Jumat, 27 Januari 2012

KH. Oesman Mansoer: Dari Mayor Hingga Rektor

Lahir di Blega Bangkalan, Madura pada 23 Maret 1924. Wafat 7 Februari 1989. Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Madrasah Muallimin Jagalan, Ponpes Darul Hadits Malang, Putra/Putri 11 Orang.

Perjuangan/Pengabdian :

Ketua GP Ansor Cabang Malang, Komandan Laskar Sabilillah di Malang, Bintal TNI Kodam V Brawijaya, dengan pangkat terakhir Mayor, Kepala SMP Islam Jl. Kartini Malang, Merintis berdirinya Universitas NU (UNU), yang merupakan cikal bakal berdirinya Unsuri (Universitas Sunan Giri, dan dikembangkan menjadi Unisma), Rektor Unisma, Perintis Fakultas Tarbiyah PTAIN Jogya di Malang yang kemudian berubah menjadi UIIS Malang-, Ketua MUI Kota Malang, Ketua Takmir Masjid Agung Jami’ Malang.

Perintis Unisma, Menguasai Empat Bahasa

Bila kita melihat kemegahan Gedung Universitas Islam Malang (Unisma) di Jalan MT. Haryono 193 Malang, mengingatkan pada sosok nama besar KH. Oesman Mansoer. Memang, Kiai kelahiran 23 Maret 1924 di Blega (Bangkalan, Madura) ini merupakan salah satu perintis dan pendiri perguruan tinggi, yang menjadi kebanggaan warga nahdliyin, khususnya masyarakat Malang.

Secara khusus, putra pertama dari tiga bersaudara, masing-masing KH. Oesman Mansoer, KH. Prof. Dr. M. Tholhah Mansoer, dan Mardiyah dari pasangan H. Raden Jalaluddin Krama Asmara dan Hj. Nur Chodijah, (Madura), yang masih ada garis keturunan dengan Adikara IV ini, hanya mengeyam pendidikan formal di Madrasah Muallimin Jagalan, yang dirintis KH Nachrowi Thohir. Beliau hijrah ke Malang sekitar tahun 1930 dan menetap di Jl Prof Moh. Yamin (belakang Masjid Noor Kidul Pasar).

Sedangkan pendalaman ilmu agama lebih banyak diperoleh dari Habib Abdul Qodir bil Faqih, Pengasuh Ponpes Darul Hadits Jl Aries Munandar Malang. Bahkan, Kiai Oesman termasuk santri khusus yang mendalami ilmu fiqih dan Thoriqot Alawiyah. Selain itu, setiap bulan Ramadan tabarrukan (nyantri) ke Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, Jombang.

Meski hanya mengenyam pendidikan di Muallimin, namun Kiai yang bercita-cita jadi seorang guru ini menguasai empat bahasa. Diantaranya, Bahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Bahasa Latin. Sekitar tahun 1940-1942, Kiai yang masih keponakan KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo ini ditugaskan NU untuk mengajar di Madrasah NU di Pudakit, Kecamatan Sangkapura, Bawean.

Sewaktu Jepang masuk Indonesia, dia pulang ke Malang. Sejak itu, mulai aktif di organisasi kepemudaan Ansor. Bahkan, menjadi Ketua GP Ansor Cabang Malang, menjadi Komandan Laskar Sabilillah di Malang pada 1949, dan sempat menjadi tangan kanan KH Masykur, Panglima Sabilillah.

Cita-citanya untuk mengabdi di dunia pendidikan terus belanjut, sekitar tahun 1955, Kiai berputra 11 orang dari pasangan Hj. Fathonah, cucu KH. A. Ghoni Surabaya ini menjadi Kepala SMP Islam Jl. Kartini Malang. Kemudian bersama KH. Ghozali dan Prof. M. Khusnu merintis berdirinya Universitas NU (UNU), yang merupakan cikal bakal berdirinya Unsuri (Universitas Sunan Giri, yang pada 1981 berubah menjadi Unisma, dan beliau menjadi rektornya hingga 1989). Selain itu, beliau juga mendirikan cabang Fakultas Tarbiyah PTAIN Jogya di Malang, (yang kemudian dikembangkan menjadi STAIN Malang, dan kini berubah menjadi UIIS) yang pada 1963-1972 menjabat sebagai dekan.

“Selain mengabdi di dunia pendidikan, pada 1972 ayah juga berkeinginan mendirikan Pesantren Luhur atau Ma’had Ali, semacam pasca sarjana pondok pesantren, yang sekarang dikembangkan di Pesantren Luhur Sumbersari oleh H. Muhdor Ahmad,” kata M. Fatich, PR III Unisma, putra kelima Kiai Oesman.

