Jumat, 09 Maret 2012

DR. KH. Basuni Imamuddin, MA: Penulis Kamus Besar Arab-Indonesia

Siang hari ia berkumpul dengan ahli fikir dan malam harinya dengan ahli dzikir. Di sela-sela keduanya ia menulis beberapa kamus besar Arab-Indonesia.

Kegemarannya membaca karya sastra Arab sejak remaja mengantarkannya mendalami sastra Arab di negeri petro dollar. Dari pergulatan panjangnya dengan bahasa Arab, ia merasakan besarnya kesulitan yang sering dihadapi para santri dan mahasiswa dalam mencari terjemahan kata-kata dalam Arab yang pas dalam bahasa Indonesia. Karena itu, pengampu mata kuliah Sastra Arab di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu pun menyusun kamus Arab – Indonesia kontemporer yang sangat lengkap dan mudah.

Di luar jam mengajarnya di kampus, ilmuwan yang satu ini lebih banyak menghabiskan sisa waktunya di beberapa majelis taklim yang diasuhnya di seantero ibukota. Dialah K.H. Dr. Basuni Imamuddin, MA.

Secara guyon ia mengistilahkan, kegiatannya siang hari berkumpul dengan para ahli fikir, yaitu di kampus UI, dan malam harinya berkumpul dengan para ahli dzikir, yaitu di majelis taklim. Khawatir kata ahli disalah artikan, ia kemudian mengeluarkan jurus andalannya sebagai penyusun kamus, “Kata ahli bukan hanya berarti pakar melainkan juga bisa berarti orang ramai atau masyarakat,” katanya sambil terkekeh.

Menurut Basuni, sebuah kamus itu harus inovatif, harus menginformasikan makna kata dan menginformasikan konteks bahasa yang terkecil dengan kata tersebut baik buatan penyusun maupun yang berasal dari Quran, Hadits, puisi, dan peribahasa Arab. Contohnya dhauhah dan qahirah. Dhauhah sering diartikan sebagai “pohon besar” dan qahirah sebagai “kota Mesir selatan Afrika”. Padahal yang benar adalah Dhoha (ibukota Qatar) dan Cairo (ibukota Mesir).

Dari tangan ilmuwan kreatif ini telah lahir beberapa kamus Arab-Indonesia yang cukup besar: Kamus Kontekstual Arab – Indonesia (2001) dan Kamus Idiom Arab – Indonesia Pola Aktif (2005). Dan kini ia tengah menyelesaikan penyusunan Kamus Besar Arab – Indonesia, yang konon telah ditawar oleh beberapa penerbit besar.

Lahir di desa Balungkulon, 22 km selatan kota Jember, 47 tahun lalu, Basuni Imamuddin adalah putra sulung dari tujuh bersaudara putra pasangan Kiai Imamuddien dan Ny. Hj. Mariyatul Qibtiyah. Ayahnya adalah pengasuh Pesantren yang ada di Kota Jember.

Basuni kecil menempuh pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Ma’arif, Jember (lulus tahun 1974), kemudian meneruskan ke pondok pesantren Darul Hikam, Jember hingga tahun 1977. Setelah itu ia kembali masuk sekolah formal MTs di lingkungan Pesantren Bustanul Ulum, Jember (lulus tahun 1980).

Takut Iman Goyah
Karena sejak kecil menempuh pendidikan di pesantren, Basuni remaja telah akrab dengan ilmu tata bahasa Arab. Kelebihan kemampuannya dalam bahas dunia Islam itu juga membuatnya mulai berani membuka-buka berbagai macam buku dan kitab berbahasa Arab, termasuk karya-karya sastra. Saat duduk di madrasah tsanawiyah, misalnya, ia telah melahap buku Al-Baraat (linangan air mata) karya Luthfi Almanfaluti.

Selepas Aliyah, Basuni menyatakan niatnya kepada kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolah ke Jakarta. Ia ingin belajar di fakultas sastra Arab Universitas Indonesia. Selain di IAIN, hanya kampus negeri itulah di Jakarta yang memiliki jurusan Sastra Arab. Dan ia memilih UI karena bosan bersekolah di lingkungan madrasah atau pesantren. Ia ingin sesekali belajar di sekolah umum.

Ayahnya tidak langsung setuju tapi juga tidak menolak. Basuni hanya ditanya, di Jakarta tinggal di mana dan sama siapa. Maklum, ia anak sulung dan belum pernah berpisah jauh dari orang tua. Meski sempat nyantri di pesantren lain, tetapi tetap saja di wilayah Jember.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Basyuni agak grogi juga. Namun ia kemudian ingat kepada ucapan nabi ketiba menenangkan hati Abu Bakar dalam Al-Quran, la takhaf wa la tahzan innallaha ma ana, jangan takut dan jangan berseidh, seseungguhnya Allah bersama kita. Akhirnya orang tuanya mengizinkan dan berangkatlah dia ke Jakarta.

Pada masa awal kuliah di UI, Basyuni tinggal bersama seorang teman di rumah kontrakan. Sebagai orang daerah dia terkejut juga melihat pergaulan anak-anak Jakarta termasuk mahasiswanya. Mereka ada yang berduaan di taman yang ada di sekitar asrama, entah sekedar ngobrol atau belajar bersama. Belum lagi busana yang dikenakan mahasiswi yang menurut tolok ukur daerahnya telah kelewatan.

Basuni pun segera menemui Dr. Ahmad Purwadaksi, ketua jurusannya, untuk menyatakan niatnya mundur saja dari UI. Ia khawatir imannya akan goyah. Namun niat itu malah ditolak sang kajur. “Dengan begini kamu ditantang untuk bisa mengatasi kelemahanmu itu. Kalau kamu tetap di kampung itu sama saja dengan menyembunyikan diri dari kenyataan,” kata Basyuni menirukan ucapan kepala jurusan itu.

