Selasa, 06 Desember 2011

Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani Tokoh Legendaris Santri & Rakyat Kebumen

Oleh : Fawaqi Al-Hasani


Dalam edisi kali ini, penulis akan mencoba menyajikan biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani.
 Selama ini banyak orang mendengar nama besar beliau, cerita – cerita heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya yang cukup legendaries, tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika kita cermati diantara sekian tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka tersebut sepertinya belum pernah ada yang menyentuh biografi beliau secara utuh. Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia, yaitu suatu organisasi kelaskaran perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang pernah beliau pimpin, terlebih khusus diakhir kancah tahun 1950-an.


Penulis menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena ketidaktahuan dan ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat menjadi penyebab salah persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini akan dapat menjadi bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau secara utuh di masa – masa selanjutnya. Karena membahas tentang tokoh legendaries Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini bak tak mengenal musim. Nama beliau cukup harum serta senantiasa hidup dihati sanubari para santri serta kaum muslimin di sepanjang belahan bumi Nusantara ini, setidak – tidaknya sampai saat kurun masa kini. Itulah yang penulis ketahui.


Nama dan Kelahirannya

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan suami istri Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani dengan Ummi Lathifah binti Muhammad Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin Nur ‘Ali.


Dari abahnya mengalir darah Rasulullah Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu) yang merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani Al-Hasani. Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu adalah ; Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani) bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syeikh As_Sayid Muhammad ‘Ishom Al-Hasani (Syeikh Abdul Kahfi Al-Awwal).


Ketika lahir, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diberi nama “Mahfudz” oleh abahnya. Sesudah mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu beliau mempunyai nama laqob masyhur “Romo Pusat” dan “Kyai Somalangu”. Sebutan itu muncul dengan sendirinya yang bermula dari kalangan masyarakat lapis bawah karena hormat mereka pada beliau. Sementara kalangan santri sendiri memanggil beliau semenjak masih muda dengan sebutan “Syeikh Mahfudz”.


Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dilahirkan di komplek Pesantren Al-Kahfi Somalangu pada malam 27 Rajab 1319 H bertepatan dengan 9 November 1901 M atau 27 Rejeb 1831 – Dal jatuh Mongso Kanem. Sebagian sesepuh Jawa ketika beliau lahir ada yang memprediksikan bahwa kelak setelah berusia diatas 30-an tahun, beliau akan jadi orang terhormat, mempunyai jiwa rela berkorban, penampilannya cukup kharismatik (simpati), mempunyai jiwa optimis, kuat dalam berprinsip, pandai bergaul, membenci kepalsuan, akan mendapat ujian berat, namun dengan kedewasaan dalam berfikir serta ketabahannya ia akan tetap mulia dicintai kawan serta disegani lawan.


Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mempunyai 3 orang saudara kandung, yaitu Syeikh As_Sayid Thoefur Al-Hasani dan Syarifah Ghonimah Al-Hasani serta 6 saudara seayah lain ibu. Adapun keenamnya tersebut ialah Sayid Quraisyin (di perjuangan AOI lebih dikenal namanya dengan sebutan KH Nur Shodiq), Sayid Qumdari, Sayid Qomari, Sayid Qushashi, Sayid Quthubi dan Syarifah ‘Aqidah.


Masa kanak – kanak dan Pendidikannya sampai usia remaja

Pada saat setelah dilahirkan, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sudah menampakkan hal – hal yang terbilang luar biasa daripada bayi kecil pada umumnya. Wajahnya tampan dan menampakkan sinar cahaya terang. Kulitnya putih kemerah – merahan. Matanya tajam dan bercahaya kemilauan. Abahnya memohon pada Allah Swt agar kelak ia terbebas dari perbuatan – perbuatan radiiah (jelek). Oleh karenanya beliau diberi nama “Mahfudz”.


Ada ungkapan sederhana dari seoarang Habaib Ba’alawi keturunan Al-Haddad yang tinggal di Kebumen. Beliau adalah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Haddad. “Ketika kecil, saya sering diajak oleh abah saya ke Somalangu. Lalu saya melihat wajah Syeikh Mahfudz tidaklah seperti para Kyai pada umumnya. Sayapun bertanya kepada abah saya ; Bah, kok Syeikh Mahfudz wajahnya seperti Jama’ah (istilah yg biasa dipakai keturunan Hadhramaut apabila menyebut sesama ahlubaitin nabi Saw)” kata Al-Habib ‘Ali bin Abdullah Al-Haddad, “Abah saya pun lalu menjawab ; Syeikh Mahfudz itu memang Jama’ah. Sama seperti kita. Kalau dia dari Al-Hasani. Sedangkan kita dari Al-Huseini”. Demikian penuturan Al-Habib ‘Ali bin Abdulah Al-Haddad kepada abah penulis disuatu waktu. Kisah sederhana ini mengungkapkan bahwa kesaksian terhadap harismatik Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani bukanlah hanya dongeng belaka.


Diusia dini, ia telah amat menyukai belajar ilmu – ilmu agama islam. Teman – teman yang sebayanya senantiasa diajaknya untuk mengikuti shalat berjamaah dan mengaji. Beliau sangat fasih. Ia menamatkan pelajaran Al-Qur’an dan jenis – jenis qiraahnya secara fasih dari abahnya sendiri. Dalam usia 7 tahun, beliau telah khatam Al-Qur’an dan hafal berbagai suaratan penting yang ada didalamnya. Ada yang bilang beliau setengah hafal Al-Qur’an. Berbagai dalil – dalil naqli yang terkait dengan fiqh ‘ubudiah telah banyak dihafalnya dengan baik. Tidak hanya Al-Qur’an, hadits Al-Arba’in Lin Nawawi-pun juga telah beliau hafal. Kemana beliau pergi atau bermain, diriwayatkan Mahfudz kecil senantiasa membawa catatan – catatan kecil atau korasan kitab untuk dibaca diwaktu dia sempat. Sehingga dikatakan, kawan – kawan sebayanya telah merasa sungkan ketika bergaul dengan Mahfudz kecil. Namun mereka tetap menyukainya karena selain menyenangkan dalam bertutur kata, Mahfudz kecil juga tidak sombong dan amat dermawan.


Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tidak pernah mengenyam pendidikan formal sekolah. Karena pada masa itu pendidikan formal hanya dimiliki oleh kalangan kaum feodalis serta neo-Belanda. Untuk mengayakan dirinya dalam hal pengetahuan umum, ia belajar kepada abahnya, mendengarkan radio serta membaca koran yang dikisahkan dapat ia peroleh seminggu sampai sebulan sekali. Abahnya dapat pula menjadi guru pengetahuan umum selain pengetahuan agama karena sang abah juga bertempat tinggal di tanah Hejaz (sekarang Saudi Arabia). Sehingga ditingkat pergaulan beliau memang telah mempunyai wawasan pengetahuan yang cukup luas bertaraf internasional.


Ketika usianya beranjak mencapai 16 tahun, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mulai diizinkan oleh abahnya untuk menambah bekal ilmu pengetahuan agamanya di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur yang waktu itu diasuh oleh KH Dimyathi. Ada beberapa kisah unik yang sempat melegenda mengiringi keberadaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di pesantren Tremas. Diantaranya, ketika awal Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masuk ke pesantren ini, ia sempat jadi bahan gunjingan dan tertawaan para santri lainnya. Pasalnya, karena Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani datang dengan mengenakan pakaian Gamis. Dan satu dua hari tinggal disana juga masih tetap memakai Gamis. Padahal kebanyakan para santri waktu itu tidak ada yang memakai baju Gamis. Bahan gunjingan ini maklum terjadi karena mereka tidak mengetahui jika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu masih ahli baitin nabi Saw. Dimana tradisi mengenakan Gamis bagi ahlibait adalah dipandang sebagai mengikuti sunnah rasul. Pemakaian Gamis ini memang telah menjadi kesukaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani semenjak dari kecil, dirumah atau pergi bermain kemana saja. Ceritanya, ketika beliau hendak pulang ke asrama dari berjamaah di masjid, tiba – tiba kawan – kawan santri yang juga baru lepas jamaah seperti paduan suara mentertawakan beliau. Akibat ini perasaan tidak enak hati muncul pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Beliau kemudian menuju Bencet (alat untuk menentukan waktu shalat) di depan samping masjid yang terbangun berbentuk tugu segi enam dengan tinggi kurang lebih 1,5 meter dan berdiameter 1 meter. Dibedolnya bangunan itu dengan sekali rengkuh serta dipanggulnya dan beliau letakkan sendiri persisi ditengah – tengah halaman masjid. Kemudian apa yang terjadi? Para santri yang semula sempat mentertawakan beliau tiba – tiba terdiam sehingga suasana menjadi senyap seperti tak ada suara sedikitpun. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun bertanya pada kawan – kawan santri, “Kenapa kalian hentikan tertawanya??” “Ayo teruskan!!”. Ternyata tak ada sebutir katapun mampu keluar dari kawan – kawan santri. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun ahirnya membawa kembali Bencet tadi ketempat semula ia membedolnya. Ketika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah kembali keasrama, para santri yang semula berkerumun kemudian mendatangi Bencet yang telah dikembalikan ketempat semula. Ajaibnya, ternyata tugu Bencet itu terpasang seperti seolah – olah tidak pernah terjadi apa – apa padanya. Subhanallah. Kesaksian peristiwa ini sempat direkam oleh beberapa alumni Tremas yang sempat mengalami masa beliau di pesantren Tremas, seperti KH Asy’ari, Damesan, Magelang, KH ‘Ali Ma’shum, Krapyak, Yogyakarta, KH Hamid, Pasuruan dll.


Di Pesantren Tremas, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal selama kurang lebih 1,5 tahun. Disini beliau sempat menyusun dua buah kitab yang diberi judul : Al-Fawaidus Sharfiyah (kitab sharaf) dan Al-Burhanul Qath’i (fiqh ‘ala madzhab As-Syafi’i). Dua buah kitab ini beliau selesaikan pada bulan Ramadhan 1336 H (Juni 1918 M). Oleh KH Dimyathi, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga sempat diminta untuk mengajar rekan – rekannya di serambi masjid walau beliau baru sebentar keberadaannya di pesantren tersebut.


Dari Tremas, beliau sempat singgah di Jamsaren, Solo selama beberapa hari dan kemudian singgah di Pesantren Darussalam, Watu Congol, Muntilan, Magelang. Di Watucongol, semula niat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani hendak berguru menambah ilmu agamanya pada mbah Kyai Nahrowi Dalhar. Akan tetapi mbah Kyai Dalhar menolak untuk mengajar beliau. Alasannya karena mbah Kyai Dalhar merasa ilmunya masih sedikit. Mungkin yang seperti ini hanya sikap tawadhu’nya mbah Kyai Dalhar pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Karena mbah Kyai Dalhar sempat berguru kepada kakek Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selama 8 tahun. Mbah Kyai Dalhar malah meminta Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan mengajar kitab yang telah disusunnya di Tremas. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun sempat terkejut ketika mbah Kyai Dalhar mengetahui hal ini. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya bersedia dengan catatan mbah Kyai Dalhar berkenan untuk mendoakan beliau dan keturunannya. Dan tak dinyana kemudian selang pada generasi cucu keduanya akhirnya terjadi pernikahan. Apakah ini hasil diantara doa keduanya? Wallahu’alam bis shawab. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian tinggal di Watucongol sekitar 3 bulan. Setelah selesai mengajarkan kitab Fawaidus Sharfiyah susunannya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pulang kembali ke Somalangu.


Menurut keterangan kakek penulis dari ibu yaitu KH Ahmad Abdul Haq putra mbah Kyai Dalhar, pelajaran Sharaf yang berasal dari kitab Fawaidus Sharfiyah karya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tersebut ahirnya menjadi pokok pelajaran sharaf di Pesantren Watu Congol dari semenjak mbah Kyai Dalhar sampai dengan saat beliau mulai mengampu pesantren. Bahkan menurut beberapa orang murid mbah Kyai Dalhar seperti Mbah Kyai Udin, Nglamat, Muntilan, Kyai Bakrin dan Kyai Hamim Muntilan, pelajaran sharaf kitab Fawaidus Sharfiyah ini juga diajarkan di Pesantren Tegalrejo, Magelang saat mbah KH Khudhori mulai diperintahkan mbah Kyai Dalhar untuk membuka pesantren tersebut.


Sayangnya kitab Fawaidus Sharfiyah dan Al-Burhanul Qath’i, keduanya belum masuk cetak dari semenjak dibuat oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Dalam pembelajaran, menurut kakek penulis dan beberapa murid mbah Dalhar, metodenya masih dengan cara menurun tulisan.


Jika dibandingkan dengan kitab Amtsilatut Tashrifiyah, Jombang karya KH Ma’shum bin Ali Maskumambang, kitab Fawaidus Sharfiyah ini terdapat sedikit perbedaan. Hanya pada beberapa bagian nampak ada kesamaan metodologi. Penulis belum mengetahui persisi mana yang lebih dahulu disusun diantara keduanya. Hanya saja menurut murid – murid mbah Kyai Dalhar, saat kitab Fawaidus Sharfiyah dipakai di pesantren Watu Congol, kitab Amtsilatut Tashrifiyah belum beredar di pesantren – pesantren Dulangmas (Kedu, Magelang, Banyumas).

(KH ‘Ali Ma’shum Krapyak, Yogyakarta berkata, “Mencari figure sekaliber Syeikh Mahfudz bin Abdurrahman pada zamannya sangatlah sulit. Beliau adalah orang yang – komplit – dan mempunyai Himmatun ‘Aliyah. Saya sering menghadap dan meminta taushiah pada beliau”)


Diangkat Mursyid Thariqah As-Syadziliyyah

Ayah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani yaitu Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin Al-Hasani adalah seorang yang ‘alim ‘allamah dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang tauhid belau berpegang pada faham aqidah ahlussunnah wal jama’ah (Asy’ariyah wal Maturidiyyah). Dalam bidang fiqh beliau menganut madzhab Malikyah. Sedang dalam tasawuf beliau mengikuti Thariqah As-Syadziliyah.


Madzhab fiqh Malikiyah dipilih oleh Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani karena semenjak usia muda beliau lebih sering tinggal di Saudi Arabia (waktu itu masih bernama Hejaz). Di Indonesia (baca ; Somalangu) beliau sering tinggal secara temporer, seimbang dengan tinggalnya beliau di Saudi. Kadang selama 6 bulan. Terkadang pula mencapai masa 1 tahun dan berangkat kembali ke Hejaz bersamaan dengan waktu berangkatnya orang – orang Indonesia menunaikan ibadah haji. Sekalipun demikian, Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani menyarankan puteranya, yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk mengambil madzhab Syafi’iyyah sebagai acuan madzhab fiqhnya. Sepertinya karena madzhab tersebut adalah madzhab yang dipakai oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia.


Kisah seperti ini menunjukkan bahwa dalam persoaan fiqh, ulama Somalangu cukup toleran dan dapat memahami perbedaan kerangka istinbat. Yang terpenting adalah dalam persoalan tauhid harus satu. Karena didalam fiqh fihi qaulani adalah hal biasa. Sementara itu tidak demikian halnya dalam soal aqidah.


Keadaan diatas sepertinya mempengaruhi pertimbangan sikap Syeikh As_Sayid Abdurrahman untuk mengangkat Mahfudz muda menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyah penerus beliau. Tepatnya di usia yang masih 17 tahun, sepulangnya Syeikh As_Sayid Mahfudz pulang dari Pesantren Watucongol, Muntilan beliau diangkat oleh ayahnya menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyyah (1336 H/1918 M). Untuk mengenang peristiwa ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyusun sebuah kitab berjudul “Sirajul Qulub” (1337 H). Yaitu sebuah kitab yang berisikan sejarah Syeikh As_Sayid Abil Hasan As-Syadzili ra dan faham tasawufnya sampai dengan sanad silsilah ijazah kemursyidan yang sampai kepada beliau.


Berangkat ke tanah Haram

Kemauan besar yang terdapat dalam diri Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk menimba ilmu sedalam mungkin sepertinya tak tercegah oleh kendala usia dan prestasi yang telah dicapainya. Pada tahun 1337 H, Syeikh As_Sayid Mahfudz berangkat ke tanah Haram (Makkah) untuk lebih memperdalam keilmuan agamanya. Beliau beramal dengan hadits Rasulullah Saw ;

Yang Artinya, “Dari Jabir, ia berkata ; bersabda Rasulullah Saw : – Sebagian dari sumber ketaqwaan ialah belajarmu pada sesuatu yang engkau benar – benar mengetahui bahwa engkau belum mengetahui -”. (Lih, Al-Mu’jamul Kabir Lit Thabrani, bab Man Ismuhu Ibrahim, juz 6 hal 48).