Setelah pensiun dari dinas Bimbingan Mental (Bintal) TNI di Kodam V Brawijaya pada 1979, dengan pangkat terakhir Mayor, Kiai Oesman, yang masih kerabat dekat dengan R. Hartono, mantan KSAD, dan R. Wardiman Djojonegoro, mantan Mendikbud waktu itu, dipercaya menjadi Ketua MUI Kota Malang dan Ketua Takmir Masjid Agung Jami’ Malang hingga akhir hayatnya. Sebenarnya, beliau pernah dicalonkan menjadi Bupati Lumajang, tapi tidak mau. Beliau lebih memilih mengabdi di dunia pendidikan.

Dalam mendidik putra-putrinya, kata Fatich, Kiai pengagum Mahmud Salthut, Rektor Al Azhar Mesir ini sangat demokratis. “Asal bekal pengetahuan agamanya dinilai cukup, putra-putrinya diberi kebebasan untuk menentukan cita-cita dan profesi yang akan ditekuni,” ujarnya.

Bahkan, dalam masalah keagamaan, Kiai Oesman lebih moderat, namun sangat hati-hati. Sebelum Gus Dur mengajar di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sukun, Kiai yang tekun shalat Dhuha ini sudah mengajar masalah Islamologi dan Kristologi pada calon-calon pendeta di GKJW sekitar tahun 1967-1974. Sekitar tahun 1958, beliau diminta Markas Besar (Mabes) TNI AD untuk membuat rumusan penafsiran Pancasila dari tinjauan Islam, yang dipaparkan dalam seminar AD pertama pada 1958.

“Jadi, sebelum orang-orang meramaikan masalah azas tunggal, Kiai Oesman sudah mempunyai konsep tersebut, hingga kemudian muncul pemikiran KH. Ahmad Shidiq tentang hubungan Islam dengan Pancasila. Sayangnya, waktu itu tidak sempat dibukukan pemikiran beliau,” kata Drs. H. Nur Chozin Iskandar, santri Kiai Oesman, yang juga salah satu Pengasuh Ponpes Kampus Ainul Yaqin Unisma.

Beberapa santri beliau lainnya, diantaranya Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag, H. Imam Chambali, SmHk, Ghaffar Rahman, dan Ketua Umum PBNU KH Drs. A. Hasyim Muzadi, yang juga menjadi pembimbing sewaktu Pengasuh Ponpes Al Hikam itu menyusun skripsi. Beliau wafat pada 7 Februari 1989 dan di makamkan di pemakaman umum Kasin.

Sumber: http://masjidjami.com/profile-kyai/13-kh-oesman-mansoer.html

H. Imron Rosyadi SH Diplomat Karir Dari Pesantren (Mantan Ketua Umum GP Ansor Periode 1954-1967)

Sejak awal NU merupakan organisasi social keagamaan yang bersikap pluralis, bayangkan berapa banyak kader di luar NU direkrut oleh organisasi ulama. Ini bukan hanya kekurangan sumber daya manusia, tetapi dilandasi pada sikap yang melihat semuaa elemen bangsa yang berprestasi dan bermoral sebagai warganya, karenanya bisa diajak berkiprah di NU. Namun demikian tidak berarti NU tidak memiliki kader sendiri yang memumpuni, banyak sekali diantaranya adalah Mr. Imron Rosyadi, yang menjadi salah seorang ketua dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama -PBNU- ketika organisasi ini masih menjadi partai politik (1954-1984).

Perjalanan hidup Imron Rosyadi penuh liku-liku, dia adalah anak seorang pimpinan pesantren, di sanalah ia mulai belajar, kemudian mulai mengenyam pendidikan gaya Belanda, kemudian mendalami pelajaran agama di Irak, di sana ia banyak belajaar berbagai pengetahuan sejak politik, kebudayaan dan juga agama, tetapi yang ditekuninya adalah bidang hukum, dari sana ia mendapatkan gelar Meester in de Reechten (MR) yang di Indonesiakan menjadi Sarjana Hukum (SH), melalui ujian persamaan di Universitas Indonesia. Dengan pengalamannya itu ia menjadi pribadi yang tegas dan mandiri.