“Lebih baik, kamu tetap di sini, apalagi kampus lain di daerah tidak ada yang memiliki jurusan Sastra Arab,” lanjut sang kajur. Maka, dengan membulatkan tekad untuk belajar, Basuni pun mulai mengikuti perkuliahan di Jakarta, menggapai cita-citanya mempelajari Sastra Arab.
Ternyata, selain memberi pengalaman pahit, Jakarta juga memberikan peluang kepadanya untuk maju. Salah satunya adalah terbukanya pintu rejeki. Setelah masuk asrama mahasiswa Daksinapati, Basuni mulai bisa bernapas lebih lega. Sebab disamping beban orangtuanya menjadi lebih ringan, ia sendiri jadi punya waktu untuk mencari nafkah, yaitu dengan mengajar bahasa Arab di sebuah SMP Islam di Jatinegara.

Namun yang paling meringankan koceknya adalah dengan menjadi guru privat bagi sepasang muallaf seminggu sekali. Setiap kali datang ia diberi imbalan Rp 10.000,- Berarti dalam sebulan ia mengantongi Rp 40.000,- “Uang sebanyak itu sudah cukup untuk melunasi SPP yang dibayar setiap setengah tahun,” kenangnya.

Pengajian Subuh
Dan semuanya, alhamdulillah berjalan lancar. Sehingga pada tahun terakhir di UI ia bisa nyambi kuliah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan meraih diploma Pengajaran Bahasa Arab untuk Penutur Asing. Itu diraihnya pada tahun 1990 bertepatan dengan kelulusannya dari UI dengan menggondol gelar Sarjana Sastra Arab.

Skrispinya yang mengkaji pribadi Tawfiq Al Hakim seorang tokoh pembaharu drama Arab yang hidup di Mesir mendapat nilai 95, jauh melampaui syarat cum laude yang cukup 80 poin saja. Berkat keberhasilannya itu ia pun diminta mengajar di almamaternya dan sejak itu, 1990, dengan status sebagai PNS.

Baru tiga tahun mengajar, tahun 1993 ia mendapat kesempatan belajar di Ibn Saud Islamic University, Riyadh, Saudi Arabia. Kali itu beasiswanya diperoleh melalui LIPIA, almamater tempatnya mencari tambahan pengetahuan bahasa Arab.

Tidak kurang dari lima tahun ia menghabiskan waktu di negeri gurun tersebut, hingga akhirnya berhasil mearih gelar Master of Arts (MA) dalam linguistik terapan pada tahun 1998, dengan tesis berjudul Telaah Kritis Terhadap Kamus Arab – Indonesia. Sekembali ke Indonesia, tahun 2000, ia ditugasi kampusnya untuk mengambil gelar S3 di UIN Syarif Hidayatullah yang baru diselesaikannya pada tahun 2008 ini. Saat itu ia mengajukan disertasi berjudul Struktur Padanan Kata Emotif dalam al Inarah al Tahzibiyayah Kamus Arab Melayu setebal 331 halaman.

Berbekal latar belakang pendidikan dan pengalaman yang panjang itulah, Basyuni dipercaya pemerintah sebagai liaison officer dalam Konferensi Tingkat Menteri Gerakan Non Blok ke-10 di Bali 1992 mendampingi Sekjen Liga Arab dan pada KTT Gerakan Non Blok ke-10 di Jakarta 1992 mendampingi Presiden Sudan dan duta besar Jibouti untuk Jepang. Banyak penghargaan diperolehnya dari kegiatan tersebut. Selain piagam dari panitia, ia juga dianugerahi Satyalancana Karya Satya pada 5 Agustus 2004 oleh presiden RI.

Dalam usianya yang kian mendekati kepala lima ini Basyuni mengaku lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada bidang dakwah. Sejak tahun 1991 sampai sekarang ia telah menjadi khatib dan mengisi pengajian di 25 masjid dan 16 mushalla di seantero Jakarta dan Depok, termasuk masjid kampus UI, dan masjid Sunda Kelapa.

Beberapa di antaranya digelar seusai shalat Subuh, sehingga ia harus shalat subuh di tempat pengajian. “Jam 4 pagi saya sudah keluar rumah dan shalat subuh di majelis taklim, karena acara dimulai ba’da shubuh. Usai dari situ, jam 8 saya langsung ke kampus UI memberikan ceramah lagi hingga jam 10.00,” katanya.

Mengenai materi ceramah, ia mengaku lebih banyak menekankan pada tata cara beribadah yang baik, yang sejuk dan menyegarkan ruhani pendengarnya. Sehingga banyak yang berminat dan pada gilirannya menatangkan undangan dari tempat lain. Masalahnya, ia pernah mendapat teguran dari warga sebuah majelis taklimn yang tersinggung dengan materi cemarahnya yang dinilai “keras”. Itulah Kiai Basuni, siang hari berkumpul dengan ahli fikir dan malam hari dengan ahli dzikir.

Gadis Berjilbab
Pengalaman menarik juga ia temui ketika akan menentukan pendamping hidupnya. Pilihannya pada diri Nashiroh, mahasiswa jurusan satra Arab UI yang dibimbingnya untuk menghadapi ujian akhir. Tampilan dara asal Gandaria Selatan itu beda dengan mahasiswi yang lain. Ia berjilbab sementara yang lain pakai rok mini dan baju you can see. Maka ia pun mengadakan penyelidikan on the spot. Ternyata gadis itu putra seorang kiai yang pernah beberapa tahun belajar di Makkah, Ishak Najihun dan mempunyai majelis taklim Ar Rahman.