Ditanah haram, beliau tinggal dirumah Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad Babashol didaerah Misfalah. Dari Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad Babashol, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memperoleh ijazah “Sirrul Maulid”. Yaitu, suatu ijazah yang biasa berlaku di kalangan ahlulbait dimana salah satu faedahnya adalah apabila “prosesi” tersebut dilakukan sewaktu membaca maulid rasul (apapun bentuk maulidnya seperti Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simtuth Duror dll) maka “Nur” Rasulullah Saw akan memancar dalam majlis tersebut. Sehingga hadhirin yang mengikuti pembacaan maulid dapat merasakan kekhusukan serta mahabbah yang mendalam kepada Habibanal Musthafa Saw. Itulah penjelasan yang penulis dapatkan dari abah penulis tentang apakah ijazah sirrul maulid tersebut. Abah penulis sendiri untuk pertama kalinya mendapat ijazah sirrul maulid dari guru beliau yang bernama Syeikh As_Sayid Masyhud bin Muhammad Al-Hasani, dimana Syeikh As_Sayid Masyhud Al-Hasani mendapatkannya dari Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani yaitu abah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.


Sewaktu keberangkatan pertama kalinya ketanah Haram ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat pula bertemu dengan Syeikh Mahfudz At-Turmusi. Seorang tokoh ulama Indonesia yang sempat menjadi pengajar dan imam di Masjidil Haram. Pada beliau, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat sorogan kitab syarah Bafadhol sampai khatam.


Bai’atul Wilayah

Sudah menjadi kebiasaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beiau membagi waktu malamnya menjadi dua bagian. Yang sebagian digunakan untuk tadarus serta muthala’ah kitab. Sedangkan sebagian lagi digunakan untuk berkhalwat serta mujahadah kepada Allah Swt hingga fajar menyingsing. Sahrallayal (tidak tidur malam) merupakan kebiasaan beliau. Waktu istirahat diambilnya saat qulailah, yaitu setelah shalat dzuhur sampai dengan asar.


Kisahnya, ketika beliau tengah bermujahadah di masjidil Haram sesudah menyelesaikan ibadah thawaf, tiba – tiba beliau dijumpai oleh seseorang yang mengenalkan dirinya bernama “Ibnu ‘Alwan”. Begitu berjabat tangan, tahulah Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan siapa beliau berhadapan. Dialah nabiyullah Khidhr as. Seorang nabiyullah yang bermohon kepada Allah Swt agar diperkenankan menjadi umat nabi Muhammad Saw. Dan oleh Allah Swt doa beliau dikabulkan. Sesudah wafatnya Rasulullah Saw Khatamul Anbiya, maka sebagai umat Muhammad Saw yang terpilih, beliau atas izin Rasulullah Saw ditugaskan oleh Allah Swt untuk membai’at para auliya pewaris dan penerus perjuangan Habibina Muhammad Saw.


Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pergi bersama Al-Khidr dalam waktu yang cukup lama sehingga oleh teman – temannya tidak diketahui kemana dan dimana beliau menempat. Menurut Syeikh As_Sayid Masyhud bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani guru dari abah penulis, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mendapat tarbiyah dari Al-Khidhr yang diakhiri dengan bai’atul wilayah itu lama masanya 101 hari. Sesudah tarbiyah dan bai’atul wilayah itu selesai, beliau diperintahkan oleh Al-Khidr untuk segera pulang ke Jawa, karena wilayahnya ditetapkan di Jawa (baca ; Somalangu).


Ini adalah suatu perjalanan serta pengalaman spiritual yang tak pernah dirancang serta tergambarkan oleh beliau sebelumnya. Kisah ini penulis ungkapkan dalam bentuk sederhana dengan tujuan bukan untuk kultus individu namun lebih terarah agar pembaca kedepan dapat memahami beberapa sikap yang mempengaruhi Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam mengambil suatu keputusan.


Menikah

Sesudah kepulangannya dari tanah Haram, yaitu mulai tahun 1338 H, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membantu abahnya mengasuh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu. Ketika usianya menginjak 33 tahun, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menikah dengan Syarifah Maidatul Mardhiyah binti Abdullah Al-Muqri bin Al-Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhsin Al-Huseini. Nasab isteri beliau ini bersambung pada sadah Ba’alawi yang tinggal di India melalui Al-Habib Burhan bin Nur ‘Alam bin Abdullah Khan, Gujarat. Jadi masih saudara (satu nasal) dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon.


Dari pernikahan tersebut, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dikaruniai 9 orang putera – puteri. Tiga diantaranya laki – laki. Dan 6 lainnya adalah perempuan. Dari ketiga putera laki – laki hanya ada satu orang puteranya yang menyambung keturunan beliau yaitu Sayid Chanifudin.


Lima tahun sesudah menikah, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kembali berangkat ke tanah Haram. Kurang lebih sembilan bulan lamanya beliau tinggal disana. Jalinan persahabatan dengan jama’ah ahlulbait baik yang berasal dari Yaman, Suriah, Iran, Irak, India, Pakistan dan Hadhramaut beliau rangkai waktu itu. Demikian pula yang berasal dari kawasan Asia Tenggara seperti Pattani (Thailand), Tumasik (Singapura, merdeka th 1965) dan Malaya (Malaysia, merdeka th 1957). Oleh karenanya tidak mengherankan jika sewaktu setelah beliau kembali lagi ke Somalangu banyak sekali santri – santri yang berasal dari luar negeri datang dan belajar di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu pada beliau.

(KH Maemun Zubaer, Sarang, Rembang berkata, “Pada saat itu saya berusia sekitar 16 – 17 tahun. Ketika mendengar bahwa di alun – alun Lasem datang Syeikh Mahfudz Somalangu, masyarakat dari sekitar sini sampai Tuban, tua – muda rela berjalan kaki menuju Lasem secara berduyun – duyun demi untuk bisa melihat, mendengar taushiah serta bersalaman dengan beliau. Sungguh Syeikh Mahfudz mempunyai harisma yang besar. Beliau adalah sahabat ayah saya. Setiap melewati Sarang pasti mampir kerumah ayah”).


Mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu

Sebagai putera tertua dari Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani merupakan pewaris penerus perjuangan abahnya dalam mengasuh pesantren yang beliau pimpin. Tanggung jawab yang besar dalam situasi negara masih tengah berada dalam genggaman penjajah adalah bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani seringkali meninggalkan pesantren dan berada di Hejaz dalam waktu yang relatif lama. Secara praktis, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu dalam nuansa pendidikan pesantren selama 11 tahun. Empat tahun diantaranya masih membantu abahnya. Dan tujuh tahun langsung mengendalikan kepemimpinan. Selebihnya (5 tahun), beliau pergunakan untuk memimpin perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.


Metode klasikal telah diterapkan pada masa kepemimpinan beliau. Ada sebuah kisah yang mungkin dapat dijadikan sebagai sebuah bagian dari cermin penerapan metodologi pendidikan ketika beliau mengasuh pesantren. Yaitu, kisah yang diceritakan oleh salah seorang warga masyarakat bernama Subahwi (75 th). “Pada masa Syeikh Mahfudz, saya belajar di madrasah pesantren tingkat ibtidaiyyah. Tempatnya di serambi masjid. Yang diajarkan, selain dari ilmu – ilmu agama, saya juga telah menerima pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Arab. Bahasa pengantarnya memakai bahasa Melayu yang kadang diselingi dengan bahasa Jawa. Kurang lebih 3 bulan sebelum Jepang masuk ke Jawa, beliau mengumumkan pada kami untuk belajar mata pelajaran tambahan yaitu bahasa Jepun (Jepang, pen). Yang mengajar langsung beliau sendiri. Sehingga ketika tentara Jepun datang ke Somalangu, kami dikumpulkan oleh beliau didepan masjid untuk dipertemukan dengan tentara Jepun. Dan kami dapat menjawab pertanyaan mereka dengan bahasa mereka. Akhirnya tentara Jepun itu pergi dari Somalangu dan mereka merasa senang karena anak – anak sebaya saya sudah bisa berbahasa Jepun sebelum mereka datang. Mereka tak pernah menjajah Somalangu”.


Kisah diatas menunjukkan bahwa Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani benar – benar mempunyai wawasan yang luas. Beliau bukan hanya mendalam dalam bidang agama akan tetapi juga faham ilmu politik, strategi dan penguasaan berbagai bahasa. Beberapa orang dekat beliau menceritakan, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu mampu menguasi bahasa asing seperti Arab, Belanda, English, Persi, Jepang dan Urdu dengan baik serta fasih.


Dalam segi pengabdian ke masyarakat serta untuk mengefektifkan penerapan ajaran islam dalam kehidupan sehari – hari, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memberikan waktunya dua kali seminggu mengajar masyarakat awam. Mereka dibekali tuntunan aqidah ‘ala ahlissunnah wal jama’ah, fiqh dan juga tasawuf. Kegiatan ini berlangsung tiap hari Selasa dan Jum’ah Pagi. Untuk menyampaikan taushiahnya agar mudah diterima oleh masyarakat, beliau juga sangat akomodatif terhadap budaya – budaya yang tidak merusak sendi – sendi ajaran islam. Syeikh As_Sayid Mahfudz tak sungkan – sungkan menyampaikan taushiahnya dalam bentuk irama kidung macapatan Jawa. Karena nuansa psychologi masyarakat sebelum tahun 1945 adalah nuansa kultur keraton. Dan dengan cara itulah, pemahaman menjadi mudah diserap oleh masyarakat.


Untuk menyemangatkan orang agar senang beribadah dan mengaji biasanya beliau melagukan kidung – kidung pangkur. Jika meriwayatkan tarikh rasul beliau melagukan irama Dandang gula. Dan apabila mengarahkan orang untuk mencintai Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Shalihin beliau mengalunkan irama Asmaradana. Jadi tidak benar pemberitaan yang menyebutkan bila Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membenci kebudayaan Jawa. Apabila ada suatu kasus pernah terjadi beliau tidak setuju terhadap suatu tontonan tertentu, semestinya harus dianalisa dulu apa penyebabnya. Bisa saja ketidak setujuan itu terjadi karena sang pelakon membawakan suatu kisah yang dapat membahayakan pada aqidah umat. Jadi sifatnya kasuistis. Tidak dapat digeneralisasi. Karena penulis mempunyai banyak bukti, banyak sekali karya – karya beliau yang dimasukan dalam akulturasi budaya Jawa. Insyaallah kelengkapan ini akan dirilis dalam edisi buku biografi beliau secara lengkap yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.


Membangun kultur dan perekonomian santri

Selain sebagai figure ulama, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga seorang tokoh produktif yang dapat menjadi suri tauladan santri untuk dapat survive dimanapun bilamana santri menempatkan diri.


Kebumen di tahun 1940-an adalah sebuah daerah yang masih cukup statis dibidang perekonomian. Tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya masih teramat rendah. Apalagi jerat – jerat feodalisme sungguh masih membelenggu kemajuan diperbagai sektor. Standar kemampuan seseorang dibidang ekonomi masih diukur dengan seberapa besar jumlah luas lahan baik kering atau basah (pertanian) serta hewan peliharaan yang mereka miliki.


Ditengah – tengah situasi demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani maju memberikan suri tauladan pada para santri, bagaimana mengatasi stagnasi ekonomi dan membangun kultur budaya yang positif dalam nuansa islami di masyarakat. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memulai dengan menjalankan potensi – potensi ekonomi masyarakat yang belum terangkat secara maximal di Kebumen pada masa itu. Diantaranya ialah pengolahan kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik rokok, perdagangan kayu jati baik dalam sekup regional maupun ekspor (ke Malaya, Tumasik dan India) dan lain – lain. Jika salah satu roda usaha penggerak perekonomian ini telah jalan serta ada orang lain dari kalangan masyarakat yang mampu dan berkenan meniru beliau maka Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akan memilih mengalihkan diri pada bidang lain yang belum tersentuh.


Dari sini menjadikan banyak orang semakin bersimpati pada sosok figure beliau. Karena pada endingnya, hampir para ekonom dan saudagar – saudagar ternama di Kebumen yang berada di perbagai penjuru sentra ekonomi Kebumen dipastikan punya hubungan psychology dan sociology yang baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Landasan kekuatan dan pengembangan ekonomi yang dijiwai oleh semangat nasionalisme dan dibangun secara bersama – sama oleh beliau dengan tokoh – tokoh ekonom lainnya di Kebumen menyebabkan setiap pan kapitalis non pribumi gagal menjajah ekonomi masyarakat Kebumen. Oleh karena itu bukanlah hal yang mengada – ada serta sangat logis jika dikemudian hari pengaruh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini dapat masuk ke seluruh pelosok desa yang ada di wilayah Kebumen. Beliau sepertinya menjadi figure fenomenal pemersatu dan kebangkitan dari masyarakat Kebumen era tahun 1940 – 1945-an.


Pelopor Iptek Santri

Kalau pembaca mau lihat – lihat majalah “Keboemen Berdjoeang” sebelum tahun 1950-an, maka pembaca akan menemukan sebuah data stastistik, di Kabupaten Kebumen waktu itu baru ada satu buah pemilik mesin penggilingan padi. Siapakah pemiliknya? Tiada ain yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Ya, mesin penggilingan padi yang beliau miliki saat itu bukanlah berbentuk sebagaimana mesin penggilingan padi model sekarang yang telah sarat dengan kemajuan teknologi. Mesin penggilingan padi yang dimiliki oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beliau ciptakan sendiri teknologinya. Generator listriknya beliau peroleh dengan memakai penampang lingkaran yang digerakkan oleh tekanan pegas melalui pengolahan tenaga air. Mesin ini bila pada zaman sekarang dapat digambarkan adalah sebuah jenis mesin teknologi tepat guna yang bekerja dengan tanpa menggunakan bahan bakar minyak namun menggunakan air sumur.


Selain mampu menciptakan mesin penggilingan padi sebagai suatu cara dari Syeikh As_Sayid Mahfudz A-Hasani untuk memotivasi santri agar dapat berkarya dalam hal – hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas, beliau juga mampu menelorkan karya – karya teknologi yang sampai sekarang belum diangkat untuk diketahui umum. Diantaranya yang penulis ketahui yaitu seperti Mesin penjernih air (semacam Water Purefier namun dapat memilah kandungan air, minyak, besi dan kuman secara tersendri), Lensa pembaca hiroglif serta data arkeologi, Alat ketik dan komunikasi (semacam Notebook namun keyboardnya terbuat dari jenis batuan) dengan menggunakan Batery listrik alam dan lain – lain.


Aktif menyusun strategi kemerdekaan

Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selain mengasuh pesantren beliau juga aktif berperan serta menyusun strategi kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Keadaan ini timbul tak lepas dari hubungan akrab persahabatan yang dijalin beliau dengan para ulama dan keprihatinannya terhadap keadaan bangsa. Tokoh yang sering berhubungan dengan beliau dalam masalah perjuangan kemerdekaan ini adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang sekaligus pendiri organisasi Nahdhatul ‘Ulama. Antara keduanya sering saling mengunjungi dan berkirim surat. Dalam pustaka ayah penulis terdapat beberapa naskah surat – surat asli yang berasal dari KH Hasyim Asy’ari kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Insyaallah dalam buku sejarah biografi beliau yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu akan diungkap serta diuraikan secara lengkap. Jadi hubungan baik antara Tebu Ireng dengan Somalangu itu terjalin bukan dimulai dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Wahid Hasyim (mantan Menag) akan tetapi justru dari beliau dengan KH Hasyim Asy’ari. Bahwasanya antara KH Wahid Hasyim berhubungan baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memang benar. Akan tetapi jalinan persahabatan itu dimulai dari ayah KH Wahid Hasyim. Bukan karena KH Wahid Hasyim pernah bersama satu kurun Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Pesantren Tremas. Sebab Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mondok di Tremas tahun 1335 H/1917 M – 1336 H/1918 M, sementara KH Wahid Hasyim dilahirkan pada 1 Juni 1914 M. Jadi pada saat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah pulang dari Tremas, KH Wahid Hasyim baru berusia 4 tahun. Jelas mereka tidak pernah satu kurun di Tremas, walau keduanya adalah sama – sama alumnus pesantren tersebut. Mudah – mudahan tulisan saya ini dapat menjadi koreksi pada tulisan – tulisan yang mengulas hubungan keduanya.


Perkenalan antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari dimulai saat ada pertemuan akbar antara para alim ulama di Ampel, Surabaya menjelang tercetusnya resolusi Jihad pertama. Beliau adalah orang pertama yang mengusulkan agar KH Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai pemimpin dan deklarator resolusi jihad. Hujah – hujah yang beliau kemukakan sangat menarik perhatian peserta pertemuan. Sehingga sesudah itu antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari terjalin hubungan yang cukup akrab. Setelah selesai pertemuan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diminta oleh KH Hasyim Asy’ari untuk menemani beliau berkhalwat selama 40 hari di masjid Ampel, Surabaya untuk memohon petunjuk pada Allah Swt terhadap langkah – langkah tehnis yang sebaiknya dikerjakan.

Mendirikan badan kelasykaran AOI

AOI adalah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Merupakan sebuah badan kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan kelasykaran ini beranggotakan berbagai elemen umat islam yang ada diwilayah Indonesia.


Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, penjajah Belanda yang dibackup oleh Sekutu ingin tetap menguasai Indonesia. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sebagai seorang tokoh ulama berpengaruh didaerah wilayah Dulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas) waktu itu diminta oleh berbagai pihak untuk berkenan memimpin sebuah badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dimana pada saat tersebut telah beredar khabar secara luas bahwa Belanda akan datang kembali ke Indonesia bersama Sekutu sebagai pengganti pendudukan Jepang. Atas permintaan ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian melakukan istikharah dan meminta pertimbangan pada para sesepuh ulama. Kesimpulan selanjutnya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya berkenan memenuhi permintaan para tokoh masyarakat tersebut dengan catatan setelah selesai perjuangan beliau akan kembali lagi ke pesantren dan tidak akan campur tangan dalam urusan birokrasi kenegaraan.


Tepat pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945, diresmikanlah berdirinya suatu badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI yang diberi nama AOI sebagai sebuah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Badan kelasykaran ini dibentuk dan didirikan hanya bersifat untuk antisipasi situasi kritis semata dan sebagai respon baik pada anjuran pemerintah RI (Soekarno – Hatta). Sebab pada situasi pasca proklamasi, kesatuan tentara nasional belumlah mencukupi kebutuhan untuk dapat mempertahankan teritori negara secara menyeluruh dari kemungkinan serangan kembali pihak penjajah. Oleh karenanya, maka struktur organisasi AOI-pun dibuat dengan amat sangat sederhana. Demikian pula Anggaran Dasar organisasinya.


Anggaran Dasar AOI hanya memuat 2 bab. Masing – masing ialah Bab I berisikan tujuan dibentuknya AOI dan Bab II berisikan sikap dari badan kelasykaran AOI.


Sikap organisasi AOI dituangkan dalam Anggaran Dasar, karena bagi AOI sikap kelembagaan itu penting untuk dimengerti oleh setiap orang agar mereka mengetahui bagaimanakah prinsip AOI sebenarnya dalam menanggapi kemerdekaan RI.


Bagi AOI Kemerdekaan RI dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD’45 sebagai dasar negaranya adalah harga mati (silahkan lihat dan perhatikan dengan baik Anggaran Dasar AOI). AOI tidak dapat berkompromi dengan para penjajah atau pembuat makar terhadap NKRI. Oleh karenanya jelas sekali antara AOI dengan DI/TII terdapat perbedaan yang mendasar. Dan tidak benar ada hubungan atau korelasi structural antara organisasi AOI dengan DI/TII.


Benarkah AOI pemberontak?

Jika hendak mengulas bagian ini secara terperinci memang dibutuhkan ruang yang tidak sedikit. Padahal tulisan ini fokus utamanya adalah biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Namun karena bagian ini sering menjadi wacana dari perbagi pihak, maka penulis akan ungkapkan secara implisit saja bagaimana sudut pandang yang penulis ketahui mengenai wacana tersebut.


Untuk mengetahui apakah sebuah organisasi itu memberontak atau tidak terhadap sebuah negara semestinya yang pertama – tama harus dilihat dahulu adalah haluan atau tujuan organisasi tersebut. Dengan kata lain, harus dilihat dahulu seperti apakah dan bagaimanakah Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga-nya. Dari berbagai buku yang pernah beredar dan menulis tentang organisasi AOI, belum satupun buku yang penulis temukan didalamnya ada yang memuat seperti apakah Anggaran Dasar AOI apalagi sampai pada Anggaran Rumah Tangganya. Oleh karena itu peng”hakiman” yang mereka buat menurut penulis secara ilmiah mengandung cacat sejarah dan kurang proporsional. Sehingga objektivitas hasil tulisannya bagi kalangan yang berfikir jadi amat diragukan.


Menurut Anggaran Dasarnya, AOI didirikan dengan tujuan untuk mengusir penjajah serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa berada dibelakang pemerintah Republik Indonesia dengan Undang – Undang Dasarnya yaitu UUD’45. Oleh karenanya tuduhan bahwa AOI melakukan pemberontakan dan hendak mendirikan Negara Islam adalah fitnah politis semata.


Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pernah ditanya oleh beberapa murid beliau tentang pandangan islam dan negara. Beliau menjawab, “Islam tidak harus berbentuk negara, akan tetapi islam harus hidup dalam setiap negara”. Yang dimaksud adalah, bagi pandangan beliau ajaran islam tidak mengharuskan suatu negara berlebel Islam. Namun para pemeluk islam (kaum muslimin) wajib mewarnai kehidupan bernegara dengan menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar dimanapun mereka berada.


Masih menurut Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, “Setiap umat islam wajib secara ikhlas membela negaranya sendiri – sendiri dari penjajahan bangsa lain”. Oleh karenanya untuk menunjukkan peran wajib umat islam terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia maka beliau lalu memberi nama badan kelasykaran yang didirikannya dengan nama Angkatan Oemat Islam Indonesia yang masyhur disingkat dengan AOI.


Peran AOI dalam pengusiran penjajah di wilayah Dulangmas sangatlah besar dibanding badan – badan kelasykaran lain. Pamor AOI naik dibanding yang lain karena dukungan dan kepercayaan masyarakat yang luar biasa. Dalam berbagai medan pertempuran anggota AOI senantiasa gagah berani berada di garda terdepan. Saat peristiwa 10 November di Surabaya, AOI juga mengirimkan pasukannya. Ketika peristiwa 10 November Surabaya inilah salah seorang adik beliau lain ibu yang bernama Sayid Qushashi Al-Hasani gugur menjadi Syuhada. Lasyakar AOI seperti tak mengenal takut dan senantiasa pulang banyak membawa kemenangan dari medan laga. Yang membuat semakin simpatinya masyarakat terhadap AOI, bukan hanya peran kelasykaran saja yang dilakukan. AOI juga melakukan perjuangan sosial dengan mengirimkan bantuan pangan yang diatas namakan rakyat serta pemerintah RI ke India disaat negara tersebut tengah mengalami krisis pangan. Oleh karenanya disisi lain kecemburuan sosial terhadap AOI juga mulai muncul dari kalangan militer. Puncaknya terjadi ketika setelah Belanda dan pemerintah RI melakukan perjanjian Renvile serta perundingan konfrensi meja bundar, Den Hag yang menghasilkan negara RI dirubah menjadi RIS serta UUD’45 diganti menjadi UUD’50 dan TNI berubah menjadi APRIS.


Perserikatan dengan Belanda bagi AOI berarti penghianatan terhadap NKRI. Dan juga amat bertentangan dengan Anggaran Dasarnya. Walaupun demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyadari bahwa itu adalah bagian dari proses politik. Oleh karenanya ketika pemerintah mengumumkan untuk pembubaran badan – badan kelasykaran serta penggabungan kedalam APRIS, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani walau dengan berat hati mengambil langkah – langkah sbb :

Mengizinkan satu bataliyonnya (Bataliyon Lemah Lanang) yang dipimpin oleh Sayid Quraisyin (KH Nur Shodiq) untuk bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Bataliyon Lemah Lanang ini setelah bergabung dengan APRIS berganti nama menjadi Bataliyon X yang bermako di Kebumen.

Membubarkan sebagian besar anggota Bataliyon Himayatul Islam untuk kembali lagi ke masyarakat. Dan sebagian kecilnya masih berada di lingkungan asrama dengan maksud untuk menjaga keamanan masyarakat bilamana dibutuhkan.


Sebenarnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat keberatan ketika adik lain ibu beliau yaitu Sayid Quraisyin menyatakan niatnya bergabung ke APRIS. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyarankan agar beliau tetap bersamanya saja kembali ke pesantren dan melepaskan diri dari urusan kemiliteran atau birokrasi kepemerintahan. Karena pandangan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pada masa – masa transisi seperti saat tersebut, kalangan tokoh umat islam Indonesia banyak yang belum siap menghadapi pergulatan politik kekuasaan dikarenakan tingkat pengetahuan serta kematangan berfikir yang masih lemah dibanding kaum neoliberalis yang sempat mengenyam pendidikan dari bangsa penjajah. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengingatkan kepada adiknya, “Apakah kamu telah siap dengan resikonya? Ketahuilah! Aku melihat akan ada kejadian besar jika kamu nekad melakukannya”. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh Sayid Quraisyin.


Apa yang menjadi kekhawatiran Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya terbukti. Bermula ketika terjadi rasionalisasi dalam tubuh APRIS yang menghendaki penggabungan anggota antara Bataliyon X APRIS dengan anggota Bataliyon Lain yang berbeda fahamnya, Sayid Quraisyin sebagai komandan Bataliyon X APRIS menolak keputusan tersebut. Penolakan ini sepertinya menjadi entri point politik dari sebuah scenario besar yang telah direncanakan oleh rival – rival politik para tokoh pejuang islam untuk mengebiri jasa – jasa peranan mereka dalam kemerdekaan RI. Suasana tegang menjadi semakin panas ketika ada seorang anggota Bataliyon X dibunuh oleh Bataliyon Kuda Putih. Upaya permintaan dari Bataliyon X agar anggotanya yang dibunuh dikembalikan, menjadi sebuah isu besar yang diblow-up dan dikaitkan dengan AOI. Padahal secara resmi AOI telah menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk kembali ke masyarakat. Dan hanya sisa sedikit orang saja yang berada di asrama karena permintaan masyarakat untuk membantu keamanan warga dari tindak kejahatan yang dapat ditimbulkan oleh suasana masih belum kondunsifnya negara ketika itu. Dengan kata lain kejadian yang menimpa anggota Bataliyon X APRIS dengan Bataliyon Kuda Putih bagi AOI sebenarnya tidaklah ada kaitan yang mengikat.


Ditingkat pusat issu berkembang bahwa AOI akan memberontak kepada negara. Pasalnya yang mengemuka karena Bataliyon X yang dikomandani oleh Sayid Quraisyin (lebih dikenal dengan nama KH Nur Shodiq ketika itu) berasal dari AOI. Dan pembangkangan yang dilakukan oleh Bataliyon X dianalogkan sebagai hal yang tidak mungkin terjadi jika tidak dikomando oleh bekas induk pasukannya yaitu AOI. Padahal antara Bataliyon X APRIS dengan AOI secara structural telah terpisah, serta pula antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan Sayid Quraisyin terdapat pandangan yang berbeda.


Ketika issu ini mengemuka tajam, pemerintah pusat mengirim dua orang utusannya yaitu Jaksa Agung Mr Kasman Singodimejo dan Menteri Agama KH Wahid Hasyim untuk mengklarifikasi kebenaran khabar berita tersebut. Keduanya menemui Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Somalangu. Sesampainya di Somalangu kedua pejabat diterima dengan baik oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Mereka berdua disambut dengan kebesaran umbul – umbul bendera merah putih. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengajak keduanya untuk melihat orang – orang yang berada di asrama sambil berkata, “Masa orang – orang desa seperti ini mau memberontak negara.??”.


Hasil klarifikasi dua pejabat negara tersebut kemudian diumumkan melalui jumpa pers yang diantara beritanya dimuat oleh surat kabar nasional tanggal 12 Agustus 1950, dengan bahasa bahwa Menteri Agama KH Wahid Hasyim menyatakan telah terjadi kesalah pahaman anatara AOI dan APRIS. AOI tidak sama dengan DI. Menteri Agama menjamin bahwa AOI tidak akan memberontak kepada negara.


Namun apa daya, klarifikasi dan jaminan yang dinyatakan oleh Menteri Agama serta Jaksa Agung ternyata tidak digubris oleh junta militer APRIS. Tak lama berselang, Bataliyon X APRIS diserang oleh beberapa Bataliyon lainnya dari sesama APRIS. Ketika peristiwa ini terjadi Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih melarang sisa – sisa anggota AOI dari Bataliyon Himayatul Islam yang ada di Somalangu untuk terlibat dalam pertempuran tersebut. Dan masih terngiang pula dalam telinga orang – orang yang mengalami peristiwa itu, beliau berkata, “Itu yang bertempur antara APRIS dengan APRIS”. Orang – orang yang dari luar Somalangu sekalipun ia adalah mantan anggota Bataliyon Himayatul Isalam AOI oleh beliau juga dilarang masuk Somalangu. Hal itu dilakukan demi untuk menjaga jangan sampai terjadi penyusupan.


Pertempuran tidak seimbang antara Bataliyon X APRIS dengan beberapa Bataliyon lainnya memaksa Bataliyon X mundur terdesak. Dalam situasi demikian, meneroboslah masuk Sayid Quraisyin menghadap beliau. Padahal para penjaga telah diperintahkan untuk menolak siapa saja yang datang dan keluar dalam situasi demikian. Namun karena yang datang adalah adik beliau maka tentu saja para penjaga menjadi sungkan karenanya. Sayid Quraisyin minta bantuan kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan membela orang – orang islam yang hendak dibunuh. “Menyerah atau tidak mereka tetap saja akan dihabisi”, mengadu Sayid Quraisyin. “Sebentar lagi mereka akan masuk Somalangu karena terdesak. Mohon diizinkan dan dibantu”.


Pepatah Jawa mengatakan, “Tega larane ora tega patine”. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya luluh hati melihat sang adik yang seperti kebingungan. Beliau kemudian memanggil orang – orang yang masih bersamanya didepan masjid. Syeikh As_Sayid Mahfudz berkhutbah yang intinya, bahwa sekarang ada orang – orang islam didekat kita yang tengah dikejar – kejar hendak dibunuh. Hukumnya wajib berjihad membantu menyelamatkan mereka serta menjaga muruah umat islam. Karena yang tengah dihadapi adalah bangsa sendiri dan diantara mereka juga banyak yang muslim maka beliau serukan haram hukumnya menembak atau membunuh mereka lebih dahulu. Untuk itu, kepada siapa saja yang memegang senjata dan hendak menembakkan atau mengayunkan senjatanya wajib membaca kalimah syahadatain lebih dahulu. Jika lawan menjawab dengan bacaan syahadat maka haram untuk menembak atau mengayunkan senjatanya dan wajib bagi kita untuk mundur menghindari. Namun jika lawan ternyata tidak menjawab syahadatain kita maka dibolehkan untuk menembak atau mengayunkan senjata. Inilah kehati – hatian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam persoalan hukum.


Sungguh kental nian nuansa politisnya, orang yang membela dan berjuang sepenuh hati demi tegaknya kemerdekaan RI dituduh sebagai pemberontak, sedangkan yang berserikat dengan penjajah dianggap sebagai pahlawan. Dimana keadilannya? Mungkin benarlah orang yang berkata dinegeri ini apapun bisa didapat dan dicari. Hanya satu yang sulit ditemukan dan dicari, yaitu keadilan. Tapi sebagai muslim yang baik kita harus yakin, bahwa Allah Swt Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Ia punya rencana. Dan rencana-Nya adalah rencana yang sangat Adil.


Anggaran Dasar AOI

Tertulis jelas dalam anggaran dasarnya, tujuan AOI itu ada 4 macam. Dan ada 12 sikap yang dimiliki oleh AOI. Berikut ini penulis nukilkan ke-4 macam tujuan tersebut dan 12 sikapnya sesuai dengan naskah asli yang ada dalam kepustakaan Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.

Naskah ini masih menggunakan bahasa Melayu (baca ; Indonesia) tahun 45-an serta bertuliskan huruf Arabic – Latin (Arab Pegon).


Tujuan Angkatan Oemat Islam :

Menolak penjajah serta menguwatkan Kamardikan Indonesia

Menjaga serta mempelihara keamanan umum bersama dengan badan-badan lain yang sama tujuannya yalah tetap dan kuatnya Kamardekaan kita, dan tidak merintangi haluan serta dasar AOI

Berusaha Kasampurnaan jalannya agama islam

Berusaha Kemakmuran bangsa di dalam Indonesia Merdeka

Surat Ali ‘Imran Ayat 145. Yang Artinya, “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia. Dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat, kami berikan pula kepadanya pahala akhirat. Dan kami akan berikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

Dalam bagian terdahulu telah diungkapkan 4 point tujuan AOI yang termaktub dalam Anggaran Dasar-nya. Selanjutnya pada penulisan kali ini akan kami nukilkan 12 sikap AOI yang juga merupakan bagian dari isi Anggaran Dasar organisasi tersebut.


Dibuka dengan ayat yang berbunyi :



Artinya,”Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu ; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min bertawakal”.


Kemudian 12 sikap organisasi AOI tertulis sebagai berikut :


1. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Beri’tiqad dan berjanji akan berjuang untuk maksud kesempurnaan jalannya agama islam dalam lingkungan umat islam dan akan bekerja untuk keamanan umum serta kemakmuran dengan lebih dulu mempertuanken serta menguwatkan Kamerdekaan Indonnesia menurut jalan Allah swt di belakang Pemerintah Repiblik Indonesia Merdeka yang mana berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dalam Undang-Undang Dasarnya Bab II Fasal 29.


2. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Berjuang dengan dasar hukum-hukum islam dan mengikuti perjalanannya dan faham-fahamnya para mu’minin terbanyak dari jaman nabi Muhammad saw, yalah Sabilul Mu’minin.

Surat An Nisa 115







Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan Kami masukkan ia kedalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”,

Dan hadis Sawadul A’dzam.


3. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Berjuang sukarela Mutathawwi’in menurut keikhlasan dan keinsafan kita sendiri, tidak menghendaki dipaksa-paksa lain orang.


4. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Menghendaki kerja bersama-sama dengan badan lain dan dengan siapa saja yang sama tujuannya, yalah tetap dan kuatnya Kamerdekaan kita Indonesia, bilamana tidak merintangi dasar dan haluan kita


5. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Sedia tunduk pada petunjuk dan fatwa-fatwa para ‘Ulama kita dan para sepuh-sepuh kita atau pemimpin-pemimpin kita bilamana tidak nyata dan terang, selamanya.


6. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Berjanji akan tetap pegang teguh dan menjunjung tinggi pimpinan dan petunjuk yang mana diturunkan dari Allah Swt Rabbul ‘Alamin untuk mengatur kebatinan kita pada Tuhan Yang Maha Esa dan mengatur masyarakat kita umum islam di Dunia ini.


7. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Beri’tiqad dan berjanji akan membela kebenaran dan keadilan menurut ayat 58 Surat An_Nisa ;





Artinya,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Dan berani pendirian berani karena benar takut karena salah.


8. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Ber’itiqad dan berjanji akan menolak penjajah dan komplotan-komplotannya menurut ayat 7 surat Ali ‘Imron, dan akan menolak tindakan-tindakan dari siapa saja yang bersifat penganiayaan dan bertentangan bangsa kemanusiaan menurut Ayat 194 Surat Al_Baqarah :







Artinya, “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.


9. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Beri’tiqad tak adalah bagi orang yang tidak islam menyusun dan mengatur masyarakat umat islam Indonesia ini menurut ayat 139 surat An Nisa ;





10. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Beri’tiqad tiap-tiap bangsa di Dunia ini mempunyai hak kebangsaan dan hak kemerdekaan sepenuh-penuhnya dalam negaranya sendiri-sendiri.


11. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Akan menyusun kekuatan selama-lamanya untuk menolak musuh Allah Rabbul ‘Alamin yalah perampas dari peraturan-peraturan Allah Rabbul ‘Alamin untuk kita ummat islam Indonesia ini, dan musuh kita yalah tukang perampas-perampas kita dan kemerdekaan kita menurut Ayat 60 Surat Al Anfal ;







Artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.


12. Kita Pemuda Angkatan Oemat Islam Indonesia,

Berjuang dengan niat menjalankan perintah Allah dan menuju keridhaan Allah semata-mata.

Syeikh As_Sayid Mahfudz sudah wafat atau masih hidup?

Pertanyaan ini sering menjadi buah bibir dikalangan mantan anggota AOI, para santri dan Kyai serta pula beberapa tokoh masyarakat lainnya. Munculnya pertanyaan itu tak terlepas dari banyaknya kelebihan yang diberikan oleh Allah Swt kepada beliau dan sempat disaksikan oleh banyak kalangan.

“Syeikh Mahfudz itu dzahib ilal ghabah” Kata KH Mufidz, Pengasuh Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta.

KH ‘Ali Ma’shum, Krapyak pernah berkata, “Tidak ada seorang pun yang tau keberadaan Syeikh Mahfudz yang sebenarnya terkecuali hanya sedikit orang saja”.

“Syeikh Mahfudz iku isih sugeng (Syeikh Mahfudz itu masih hidup). Koe golekono, insyaallah ketemu (Kamu carilah beliau, insyaallah dapat ketemu)” Begitu kata Al-‘Arif Billah Simbah KH Ahmad Abdul Haq, Watucongol, Muntilan pada ayah penulis suatu saat.


Menurut beberapa saksi, secara lahiriah Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah mengalami syahid di Gn Selok, Cilacap. Tepatnya pada hari Selasa, 14 Dzulhijjah 1369 H atau 26 September 1950 sekitar pukul setengah empat sore WIB. Adapun sebab musabab yang mengantarkan pada kesyahidannya yaitu beliau terkena pecahan mortir di bagian punggung yang mengakibatkan adanya garis luka vertical sepanjang + 15 cm walau luka tersebut tidak sampai mengeluarkan darah (hanya ‘mbalur’, jw).


Dalam peristiwa tersebut, bermula ketika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tengah melaksanakan qadhil hajat, tiba – tiba dari jarak sekitar 10 m dibelakang beliau jatuh sebuah peluru mortir yang langsung meledak. Seorang santri khadam beliau bernama Qadim langsung syahid, sedang putera beliau yang masih berusia sekitar 13 tahun dan tengah berdiri disisi sampingnya terlempar sampai jarak kurang lebih 100 m. Secara selintas pandang, pada peristiwa ini Syeikh As_Sayid Mahfudz tidak mengalami sebuah lukapun apalagi hal – hal yang membahayakan. Karena beliau masih tetap berada ditempat semula sampai dengan qadhil hajat-nya selesai. Putera beliau Sayid Hanifuddin juga diberi selamat dalam peristiwa itu walau tubuhnya sempat terlontar jauh.


Luka yang dialami oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani baru ketahuan ketika beliau selesai menunaikan qadhil hajat kemudian mengambil air wudhu. Saat itu beliau melukar kaos dalamnya dan orang yang berada didekatnya dapat melihat di punggung beliau ada luka vertical namun tidaklah sampai mengeluarkan darah. Hanya warna merah saja yang nampak menggaris di punggungnya.


Tak ada seorang pun dari pengikut beliau yang mengira jika Syeikh As_Sayid Mahfudz akan syahid waktu itu. Karena sesudah berwudhu, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih sempat memimpin shalat dzuhur berjama’ah. Beliau juga kemudian berkhutbah, dimana dalam isi khutbahnya, beliau menyatakan hendak “beristirahat” dan meminta pada para pengikutnya agar dimanapun kelak mereka berada untuk senantiasa berjuang mengupayakan ‘izzul islam wal muslimin.


Selesai khutbah, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani lalu tiduran dengan bagian kepala beralaskan paha Kyai Lukman bin Ibrahim, Pengasuh Pesantren Lirap, Kebumen. Keduanya juga masih sempat ber-shouftoh (bercanda) satu dengan yang lain. Namun tak lama berselang sesudah itu, beliau lalu melantunkan suara dzikir yang membuat suasana disekitarnya menjadi hening. Banyak kepala tertunduk sambil mengikuti dzikir beliau. Namun ketika alunan dzikir mulai dirasa oleh satu dua telinga sudah tak terdengar lagi, beberapa orang seperti tersadar dan tercekat tenggorokannya lagi amat terperanjat. Oleh Sayid Hanifuddin, mereka diberitahu jika abahnya yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah syahid.


Ditengah kesadaran orang – orang yang semula mengelilingi dan berada dekat dengan beliau, tiba – tiba mereka masih dikejutkan lagi ingatannya dengan melihat jumlah orang yang bersama menjadi tinggal sedikit. “Kira – kira hanya tinggal 20-an orang dari semula ada sekitar 50-an”. Begitu ungkap H. Ridho, salah seorang saksi hidup pada peristiwa itu. H. Ridho ini tinggal di Desa Wanayasa, Banjarsari, Jawa Barat. Beliau di AOI lebih dikenal dengan nama Pardi dan bertugas memegang senjata berat jenis Karaben hasil rampasan dari tentara Belanda.


Kyai Lukman bin Ibrahim menghilang, padahal santri yang memegang jas beliau masih berada ditempatnya dengan baju jas yang masih dipegangi. Satu kompi pengawal khusus yang dipimpin oleh Danpi Abdur Rasyid (terkenal dengan nama samarannya Wagiman) juga tidak ada. Subhanallah. Ini adalah kejadian luar biasa yang sulit dicerna oleh akal manusia. Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Jejak – jejak mereka masih berada ditempat semula. Tiada tanda – tanda yang mengarah mereka menjadi syuhada ditempat tersebut.


Berita tentang kejadian ini pada tahun 1950-an menyebar luas keberbagai tempat. Mungkin karena inilah maka para kyai dan santri banyak yang berkeyakinan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih hidup. Demikian pula Kyai Lukman bin Ibrahim, Lirap serta satu satuan kompi yang dipimpin oleh Abdur Rasyid. Karena apa yang diperbuat Allah Swt terhadap para kekasih-Nya adalah tidak ada sesuatu yang tidak mungkin.


Beberapa tahun sesudah tahun 50-an itu, khabar masih hidupnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat membuat “gerah” mabes APRIS. Mereka meminta izin pada keluarga untuk membongkar makam Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan tujuan yang untuk meyakinkan benar atau tidaknya jika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah syahid. Karena peristiwa kesyahidan beliau tidak diketahui oleh kalangan pasukan APRIS.


Dengan disaksikan oleh dua putera Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani yaitu Sayid Hanifuddin dan Syarifah Hunaifiyah, dibongkarlah tempat yang semula pernah untuk memakamkan jasad beliau. Hasilnya, jasad beliau nampak masih ada dan utuh tak kurang satu apapun seperti saat baru syahidnya. Bahkan selimut yang disertakan juga tidak mengalami kerusakan. Dokumentasi diambil oleh pihak mabes APRIS. Namun ketika hasil dokumentasi beberapa waktu kemudian diserahkan pada pihak keluarga, semuanya menjadi terkejut. Menurut keluarga (termasuk Sayid Hanifuddin dan Syarifah Hunaifiyah) Foto yang tercetak itu bukanlah wajah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Akan tetapi foto orang lain, sekalipun postur mirip dengan beliau dan selimut yang dipakai juga sama dengan yang dikenakannya. Bahkan para mantan anggota AOI ketika melihat foto itu, meyakini bahwa foto tersebut adalah foto rekan mereka yang syahid ketika peristiwa pertempuran melawan Belanda dan dimakamkan didesa Bandung, Kebumen.


Teka – teki tentang misteri Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, Kyai Lukman dan satu satuan kompi pimpinan Abdur Rasyid ini baru terkuak pada tahun 2007 kemaren. Setelah melaksanakan apa yang diarahkan oleh KH Ahmad Abdul Haq Watucongol, ayah penulis berhasil bertemu dengan kakeknya yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Pertemuan ini adalah pertemuan nyata dan bukan pertemuan halusinasi atau pertemuan dengan ritual ghoib. Benar kata KH Ahmad Abdul Haq dan para sesepuh ulama bahwa Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ternyata masih hidup. Beliau kini tinggal di kota Syihr, Provinsi Hadhramaut, Yaman. Sepeninggalnya dari Indonesia, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membangun sebuah pesantren di Syihr. Tepatnya di komplek Masjid peninggalan sahabat Mus’ab bin ‘Umair. Beliau juga mursyid Thariqah As-Syadzaliyyah terkemuka di kota tersebut. Banyak ulama – ulama khawas timur tengah yang sempat berguru pada beliau sampai dengan saat ini. Diantaranya adalah Syeikh Ibrahim Al-Asfihani yang tinggal di Suriah. Beliau adalah mursyid As-Syadzaliyyah terkenal di Suriah yang mengambil sanad silsilah thariqah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani setelah beliau tinggal di Syihr, Hadhramaut, Yaman.


Kyai Lukman bin Ibrahim juga masih hidup. Setidak – tidaknya sampai tahun 2007. Beliau kini tinggal di Thaif, Saudi Arabia. Sementara itu Abdur Rasyid (orang yang di AOI memakai nama samaran Wagiman) beserta beberapa orang mantan anak buahnya kini tinggal di kota Doha, ibukota Qatar.


Sekian dulu, semoga saja tulisan ini bermanfaat bagi para muhibbin.


Wassalam


(Fawaqi Al-Hasani, penulis adalah pelajar SMA Islam Al-Kahfi Somalangu)

Habib Abdullah bin Ja'far Assegaf



Abahnya sering bercerita, ada satu keluarga mempunyai empat orang putra. Keempat puteranya itu menjadi orang besar kerana putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar…

Tiba di persekitaran sekolah pondok yang asri, perasaannya yang dari semula memang tidak tertarik dengan dunia pesantren tidak juga berubah. Masa-masa di SD dan SMP masih teramat indah tertanam di benaknya. Hobinya terhadap pelajaran Matematik dan ilmu-ilmu pengetahuan alam sejak duduk di bangku SD telah melahirkan tekad dalam hatinya untuk meneruskan pendidikan di sekolah-sekolah umum hingga tahap yang paling tinggi.

"Ente bener mau tinggal di pesantren?"Soalan-soalan ringan itu tiba-tiba membuyarkan angan-angannya. Namun wibawa dan karisma penanya yang berada di hadapannya itu membuatnya tidak mampu berfikir jawapan apa yang harus diucapkannya.
“Mau, Bib. "
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib. "

Tiba-tiba sang penanya yang penuh kharisma tadi memanggil salah seorang santri yang masih sangat kecil. Kira-kira ia duduk di bangku SD.
“Masmuk (siapa namamu)?” tanya sang habib kepada santri kecil itu.
“Ismi Fulan (Namaku Fulan)."

Setiap pertanyaan yang diajukan dijawab oleh santri belia itu dengan bahasa Arab yang fasih dan benar.

Tanpa disadari, pemandangan itu sangat menyentuh bathinnya. Hatinya mulai berkecamuk. Tanpa disadari, hatinya berbisik, “Ya Allah, anak kecil ini bukan habaib, bukan orang Arab, tetapi begitu fasihnya menuturkan ungngkapan-ungkapan percakapan bahasa Arab. Sedangkan aku sendiri, salah seorang dzurriyyah Rasulullah SAW, cucu para kakek yang alim, tidak tahu sama sekali ihwal bahasa Arab.”

Itu Sejak jam, hatinya mulai tertarik pada dunia pesantren. Tekadnya untuk menguasai ilmu-ilmu agama, tanpa disadarinya, mulai tumbuh dalam hatinya. Kharisma yang terpancar dari pribadi besar, yang tidak lain adalah Habib Hasan Baharun, pengasuh PP Darul Lughah Waddakwah, Bangil, yang kemudian menjadi guru futuhnya, telah merasuk ke dalam sanubarinya, membuyarkan semua angan dan cita-cita yang selama itu di pendamnya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum.

Siapakah sosok anak muda itu? Tak lain dialah Habib Abdullah bin Ja`far Assegaf.

Harus Tetap Melihat kepada Kakak
Selepas menjamu tim alKisah berbuka puasa di Sekretariat Majelis Nurul Musthofa, Jln. R.M. Kahfi 1 Gg. Manggis, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebelum mengimami shalat Tarawih, Habib Abdullah menuturkan kisah-kisah pengalamannya, dari masa kanak-kanak hingga aktivitasnya terjun di dunia dakwah,

Habib Abdullah, atau lengkapnya Habib Abdullah bin Ja`far bin Umar bin Ja`far bin Syeckh bin Segaf Assegaf, lahir di Empang Bogor pada hari Senin 8 Jun 1981, bertepatan dengan 5 Sya`ban 1401 H.

Ia adalah putra kedua pasangan Habib Ja`far Assegaf dengan Syarifah Fathmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ia adik kandung Habib Hasan bin Ja`far Assegaf, pengasuh dan pendiri Majelis Nurul Musthofa. Kedua adiknya yang juga kini sudah terjun di dunia dakwah adalah Habib Musthofa dan Habib Qosim.

Sejak kecil Habib Abdullah dididik dengan pendidikan agama yang ketat. Sang ayah, Habib Ja`far, sangat keras dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya, terutama dalam hal menanamkan pengetahuan agama. Tak menghairankan, di samping belajar di madrasah, Habib Abdullah juga belajar ngaji kepada seorang ustadz yang sengaja dipanggil datang ke rumah.

Di usia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah diwajibkan untuk tidak lepas membaca Ratib Al-Attas selepas shalat Maghrib.

Setelah ratiban, selepas shalat Maghrib, ia berangkat ke madrasah sampai jam setengah sembilan malam. Sedangkan di pagi harinya, ia belajar di SDN Empang 2 Bogor. “Waktu itu Abah selalu berpesan, ‘Kamu harus jadi orang alim. Tapi kamu harus tetap melihat kepada kakak kamu (Habib Hasan)’.”

Habib Abdullah menuturkan bahwa abahnya sering bercerita, ada satu keluarga mempunyai empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar. “Abah bilang, insya Allah kakakmu, Hasan, bakal jadi.” Karenanya, sejak kecil, Habib Abdullah selalu disarankan oleh abahnya untuk mengikuti jejak kakaknya, Habib Hasan. Itulah sebabnya, baginya, Habib Hasan bukan sekadar kakak, tetapi juga guru dan pembimbing yang diteladaninya.

Lulus dari SD tahun 1993, Habib Abdullah melanjutkan belajar ke SMPN 10 Cipaku dan lulus tahun 1996.