Kerterlibatan di lingkungan NU diawali sejak masa kepanduan Ansor Nahdlatul Ulama (ANU), kemudian menjadi ketua umum Barisan Pemuda itu. Dengan kemandiriannya itu maka dengan tegas ia menentangnya kebijakan Bung Karno ketika mewajibkan organisasi-organisasi kepanduan dilebur ke dalam Praja Muda Kirana alias Pramuka. Imron Rosyadi sempat empat tahun mendekam dalam penjara orde lama dan baru dibebaskan setelah orde baru lahir. Sejak bebas dari penjara, Imron langsung melejit menjadi Ketua IV PBNU dalam Muktamar NU di Bandung (1967), menjadi Ketua III dalam Muktamar Surabaya (1971) dan menjadi Ketua III dalam Muktamar NU di Semarang tahun 1979.

Ketika NU, melalui Muktamar Situbondo (1984) resmi kembali ke khittah 1926, Imron duduk sebagai salah seorang rois syuriah PB dan satu periode kemudian diangkat sebagai mustasyar-penasihat PBNU. Dalam jabatan itulah, ia wafat di kota Bandung (1993) karena sakit. Bandung adalah kota kelahiran isterinya, yang juga aktivis dan pernah menjadi ketua/penasihat Muslimat NU, yaitu Ny Hajjah Chadidjah Imron Rosyadi. Sang isteri adalah wanita ningrat salah seorang puteri dari Bupati Bandung yang saat dinikahi Pak Imron merupakan sosok yang sangat terpandang di bumi Parahiyangan.

Imron Rosyadi kebetulan tidak dikaruniai putera atau puteri, sehingga bisa berkarir di Departemen Luar Negeri, di NU maupun di Parlemen secara lebih intensif, namun bukan berarti tidak memiliki asuhan, sebab ia punya anak angka yang cukup banyak dan mereka didik seperti anak-anaknya sendiri, disekolahkan hingga perguruan tinggi. Warisan hartanya tidak banyak, selain sikap kejujuran dan kejuangan serta keteguhan pendiriannya yang bagaikan batu karang. Kedalaman ilmunya terbukti dari banyaknya buku-buku pengetahuan agama dan kitab-kitab kuning yang dimilikinya dan kini sudah dihibahkan kepada salah satu perguruan Islam di Jakarta.

Putera Indramayu
Imron terlahir dari keluarga keturunan NU tulen. Ayahnya KH Abdullah dan ibunya Ny.Hajah Ratu Salichah, memiliki empat orang puteri, semua kakak Imron dan seorang putera yang paling ragil atau bungsu adalah Imron Rosyadi. Seorang di antara kakaknya Ny.Hj.Chasanah Mansur pernah menjadi Sekretaris Umum Pucuk Pimpinan Muslimat NU yang berkedudukan di Jakarta.

Selesai belajar di sekolah rakyat, pemuda yang lahir tahun 1916 melanjutkan pendidikan tingkat menengah -MULO-, suatu lembaga pendidikan jaman Belanda yang modern dan maju. Di sekolah ini di ajarkan lima bahasa asing, karena itu lulusannya rata-rata menguasai bahasa Inggeris, Belanda, dan Jerman di samping bahasa Indonesia. Tamat MULO, Imron yang ketika itu berusia sekitar 25 tahun memiliki semangat juang yang tinggi. Ia ingin berkeliling dunia, tetapi orang tuanya kurang berkenan, karena rencana itu membutuhkan beaya yang amat banyak yang tidak bisa ditanggung oleh orang tuanya.

Tekad dan semangat Imron menuntut ilmu ke luar negeri, terutama negara-negara Timur Tengah pantang bersurut. Dengan segala daya dan upaya dia mencoba menyamar sebagai awak kapal angkutan barang. Namun di tengah pelayaran ternyata ia tertangkap oleh nakhoda kapal, akhirnya ia diturunkan di Singapura, walaupun demikian ia tak tampak gelisah karena sudah meninggalkan negaranya apalagi dia sudah memiliki sejumlah uang dan menetap untuk beberapa lama di kota dagang itu. Sambil terus mengatur siasat, Imron melanjutkan pengembaraan ke Kuala Lumpur Malaya. Di sana pun begitu, sambil menghimpun kekuatan, ia melanjutkan perjalanan ke Pakistan, India hingga akhirnya sampai di Baghdad-Irak.