Maka sesuai dengan tuntunan Nabi SAW yaitu agar mengutamakam agama, nasab, harta, dan rupa, iapun menjatuhkan pilihannya kepada Nashiroh. Namun untuk menuju ke pelaminan ia harus sabar, menunggu si dia selesai ujian akhir. Tiga bulan setelah lulus, “Saya minta orang tua datang ke Jakarta untuk melamar, dan menikahkan saya,” kenangnya.

Ketika anak pertama mereka, Haniya Amani berumur sekitar dua atau tiga bulan, Basuni harus berangkat ke Riyadh untuk melanjutkan studinya di Al Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University selama lima tahun.

Ketika ia akan membawa keluarganya kesana, ternyata kampus tidak memberikan peluang. Masalahnya, kampis telah mendapat pelajaran buruk dari seorang mahasiswa asal Sudan yang meninggal di negerinya ketika ia tengah pulang liburan, padahal anak dan istrinya dibawa ke Riyadh.

Kini pasangan itu dikaruniai tiga orang anak, Haniya Amani (15 th, kelas 3 SMP Al Muhajirin, Depok), Najmia Ummiyati (12 th, kelas 6 SD Ummul Qura, Depok) dan Ulya Himmati (4 th, TK Islam Ananda, Depok). Sementara Nashiroh kemudian juga banyak membantu tugas suaminya menyusun kamus Arab – Indonesia.

Ada cerita menarik ketika dia kembali ke tanah air setelah menuntut ilmu di Riyadh selama lima tahunan. Menurut Nashiroh, anaknya takut menemui bapaknya. Si sulung yang saat itu berumur sekitar 4 tahun ngumpet di kolong tempat tidur karena sejak umur 2 bulanan ia telah ditinggal bapaknya pergi belajar ke Riyadh.

“Setelah dua bulan, baru dia mau ditimang bapaknya,” ucap sang nyonya sambil ketawa.
“Saat itu saya memang seperti orang Arab, jenggot dan cambang saya masih tebal,” timpal Basuni santai.

Ahmad Iftah Sidik, (Pemerhati Kiai Kharismatik)

Sumber : http://www.thohiriyyah.com/2010/08/dr-basuni-imamuddin-ma-penulis-kamus-besar-arab-indonesia.html

KH Hisyam Zuhdi, At Taujieh Al Islamy Leler Banyumas

Komplek Pondok Pesantren At Taujieh Al Islamy, Ahad (19/2) silam ibarat lautan manusia. Ribuan orang datang dari Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan sekitarnya. Deretan pedagang kaki lima turut meramaikan suasana.

Hari itu adalah puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus Haul ke-18 almarhum KH Hisyam bin Zuhdi.

KH Zuhdi, ayahanda KH Hisyam, adalah pendiri Madrasah Tarbiyatun Nahwiyah (1914). Perlahan tapi pasti, madrasah yang beralamat di Grumbul Leler Desa Randegan Kecamatan Kebasen itu berkembang jadi Pesantren At Taujieh Al Islamy. Di tangan KH Hisyam, pesantren mengalami perkembangan yang signifikan.

Sebelum membina santri, KH Hisyam telah nyantri dan berguru pada KH Cholil bin Harun, KH Bisri Mustofa (Rembang), Syaikh Chozin (Bendo Pare), dan lain-lain.

“Ayah dulu ngaji kitab Bukhori pada Syaikh Hasyim Asy’ari (Tebuireng) dan Kitab Fathul Wahab ke KH Kholil Lasem,” tutur Gus Anam, salah satu putra KH Hisyam.

“Saya dulu mondok di Leler sekitar tahun 1959-1961. waktu itu santrinya sekitar 450-an orang,” kata H Muthohar, murid almarhum Mbah Hisyam, secara terpisah.

Menurutnya, pengajian sorogan dilakukan ba’da maghrib dan madrasah ba’da isya’. Pengajian yang diampu Mbah Hisyam waktu itu adalah Tafsir Jalalain (ba’da zhuhur), Ihya Ulumaddin (ba’da ashar, dan Kitab Majalis (ba’da dhuha).

Pada zamannya, KH Hisyam termasuk ulama yang jadi rujukan sekaligus panutan umat Islam Banyumas dan sekitarnya. Almarhum tidak berpolitik praktis. Tapi memilih suntuk mengurus umat dan para santri. “Tokoh politik justru sowan pada Mbah Hisyam,” kenang H Muthohar.

Di mata para santri, KH Hisyam adalah sosok alim dan kharismatik. Sifat penyayang, sabar, tekun serta ulet tampak dalam keseharian. Sifat penyayang, misalnya, tidak terbatas pada santri tapi juga pada hewan piaraan.

Di sela-sela kesibukan membina santri, Mbah Hisyam gemar memelihara perkutut. Selain itu, almarhum juga piawai membuat akik. Konon, batu akik buatannya laku hingga jutaan rupiah.

Sepeninggal KH Hisyam, Pondok Leler diasuh oleh anak-anak dan menantu almarhum. Trio bersaudara yang kini memegang kendali Pondok Leler adalah KH Atho’urrahman, KH Dzakiyul Fuad, dan KH Zuhrul Anam alias Gus Anam. Mereka bertiga dibantu KH Sya’bani Mukri (almarhum) dan KH Nashuha Kurdi. Dua nama terakhir adalah menantu KH Hisyam.

(Akhmad Saefudin, warga Karangsalam Rt 1/5 Kecamatan Kedungbanteng, Peminat sejarah ulama Banyumas).