Setamat dari SMP, ia, yang selama itu selalu meraih peringkat sepuluh besar dan sangat menyukai pelajaran Matematika dan Fisika, tidak memiliki tekad lain kecuali masuk ke sekolah menengah atas favorit. Maka ia pun mendaftarkan diri dan diterima di SMAN 4 Bogor.

Namun ternyata sang ayah tidak mengizinkannya untuk melanjutkan ke sekolah umum, dan bermaksud memasukkannya ke pesantren. Meski demikian Habib Abdullah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikan di sekolah umum, sampai-sampai ayahnya berkata, “Abah masukin kamu SD, SMP, biar bisa baca tulis, biar enggak dibohongin orang. Abah mau kamu mendalami agama. Kalau mau melanjutkan ke sekolah umum, silakan cari duit sendiri.”

“Tapi waktu itu saya tetap keukeuh dengan pendirian untuk masuk ke sekolah umum sampai-sampai Abah ngediemin saya,” kata Habib Abdullah mengenang abahnya, yang wafat tahun 2002.

Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya Habib Abdullah menyerah. “Ya udah deh, Abah, saya nyerah, terserah Abah aja kalau memang mau masukin saya ke pesantren.”

Selama enam bulan itu, Habib Abdullah meniru apa yang dilakukan Habib Hasan. Setiap hari yang dilakukannya hanya pulang-pergi dari rumah ke masjid.

Tidak lama kemudian Habib Abdullah dikirim ke pesantren Habib Nagib di Bekasi.

Namun baru beberapa hari, suasana pesantren, yang sama sekali baru bagi Habib Abdullah, sudah membuatnya tidak kerasan, terlebih lagi sejak awal ia tidak berminat untuk masuk ke pesantren. “Saya pun langsung nelepon Abah, saya sengaja bikin-bikin kisah-kisah yang nggak enak ke Abah…. Pokoknya yang penting waktu itu saya bisa pulang.”
“Sudah bisa baca Maulid belum?"
“Belum, Abah.”
“Nggak bisa. Kalau sudah bisa baca Maulid, kamu baru boleh pulang.”

Mendengar kata-kata sang ayah, akhirnya Habib Abdullah menggunakan waktu sepenuhnya untuk mempelajari Maulid, agar secepatnya bisa pulang. Kurang lebih tiga bulan lamanya, dan Maulid Al-Habsyi pun sudah dikuasainya dengan baik.

Habib Abdullah pun kemudian dijemput pulang kembali ke Empang.

Di pertengahan tahun 2007, Habib Abdullah diantar oleh Habib Hasan menuju Pesantren Darullughah Waddakwah (Dalwa). Di pesantren inilah, setelah bertemu dengan Habib Hasan Baharun, pandangan Habib Abdullah tentang pesantren dan dunianya mulai berubah. Mulai saat itu tekad dan cintanya sepenuhnya untuk pesantren.

“Waktu itu, ketika dites, karena semua materinya kebanyakan bahasa Arab, sedangkan membaca Al-Qur’an saja yang saya bisa, akhirnya saya pun ditempatkan di kelas III Ibtidaiyah Diniyah.” Adapun untuk Mu`adalahnya (sekolah persetaraan)-nya, Habib Abdullah tetap melanjutkan ke tingkat Aliyah hingga tamat dan mendapatkan ijazah.

Tahun 2000 adalah tahun duka bagi Habib Abdullah. Pada tahun itu, sang guru ruhani, Habib Hasan Baharun, dipanggil oleh Allah SWT. Pada tahun itu juga, Habib Abdullah mohon diri kepada Habib Zein bin Hasan Baharun, penerus Habib Hasan, untuk melanjutkan pendidikan Diniyahnya ke Hadhramaut di bawah tanggungan Habib Abdullah Krasak, yang masih termasuk keluarga dari ibunya.

Namun Allah berkehendak lain. Sebelum ia berangkat ke Hadhramaut, Habib Abdullah Krasak sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah SWT.

Sepeninggal Habib Abdullah Krasak, Habib Abdullah meminta pendapat Habib Shodiq Baharun, adik Habib Hasan Baharun, untuk langkah selanjutnya. Atas saran beliau, Habib Abdullah diminta untuk datang ke Darul Musthofa, Batik Keris, Hanya, untuk membantu-bantu Habib Sholeh, pengasuh pesantren.

Di Solo, selain membantu di Darul Musthofa, Habib Abdullah juga aktif mendatangi majelis Habib Anis Solo untuk menimba ilmu kepada beliau.

Belum setahun tinggal di Darul Musthofa, Habib Hasan, yang waktu itu sudah memiliki majelis yang besar, meneleponnya untuk kembali ke Jakarta. Habib Hasan memintanya agar aktif membantu di Majelis Nurul Mushthofa. “Karena keinginan Habib Hasan tidak lain hanya agar masyarakat Jabodetabek ini, khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya, mengenal dan mencintai Rasulullah, untuk membatu dan meneruskan apa-apa yang sudah dilakukan oleh para alim ulama, asatidz, kiai, dan habaib, selama ini,” kata Habib Abdullah.

China, selain diamanati sebagai ketua Yayasan Nurul Mushthofa, Habib Abdullah juga dipercaya untuk mengasuh Nurul Mushthofa wilayah Ciganjur dan sekitarnya serta mendampingi Habib Hasan di setiap kegiatan gabungan majelis Nurul Mushthofa.

Tahun 2004, Habib Abdullah menikah dengan Syarifah Fathimah binti Umar bin Alwi Al-Haddad dan kini sudah dikaruniai tiga orang putra. “Yang tertua bernama Muhammad, kedua Abdurrahman, dan yang ketiganya masih dalam kandungan.”


“Ganti Namanya dengan Nama Ane”
Sebelum mengakhiri kisahnya, Habib Abdullah menuturkan satu kenangan terindah bersama Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, meskipun ia sendiri belum sempat mengaji kepada beliau.

Ketika putra keduanya lahir, Habib Abdullah memberinya nama “Muhsin”, mengambil dari nama kakeknya, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas. Namun putranya itu lahir dalam kondisi sangat kritis.

Dalam situasi semacam itu, Habib Abdullah hanya pasrah kepada Allah. Ia pun shalat Hajat dan memohon kesembuhan sang putra tercintanya. Tapi hari demi hari kondisi sang putra belum juga menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan.

Melihat situasi seperti itu, Habib Hasan, sang kakak, menyarankan agar Habib Abdullah pergi menemui Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri untuk meminta “air”, karena beliau adalah wali min awliyaillah, wali di antara wali-wali Allah.

Tanpa pikir panjang lagi, Habib Abdullah segera menuju ke kediaman Al-Walid dan mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Nama anak ente siape?"
“Muhsin, Bib. "
“Dari mane nama itu diambil?"
“Ane ambil dari nama kakeknya, Bib. Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas.”
Mendengar nama itu, Al-Walid diam sejenak.
“Emang namanya keberatan, Bib. "
“Ah, enggak. Bagus… bagus…."
Setelah minta air dan didoakan, Habib Abdullah pun segera mohon diri untuk kembali ke rumah sakit.
Namun belum lagi sampai di pintu majelis, tiba-tiba Al-Walid berseru, “Walad, ta`al… (Nak, sini…)."

Dengan wajah terkejut Habib Abdullah segera kembali menghampiri Al-Walid, yang masih duduk di tempat shalatnya.
“Ente mau anak ente sembuh, sehat.”
“Ye, Bib. "
“Ganti namanya dengan nama ane.”
Sontak saja, kata-kata Al-Walid, yang tidak diragukan lagi kewaliannya itu, bagaikan hujan membasahi bumi yang tengah kering kerontang dilanda kemarau panjang.
Tanpa menunda, saat itu juga Habib Abdullah langsung menelepon agar nama “Muhsin” yang diubah menjadi “Abdurrahman”.
“Alhamdulillah, mulai saat itu juga kondisi Abdurrahman berangsur-angsur membaik,” kata Habib Abdullah. “Ini sungguh merupakan keajaiban dari Allah…."

11 Tanda Mencintai Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam

Seseorang yang mengklaim bahwa dia mencintai seseorang akan lebih memilih yang dicintai dibanding semua orang, ia juga akan lebih memilih apa yang disukai oleh yang dicintainya, jika tidak demikian maka dia tidak akan bertindak sesuai yang dicintanya dan artinya cintanya juga tidak akan tulus.
Tanda-tanda berikut ini akan menjadi jelas pada mereka yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam,

Pertama: Tanda pertama cinta kepada Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah bahwa dia akan mengikuti contoh-contohnya, menerapkan cara Nabi saw dalam kata-kata, perbuatan, ketaatan kepada perintah-Nya, menghindari apa pun yang dilarang dan mengadopsi sikap Nabi saw pada saat diberi kemudahan, sukacita, kesulitan, dan penderitaan. Allah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad) dan Allah akan mencintaimu.” [Al-Imran: 31]

Kedua: Tanda kedua adalah bahwa dia akan menyingkirkan keinginan sendiri dan nafsunya dengan mengikuti hukum yang didirikan dan didorong oleh Nabi SallAllah alaihi wa Sallam. Allah berfirman, “Kepada orang-orang sebelum mereka yang telah membuat tempat tinggal mereka di tempat tinggal (Kota Madinah), dan karena keimanannya mereka mengasihi orang yang telah beremigrasi ketempat mereka, mereka tidak menemukan irihati dan dengki dalam dada mereka untuk apa yang telah diberikan dan lebih memilih mereka atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri memiliki kebutuhan. ” [Al Hasyr: 9]

Ketiga: Tanda ketiga adalah bahwa kemarahan seseorang karena orang lain hanya demi mencari keridhaan Allah. Anas, putra Malik diberitahu oleh Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, “Anakku, jika Anda dapat menahan diri dari dendam di hati Anda dari pagi hingga sore, kemudian melakukannya.” Dia kemudian menambahkan, “Anakku, yang merupakan bagian dari jalan kenabian bahwa barang siapa yang menghidupkan kembali cara saya dan mengasihi Aku, dan barangsiapa mencintaiku akan bersama dengan saya di surga.” [Sunan Tirmidh, Kitab al-Ilm, Vol 4, Halaman 151]

Jika seseorang memiliki kualitas baik ini, maka dia memiliki cinta yang sempurna untuk Allah dan Rasul-Nya. Jika dia menjadi sedikit kurang dalam kualitas ini maka cintanya tidak sempurna. Bukti ini ditemukan dalam ungkapan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, ketika seseorang menghadapi hukuman karena mabuk. Sebagaimana orang itu akan menerima hukuman seorang pria mengutuk sang pelaku, dan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Jangan mengutuk dia. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” [Sahih Bukhari, Kitab al-Hudud, Vol 3, Halaman 133]

Keempat: Tanda keempat adalah bahwa seseorang yang mencintai selalu menyebutkan nama Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, dalam kelimpahan – siapa mencintai sesuatu, terus-menerus pada lidahnya bersalawat kepada Nabi saw. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 32]

Kelima: Tanda kelima adalah kerinduan untuk bertemu Nabi SallAllahu Alaihi wa Sallam. Setiap kekasih rindu untuk bersama mereka yang tercinta. Ketika suku Asy’ariyah mendekati Madinah, mereka mendengar nyanyian, “Besok, kita akan bertemu dengan orang yang kita cintai, Muhammad saw dan para sahabatnya!” [Dalail an-Nabuwwah lil Baihaqi, Jilid 5, Halaman 351]

Keenam: Tanda keenam adalah bahwa setiap mengingat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, seseorang yang mencintainya akan ditemukan memuji dan menghormati setiap kali namanya disebutkan dan kemudian menampilkan kerendahan hatinya dan lebih merendahkan dirinya sendiri ketika ia mendengar namanya. Kami diberitahu oleh Isaac at-Tujibi bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, setiap kali para sahabat mendengar namanya disebutkan mereka menjadi lebih rendah hati, kulit mereka gemetar dan mereka menangis karena cinta. Adapun para pengikut lain dari Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, beberapa sahabat mengalami rasa cinta yang luar biasa sehingga meneriakkan salam kerinduan untuknya, sedangkan yang lain melakukannya karena rasa hormat dan penghargaan pada Rasulullah sawi. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 33]

Ketujuh: Tanda ketujuh adalah ungkapan kasih yang diungkapkan untuk Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, dan para ahlul bayt (keturunan Nabi saw) dan sahabatnya – para Muhajirin dan bani Ansar sama besarnya demi kehormatan Nabi saw. Seseorang dengan tanda ini akan ditemukan memusuhi orang-orang yang membenci mereka.

Nabi saw berkata kepada umatnya sambil menunjuk cucunya Sayidina Al Hasan dan Al Husain, semoga Allah senang dengan mereka, Nabi Alaihi SallAllaho alaihi wa Sallam, berkata, “Ya Allah, aku mencintai mereka, maka cintailah mereka.”

Sahih Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 23
Sahih Muslim, Kitab al Fadhail, Vol 4, Halaman 1883
Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 327

Al-Hasan mengatakan bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, juga mengatakan, “Ya Allah, aku mencintainya, dan cinta orang yang mencintainya.” Dua cucunya, Nabi saw juga mengatakan, “Barangsiapa mencintai mereka, maka mencintai aku.” Kemudian ia berkata. Barang siapa mencintaiku, maka dia mencintai Allah. Barang siapa yang membenci mereka membenci saya dan barangsiapa membenci saya artinya membenci Allah. ”

Muqaddam Sunan Ibn Maja, Vol 1, Page 51
Majma ‘az-Zawaid, Vol 9, Halaman 180

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Jangan membuat teman saya sebagai sasaran setelah kepergian ku! Barangsiapa mengasihi mereka, maka mengasihi mereka itu karena mereka mencintaiku, dan barang siapa membenci mereka, adalah juga kebencian mereka terhadap aku, Barangsiapa merugikan mereka, maka mereka merugikan aku. Barangsiapa yang melukai sahabatku dan keluargaku, seolah-olah itu adalah menyakitiku (Nabi saw) dan artinya juga Allah. Barang siapa menyaikiti Allah, maka mereka akan dibuang.

Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 358
Musnad Ahmad, Vol 5, Halaman 54

Keluarga Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah berasal dari Sayidah Fathimah, semoga Allah senang dengan dia, “Dia adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang membenci dia, maka mereka membenci saya.”

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 24
Sahih Muslim, Kitab Fadhail as-Sahaba, Vol 4, Halaman 1903

Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, mengatakan kepada Sayidina Aisyah untuk mencintai Osama, putra Zaid karena dia mencintainya. [Sunan Tirmidzi, Kitab al-Manaqib, Vol 5, Halaman 342]

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berbicara kepada Ansar, berkata, “Tanda iman adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah kebencian kepada mereka.”

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Page 27
Sahih al Bukhari, Kitab al Iman, Vol 1, Page 9
Sahih Muslim, Kitab al Iman, Vol, Halaman 85

Anak Omar mengatakan kepada kita bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Barang siapa mencintai orang-orang Arab dan mengasihi mereka karena dia mencintaiku, dan barangsiapa membenci mereka, itu adalah karena kebencian mereka terhadap aku..” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Faktanya adalah ketika seseorang mencintai yang lain, dia mencintai segala sesuatu yang dicintai orang itu, dan ini memang terjadi dengan para sahabat. Ketika Anas melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, makan sepotong labu, ia berkata, “Dari hari itu maka akupun mencintai labu.” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Al-Hasan, cucu Nabi, semoga kedamaian Allah atas mereka, pergi dengan Jafar Salma dan memintanya untuk menyiapkan beberapa makanan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, yang biasa digunakan untuk makan. [Shamail Tirmidzi, Halaman 155]

Omar pernah melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, mengenakan sepasang sandal berwarna kuning, sehingga dia juga mengenakan sepasang sandal dengan warna yang sama.

