beliau sering datang dalam pertemuan atau rapat di pendopo. Walau tidak banyak berkomentar bahkan tak jarang tak sepatah katapun beliau ucapkan. Namun dengan kedatangannya saja kami sudah merasa tenang dan sejuk, sebab kami merasa apa yang kami lakukan telah mendapat restunya.

Beliau memang lebih senang diam. Jika berkata sekalipun pendek tapi mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Dan justru dengan sikapnya diamnya itulah kami semakin respek dan kagum.

Kiai Hasani sangat peka dan tanggap terhadap persoalan keumatan. Beliau sering bertanya tentang bagaimana situasi keamanan Pasuruan dan memberikan nasehat-nasehat kepada para pejabat. Perhatian dan kesungguhan beliau setidaknya bisa dilihat dari masalah suksesi yang sempat menjadi polemik beberapa saaat lalu. “Yang saya inginkan bagaimana pasuruan bisa tenang kembali”, kata beliau saat itu.

Sikap yang beliau tunjukkan selalu memberikan kesejukan pada siapapun yang melihat. Dan ternyata dalam kesederhanaannya beliau tetap punya kharisma yang begitu kuat.

***

H. Thayyib: Kiai Hasani, ayah dan guru saya

Apa kata STIE tentang Pondok Pesantren Sidogiri? Sekolah tinggi ekonomi kenamaan di kota Malang ini menganggap Sidogiri sebagai keluarga sendiri. “Sebagai keluarga, ilmu apa saja yang bisa diambil Sidogiri dari STIE Malangkucecwara silahkan diambil,” ungkap H. Thayyib, pemilik sekaligus Ketua Yayasan Malangkucecwara ketika menerima rombongan Sidogiri yang melakukan kunjungan ke yayasan itu. Didampingi istri, puteri, dan menantunya serta beberapa pengurus yayasan dan dosen STIE, H. Thayyib mengungkapkan rasa kehilangannya yang amat mendalam atas wafatnya Almarhum K.H. Hasani Nawawie. “Bagi saya dan keluarga saya, beliau adalah guru sekaligus ayah. Sampai sekarang pun, saya masih punya semacam perasaan bahwa Kiai masih ada,” katanya dengan muka sedih. “Oleh karena itu, saya harap hubungan dengan Sidogiri terus berlanjut sampai kapan pun,” lanjut lelaki yang terkenal suka seni bangunan ini.

Lelaki setengah tua yang masih gagah ini menyatakan kekaguman yang luar biasa kepada almarhum. Menurutnya, almarhum adalah sosok yang sangat patut diteladani dan sulit dicari. Beliau adalah ulama yang sebetul-betulnya ulama. H. Thayyib yakin, Kiai Hasani adalah wali Allah. “Bahkan, menurut Kiai Mujahid dan seorang Habib, Kiai Hasani mempunyai dua kewalian,” ungkapnya.

Ia mengaku menerima banyak wejangan dari Kiai Hasani terutama terkait dengan prinsip hidup serta jalinan ukhuwah dengan sesama muslim. Salah satu pesan Kiai Hasani yang selalu ia ingat adalah prinsip menjaga kesatuan umat dengan tidak terjerumus ke dalam fanatisme partai dan golongan. H. Thayyib mengaku sering mengkampanyekan prinsip ini kepada masyarakat dan para ulama.

Dalam pertemuan yang berlangsung dengan suasana penuh kekeluargaan itu, H. Thayyib menceritakan bahwa sekitar 2 minggu sebelum wafatnya, Kiai Hasani sempat menyatakan niatnya untuk naik haji pada tahun mendatang. Ia menyambut niat beliau ini dengan gembira. Tapi, yang kemudian membuat ia sedih, Kiai menyatakan tidak akan kembali setelah haji itu. Dawuh Kiai ini membuat H. Thayyib menangis sejadi-jadinya, karena menurut firasatnya ini adalah isyarat bahwa beliau akan meninggalkan kita. “Beliau seperti pamitan waktu itu,” ungkapnya sedih.

Menurut orang yang mengaku pernah diberi minum air zamzam sampai tiga gelas oleh K.H. Hasani Nawawie (padahal ia sedang berpuasa sunah, tapi terpaksa ia batalkan) ini, hal utama yang membuat K.H. Hasani sesak berada di dunia ini, adalah konflik yang kerap terjadi sesama muslim akhir-akhir ini. Pemicu utama konflik itu masalah partai. “Kiai Hasani pernah dawuh: ‘bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar’,” ungkap H. Thayyib memendam rasa kecewa atas pertikaian umat yang meruncing akhir-akhir ini. (abi)

Ketika Seorang Sufi Mendobrak Fanatisme

Santri

“Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh pada al-Quran dan mengikuti Sunnah Rasul saw. dan teguh pendirian.
Ini adalah arti bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat dirobah selama-lamanya.
Allah maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya”.

Sebuah makna sekaligus predikat moral bagi santri yang diberikan oleh Hadlratus-Syaikh KH Hasani bin Nawawie. Sebuah peninggalan beliau yang tak akan lekang oleh waktu. Abadi, sejarah akan selalu mengenangnya.

Sang Panutan Agung

Ketika waktu mengeja sejarah
ada yang yang tersisa tak terbaca
lelampah sang panutan
menerangi pojok-pojok nurani
yang hampir mati

Lelampah agung, harus dikenang
lewat catatan, tutur berita dan
lewat cahaya-nya
yang senantiasa membisu

Di sini dan di saat ini …
kita akan tahu
keagungan yang terpendam
dalam “diam”-nya yang menentramkan

Hadlratus-Syaikh KH. Hasani Nawawie
ijinkan kami mengenangmu,
walau sekedar ceritamu!

Sumber:http://ahmad-nu.blogspot.com/2011/06/kiai-hasani-muda-diplomat-ulung-di-masa.html