Sumber : http://www.thohiriyyah.com/2012/02/mengenang-kh-hisyam-zuhdi-panutan-umat-dari-leler.html

KH. MUHAMMAD THOHA ‘ALAWY AL-HAFIDZ

Biasa Hidup Prihatin

Sosok sentral Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah Karangsakam Kidul Kecamatan Kedungbanteng tampaknya sulit dipisahkan dari KH Muhammad Thoha Alawy Al Hafidz. Pria yang dikaruniai 10 anak dari perkawinannya dengan Hj Tasdiqoh ini, kini menjadi pengasuh pondok pesantren yang kini memiliki 150 santri dari berbagai pelosok nusantara.
Saya lahir di Desa Rejosari, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah 1953. seperti umumnya anak-anak desa waktu itu, saya pun belajar di bangku SD (Sekolah Dasar, dulu disebut sekolah rakyat) pada siang hari, dan belajar di Madrasah Diniyyah pada sore hari. Karena terbentur kesulitan ekonomi, saya tidak sempat mengikuti ujian akhir.
Ketika teman-teman melanjutkan sekolah, mondok, atau nyantri di lain daerah, saya merasa iri. Karena itu suatu hari saya nekat lari dari rumah menuju Semarang, lalu menumpang kereta api ke Surabaya. Yang ada di benak saya waktu itu adalah Pesantren Tremas (Pacitan), Pesantren Tebuireng (Jombang), dan pesantren lain di Jawa Timur. Karena tidak ada bekal dan belum punya pengalaman, saya bingung, lalu kembali lagi ke Semarang.
Ternyata, tanpa sepengetahuan saya, desa Rejosari, orang-orang geger, karena selama beberapa hari saya menghilang tanpa pamit, dan tanpa kabar sama sekali. Semuan anggota keluarga waswas, mencari saya ke sana-kemari. Tiba-tiba, di sebuah tempat di Semarang, saya terkejut. Saya disergap dari belakang. Tapi, alhamdulillah, ternyata yang menyergap adalah ayah saya sendiri, (alm). Bapak Jahudi bin Badi. Saya pun dibawa kembali pulang.
Dari kejadian itu Ayah mengetahui bahwa saya punya niat yang besar untuk mondok di pesantren. Maka keinginan saya itu terpenuhi, lalu saya dikirim ke Pesantren Futuhiyyah Mranggen (Demak) asuhan KH. Muslih. Di Mranggen itulah saya belajar berbagai ilmu keagamaan di Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah.
Karena tidak ada biaya untuk mondok, selama duduk di bangku kelas II Aliyah saya trpaksa nglaju, pulang pergi, dari rumah ke pesanten. Menjelang kelas III Aliyah, ketika pesantren mulai menerapkan kurikulum nasional, lagi-lagi saya terbentur dengan soal biaya. Saya tak mampu membeli buku, sehingga tidak tamat Aliyah. Setelah nyantri di Mranggen, saya putuskan untuk khusus mengaji Al-Qur’an.
Pilihan saya adalah Kudus. Tepatnya di Bendan. Disitu saya ngaji dengan Mbah Arwani, Mbah Hisyam, dan Mbah Wahab, sekitar 1,5 tahun. Belum sampai khatam hafalan Al-Qur’an, saya pindah ke Semarang dan berguru kepada Kiai Abdullah Umar, Kauman, selama setahun, sejak 1972 sampai 1973, hingga hafalan Al-Quran saya khatam.
Setelah dari Semarang saya meneruskan belajar kitab kuning di Batokan, Kediri, Jawa Timur, kurang lebih dua tahun, dari 1976. dan selama dua tahun berikutnya, saya berusaha dan belajar mandiri, antara lain berdagang beras dan kedelai, memenuhi pesanan beberapa daerah. Hasilnya lumayan.
Dari hasil dagang itu saya sempat menabung danmembelisepeda. Tapi akhirnya saya jual, untuk memuat paspor, buat menunaikan ibadah haji sekaligus kalau bisa mengaji di Makkah. Dengan tabungan dan sedikit tambahan dari orang tua, pada 1978 akhirnya saya beragkat umrah.
Rencana tersebut mula-mula hanya secara diam-diam saya utarakan kepada kakak-kakak perempuan saya. Ternyata hal itu terciu oleh Ayah, dan alhamdulillah beliau mendukung. Ayah menjual sebagian sawah untuk bekal.
Di Tanah Suci, sejak 1978 hingga 1980, saya berguru kepada Syaikh Ismail, Syaikh Abdullah Al-Hajj, dan Syaikh Ali Yamani, saya mendapat iqamah (visa) untuk tinggal di Makkah. Pada tahun 1981 saya pulang untuk menikah, tapi dua bulan kemudian, kami berdua kembali ke Makkah. Di sana anak pertama dan kedua lahir. Beberapa tahun kemudian, 1986, kami pulang dan menetap di Purwokerto.
Alhamdulillah, selama delapan tahun di Makkah setiap tahun saya dapatmenunaikan ibadah haji. Pulang dari Makkah, sayamulai kedatangan satu-dua orang santri. Tentu berkat izin Allah SWT jualah Pesantren Ath-Thohiriyyah tumbuh dan berkembang sebagai salah satu syiar untuk menegakkan kalimah-Nya.

Sumber : http://www.thohiriyyah.com/2009/05/abuya-kh-m-thoha-alawy-al-hafidz.html

Al Habib Muhsin bin Umar Al Atthas

Ketika hendak memulai menulis biografi pendiri pondok ini, saya bingung harus memulai dari mana. Dan saya juga merasa tidak berhak untuk menulisnya. Itu tidak lain, karena orang ini, adalah orang yang teramat mulia di mata saya, dan tentunya di mata semua orang yang pernah mengenalnya, pernah bersama dengannya dan tarlebih lagi di mata orang-orang yang pernah belajar darinya.
Siapa yang kenal nama ini, dan siapa pula diantara kita yang belum pernah mengenalnya. Tapi saya yakin, bahwa Anda sekarang penasaran ingin mengenal lebih jauh lagi tentang guru kita ini.
Beliau adalah seorang ulama yang merupakan keturunan RasululLah shallallahu ‘alaihi wasallama dari Sayyidina Husein ra, dari qabilah al-Atthas, salah satu Qabilah ‘Alawiyah besar di Hadhramaut Yaman Selatan. Hadhramaut memang terkenal sebagai daerah tempat bermukimnya Ba‘Alawi, para keturunan Sayyidina Husein radhiya Allahu ta’ala ‘anhu dari Syekh Ahmad Al-Muhajir rahimahu Allahu yang berhijrah dari Irak ke Hijaz. Dari Hadhramaut inilah asal ayah beliau, yaitu al-Habib Umar bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Aqil al-Atthas, yang kemudian hijrah ke Aceh.