Sahih al Bukhari, Kitab al-libas, Vol 7, Halaman 132
Sahih Muslim, Kitab al-Hajj, Vol 2, Halaman 844

Kedelapan: Tanda kedelapan, kebencian terhadap siapa saja yang membenci Allah dan Rasul-Nya. yaitu dengan membenci orang-orang yang menunjukkan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Orang beriman memiliki tanda ini menghindari semua yang menentang cara kenabian, dan bertentangan dengan orang-orang yang memperkenalkan inovasi dalam cara kenabian (yang bertentangan dengan semangat Islam) dan menemukan hukum yang memberatkan. Allah berkata, “Anda akan menemukan tidak ada umat yang beriman kepada Allah dan Hari Terakhir yang mencintai siapapun yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” [Al Mujadilah: 22]

Kesembilan: Tanda kesembilan ditemukan pada mereka yang mencintai Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi saw, dimana mereka dibimbing. Ketika ditanya tentang Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, Sayidah Aisyah, ra dia, berkata, “karakter Nabi adalah Al-Qur’an.” Bagian dari cinta Al-Qur’an adalah mendengarkan bacaan, bertindak sesuai dengan itu, pemahaman itu, menjaga dalam batas-batas dan cinta cara Nabi Muhammad. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Sahal, putra Abdullah berbicara tentang tanda ini mengatakan, “Tanda mencintai Allah adalah cinta Al-Qur’an Tanda mencintai Al-Qur’an adalah cinta Nabi.Tanda mencintai Nabi SallAllahu alaihi wa sallam, adalah cinta cara kenabiannya. Tanda mencintai cara kenabian adalah cinta akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia ini. Tanda kebencian bagi dunia ini adalah bahwa Anda tidak mengumpulkan semua kecuali untuk sedikit saja sesuai ketentuan dan apa yang Anda butuhkan untuk tiba dengan selamat di akhirat. ” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Anak Mas’ud mengatakan, “Tidak ada yang perlu bertanya pada diri sendiri tentang apa pun, selain Al-Qur’an, jika ia mencintai Al Qur’an maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya” pujian dan damai besertanya. [Baihaqi fil Aadaab, Hal 522]

Kesepuluh: Tanda kesepuluh cinta untuk Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah untuk mengasihani umatnya dengan menasihati mereka dengan baik, berjuang untuk kemajuanmereka dan menghapus segala sesuatu yang berbahaya dari jalan mereka dan dalam cara yang sama bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata “kasih sayanglah kepada orang yang beriman.” [Al-Taubah: 128]

Kesebelas: Tanda kesebelas kasih yang sempurna ditemukan dalam membatasi siapa dirinya melalui penyangkalan diri, lebih memilih kemiskinan dari kenikmatan atraksi dunia. Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata Abu Sa’id Al Khudri, “Kemiskinan akan datang kepada Anda yang mencintai saya, mengalir lebih cepat daripada banjir dari puncak gunung ke dasarnya.” [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Seorang pria datang kepada Nabi Alaihi wa Aalihi SallAllaho wa Sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mencintaimu.” Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, memperingatkan, “Hati-hati dari apa yang Anda katakan.” Pria itu mengulangi cintanya sampai tiga kali, dimana Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam berkata kepadanya, “Jikalau kamu mengasihi ku maka persiapkan diri mu dengan cepat untuk kemiskinan.” [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Ya ALLAH SWT! Kami memohon kepadaMU untuk mengisi hati kita dengan Kasih yang benar dan besar dari sifat Karim yang terkasih, Habibullah. Kita tetap hidup pada Sunnah-nya dan memberkati kita dengan kematian pada Iman di Kota terkasih Nabi Terkasih saw dan kuburkan kami dengan Ahl al-Baqi ‘asy-Syarif … Aamin!
Sumber : Majelis Shalawat Samudera Cinta Rasulullah saw

Sejarah Berdirinya Pondok-Pondok Pesantren Bandungsari

Al-kisah pondok pesantren Bandungsari telah ada sejak zaman wali songo, dikisahkan di desa Bandungsari kecamatan Ngaringan kabupaten Grobogan, telah pernah berdiri pondok pesantren yang didirikan oleh waliyulloh SYEKH AHMAD ALI murid dari SUNAN GIRI. Namun keberadaan pondok dan makamnya terjadi khilaf.

Kiai BASYARIDDIN bin Kiai RADEN JUMALI waliyulloh asal Tuyuhan Pamotan Rembang adalah Kiai pertama yang mendirikan Pondok Pesantren di kulon kali (barat sungai), setelah beliau wafat diteruskan menantunya yaitu Kiai HASAN PURO putra Kiai IMAM TABRI dari Jatisari Wirosari. Menantu Kiai BASYARIDDIN yang lain yaitu Kiai IBRAHIM mendirikan Pondok Pesantren di masjid selatan. Sepeninggal beliau diteruskan Kiai MUKTI kemudian diteruskan Kiai SAIROZI. Menantu beliau yang lain yaitu kiai ARIF mendirikan Pondok Pesantren di madrasah utara. Sepeninggal beliau diterusakan Kiai DAHLAN dan Kiai MUHADI. Sepulang dari Pondok Pesantren Langitan Jawa Timur putra-putra KIAI HASAN PURO yaitu Kiai ASMU’IN dan HAMZAH beserta sahabatnya KH. MA’RUF mengamalkan ilmunya di Bandungsari. HAMZAH menjadi Kepala Desa Bandungsari namanya diganti HADI REJO. Kiai ASMU’IN mendirikan Pondok Pesantren di dekat pondok Kiai DAHLAN dan Kiai MUHADI. KH. MA’RUF dinikahkan dengan keponakan Kiai ASMU’IN yaitu putri mbah PAWIRO menantu HASAN PURO.

Tahun 1905 KH. MA’RUF mendirikan pondok dikomplek kauman sebelah barat. Tahun 1917 kiai SIDIK menantu mbah PAWIRO mendirikan Pondok Pesantren di kauman timur. Beliau adalah putra Kiai UMAR ABDULLOH dari Jati Sari. Sepulang berguru di Pondok Pesantrennya KH. HASYIM ASY’ARI dari Tebu Ireng, Kiai MASYHURI putra KH. MA’RUF membantu ayahandanya membimbing para santri.

Pada tahun 30-an terjadi krisis di Pondok Pesantren utara. Kiai MUHADI hijrah ke Demak, Kiai DAHLAN pindah ke Trowolu, Kiai ASMU'IN wafat. Setelah Kiai ASMU'IN wafat istrinya dijadikan istri kedua Kiai MA’RUF. Pondok utara dan semua santrinya digabungkan di Pondok Pesantrennya Kiai MA’RUF. Pada tahun 1944 M. ketika Kiai SIDIK wafat. Pondok timur dipersatukan dengan pondok barat oleh Kiai MASYHURI di beri nama AL MA'RUF. Seiring dengan makin banyaknya santri maka sistem mengajarnya pun diubah dengan cara formal yaitu dengan mendirikan madrasah yang diberi nama RIYADLOTUSSUBBAN dengan guru-guru mengajarnya;

Shof I : Ustadz Kastolani Ibnu KH. Ma’ruf

Shof II : Ustadz Sholeh Ibnu KH. Ma’ruf

Shof III : Ustadz Nawawi menantu Kiai Siddiq alumni dari Tebuireng.

Klas I : Ustadz Syamsuddin ibnu Kiai Siddiq

Klas II : Kiai Muslih Ali dari Kudus santri Kiai Ma’ruf.

Sedangkan struktur pengurus Madrasah;

Mudir ‘Am : Kiai Masyhuri

Pelaksana : Kiai Abdul Karim

Ketua : Bpk. Kardi dari Bandungsari

Sekretaris : Bpk. Kasturi dari Sendangsuro

Perlengkapan : Bpk. Salamun dari Bandungsari

: Bpk. Ridwan dari Bandungsari

Tahun 1963 M Kiai MASYHURI wafat. Kepemimpinan Pondok Pesantren dipegang oleh KH. ABDUL KARIM dan Kiai MUSLIH. Tahun 1981 M. Kiai MUSLIH wafat. Posisi beliau digantikan Kiai BASYARIDDIN putra Kiai SIDIK.

Tahun 1988 M. KH. ABDUL KARIM Wafat. Posisi beliau digantikan KH. ABDUL WAHID ZUHDI dan KH. AHMAD KHOLIL KARIM, dibawah kepemimpinan KH. ABDUL KARIM dan Kiai MUSLIH di Bandungsari hanya satu Pondok Pesantren yaitu PP. Al Ma’ruf. Tapi sepeninggal Kiai MUSLIH mulailah bermunculan pesantren-pesantren baru. Semoga bermunculnya pesantren-pesantren baru membawa hikmah dan berkah untuk kemaslahatan Islam dan orang-orang Islam. Kemudian KH. ABDUL WAHID ZUHDI melebarkan sayap ke Ngangkruk (sebelah utara PP. Al Ma'ruf) untuk mengembangkan program-program beliau yang sekarang sangat tersohor, diantaranya program 40 hari, 100 hari, menghafal Alfiyyah plus murod dalam satu tahun.


Kemajuan Yang Dicapai

Di Bidang Fisik

Di bangun PON-PES AL-KUTTAB khusus santri kecil dan Ibtida’ dilahan seluas … ha, plus kamar mandi dan WC. Dibangun asrama untuk penampungan orang hilang ingatan (gila) terlantar (tak memiliki keluarga) bernama yayasan "MA'ATHYH" dengan kapasitas 40 orang plus kantor penjaga. Dibangun pula komplek PON-PES PUTRI tiga lantai dengan 30 kamar tidur dan ruang pendidikan. Dibangun pula madrasah "ASHSHOCHU" berdiri Nopember 2007.


Dibidang Pendidikan

Dibidang pendidikan, beliau memunculkan terobosan program-program baru yang belum dimiliki oleh pondok pesantren lain seperti :

Diterapkannya metode memahami kitab secara cepat dan cerdas, mempelajari dan menghafal kitab selama 40 hari bagi tingkatan dasar. Kemudian disusul program 100 hari. Target program ini, santri dituntut untuk dapat memaknai (makna gandul, jawa) serta memahami maksud dari kitab Aby Syuja'.

Membaca kitab kotongan/tanpa makna (pagi belajar, sore setoran, malam musyawaroh) bagi pelajaran wajib.

Difokuskannya pelajaran Hadis, Falak, Faroidl, Arudh di bulan liburan (bulan Robi'ul Awwal dan Romadhon) bagi santri dalam maupun luar pondok pesantren. Bahkan dalam ilmu Falak, mengalami kemajuan yang luar biasa terbukti dikirimkannya guru-guru falak dari pesantren lain, dari Jawa Tengah dan Jawa Tinur juga Madura untuk belajar falak tiap bulan Ramadhan.

Dijadikannya kitab-kitab karangan Beliau sebagai mata pelajaran wajib di lebih dari 10 pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti, Nahwu Mandhumah, Risalah Nisa’, Faidu Dzil Jalal dan Falak.

Kerja sama dengan lebih dari 20 Pon-Pes baik besar maupun kecil dari Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Sarang, Lirboyo untuk Bahtsul Masa’il Kubro Fiqhiyyah Waqi'iyyah dengan metode yang lain dari pondok pesantren pada umumnya yakni dengan metode pembuatan makalah.

Diterimanya lulusan Fadhlul Wahid untuk belajar di Mesir dan Yaman. Bahkan sekarang sudah begitu banyak santri Beliau yang belajar di Mesir atau Yaman yang mendapatkan titel Lc.


Di Bidang Kemasyarakatan

Beliau adalah pembimbing rohani bagi jama’ah Thoriqoh As-Syadziliyyah yang jumlah pengikutnya kurang lebih mencapai 7000 (tujuh ribu) orang di tiga Kabupaten yaitu Blora, Grobogan, dan Demak. Seluruh kegiatan pengajian di biayai oleh Beliau tanpa memungut dari santri Thoriqoh sejak Beliau membentuk thoriqoh syadziliyyah.

Setiap bulan Robi’ul Awwal selalu mengadakan khitanan massal sejak tahun 1997, tiap tahun tidak kurang dari 100 anak yang dikhitan. Menampung dan merawat orang-orang hilang ingatan (gila) yang terlantar (tidak memiliki keluarga) yang di ambil dari jalan-jalan di 2 Kabupaten yaitu Blora dan Grobogan.


Di Bidang Teknologi

Telah diajarkan pemahaman computer untuk siswa MTs (Tsanawi) keatas, yang bertujuan untuk merealisasikan program computerisasi untuk mentahrij hadis-hadis.

Melihat sikap Beliau yang sangat peduli terhadap Maslahatul Islam Wal Muslimin dan keberhasilan yang telah di capai oleh Pon-Pes Fadhlul Wahid selama dalam bimbingan Beliau, sudah seharusnya kita sebagai kaum muslimin pada khususnya serta bangsa Indonesia pada umumnya bangga terhadap keberhasilan Beliau.


Keadaan Masyarakat Sekitar Pesantren

Pondok Pesantren Fadhlul Wahid terletak di area pesawahan lebih persisnya tanah yang tinggi (angkruk, jawa) desa Bandungsari yang jauh dari kota ± 5 km arah barat kecamatan Ngaringan, 32 km arah timur dari kota kabupaten Grobogan. Pesantren ini berada agak jauh dari perkampungan karena memang asal mulanya bekas pesawahan yang cukup luas (7 hektar).

Secara sosial dan kultur masyarakat sekitar berasal dari masyayih, santri, pelajar dan petani. Heterogenitas juga dilihat dari beragamnya agama (Islam dan Kristen) yang dipeluk masyarakat sekitar pesantren. Tidak lebih dari radius 2 km terdapat 1 buah gereja dan beberapa masjid serta musholla yang berjejer-jejer. Namun demikian, bagi pemeluk Kristen jumlahnya sangat minim hanya segolongan saja. Meskipun demikian, kerukunan dan toleransi antar umat beragama terbina sangat baik sehingga tidak ada perselisihan yang berarti. Taraf ekonomi masyarakat sekitar didominasi oleh kalangan 65 % petani, 20 % pedagang, 10 % wiraswasta, dan 5 % buruh.


Organisasi Kelembagaan

Organisasi kelembagaan di pondok pesantren Fadhlul Wahid bernama yayasan "MA'ATHYH" yang mana yayasan ini dibidang sosial. Maksud dan tujuan yayasan "MA'ATHYH" tersebut adalah melaksanakan kewajiban fardlu kifayah dengan menitikberatkan pada Pengayoman Dan Perawatan Kepada Orang Lupa Ingatan (Gila) Yang Terlantar (tidak diketahui keluarganya) dan bukan bermaksud untuk penyembuhan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang yayasan "MA'ATHYH" akan dibahas pada bab berikutnya.


Kegiatan Pendidikan

Pendidikan yang diselenggarakan adalah pengajian kitab-kitab salaf mulai pagi (baik pelajaran Al-Qur'an maupun kitab kuning) sampai malam (jam musyawaroh). Kurikulum yang diterapkan adalah murni kurikulum pesantren yang mengacu pada pemahaman kitab-kitab salafiyyah. System pendidikan/pengajian kitab kuning (sorogan, setoran makna, dll) yang mengarah pada pendalaman materi dan wawasan ilmu agama/'ulumuddin dengan pendekatan metode efektif-efesien dan pengajaran klasikal (salafiyyah) serta bahtsul masa'il (baik bahtsul masa'il sughro, wustho, maupun kubro). Pada dimensi pragmatis diajarkan computer (yang diharuskan pada tingkatan kelas Funun) yang mengacu pada santri untuk bisa mentahrij hadis-hadis (mulai dari riwayat hadis, biografi para shohabat, mencari ibaroh-ibaroh kitab kuning, dan lain sebagainya). Kegiatan ekstra yang tersedia meliputi beladiri PORSIGAL, sepakbola, computer, berkebun.


Sarana Dan Prasarana

Aset, sarana dan prasarana yang dimiliki yaitu : 1 buah aula, 1 unit gedung madarasah ashshochu, 1 unit gedung TK Al-Kuttab, 1 unit gedung pesantren putra, 1 unit gedung pesantren putri, 1 ruang perpustakaan dan ruang computer. Sarana olahraga yang dimiliki adalah sepakbola.


Sumber Dana

Dana pondok pesantren bersumber utama dari iuran syahriyyah dari santri setiap bulan dan penjualan kitab-kitab atau hasil karya para santri sendiri seperti makalah-makalah, hasil musyawarah, dan lain-lain. Disamping itu juga sumbangan dari wali santri, santri thoriqoh dan lembaga-lembaga lain yang tidak mengikat.
Demikian sekelumit profil pondok pesantren Fadhlul Wahid desa Bandungsari kecamatan Ngaringan kabupaten Grobogan propinsi Jawa Tengah dipaparkan, Semoga ada manfaatnya bagi pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat pada umumnya

Almaghfurulah Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid




KELAHIRAN, KELUARGA DAN SILSILAH KETURUNANNYA

Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1324 H (1906 M).
 Nama kecil beliau Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti adalah ayah beliau sendiri, yaitu Haji Abdul Majid. Nama itu diambil dari nama seorang ulama’ besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlaq dan kepribadiannya sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak. Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan Hajjah Halimatus Sa’diyah. Beliau bersaudara kandung lima orang, yaitu : Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah. Ayahandanya yang terkenal dengan panggilan “Guru Mu’minah” itu adalah seorang muballig dan terkenal pemberani, pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah; sedangkan ibundanya terkenal sangat shaleh.

Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu, tidak mengherankan kalau ayah-bundanya memberikan perhatian khusus dan menumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau. Ketika beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke tanah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, Bahkan ibundanya, Hajjah Halimatussa’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu berpulang ke Rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu’alla Makkah.

Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh, karena dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas bahwa silsilah keturunan beliau adalah dari garis yang terpandang, yaitu dari keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.

Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid di dalam perkawinannya sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul, padahal beliau sendiri sangat menginginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah melalui organisasi Nahdlatul Wathan yang beliau dirikan. Beliau hanya dianugrahi dua orang anak dan keduanya putri, yaitu :

1. Hajjah Siti Rauhun dari Ummi Jauhariyah

2. Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatulloh.