Sesuai tekadnya, Imron segera mendaftar ke Universitas Irak di Baghdad, mengambil jurusan agama sekaligus mendalami masalah hukum. Studi itupun dapat diselesaikan sekitar tujuh tahun. Namun untuk menggapai cakrawala ilmu pengetahuan maka setiap ada hari-hari libur panjang Imron memanfaatkannya untuk berkelana ke Saudi Arabia, Mesir, dan bahkan ke Eropa. Perjalanan safari ini membawa pengalaman berharga bagi Imron yang memiliki cita-cita tinggi itu. Ia merasa lebih terbuka cara berpikir dan pandangannya setelah melihat Timur Tengah dan Eropa. Dari Universitas Baghdad itu Imron mendapat ijazah LLB (tingkat doctoral).

Kuasa Usaha

Kembali ke Tanah Air, pihak orang tua Imron sudah “kasak kusuk” untuk menjodohkan puteranya dengan seorang gadis Periyangan anak seorang bupati Pasundan pada waktu itu. Hanya beberapa bulan setelah kembali ke Indonesia, tahun 1951 Imron Rosyadi menyunting Nona Chadijah yang banyak dipingit. Maklum ia puteri dari seorang ningrat. Imron mulai menapaki hidup baru sebagai keluarga muda dan sejak itu ia berusaha mengamalkan ilmunya sebagai seorang yang ahli politik luar negeri melamar bekerja ke Departemen Luar Negeri.

Ijazah LLB dari Universitas Baghdad itu sangat berharga baginya sebagai modal untuk berkarir di tanah air Indonesia. Sesuai dengan minat di disiplin keilmuannya ia pun masuk ke Departemen Luar Negeri sebagai pegawai negeri. Namun untuk kepentingan status kepegawaiannya, Imron memerlukan ujian persamaan bidang hukum di Universitas Indonesia. Maka iapun kemudian mendapatkan titel Meester in de Reechten (Sarjana Hukum). Lima tahun bekerja di Deplu, Imron diangkat sebagai Kuasa Usaha, waktu itu belum banyak pengangkatan Duta Besar/Dubes, untuk Swis. Dengan penuh tanggung jawab tugas itu ditunaikan sepenuh hati. Di kemudian baru disadari, pengangkatannya sebagai kuasa usaha, salah satu pertimbangannya untuk mempermudah persinggahan-persinggahan Presiden Soekarno yang melakukan lawatan kenegaraan ke Amerika melalui Eropa tahun 1956. Tentu saja, tugas itu menjadi amat sibuk dan menyita enersi, karena harus dihitung jam demi jam, agar kunjungan kenegaraan presiden itu sukses.

Ketika kembali ke Tanah Air tiga tahun kemudian, tugas di dalam negeri sudah menanti. Ia terpilih menjadi ketua umum Gerakan Pemuda Ansor, menggantikan H.A.Chamid Widjaja-almarhum. Hanya dalam hitungan bulan, Imron pun kemudian diangkat kembali menjadi Kuasa Usaha untuk Kerajaan Saudi Arabia. Memang untuk mengurusi persoalan politik dan masalah perjalanan haji butuh seorang diplomat yang berpengalaman seperti dia. Sebab dia adalah diplomat karir yang memang punya dedikasi dan kompetensi di bidang hubungan internasional.

Sebagai pejuang sejati sejak muda, mahasiswa hingga menjadi kuasa usaha RI, Imron Rosyadi selalu mengibarkan bendera merah putih dan proklamasi 17 Agustus 1945 untuk mendapatkan dukungan dunia internasional, di manapun dia ditempatkan dan ditugaskan. Di Baghdad misalnya, ia berkeliling kota seraya membawa sang Merah Putih. Hal yang sama dia lakukan di Jeddah dan Makkah dan mendapatkan sambutan hangat para jamaah haji dari manca negara.

Liga Demokrasi

Kembali ke Indonesia, Imron dihadapkan dengan situasi politik dalam negeri yang kurang menguntungkan. Ada pergolakan daerah-daerah yang puncaknya terwujud dalam PRRI dan Permesta, kemudian pembubaran Konstituante dan akhirnya pembentukan DPRGR oleh Bung Karno, di mana sebelumnya partai Masyumi dan PSI dibubarkan karena terlibat dengan pemberontakan PRRI. Dengan didukung oleh DPR-GR yang dibentuk sendiri itu Bung Karno membangun Demokrasi Terpimpin, yang menempatkan diri sebagai penguasa tertingi, melampaui lembaga tingi negara yang lain, baik legislative maupun yudikatif.