Al-Habib Muhsin bin Umar al-Atthas, terkenal di kalangan teman-teman dan para muridnya, mempunyai akhlaq yang terpuji dan rendah hati. Begitu juga, orang mengenal beliau sebagai pribadi yang senantiasa menepati janji, dermawan, ikhlas dalam berbuat dan tidak pernah sakit hati pada orang lain. Beliau sangat senang menyambung silaturrahim dan berziarah ke sanak keluarga yang tinggal bertebaran diberbagai kota dan Negara. Bahkan menjelang akhir hayat beliau, ketika beliau sudah sakit-sakitan dan harus cuci ginjal tiga kali sehari, beliau masih menyempatkan diri pergi ke Hadhramaut untuk mengenalkan anak-anak beliau dengan kerabat yang ada disana.

Beliau rahimahu Allahu ta’ala, sangat mencintai anak yatim. Dan selalu berusaha mencari dana, guna keperluan hidup, pendidikan dan masa depan anak-anak yatim. Dan mungkin yang paling berkesan di mata murid-murid beliau, dan teman sesama guru, baik di ma’had Darul Hadits, madrasah al-Atthas dan tentunya juga ma’had Babul Khairat, adalah semangat beliau yang senantiasa membara dalam segala situasi dan kondisi, untuk bisa terus mengajar murid-muridnya. Beliau akan marah sekali, kalau mendapati seorang muridnya bermalas-malasan dan tidak mengulang kaji pelajarannya.

Ketika beliau masih mengajar di ma’had Darul Hadits, hampir tiap malam, menjelang tidur, beliau memeriksa kamar dan tempat tidur murid-muridnya. Dan apabila didapatinya salah seorang diantara mereka tidak berada di atas tempat tidur, beliau pasti akan mencarinya, keliling pondok, bahkan sampai keluar pondok. Beliau akan terus mencari, sampai ketemu.

Kecintaan al-Habib Muhsin terhadap pendidikan tetap melekat pada diri beliau, sampai hari-hari terakhir menjelang beliau meninggal. Beliau masih menyempatkan diri mengajar, walaupun harus sambil berbaring. Beliau tidak menghiraukan rasa sakit beliau, asalkan bisa tetap mengajar murid-murid yang sangat beliau cintai.

Di desa Pedawa, Idi Aceh, pada hari Ahad, 6 Oktober 1935 M / 8 Rajab 1354 H, lahirlah seorang bayi mulia yang kemudian diberi nama Muhsin. Muhsin kecil, tumbuh dan menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam keadaan yatim. Karena ayahnya, al-Habib Umar al-Atthas, meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Hal itu, membuat beliau harus bekerja, di usia yang masih belia. Walaupun begitu, beliau tidak lantas meninggalkan majlis ilmu dan bangku sekolah. Di pagi hari beliau pergi ke madrasah, dan di sore hari, beliau bekerja apa saja untuk menafkahi ibunya dan dirinya sendiri.

Itu dijalaninya, sampai beliau bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, IAIN ar-Raniri Banda Aceh. Tapi baru menginjak semester dua, beliau berhenti kuliah sementara (cuti) untuk pergi ke Pekalongan, mencari dan menziarahi kerabat beliau disana, seperti wasiat ayah beliau sebelum meninggal dunia.

Sesuai dengan keinginannya, di Pekalongan al-Habib Muhsin berhasil berjumpa dan bersilaturrahim dengan semua famili yang ada di kota ini. Tapi rupanya Allah ta’ala punya rencana lain, di Pekalongan, beliau jatuh sakit, dan secara tidak sengaja, disana jugalah beliau bertemu dengan al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pendiri Ma’had Darul Hadits Malang. Dalam keadaan sakit, beliau diijazahi al-Habib Abdul Qadir, shalawat thibb. Dan al-Habib Abdul Qadir, meminta beliau kalau nanti sembuh, agar datang ke Malang.

Memang betul, setelah beliau membaca shalawat thibb yang diijazahi al-Habib Abdul Qadir, dalam waktu yang tidak lama, beliau pun sembuh. Sebagai rasa terima kasih dan untuik menepati janjinya pada al-Habib Abdul Qadir, maka beliau pergi ke Malang. Sesampainya di Malang, al-Habib Abdul Qadir meminta beliau untuk mengajar di ma’had Darul Hadits.

Al-Habib Muhsin tinggal di Malang dan mengajar di Darul Hadits selama enam tahun. Kemudian pulang ke Aceh, untuk melanjutkan kuliah di IAIN ar-Raniri. Setelah empat tahun, beliau berhasil menyelesaikan kuliah. Setelah meraih gelar Drs, beliau mendapatkan tawaran untuk berkarier di lingkungan Depag Aceh sebagai guru. Tapi di waktu yang bersamaan, beliau juga mendapat surat dari al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir bilfaqih di Malang, dan meminta beliau untuk kembali lagi ke Darul Hadits.

Setelah beliau shalat istikharah, beliaupun memilih untuk kembali lagi ke Malang, dan mengajar lagi di ma’had Darul Hadits. Di Darul Hadits, beliau dikenal sebagai guru yang yang sangat disiplin dan sangat perhatian pada murid-muridnya.