Karena hanya mempunyai dua anak itulah, beliau juga dipanggil dengan nama “Abu Rauhun wa Raihanun”.

PENDIDIKANNYA

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, sebelum melanjutkan studinya ke tanah suci Makkah, beliau menamatkan pelajarannya di Sekolah Rakyat 4 tahun di Selong Lombok Timur pada tahun 1919 M, dan belajar agama Islam pada ayahandanya TGH Abdul Majid, TGH Syarafuddin Pancor dan TGH Abdullah bin Amaq Dulaji Kelayu Lombok Timur. Setelah berusia 17 tahun, yaitu pada tahun 1341 H/1923 M, berangkatlah beliau ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, memperdalam berbagai macam disiplin pengetahuan Islam. Beliau berangkat bersama keluarga beliau, dan belajar di tanah suci selama 12 tahun.

Di kota suci Makkah Al Mukarramah, mula-mula beliau belajar di Masjidil Haram. Ayahandanya sangat selektif dalam mencari dan menentukan guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya yakin bahwa guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi panutan bagi murid dalam pola berpikir dan berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.

Di Masjidil Haram beliau belajar sangat tekun pada ulama’-ulama’ terkenal zaman itu. Kemudian pada tahun 1928 beliau melanjutkan studinya di Madrasah Ash-Shaulatiyah yang pada saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah putra syaikh Rahmatullah, pendiri madrasah Ash-Shaulatiyah. Madrasah ini adalah madrasah pertama di tanah suci, dan telah banyak menghasilkan ulama’-ulama’ besar. Di Madrasah Ash-Shaulatiyah inilah, beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota suci Makkah waktu itu.

Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang ulama’ besar kota suci Makkah, teman sekelas beliau mengatakan : “Saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin. Saya bergaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum kepadanya. Dia sangat cerdas, akhlaqnya mulia. Dia sangat tekun belajar, sampai-sampai jam keluar main pun diisinya dengan menekuni kitab pelajaran dan berdiskusi dengan kawan-kawannya”.

Karena ditunjang oleh kondisi ekonomi yang memadai tingkat kecerdasan (IQ) yang sangat tinggi, ketekunan dalam belajar, garis silsilah keturunan yang terpandang, kasih sayang serta keikhlasan kedua orang tua dan doa restu dari para gurunya, maka beliau memperoleh prestasi yang sangat mengagumkan, sehingga berhasil dengan gemilang menyelesaikan studinya di Madrasah Ash-Syaulatiyah pada tahun 1352 H, dengan predikat sangat memuaskan Kenyataan ini tertera dalam Ijazah beliau yang khusus ditulis tangan, berbeda dengan Ijazah yang diberikan kepada kawan-kawan beliau. Nilai beliau sangat memuaskan, dengan angka semua 10 (sepuluh) pada semua mata pelajaran yang beliau tempuh, disamping diberikan tanda bintang, sebagai penghargaan atas prestasi dan keberhasilannya yang mengagumkan itu.

Keberhasilan beliau meraih prestasi yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan beliau mendapat banyak pujian baik dari mahagurunya sendiri maupun dari kawan-kawan yang seangkatan dengan beliau dan ulama’-ulama’ terkemuka lainnya.

Pujian itu, antara lain disampaikan oleh salah seorang mahagurunya, Al “allamah Al Adib Asy-Syaikh As-Sayyid Muhammad Amin Al Kutbi, mahaguru yang memberikan kasih sayang cukup besar kepada muridnya yang genius ini. Pujian tersebut diungkapkan dengan syair berbahasa Arab yang maksudnya :

Demi Allah, saya kagum pada Zainuddin

kagum pada kelebihannya atas orang lain

pada kebesarannya yang tinggi

dan kecerdasannya yang tiada tertandingi

Jasanya semerbak di mana-mana

menunjukkan satu-satunya permata

yang tersimpan pada moyangnya

Buah tangannya indah lagi menawan

penaka bunga-bungaan

yang tumbuh teratur di lereng pegunungan

Demikian pula pujian yang disampaikan oleh maha gurunya yang lain, yaitu Al ‘Allamah Asy-Syaikh Salim Rahmatullah, mudir (direktur) Madrasah Ash-Shaulatiyah dengan ucapannya : “Madrasah Ash-Shaulatiyah tidak perlu memiliki murid banyak, cukup satu orang saja, asalkan memiliki prestasi dan kualitas seperti Zainuddin”.

Sedangkan pujian dari kawan sekelasnya diberikan oleh Syaikh Zakaria Abdullah Bila. Beliau mengatakan :

“Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, kawan sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi, di kala saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Ash-Shaulatiyah Makkah. Saya sungguh menyadari akan hal ini. Syaikh Zainuddin adalah manusia ajaib dikelasku karena kegeniusannya yang sangat tinggi. Syaikh Zainuddin adalah ulama’ dan mujahid (pejuang) agama, nusa dan bangsanya. Saya tahu, telah berapa banyak otak manusia diukirnya, telah berapa banyak kader penerus agama, nusa bangsa yang dihasilkannya. Saya tahu, dia adalah mukhlis (orang ikhlas) dalam berjuang menegakkan iman dan taqwa di negerinya, rela berkorban, cita-citanya luhur. Dia memiliki kelebihan di kalangan teman-teman segenerasinya. Kelebihan yang dia miliki selain yang saya sebutkan tadi, yaitu dia selalu mendapat doa restu dari guru-guru kami, ulama’-ulama’ besar di tanah suci Makkah Al Mukarramah, utamanya Maulanasy Syaikh Hasan Muhammad Al Masysyath”.

Pujian Syaikh Zakaria Abdullah Bila seperti di atas, dikuatkan lagi oleh mahagurunya yang paling dicintai dan paling banyak memberikan doa dan inspirasi dalam perjuangannya, yaitu Maulanasy Syaikh Hasan Muhammad Al Masysyath, dengan ucapan beliau : “Saya tidak akan berdoa ke hadlirat Allah S.W.T. kecuali kalau Zainuddin itu, sudah nampak jelas di depanku dan bersamaku”. Beliau juga mengatakan bahwa beliau mencintai setiap orang yang cinta kepada Syaikh Zainuddin dan tidak mencintai orang yang tidak cinta kepada beliau.

Syaikh Isma’il Zain Al Yamani, seorang ulama’ besar kota suci Makkah Al Mukarramah, sangat kagum kepada Syaikh Zainuddin, kagum kepada ketinggian ilmu dan keberhasilan perjuangan beliau. Dengan penuh keikhlasan ulama’ besar kota suci itu mengatakan bahwa beliau mencintai siapa saja yang cinta kepada Syaikh Zainuddin dan membenci siapa saja yang benci kepada beliau.

Fadlilatul “Allamah Prof. Dr. Sayyid Muhammad “Alawi “Abbas Al Maliki Al Makki, seorang ulama’ terkemuka kota suci Makkah pernah mengatakan bahwa tak ada seorang pun ahli ilmu di tanah suci Makkah AlMukarramah baik thullab maupun ulama’ yang tidak kenal akan kehebatan dan ketinggian ilmu Syaikh Zainuddin. Syaikh Zainuddin adalah ulama’ besar bukan hanya milik ummat Islam Indonesia tetapi juga milik ummat Islam sedunia.

Demikianlah pujian yang telah diberikan secara ikhlas dan jujur baik oleh kawan seperguruan beliau maupun mahaguru dan ulama-ulama lainnya Walillahil hamdu.

KARYA-KARYANYA

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain tergolong tokoh ulama’ dengan bobot keilmuan yang dalam, beliau juga penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini, tumbuh dan berkembang dari sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah. Akan tetapi karena padat dan banyaknya acara kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus diisi beliau, maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan dan karangannya tampaknya tidak pernah ada.

Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan, beliau mengungkapkan keadaan seperti ini kepada muridnya, bila mana beliau teringat pada kawan seperjuangannya di Madrasah Ash Shaulatiyah Makkah yang juga telah tergolong ulama’ besar dan pengarang terkenal seperti Maulanasy Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Maulanasy Syaikh Yasin Padang dan lain-lain. Mereka sekarang ini memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis dan karang-mengarang.

Akan tetapi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pemah berkecil hati, walaupun kawan seperguruannya menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini, karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di pihak lain. Beliau pernah mengatakan “Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang telah dimiliki Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Syaikh Yasin Padang, Syaikh Ismail dan ulama’-ulama’ lain tamatan Madrasah Asy Shaulatiyah Makkah”.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid sekarang ini, tampaknya memang tidak cukup waktu dan kesempatan untuk mengarang dan menulis, karena sebagian besar dan bahkan seluruh waktu dan kehidupan beliau hanya dipakai dan dimanfaatkan untuk mengajar dan terus mengajar, berdakwah keliling untuk membina ummat dalam upaya menanamkan iman dan taqwa.

Bertitik pangkal dari jiwa dan semangat kelahiran Nahdatul Wathan yang selalu bermuara pada iman dan taqwa, beliau dengan semangat yang tak kunjung padam menghabiskan waktunya berjuang untuk kepentingan ummat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri “Aku wakafkan diriku untuk ummat”.

Kendatipun demikian, di tengah-tengah kesibukan itu beliau masih menyempatkan diri untuk mencoba mengembangkan bakat dan kemampuannya. Bagi beliau, mengarang dan tulis menulis, bukanlah suatu tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan bakat dan kemampuan dasar yang dianugrahkan Allah kepada beliau. Bakat dan kemampuan dasar inilah yang terus tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Ash Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak mengherankan kalau beliau mendapat pujian dari salah seorang maha gurunya, seorang penyair dan pujangga besar Arab, yaitu Maulanasy Syaikh As Sayyid Muhammad Amin Al Kutbi yang sudah dikemukakan pada uraian yang terdahulu.

Di antara Karya Tulis dan Karangan beliau adalah :

Dalam Bahasa Arab

1. Risalatut Tauhid dalam bentuk soal jawab (Ilmu Tauhid)

2. Sullamul Hija Syarah Safinatun Naja (Ilmu Fiqih)

3. Nahdlatuz Zainiyah dalam bentuk nadham (Ilmu Faraidl)

4. At Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah (Ilmu Faraidl)

5. Al Fawakihul Ampenaniyah dalam bentuk soal jawab (Ilmu Faraidl)

6. Mi’rajush Shibyan ila Sama-i Ilmil Bayan (Ilmu Balaghah)

7. An Nafahat ‘alat Taqriratis Saniyah (Ilmu Mushtalahul Hadits)

8. Nailul Anfal (Ilmu Tajwid)

9. Hizbu Nahdlatul Wathan (Do’a dan Wirid)

10. Hizbu Nahdlatul Banat (Do’a dan Wirid kaum wanita)

11. Shalawat Nahdlatain (Shalawat Iftitah dan Khatimah

12. Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)

13. Ikhtisar Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)

14. Shalawat Nahdlatul Wathan (Shalawat iftitah)

15. Shalawat Miftahi Babi Rahmatillah (Wirid dan do’a)

16. Shalawat Mab’utsi Rahmatan lil “Alamin (Wirid dan do’a)

17. Dan lain-lainnya.

Dalam Bahasa Indonesia dan Sasak

1. Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)

2. Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)

3. Wasiat Renungan Masa I & II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga NW)

C. Nasyid/Lagu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab, Indonesia dan Sasak

1. Ta’sis NWDI (Anti ya Pancor biladi)

2. Imamunasy Syafl’i

3. Ya Fata Sasak

4. Ahlan bi wafdizzairin

5. Tanawwar

6. Mars Nahdlatul Wathan

7. Bersatulah Haluan

8. Nahdlatain

9. Pacu gama’

10. Dan lain-lainnya.

PERJUANGAN DAN KEPEMIMPINANNYA

Keberhasilan perjuangan seseorang tokoh atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola kepemimpinannya. Kearifan seseorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya akan menentukan keberhasilan perjuangannya. Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling kait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila pola pendekatan yang digunakan dalam kepemimpinan itu baik, dan kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan melahirkan keberhasilan perjuangan.

Dalam bagian ini akan dikemukakan tentang perjuangan yang dilakukan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menegakkan agama, serta membangun nusa dan bangsa, dan bagaimana pola pendekatan dan type kepemimpinan beliau.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain menjadi tokoh pendidikan dan tokoh ulama’ juga pejuang agama, nusa dan bangsa dengan semangat dan militansi yang tidak pernah pudar. Beliau adalah perintis kemerdekaan di NTB dengan gerakan “Al Mujahidinnya” yang bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat pembela kemerdekaan lainnya.

Pejuang dan Perintis Kemerdekaan dalam perjuangan membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda dan Jepang Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid menjadikan Madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Jiwa perjuangan, patriotisme dan semangat pantang menyerah tetap beliau kobarkan di dada para murid dan santri serta guru-guru Madrasah NWDI dan NBDI. Karena itu, tidak mengherankan kalau kedua bangsa penjajah itu selalu berusaha untuk menutup dan membubarkan Madrasah NWDI dan NBDI.

Pada zaman penjajahan Jepang, Tuan Guru Kiai Muhammad Zainuddin Abdul Majid berkali-kali dipanggil untuk segera menutup dan membubarkan kedua madrasah tersebut, dengan alasan bahwa kedua madrasah ini digunakan sebagai tempat menyusun taktik dan strategi untuk menghadapi bangsa penjajah tersebut, disamping dianggap sebagai wadah yang berindikasi bangsa asing, karena diajarkannya Bahasa Arab dikedua madrasah ini.

Kepada Pemerintah Pascis Jepang beliau mengemukakan beberapa penjelasan. Di antaranya bahwa Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur’an, bahasa Islam dan bahasa Umat Islam, bahasa yang dipakai dalam melaksanakan ibadah. Ibadah Ummat Islam menjadi rusak kalau tidak menggunakan Bahasa Arab. Itulah sebabnya Bahasa Arab diajarkan di Madrasah NWDI dan NBDI. Dikedua Madrasah ini juga dididik calon-calon “Penghulu dan Imam”, yang sangat diperlukan untuk mengurus dan mengatur peribadatan dan perkawinan ummat Islam.

Setelah mendengar penjelasan beliau, segeralah Pemerintah Jepang yang ada di Pulau Lombok mengirim laporan ke pihak atasannya di Singaraja Bali. Tidak lama kemudian terbitlah surat keputusan di Singaraja dalam bentuk surat kawat, yang berisi antara lain bahwa Madrasah NWDI dan NBDI dibenarkan untuk tetap dibuka dengan ketentuan supaya nama madrasah ini diubah menjadi “Sekolah Penghulu dan Imam”.

Kemudian sesudah beberapa bulan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, mendaratlah tentara NICA di Pulau Lombok. NICA adalah singkatan dari Netherlands Indies Civil Administrations, yaitu Pemerintah Sipil Belanda yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Negara-negara Sekutu di masa Perang Dunia II.

Kebiadaban dan keganasan tentara NICA yang sangat terkenal itu menimbulkan kemarahan Bangsa Indonesia, sehingga Bangsa Indonesia bangkit dan melakukan perlawanan di mana-mana. Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid bersama murid, santri dan guru-guru Madrasah NWDI dan NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan Al Mujahidin”. Gerakan Al Mujahidin ini selanjutnya bergabung dengan gerakan rakyat pembela kemerdekaan Indonesia yang ada di Pulau Lombok seperti Gerakan Banteng Hitam, Gerakan Bambu Runcing, BKR, Api dan lain-lainnya untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan bangsa Indonesia.

Dalam pada itu, akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan pengkhianat-pengkhianat bangsa dan negara yang berjiwa budak dan menjadi kaki tangan NICA, Madrasah NWDI dan NBDI diblacklist sebagai markas gelap yang menentang penjajah. Beberapa orang guru NWDI dan NBDI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Di antaranya TGH Ahmad Rifa’i Abdul Majid (adik kandung TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid) dipenjarakan di Ambon Maluku, TGH Muhammad Yusi Muhsin Aminullah dipenjarakan di Praya Lombok Tengah dan beberapa orang lainnya dikirim ke penjara di Bali. Di samping itu, dalam suatu sidang resmi yang diadakan NICA, Madrasah NWDI dan NBDI diputuskan untuk ditutup. Namun sebelum keputusan itu sempat dilaksanakan, terjadilah peristiwa 8 Juni 1946, yaitu penyerbuan Tangsi Militer NICA di Selong di bawah pimpinan adik kandung Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, yaitu TGH Muhammad Faishal Abdul Majid. Dalam peristiwa ini gugurlah TGH Muhammad Faishal Abdul Majid dan dua orang santri yaitu Sayyid Muhammad Shaleh dan Abdullah sebagai Syuhada’ kesuma bangsa yang menjadi pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong{ Lombok Timur). Dengan terjadinya peristiwa 8 Juni 1946 tersebut keputusan NICA untuk menutup Madrasah NWDI dai NBDI tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi ancaman dan intimidasi dari pihak NICA bersama kaki tangannya semakin gencar dan langsung ditujukan kepada pribadi Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majic namun berkat perlindungan dan pertolongan Allah SWT, semua perbuatan biadab itu gagal total, sesuai dengan penegasan Allah Swt di dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 54:
ومكروا ومكرالله والله خيرالماكرين

Artinya : “Mereka membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.