Sebagai seorang demokrat tulen, maka Imron Rosyadi menentang langkah Bung Karno tersebut. Apalagi ketika proklamator itu memaksakan pembentukan Front Nasional yang berbentuk Nasakom (Nasional Agama Komunis). Imron yang anti komunis itu dengan tegas menolak Nasakom, walaupun secara resmi Partai NU menjadi pilar penting dalam Nasakom. Dan oleh partai-partai Islam yang ada waktu itu Masyumi, PSII dan Perti, Imron ditunjuk mengetuai Liga Demokrasi, sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengoreksi agar pemerintahan Bung Karno agar lebih menjunjung nilai-nilai demokrasi. Pembentukan Liga Demokrasi itu didahului dengan lobi-lobi tingkat tinggi, termasuk dengan pimpinan partai Katolik pimpinan IJ Kasimo.

Karena waktu itu negara masih dalam keadaan bahaya, sementara Bung Karno melihat Liga demokrasi sebagai kaki tangan imperialis untuk kembali menjajah Indonesia, maka liga demokrasi dilarang dan para aktivisnya dijebloskan ke penjara Orde Lama. Empat tahun mendekam di sana dan tanpa proses peradilan. Baru pada pertengahan 1966 Imron Rosyadi dibebaskan, setelah orde baru muncul. Bersama-sama Imron dibebaskan juga Buya Hamka, Mr. Moh Roem, S. Soemarsono dan yang lain-lain para tokoh Masyumi dan GPII, tetapi yang terakhir ini dipejara karena kaitannya dengan PRRI, sementara Imron berkaitan dengan Liga Demokrasi.

NU memang memiliki spektrum yang luas, dan sekaligus toleransi yang tinggi. Walaupun NU sebagai induk organisasinya menerima dan mendukung Nasakom sebagai strategi melawan neo-kolonialisme dan imperialisme, yang ini merupakan pengejawantahan dari komitmen kebangsaan NU, maka NU membela strategi Bung Karno tersebut, karena saat itu Indonesia dikepung oleh berbagai kekuatan Kapitalis, imperialias, maka dalam Fron Nasional itu NU berusaha mempertahankan keutuhan kedaulatan RI, sebagai bagian dari upaya membela martabat bangsa dan rakyat, yang telah bebas dari penjajahan. Namun demikian NU menghargai orang NU yang tidak menyetujui Demokrasi terpimpin Soekarno seperti, Imron Rosyadi, Subhan ZE, termasuk pengurus Syuriyah sendiri yakni KH Bisri Sansuri.

Politisi di DPR

Setelah bebas dari penjara Imron Rosyadi kembali berkiprah di NU, dan diterima secara terbuka oleh pimpinan NU, sehingga pada pemilihan umum 1971, ia terpilih sebagai anggota DPR/MPR dari partai NU. Tugas sebagai politisi di DPR terus berlanjut hingga tahun 1987. Selama di DPR Imron selalu menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi I DPR yang membidangi urusan; luar negeri; pertahanan keamanan; dan penerangan. Kepiawaiannnya dalam urusan luar negeri, membuat Imron dikenal luas di kalangan mitra kerjanya, apalagi kalau melihat sikap hidupnya yang sederhana, lugas dan tegas serta teguh dalam berpendirian.

Imron Rosyadi wafat meninggalkan seorang isteri Ny Hajah Chadidjah Imron, yang kini merawat apik peninggalan almarhum berupa rumah kecil sederhana di Jalan Teuku Umar no.30-paviliun Jakarta Pusat. Sejumlah piagam dan bintang-bintang penghargaan dari dalam dan luar negeri. Sampai akhir hayatnya Imron Rosyadi adalah pensiunan Departemen Luar Negeri, di samping pensiunan anggota DPR/MPR dan sekaligus Perintis Kemerdekaan. Semua karis itu bisa diraih karena Imron disiplin, tegas dan lugas. Sepintas lalu terkesan seram bagi yang baru mengenalnya. Tapi jika sudah bergaul secara akrab, banyak sekali humor-humor Pak Imron yang tidak kalh segar dibading kiai-kiai NU lainnya.

Dari tokoh yang brilian itu bisa kita pelajari betapa seorang anak pesantren yang ingin maju, walaupun tanpa beaya bisa berusaha sendiri dengan susah payah, akhirnya berhasil mendidik dan membina diri sendiri secara mandiri, akhirnya bisa mencapai gelar akademis tinggi, serta bisa berkarir di dunia politik secara nasional dan internasional. Karena itu liku dan perjalanan hidup tokoh yang nyaris terlupakan itu perlu kita pelajari, kita teladani. (Oleh H Adnan Baidlowi, wartawan senior, anggota Dewan Kehormatan PWI dan tinggal di Depok).


Sumber : http://gp-ansor.org/biografi/h-imron-rosyidi