Setelah selama 20 tahun al-Habib Muhsin mengabdikan dirinya di ma’had Darul Hadits, beliaupun berkeinginan untuk mempunyai pondok sendiri. Maka beliau membeli sebidang tanah di dusun Ngamarto Lawang. Di atas tanah ini, sebagai langkah pertama, beliau membangun rumah untuk tempat tinggal dan mushalla kecil untuk shalat jama’ah dan mengaji al-Quran anak-anak kecil.

Ketika beliau mula-mula tinggal di Ngamarto dan baru merencanakan untuk membangun pondok, banyak rintangan yang harus beliau hadapi. Seperti persoalan tanah yang harus diselesaikan di pengadilan, penolakan dari sebagian warga jahil dan jahat, yang tidak ingin ada orang alim yang mengajarkan kebaikan di wilayah mereka. Beberapa kali mereka berusaha merusak rumah beliau dan berusaha mencelakakan diri beliau dan keluarga. Tapi beliau tidak pernah menghadapi semua itu dengan kekerasan. Beliau selalu tersenyum dan tetap menyapa mereka setiap kali bertemu dengan mereka. Bahkan ketika ada diantara mereka yang meninggal dunia, beliau berta’ziah dan ikut menshalatinya.

Al-Habib Ali bin Muhammad al-Atthas, nazir madrasah al-Atthas Johor Baharu masa itu, ketika mendengar kemahiran dan kegigihan al-Habib Muhsin dalam mengajar, beliaupun diminta oleh al-Habib Ali untuk datang ke Malaysia dan meminta beliau untuk mengajar di madrasah al-Atthas. Karena panggilan jiwa dan kecintaan beliau terhadap dunia pendidikan, beliaupun menyanggupi permintaan itu. Setelah bermusyawarah dengan istri dan anak-anak beliau, beliau segera berangkat pergi ke Malaysia, dengan niat untuk berkhidmat pada pendidikan dan lebih mengamalkan ilmu yang ada pada beliau.

Sebagaimana di Darul Hadits, di Madrasah Al-Athas beliau juga sangat dihormati dan dicintai oleh murid-murid beliau. Bahkan dalam waktu yang tidak lama, masyarakat Johor telah banyak yang mengenal dan mencintai beliau. Dengan berbekal do’a-do’a ma’tsur yang di ijazahkan oleh para datuk dan guru-guru beliau, beliau menekuni ruqyah syar’iyah untuk mengobati berbagai penyakit. Baik penyakit jiwa maupun badan. Beliau selalu ikhlas ketika berdo’a untuk orang lain. Hampir seluruh semenanjung Malaysia telah beliau datangi untuk hanya berziarah dan mendo’akan orang lain. Wajah beliau yang teduh dan senyum beliau yang selalu tersungging, telah menumbuhkan kecintaan yang mendalam pada diri orang yang perama kali berjumpa dengan beliau, -ada seorang warga Negara Malaysia keturunan Jerman bernama Zhafir Lembang, ia berkata: belum pernah saya berjumpa dengan seorang yang bisa membuat saya jatuh cinta pada perjumpaan pertama, kecuali perjumpaan saya dengan Habib Muhsin.

Kesejukan nasehat dan keberkahan do’a Al Habib Muhsin dikenal luas di Malaysia, sampai – sampai banyak pasangan suami – istri yang hendak bercerai, setelah dinasehati dan dido’akan oleh Al-habib Muhsin, mereka membatalkan rencana mereka, dan kembali melanjutkan rumah tangga dengan mawaddah sakinah warahmah.

Setelah enam belas tahun beliau tinggal di Malaysia, mengajar, berdakwah dan berziarah, beliaupun kembali ke Lawang, untuk melanjutkan Pembangunan Pondok yang telah lama beliau idamkan. Sudah menjadi kebiasaan beliau bila hendak melakukan suatu rencana dan pekerjaan, beliau selalu istikharah kepada Allah subhanallahu wata’ala, dan meminta saran serta nasehat dari pada para ulama dan Habaib. Adalah Al Habib Muhammad bin Husein Ba’abud Pendiri dan Pengasuh Ma’had Darun Nasyi’in Lawang, yang menyarankan beliau untuk mendirikan pondok pesantren putri, dengan dasar pemikiran, bahwasannya ma’had untuk putra telah banyak, sedangkan ma’had untuk putri. masih sedikit.

Dengan bertahap, lokal demi lokal, ruangan demi ruangan dengan bantuan para aghniyaa dan muhsinin di Malaysia akhirnya pembangunan Pondok Pesantren tersebut selesai dikerjakan. Dan pada hari ahad tgl 28 Juni 1998 / 4 Rabi’ul Awal 1419 H, Pondok yang kemudian dinamakan Ma’had Babul Khairat Litarbiyatil Banat ini, diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur waktu itu, Basofi Sudirman. Sesuai dengan harapan beliau sejak lama, bahwa didirikannya Pondok pesantren Putri Babul Khairat, ialah untuk mendidik dan mengkader para putri-putri islam menjadi srikandi-srikandi muslimah yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama, mempunyai sifat keibuan, guna mendidik tunas-tunas bangsa sebagai generasi penerus yang berguna bagi agama dan negara ( baca Profil Pondok ).

Setelah usaha pertama, yaitu mendirikan Pondok Putri selesai, ( Baca sejarah pembangunan ) beliaupun berkeinginan mendirikan Pondok Pesantren Putra, dan telah membeli sebidang tanah seluas 2.400 m2 di desa Kertosari Purwosari Pasuruan. Namun belum lagi beliau melangkah lebih jauh dalam perencanaan pondok ini, ketika beliau jatuh sakit, dan sempat keluar masuk rumah sakit (hospital), baik di Indonesia maupun di Malaysia, hingga akhirnya beliau dinyatakan gagal ginjal.