Di dalam menghadapi setiap ancaman dan tantangan yang datang bertubi-tubi itu, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid sebagai pejuang tidak pernah gentar dan tidak pernah mundur walaupun setapak dari gelanggang perjuangan. Beliau tetap tegak dan tegar dengan semangat yang berkobar-kobar.

PENCETUS DAN PELOPOR SISTEM SEKOLAH/MADRASAH DI NTB

Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain beliau dikenal sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan, juga dikenal sebagai inovator (tokoh pembaharu) dalam bidang pendidikan, utamanya di Nusa Tenggara Barat.

Sesudah beliau kembali ke Indonesia yaitu setelah menamatkan studinya di Madrasah Ash Shaulatiyah Makkah tahun 1934 M/1352 H, mula-mula beliau mendirikan Pesantren Al Mujahidin (1934 M) kemudian pada tahun 1936 beliau mendirikan Madrasah NWDI.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi beliau mendirikan Madrasah/sekolah yaitu keadaan umum ummat Islam yang terbelakang dan berada dalam kebodohan dan sistem pendidikan halaqah dan pengajian tradisional yang sejak lama berkembang di Pulau Lombok khususnya dianggapnya kurang efektif dan efesien untuk memajukan masyarakat dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan.

Keadaan inilah yang mendorong beliau berupaya mendirikan lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah sebagai tempat memperdalam pengetahuan agama dan umum serta meningkatkan mutu pendidikan, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkemampuan tinggi dan memiliki semangat perjuangan yang dilandasi iman dan taqwa. Dasar pertimbangan lainnya yang mendasari beliau mendirikan madrasah yaitu pendapat beliau bahwa mengembangkan Islam melalui pendidikan adalah fardlu ‘ain dan mendidik masyarakat utamanya dalam bidang agama adalah tugas mulia. Karena dengan pendidikan lahirlah manusia yang mampu mengembangkan diri dan keluarga serta masyarakat bangsanya.

Kendati pun beliau mendapat reaksi dari masyarakat atas perjuangannya yang mulia ini, akan tetapi sebagai pejuang, beliau tetap tenang dan tegar menghadapi segala macam rintangan dan cobaan. Beliau berprinsip bahwa “Seorang pejuang harus rela berkorban, karena perjuangan adalah pengorbanan. Seorang pejuang hendaklah dapat menempatkan diri sebagai figur yang tidak takut terhadap ancaman dan caci maki orang”.

Karena ketekunan beliau dalam bidang pendidikan dengan bantuan do’a dari para mahagurunya serta bantuan tenaga dari santri dan jemaahnya, maka madrasah/ sekolah Nahdatul Wathan tumbuh dan berkembang sampai dengan Perguruan Tinggi.

KEPEMIMPINANNYA

Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai ulama’ besar di Indonesia karena ilmu yang dimiliki beliau luas dan mendalam. Demikian pula kharisma beliau sebagai sosok figur ulama’ demikian besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh karena kearifan dan kebijaksanaannya. Perjuangan dan kepemimpinan beliau senantiasa diarahkan untuk kepentingan ummat. Penghargaan dan penghormatan yang beliau berikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya, terutama kepada guru-guru beliau, diujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada ummat.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa penghargaan beliau kepada mahagurunya yang paling dicintai dan disayangi, Maulanasy Syaikh Hasan Muhammad Al Masysyath diujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Hasaniyah NW di Jenggik Lombok Timur, penghargaan untuk mahagurunya Maulanasy Syaikh Sayyid Muhammad Amin Al Kutbi diujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan untuk mahagurunya Maulanasy Syaikh Salim Rahmatullah beliau sudah rencanakan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di Lombok Barat.

Pola kepemimpinan yang beliau contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pimpinan yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan.

Demikian pula tentang pendekatan yang beliau lakukan selalu bernilai paedagogis dalam artian bersifat mendidik. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani. Beliau selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jama’ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian pula halnya di kala beliau memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam flkiran murid dan santrinya.

Pembawaan dan sikap hidup beliau yang selalu menunjukkan kesederhanaan inilah yang membuat beliau selalu dekat dengan para warganya dan muridnya dengan tidak mengurangi kewibawaan dan kharisma yang beliau miliki. Keluhan dan rintihan yang disampaikan para muidnya ditampung, didengar dan dicarikan jalan penyelesaian dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, dengan tidak merugikan salah satu pihak.

Untuk melanjutkan gerak juang Nahdlatul Wathan di masa datang, beliau sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun dari segi bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan beliau sering menyampaikan keinginannya, agar murid dan santri beliau memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lebih tinggi dari pada ilmu pengetahuan yang dimiliki beliau. Demikian motivasi yang selalu beliau kumandangkan, agar para murid dan santri beliau lebih tekun dan berpacu dalam memperdalam ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam menghadapi dan menerima para santri dan muridnya, beliau tidak pernah membeda-bedakan yang satu dengan lainnya. Semua murid dan santrinya diberikan cinta dan kasih sayang yang sama besarnya seperti cinta kasih sayang seorang bapak kepada anak-anaknya.

Yang membedakan derajat murid dan santri dihadapan beliau adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya kepada perjuangan Nahdlatul Wathan, seperti wasiat beliau yang selalu dijadikan pedoman dan tolak ukur oleh para murid dan santrinya, yaitu :
ان اكرمكم عندى انفعكم لنهضة الوطن وان شركم عندى اضركم بنهضةالوطن

Artinya:

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan, dan yang paling jahat ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan”.

Kepemimpinan beliau yang selalu menekankan hubungan guru dengan murid, inilah yang sulit memisahkan beliau dengan para murid-muridnya, dan barangkali belum ada figur pimpinan selain beliau yang selalu menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid. Menurut prinsip beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid, akan tetapi kebanyakn murid yang membuang guru.

Adanya penekanan dan jalinan pola hubungan guru dengan murid dalam kepemimpinan beliau, menyebabkan tidak terdapatnya kesenjangan antara beliau sebagai guru dan juga sebagai pemimpin dengan warga dan murid-muridnya dan antara murid dengan murid, yang selalu diikat oleh khittah perjuangan Nahdlatul Wathan.

Demikian pula dalam setiap gerak dan langkah, beliau selalu memberikan contoh dan suri tauladan yang baik dan selalu memberikan keyakinan akan kebenaran perjuangan Nahdlatul Wathan dengan memberikan contoh yang jelas dan praktis untuk diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh murid dan santrinya. Sikap kasih sayang terhadap para murid dan santri utamanya yang memiliki dan menunjukkan nilai positif untuk perjuangan Nahdlatul Wathan tetap terlihat dalam sikap dan prilaku beliau dan tetap terdengar dari ucapan-ucapan beliau. Semua murid dan santri mendapat cinta dan kasih sayang serta perlakuan yang sama, selama mereka tidak merusak hubungan baiknya dengan beliau sebagai guru dan juga kepada perjuangan Nahdlatul Wathan.

Pola pendekatan dan bentuk kepemimpinan yang dimiliki beliau menyebabkan kharisma yang beliau miliki dan kecintaan murid terhadap beliau tidak pernah pudar. Beliau tetap mendo’akan para murid dan santrinya agar agar menjadi murid yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik kepada ibu bapak dan guru. Beliau tetap memesankan dan menekankan hubungan baik dengan guru.

Beliau senantiasa menanamkan keyakinan dan kesetiaan murid kepada gurunya. Karena keberkatan ilmu sangat bergantung pada kesetiaan dan hubungan baik murid dengan gurunya, dan kerugiaan yang sangat besar bagi seorang murid apabila merusak hubungan baik dengan gurunya.

Beliau mendidik para murid dan santrinya agar selalu mencintai orang yang baik-baik utamanya para ulama’ dan aulia’ seperti Al ‘Alimul ‘Allamah Al Magfurulah Al’Arifubillah Asy Syaikh Hasan Muhammad Al Masyayath.

Demikian juga beliau mengajarkan kepada para murid dan santrinya untuk selalu berbaik sangka kepada semua orang dan berbuat baik terhadap orang yang pernah berbuat baik kepada Nahdiatui Wathan. Ajaran beliau, apabila seseorang berbuat baik satu kali, maka harus dibalas sepuluh kali, bahkan seratus kali kebaikan. Jasa baik seseorang tetap dibalas dengan kebaikan. Kebaikan seseorang selalu diingat dan dikenang. Akan tetapi kebaikan diri kepada seseorang hendaknya dilupakan. Dan apabila ada orang berbuat jahat kepada kita, hendaklah dibalas dengan sabar, kalau tidak tahan, balaslah dengan seimbang, tidak boleh lebih.

Sebagai pemimpin ummat, beliau mempunyai pendirian dan sikap tegas, sportif dan konsekuen terhadap apa yang beliau putuskan. Dalam menetapkan suatu masalah utamanya yang bersifat prinsipil beliau selalu mengkajinya secara mendalam, tidak hanya melalui pertimbangan akan pikiran pribadi, akan tetapi dengan musyawarah, dan setelah dipertimbangkan dengan matang berdasarkan dalil-dalil naqli dan aqlinya manthuq dan mafhumnya untung ruginya, mashlahat dan mafsadatnya, barulah beliau menempuh jalan yang terakhir yaitu melalui shalat Istikharah sampai memperoleh suatu keputusan yang meyakinkan. Keputusan tersebut beliau laksanakan dan terapkan dengan penuh keyakinan dan sportifitas tinggi serta diupayakan untuk menjadi suatu garis atau ketetapan yang secara murni dan konsekuen dilaksanakan oleh seluruh murid dan santri beliau.

Dalam melaksanakan missi dan tugas organisasi, beliau senantiasa memberikan bimbingan, petunjuk dan masukan-masukan kepada semua kader dan selalu membesarkan jiwa dan semangat pengabdian kepada para murid dan santrinya dengan jiwa iman dan taqwa, ikhlas dan istiqamah, jujur dan memiliki sifat syaja’ah (keberanian) serta memiliki jiwa rela berkorban untuk kepentingan ummat. Sedangkan yang paling tidak dibenarkan dan tidak berkenan di hati beliau adalah sikap pessimistis, apatis, pengecut, cari muka dan ingkar janji.

Demikian pula sebagai panutan ummat beliau selalu menunjukkan sikap yang konsekuen terhadap masalah- masalah yang telah difatwakannya dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Beliau juga selalu mem- berikan harapan-harapan segar yang meyakinkan serta menyejukkan hati kepada para murid dan santrinya untuk menambah semangat juang dan pengabdiannya kepada agama, nusa dan bangsa melalui jalur organisasi Nahdlatul Wathan.

Titik tekan dari perjuangan dan kepemimpinan beliau selalu bertujuan untuk kepentingan ummat dalam upaya mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan duniawi dan ukhrawi. Beliau sebagai pejuang dan peimimpin yang tangguh, dari semua ucapan, pengarahan dan prilaku beliau selalu terdengar dan terlihat sikap untuk maju dan terus maju. Misalnya dari gubahan lagu/nasyid yang beliau ciptakan selalu memancarkan jiwa jihad yang tinggi dan bermakna, baik dalam upaya memerangi kebodohan, keterbelakangan maupun dalam memerangi dan membasmi segala macam khurafat yang berbahaya bagi ummat Islam. Dalam lagu/nasyid tersebut tercermin sifat dan sikap mental yang beliau miliki dan perlu diwariskan kepada para murid dan santri beliau sebagai generasi dan kader penerus perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang yaitu tekun dalam berjuang, ikhlas dalam beramal dan berkarya serta selalu dilandasi dengan jiwa iman dan taqwa yang merupakan muara dan pokok pangkal perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau selalu menekankan bahwa dalam perjuangan itu hendaknya dilandasi dengan “Tiga I”, yaitu Iman, Islam dan Ihsan; danjangan berjuang karena mengharapkan “tiga si”, yaitu kaki kursi, nasi basi dan sambal terasi.

Kegairahan dalam berjuang dan menuntut ketinggian ilmu pengetahuan dan ketinggian martabat hidup, baik sebagai warga Nahdiatui Wathan maupun sebagai ummat Islam untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi tetap terdengar dari fatwa-fatwa yang beliau sampaikan dan tetap terlukis dalam karangan beliau, baik yang berbahasa Arap maupun yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Sasak.

JABATAN YANG TELAH DIEMBAN DAN JASA-JASANYA.

Sejak beliau kembali dari Makkah Al Mukarramah yaitu setelah menamatkan studinya di Madrasah Ash Shaulatiyah, cukup banyak jabatan yang telah beliau emban, baik yang formal maupun non formal dalam Republik ini.

Demikian juga pengabdian dan jasa-jasanya dalam upaya ikut serta mengambil bagian dalam pembangunan agama, nusa dan bangsa agaknya dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh pejuang lainnya yang telah banyat berkiprah dalam negara Pancasila terdnta ini.

Mengemukakan tentang jabatan yang telah diemban dan jasa-jasa yang telah beliau darma baktikan di bumi pertiwi ini, sesungguhnya bukanlah bertujuan untuk menonjolkan pribadi beliau dan bukan pula untuk mencari popularitas yang justeru kurang berkenan dan sesuai dengan falsafah hidup beliau. Karena popularitas tidak diharapkan dalam perjuangan. Akan tetapi tujuan kami mengetengahkan dan menampilkannya hanyalah untuk dapat menjadi gambaran bagi kader penerus perjuangan Nahdlatul Wathan, sekaligus dijadikan sebagai motivasi dan dorongan bagi para murid dan santri beliau dalam upaya meningkatkan semangat juangnya dalam ikut serta berkiprah dan berkhidmat kepada agama, nusa dan bangsa.

Dalam pada itu, jasa-jasa beliau yang telah diabadikan kepada Republik ini, akan selalu diingat, dikenang dan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Nahdlatul Wathan oleh para pewaris dan penerus perjuangan beliau. Orang-orang bijak mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan dan pejuangnya”.

Pengalaman kerja dan jabatan yang pernah beliau emban dan merupakan jasa beliau dalam negara tercinta ini adalah sebagai berikut :

1. Pada tahun 1934 mendirikan Pondok Pesantren Al Mujahidin

2. Pada tahun 1936 mendirikan Madrasah NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah)

3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI(Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah)

4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok.

5. Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur.

6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji ke Makkah dari NIT (Negara Indonesia Timur)

7. Pada tahun 1948/1949 anggota delegasi NIT ke Saudi Arabia

8. Pada tahun 1950 Konsulat NU (Nahdlatul Ulama’) Sunda Kecil

9. Pada tahun 1952 Ketua Badan Penasihat Masyumi Daerah Lombok

10. Pada tahun 1953 Mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan.

11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama

12. Pada tahun 1953 merestui terbentuknya NU dan PSII di Lombok

13. Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok

14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil PEMILU I (1955)

15. Pada tahun 1964 mendirikan Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan

16. Pada tahun 1965 mendirikan Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Al Majidiyah Asy Syafi’iyah Nahdlatul Wathan

17. Pada tahun 1971 – 1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III dari Fraksi Gologan Karya

18. Pada tahun 1971-1982 Anggota Penasihat Majlis Ulama Indonesia

19. Pada tahun 1974 mendirikan Ma’had lil Banat

20. Pada tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram

21. Pada tahun 1977 mendirikan Universitas HAMZANWADI

22. Pada tahun 1977 Rektor Universitas HAMZANWADI

23. Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas HAMZANWADI

24. Pada tahun 1978 mendirikan STKIP HAMZANWADI

25. Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) HAMZANWADI

26. Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan HAMZANWADI

27. Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram

28. Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu hukum HAMZANWADI

RINTISAN-RINTISAN (AWWALIYAT)NYA

Sebagai seorang ulama’ dan pemimpin ummat, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid sangat produktif dan selalu mempunyai kreasi baru. Baru dalam arti sesungguhnya dan baru dalam arti untuk daerah Nusa Tenggara Barat pada masanya. Ide dan kreasi baru beliau tidak kurang dari pada 25 buah, diantaranya :

1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran Agama Islam di daerah NTB dengan sistem madrasi.

2. Membuka lembaga pendidinan khusus bagi kaum wanita.

3. Mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adhha dengan mendatangi, bukan didatangi.

4. Menyelenggarakan pengajian umum secara bebas (tanpa batasan umur) dengan tanpa memakai kitab.

5. Mengadakan gerakan do’a dengan berhizib.

6. Mengadakan Syafa’atui Kubro.

7. Mengadakan thariqat yaitu thariqat hizib Nahdlatul Wathan.

8. Membuka sekolah umum disamping madrasah di NTB.

9. Menyusun nadham berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia seperti Batu Ngompal.

10. Dan lain-lain.