Walaupun begitu, beliau masih tetap semangat untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut. Dalam kondisi sakit sebenarnya mengharuskan beliau istirahat, beliau tetap pulang pergi Indonesia-Malaysia, untuk mencaru bantuan dana, guna pembangunan pondok ini.

Niat tulus, keikhlasan dan azam beliau yang besar, untuk mendirikan pondok pesantren putra Babul Khairat, telah Allah ta’ala catat sebagai amalan yang sempurna disisi-Nya. Beliau tidak bisa mewujudkan cita-cita mulia tersebut, karena Allah tabaraka wata’ala harus memanggil beliau keharibaan-Nya. Pada tanggal 25 Februari 2006 M / 26 Muharram 1427 H, beliau rahimahu Allahu ta’ala menghembuskan nafas yang terakhir di rumah sakit Tun Aminah Johor Baharu Malaysia, setelah sebelumnya beliau sempat dirawat di rumah sakit tersebut selama sebelas hari.

Tinggallah sekarang, anak-anak beliau, para murid beliau dan semua orang yang cinta pada beliau untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau. Segala puji bagi Allah Tuhan yang maha pengampun lagi maha penyayang, shalawat dan salam tetap tercurah pada sayyidina Muhammad, para keluarga, sahabat dan segenap orang yang masih setia meniti jalannya yang lurus.

Lawang, 29 Dzulhijjah 1428 H. Monday, 14 January 2008
Alfaqir ila rahmati rabbihi, ibnu rifa’i

Dikutip dari : http://babulkhairat.net/

Habib Muhammad bin Taufiq bin Syahab

Menghidupkan Hati yang telah Mati
“Hadir di majelis ilmu bisa menghidupkan hati yang telah mati, sebagaimana Allah SWT menghidupkan tanah yang telah tandus dengan air hujan,” ujarnya.

Habib Muhammad Syahab dikenal dengan majelis ta’limnya, Al-Anwar. Habib Syahab sangat menekankan kepada murid-muridnya untuk selalu menjaga adab, memperbagus akhlaq, dan tidak menyakiti sesama. Oleh karena itu, majelis ta’lim yang dirintis sejak kepulangannya dari Hadhramaut pada 2005 yang lalu itu kini semakin dikenal luas oleh khalayak.


Di samping karena ajaran yang disampaikannya, itu semua juga tidak terlepas dari pribadi Habib Muhammad Syahab, yang lemah lembut, santun, dan cepat akrab dengan siapa saja. Semua itu menurutnya adalah hasil dari gemblengan guru-gurunya yang sangat ia hormati dan menjadi inspirasi langkah-langkahnya dalam meretas masa depan.


Hasil Gemblengan Tokoh-tokoh Besar


Habib Muhammad Syahab lahir di Palembang, 31 tahun yang lalu. Ia bertekad untuk mewakafkan dirinya berdakwah di jalan Allah. “Saya memulai dari nol.... Saya tidak punya apa-apa, hanya niat yang tulus ingin berjuang di jalan Allah,” tuturnya.


Selesai sekolah dasar di Palembang, ia langsung berguru kepada Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri selama sepuluh tahun. Menurutnya, Walid, demikian Habib Abdurrahman Assegaf akrab disapa, banyak sekali memberikan bimbingan dan teladan yang luar biasa kepada murid-muridnya. “Walid itu tokoh besar..., dan saya sungguh beruntung bisa belajar di bawah asuhannya,” ujar Habib Syahab mengenang.


Setelah sepuluh tahun berguru dan berbakti kepada Habib Abdurrahman Assegaf, ia pun mohon restu untuk melanjutkan menuntut ilmu ke Hadhramaut. “Tapi saat itu Walid tidak mengizinkan, saya masih diperlukan. Sebagai murid yang patuh, saya pun taat kepada guru, karena itu termasuk adab. Saya yakin, pasti ada berkahnya.”


Keyakinan Habib Syahab terbukti. Setahun kemudian Habib Umar Bin Hafidz datang ke Indonesia dan minta kepada Walid beberapa orang muridnya untuk diajak ke Darul Musthafa.


Kali itu Walid tidak bisa mengelak. Maka dipilihlah beberapa orang, dan Habib Syahab termasuk yang terpilih.


“Alhamdulillah, ini berkah ketaatan kepada guru. Saya pun berangkat ke Hadhramaut pada tahun 2000 dan belajar di sana sampai 2005,” ujarnya.


“Masa di Darul Musthafa merupakan masa yang sangat menentukan bagi saya membangun komitmen keilmuan dan pengabdian. Kami dibimbing oleh tokoh besar yang benar-benar pantas dijadikan teladan. Dengan murid-murid dari seluruh dunia, suasana di sana sungguh sangat kondusif untuk menuntut ilmu.


Waktu diatur sangat ketat, kami hanya punya waktu istirahat empat jam, selebihnya adalah untuk menuntut ilmu.... Begitu terus selama lima tahun. Sungguh luar biasa,” tutur Habib Muhammad Syahab mengenang almamaternya, Darul Musthafa.


Ilmu pengetahuan tidak hanya dituntutnya di Darul Musthafa. Ketika ada waktu sela, semua santri dianjurkan untuk menuntut ilmu kepada guru-guru yang ada di luar pesantren. Habib Muhammad Syahab pun mendapatkan ijazah dari beberapa orang guru besar, seperti dari Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim Bin Hafidz dan ‘Aynut Tharim Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Idrus bin Syahab.


Mengoptimalkan Teknologi Informasi

Sesampai di Indonesia, Habib Muhammad Syahab mulai menjalani risalah dakwah. Menurutnya semua itu bermula dari yang sederhana tapi harus disikapi dengan istiqamah. “Berkah atau tidaknya sebuah majelis dapat kita lihat dari manfaat yang didapatkan oleh masyarakat. Semakin lama kehadirannya semakin dibutuhkan oleh masyarakat dan terus memberikan kebaikan yang tiada henti,” ujarnya tentang majelis ta’lim.


Majelis ta’limnya, yakni Al-Anwar, diberi nama dan diresmikan oleh Habib Umar Bin Hafidz, guru dan teladannya.


Sejak Senin malam Selasa 21 Februari 2006, mulailah Majelis Ta’lim Al-Anwar mengisi kebutuhan ruhani masyarakat kota Jakarta dan sekitarnya. Bermula dari yang sederhana tapi ditekuni, kini majelis ta’lim yang didirikannya dirasa mulai dibutuhkan banyak orang.


Habib Muhammad Syahab berharap, mudah-mudahan majelis ini bisa menambah syiar agama Allah SWT, meyebarkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW, tidak keluar dari ajaran salafush shalih, dan selalu mendapat ridha dari Allah SWT dan Rasul-Nya, hingga bermafaat buat umat.


“Betapa pentingnya keberadaan majelis-majelis yang mengajarkan ilmu Allah SWT. Tidak selayaknya bagi manusia jauh dari ilmu Allah SWT. Ilmu agama adalah hal yang terpenting di dalam kehidupan manusia. Para anbiya (nabi) tidak mewariskan harta, mereka mewariskan ilmu. Ilmu menerangi hati dari kegelapan. Hadir di majelis ilmu bisa menghidupkan hati yang telah mati, sebagaimana Allah SWT menghidupkan tanah yang telah tandus dengan air hujan,” ujarnya menjelaskan.


Rentang dakwah Habib muda yang masih lajang ini dari waktu ke waktu kian panjang, seiring dengan semakin dikenalnya Majelis Ta’lim Al-Anwar. Tugas-tugas dan panggilan dakwah mulai mengalir, terutama dari Indonesia Timur. Maka ia pun keluar masuk Papua untuk mengemban risalah dakwah. Begitu pula Kalimantan, Makassar, dan berbagai kota besar di Indonesia.


Kini muhibbin pun bisa mendapatkan ilmu dan taushiyahnya dari situs majelis yang beralamat di www.majelisalanwar.com. Berbagai ragam kiprah dakwah dan pengetahuan bisa diakses di sana. Dakwah zaman sekarang memang harus juga mengoptimalkan teknologi informasi.


Dua Permata yang Sangat Berharga


Habib Muhammad Syabah mengingatkan kaum muslimin tentang betapa pentingnya ilmu dan ibadah. Ia menyitir ucapan Imam Al-Ghazali, yang intinya, ilmu dan ibadah adalah dua permata yang sangat berharga. Karena keduanya kita bisa mendengar ucapan orang-orang shalih, membaca kitab mereka, mengetahui ajaran mereka, mendengar nasihat mereka. Bahkan dengan sebab ilmu dan ibadah diturunkanlah kitab-kitab Allah dan diutus para rasul Allah.


Tentang ibadah, bahkan ditegaskan oleh Allah SWT dalam surah Adz-Dzaariyat ayat 56, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”


Menurut Habib Syahab, tidak bisa seseorang hanya belajar tapi tidak beribadah, dan sebaliknya tidak bisa hanya beribadah tanpa ilmu. “Belajar ilmu itu hukumnya wajib. Ilmu itu diibaratkan pohon, sedangkan ibadah adalah buahnya,” ujarnya.


Menurut Habib yang tinggal di Jalan Eretan II No. 62 B Condet ini, seorang hamba diharapkan mempunyai empat hal penting dalam dirinya.


Pertama, berilmu agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Kedua, mengamalkan ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari.


Ketiga, ikhlas. Semua yang dilakukan haruslah karena Allah, mencari ridha Allah, sehingga semuanya sesuai dengan ketentuan-Nya.


Dan yang keempat, punya rasa takut kepada Allah SWT. Dengan takut kepada Allah SWT, ia tidak akan mudah melanggar apa yang dilarang Allah. Dalam artian yang lebih luas, ia takut kalau tidak dapat tempat yang baik di sisi Allah SWT.


“Di antara ibadah yang agung dan utama adalah menuntut ilmu syar’i, yaitu firman-firman Allah dan sabda rasul-rasul-Nya. Menuntut ilmu adalah amalan pendekatan diri kepada Allah yang paling utama yang seorang hamba dapat mendekatkan diri dengan amalan tersebut kepada Tuhannya, dan termasuk ketaatan yang paling baik yang akan mengangkat kedudukan seorang muslim dan meninggikan derjatnya di sisi Allah SWT.”


Habib Muhammad Syahab mengingatkan, “Penting bagi seorang muslim untuk selalu tafakur, memikirkan ayat-ayat Allah SWT, baik yang syar’iyyah, yaitu Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, maupun ayat-ayat-Nya yang kauniyyah, yaitu alam semesta, yang terhampar luas. Lalu tadabbur, memikirkan akibat-akibat dari amalan yang dikerjakannya dan mengingatkan akibat-akibat dari kebodohan.”


Menurutnya, buah dari itu semua tercermin dari akhlaq seseorang. Karena itulah keutamaan seorang yang bertaqwa. Akhlaqnya, adabnya sangat luhur. Tidak ada perbuatannya yang menyimpang. Semua orang merasakan manfaat keberadaannya. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesama.”


Habib Syahab juga menasihati, apa yang terjadi pada manusia, lingkungan, dan negara, seperti bencana alam, berupa gempa, banjir, tanah longsor, dan sebagainya, haruslah diterima dengan prasangka baik. Itulah adab seorang muslim. “Bencana adalah refleksi dari kasih sayang Allah SWT untuk ciptaan-Nya, jadi jangan dianggap itu sebagai kutukan. Allah SWT memberikan pelajaran dengan cara yang terbaik, kita harus ridha dan selalu berprangka baik,” ujarnya menutup pembicaraan.